Studi Deskriptif Gondang Sabangunan Dalam Upacara Kematian Saurmatua Pada Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan

(1)

STUDI DESKRIPTIF GONDANG SABANGUNAN DALAM UPACARA KEMATIAN SAURMATUA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

Dikerjakan O

L E H

Nama: Ivan R.H. Sianipar Nim: 050707018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI PROGRAM STUDI ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(2)

STUDI DESKRIPTIF GONDANG SABANGUNAN DALAM UPACARA KEMATIAN SAURMATUA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN

Dikerjakan O

L E H

Nama: Ivan R.H. Sianipar Nim: 050707018

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si Dra. Frida Deliana, M.Si NIP. 1956 0828 198601 2001 NIP. 1960 11181 9880 3001

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat ujian Sarjana dalam Bidang Seni Musik Program Studi Etnomusikologi.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan, kekuatan, ketenangan hati dan pikiran serta keselamatan pada penulis untuk akhirnya menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “STUDI DESKRIPTIF GONDANG SABANGUNAN DALAM UPACARA KEMATIAN SAURMATUA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN”. Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana seni (S.sn) pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara-Medan.

Untuk menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terimakasih kepada; Kedua orangtua saya yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk meraih gelar S.sn di Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Ketua jurusan Etnomusikologi Drs. Muhammad Takari ,M.Hum, Ph.D. dan sekretaris jurusan Dra. Heristina Dewi M.P, pembimbing I Drs. Setia Dermawan Purba, M.Si dan Pembimbing II Dra. Frida Deliana, M.Si, dan seluruh staf pengajar serta teman-teman mahasiswa Etnomusikologi atas dukungan dan persahabatan selama ini, bang Tahan Perjuangan S.sn atas bantuan yang diberikan kepada saya selama menyelesaikan skripsi ini, nara sumber yang bersedia


(4)

meluangkan waktunya untuk memberikan penjelesan agar skripsi ini selesai, beserta kawan-kawan yang turut serta membantu menyelesaikan skripsi ini.

Akhir kata saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua yang ikut membantu menyelesaikan skripsi ini. Dengan harapan semoga skripsi ini dapat membantu saya untuk menyelesaikan program studi belajar saya memperoleh gelar sarjana dari Depertemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan dapat menjadi sesuatu yang berguna dalam kehidupan bermasyarakat dan terutama bagi bangsa Indonesia.

Medan, Juli 2011

Penulis,

Ivan R H Sianipar NIM. 0500707018


(5)

KATA PENGANTAR ………...………i

DAFTAR ISI ………..………...ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah……….………5

1.2 Pokok Permasalahan………...………..13

1.3 Tujuan dan Mamfaat 1.3.1 Tujuan………...14

1.3.2 Manfaat………...….……….15

1.4 Konsep Dan Teori 1.4.1. Konsep………..….……..16

1.4.2. Teori………....…….18

1.5 Metode Penelitian...21

1.5.1 Studi Kepustakaan……….……..22

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data………...……….23

1.5.3 Kerja Lapangan……….………23

1.5.4 Wawancara……….………...…23


(6)

BAB II LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BATAK TOBA

2.1 Letak Geografis………..26

2.2 Asal Usul Masyarakat Batak Toba………..…28

2.3 Sistem Kekerabatan………..……….30

2.4 Sistem Mata Pencaharian………..………32

2.5 Agama Dan Kepercayaan………..34

2.6 Bahasa……….…35

2.7 Kesenian 2.7.1 Seni Sastra………..…………..……36

2.7.2 Seni Musik………..………..…....37

2.7.3 Seni Tari………...………40

2.7.4 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran……….………..…….40

2.7.5 Seni Kerajinan Tangan (Ulos)………..………41

BAB III DESKRIPSI GONDANG SABANGUNAN PADA UPACARA KEMATIAN SAURMATUA DI KOTA MEDAN 3.1 Tahapan Upacara Kematian Saurmatua………….………...……42

3.1.1 Mangalap Pande Dohot Panggorsi...43

3.1.2 Tonggo Raja / Pangarapotna……….44


(7)

3.1.4 Sanggul Marata………..…..………….46

3.1.5 Partuatna - Maralaman ……….46

3.1.6 Acara Penguburan………....………….47

3.1.7 Mangungkap Hombung………...………….47

3.1.8 Manuan Ompuompu Dohot Manambak…………..……….47

3.2 Deskripsi Gondang Sabangunan Dalam Upacara Kematian Saurmatua Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan 3.2.2 Pelaku………...………48

3.2.3 Alat Musik Yang Digunakan………...……….51

3.2.4 Jenis Gondang Yang Dimainkan…………..……...……….56

3.2.4.1 Gondang Mula-Mula…………..………...………59

3.2.4.2 Gondang Sitio-tio……….….………59

3.2.4.3 Gondang Liat-liat………..………61

3.2.4.4 Gondang Simba-Simba …………..….……….…61

3.2.4.5 Gondang Hasuhuton ………..……..………61

BAB IV PENGGUNAAN DAN FUNGSI GONDANG SABANGUNAN DALAM UPACARA SAUR MATUA DI KOTA MEDAN 4.1 Fungsi Gondang Sabangunan Pada Upacara Kematian Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan……….……….62


(8)

4.2 Fungsi Gondang Sabangunan Pada Upacara Kematian Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan……...………...64

4.2.1 Fungsi Gondang Sabangunan Sebagai Sarana Ritual....66 4.2.2 Fungsi Gondang Sabangunan Sebagai Ekspresi

Kesenian………70 4.2.3 Fungsi Gondang Sabangunan Simbolik Identitas

Sosial ……….……73

BAB V Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan ………..……….……….75 5.2. Saran………..77


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Upacara kematian pada masyarakat Batak Toba merupakan pengakuan bahwa masih ada kehidupan lain dibalik kehidupan di dunia ini. Adapun maksud dan tujuan masyarakat Batak Toba untuk mengadakan upacara kematian itu tentunya berlatar belakang kepercayaan tentang kehidupan.

Berbicara tentang upacara kematian pada suku Batak Toba, dapat kita tinjau dari defenisi dari istilah kematian saurmatua adalah seseorang yang meninggal dunia apakah suami atau isteri yang sudah bercucu baik dari anak laki-laki atau putri. Biasanya pada upacara kematian saur matua pada masyarakat Batak Toba akan diiringi oleh alunan musik yang dulunya biasa disebut dengan ‘gorsi-gorsi’ satu hari sebelum mayat tersebut dikebumikan. Alunan gondang itu biasa dilakukan untuk menghormati arwah yang telah meninggal dan juga untuk silahturahmi / pertemuan yang terakhir dari semua keluarga serta kerabat-kerabat terdekat dari orang yang meninggal tersebut sebelum pada besok harinya akan dimasukkan ke dalam peti jenazah untuk dikebumikan.


(10)

Skripsi ini membahas deskriptif gondang sabangunan yang digunakan dalam upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba yaitu Taganing atau tataganing (single-headed braced drum) merupakan seperangkat gendang yang terdiri dari enam buah drum. Gondang sabangunan adalah satu ensambel musik tradisional pada masayarakt Batak Toba. Ensambel ini terdiri dari seperangkat taganing, sebuah sarune (double reeds-oboe), empat buah ogung (suspended-gongs): ogung oloan, ogung ihutan, ogung panggora dan ogung doal, serta satu buah hesek (idiophone). Masing-masing gendang memiliki nada (frekuensi getaran) yang berbeda. Ketika dimainkan, ke enam gendang disusun dan digantung pada sebuah alat penyangga.

Taganing dimainkan oleh dua orang pemain dengan menggunakan stik pemukul kayu. Gendang yang terbesar ukurannya disebut gordang, dimainkan satu orang. Dalam konteks komposisi musik, gordang berperan sebagai instrumen ritmikal. Sementara lima gendang lainnya, lazim juga disebut anak ni taganing, adalah instrumen melodik, dimainkan oleh satu orang dan berperan sebagai pembawa melodi. Kedua instrumen tersebut, gordang dan taganing, dimainkan dalam satu ensambel musik yang disebut gondang sabangunan.

Sistem permainanan gondang sabangunan dalam upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba adalah seperangkat alat musik,


(11)

ensambel musik komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu). Tetapi, seperti yang kita lihat di kota Medan adanya banyak perubahan yang terjadi. Sebahagian besar upacara kematian yang saurmatua telah menggunakan bantuan dari musik tiup seperti pada alat music keyboard yang funginya semakin lama semakin bertambah maju dan berkembang yang dapat menirukan semua suara alat musik.

Jika kita simak dari asumsi yang telah dijelaskan diatas, sebelum kita mengkaji lebih dalam mengenai fungsi gondang sabangunan pada upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba yang berada di kota Medan, dalam konteks yang berkembang “mengapa dalam upacara kematian saurmatua di kota Medan pada saat tahapan upacara kematian tersebut dimulai sampai dengan selesai, gondang sabangunan dimainkan secara murni tanpa ada bantuan dari alat musik tiup yang ada dalam upacara kematian tersebut?”. Karena setelah saya tinjau langsung ke lapangan (datang untuk mengikuti upacara kematian masyarakat Batak Toba yang ada di kota Medan) mayoritas telah menggunakan dua perangkat musik yaitu: gondang sabangunan dan musik tiup. Dan untuk dapat meninjau langsung upacara kematian masyarakat Batak Toba di kota Medan baiknya kita melihat terlebih dulu keberadaan gorci-gorci/ pangorci yang masih eksis di kota Medan.


(12)

Dalam sejarah upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba pada saat ‘mangalap pande’ menjemput peti jenazah harus didampingi oleh panggorsi karena pada saat menjemput peti jenazah tersebut keluarga yang meninggal tersebut harus melakukan ritual atau menyembah / meminta izin keapda penghuni kayu yang akan digunakan sebagai peti jenazah orang yang meninggal tersebut.

Berikut ini uraian ringkas mengenai mangalap pande yang harus diiringi oleh panggorsi / gondang sabangunan tersebut “Apabila semua sudah lengkap yaitu hasuhuton, pande hau, babi dan kelengkapannya sudah berada pada pohon kayu yang hendak ditebang, biasanya kayu yang ada diporlak disekitar kampung, maka petugas kepercayaan lalu martonggo. Biasanya pada saat penebangan kayu peti jenazah, panggorsi akan memulai pemotongan kayu tersebut dengan bunyi gendang yang terdiri dari tujuh gendang”. Tetapi pada upacara kematian ini, kebiasaan itu tidak pernah diadakan lagi terutama di kota Medan. Itu disebabkan oleh pengaruh jarangnya kayu yang dapat dijadikan menjadi peti jenazah disekitar daerah tempat meninggalnya orang tersebut dan juga untuk mempersingkat waktu dan juga materi untuk kualitas kayu yang akan digunakan untuk peti jenazah orang yang meninggal tersebut.

Dalam upacara kematian tersebut menggunakan Gondang ini juga dijadikan sebagai pengumuman kepada masyarakat bahwa ada orang tua


(13)

maka pelaksanaan upacara kematian ini tidak terlepas dari kehadiran dari unsur-unsur Dalihan Natolu yang memainkan peranan berupa hak dan kewajiban pada setiap suku Batak Toba. Maka dalihan natolu inilah yang mengatur peranan tersebut sehingga prilaku setiap unsur khususnya dalam kegiatan adat maupun dalam kehidupan sehari-hari tidak menyimpang dari adat yang sudah ada.

Seperti yang saya kutip dari beberapa sumber acuan untuk menyelesaikan skripsi ini, ada beberapa ketentuan yang berlaku pada masa sekarang ini untuk dapat menggunakan gondang sabangunan. Saya tidak ingat secara pasti tetapi salah satunya adalah karena alasan pembiayaan. Tentu saja hal tersebut masuk akal mengingat rombongan yang akan disewa untuk memainkan gondang akan lebih banyak jumlahnya. Sejauh pengamatan saya, saat ini sudah lebih banyak orang yang memilih untuk menggunakan fasilitas musik modern daripada gondang. Selain karena lebih sesuai dengan keinginan hati mereka, alat musik modern juga relatif lebih murah pembiayaannya dibanding dengan gondang. Memang hal tersebut lumrah adanya, mengingat semakin terbatasnya jumlah orang yang dapat memainkan gondang dengan baik, paralatan gondang pun semakin sulit didapati.

Adanya gondang yang dimainkan pada upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba yaitu gondang yang


(14)

memeberitahukan dan mengundang masyarakat sekitarnya agar hadir di rumah duka untuk turut menari bersama-sama. Setelah saya mengikuti upacara kematian saurmatua di kota Medan, saya tertarik untuk mengkaji mengapa pada saat-saat tertentu gondang sabangunan akan dimainkan secara murni tanpa ada bantuan dari alat musik tiup yang juga seperangkat musik yang ada pada saat upacara kematian tersebut berlangsung (yang akan kita bahas secara lengkap dan jelas agar dapat dijadikan tulisan untuk menjadi salah satu syarat untuk menyelesaikan studi perkuliahan S-1 jurusan Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Walaupun demikian, dalam upacara kematian tersebut menggunakan 2 perangkat alat musik yang pada dulunya berfungsi sebagai tanda hormat semua keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal tersebut dan juga sebagai ritual keberangkatan arwah orang yang meninggal tersebut menuju banua ginjang. Dalam upacara kematian saurmatua tersebut, setiap seperangkat alat musik yang dimainkan mempunyai saat-saat tertentu masing-masing walaupun kadang kala dimainkan secara bersamaan. Gondang sabangunan dimainkan pada saat-saat tertentu secara murni tanpa ada bantuan dari alat musik elektronik

. Apabila saya melihat serta meninjau secara langsung, seluruh keturunan dari orang yang meninggal tersebut, tidak menunjukkan rasa


(15)

sedih yang begitu mendalam sekali. Karena orang yang meninggal saurmatua bagi masyarakat Batak Toba adalah orang yang meninggal tersebut sudah wajar karena telah menyelesaikan semua tugas-tugasnya di dunia kepada semua keturunanya atau yang lebih utama adalah anaknya yang pada masa hidupnya adalah menjadi tanggung jawab orang yang meninggal tersebut sebelum seluruh anak-anaknya menikah. Apabila seluruh anak-anaknya telah menikah orang yang meninggal tersebut telah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang orangtua (kematian saurmatua).

Untuk mengetahui pokok permasalahan yang akan dijelaskan oleh sipenulis yaitu “mengapa pada saat-saat tertentu pada upacara kematian saurmatua tersebut, harus menggunakan alunan musik sabangunan / yang tidak dapat dimainkan oleh seperangkat alat musik tiup yang berada disana karena pada saat-saat tertentu tersebut mengandung unsur ritual untuk dapat berkomunikasi dengan arwah orang yang meninggal tersebut”. Gondang sabangunan akan murni dimainkan pada saat sekumpulan orang tersebut akan meminta kepada pemain musik untuk menunjukkan rasa turut berduka cita kepada orang yang meninggal tersebut agar dengan tenang pergi menuju ke banua ginjang. Biasanya orang yang meminta musik tersebut akan memanggil “amang panggual panggorci nami” itu biasanya dari dahulu ditujukan kepada pemain gondang sabangunan untuk memainkan lagu yang diminta oleh mereka. Sekarang ini panggilan tersebut telah dipakai juga untuk pemain seperangkat alat musik brass


(16)

yang ada dalam upacara kematian tersebut. Gondang yang diminta biasanya adalah gondang ‘usip-usip’ yaitu agar mereka dapat menyampaikan rasa turut berduka cita mereka kepada orang yang meninggal tersebut secara berdoa dalam hati masing-masing / berkomunikasi langsung kepada arwah orang yang meninggal tersebut sambil manortor, dalam kisah sejarahnya diwajibkan untuk tunduk secara perlahan dan akhirnya pada posisi jongkok. Pada saat itulah mereka berdoa dalam hati mereka masing-masing menyampaikan apa yang ada dalam hati mereka kepada orang yang meninggal tersebut.

Setelah saya melihat dan mengkaji upacara kematian tersebut untuk menyelesaikan tulisan ini, apabila dalam upacara kematian Batak Toba yang berada di kota Medan “mengapa” gondang sabangunan murni digunakan pada setiap saat-saat tertentu orang yang datang berkunjung dan manortor ada dimainkan. Karena setiap saat-saat tertentu orang yang berkunjung pasti meminta gondang usip-usip kepada panggorci untuk menunjukkan rasa bela sungkawa mereka kepada orang yang meninggal tersebut. Jadi menurut pandangan saya apabila ada upacara kematian masyarakat Batak Toba yang berada di kota Medan yang menggunakan gondang sabangunan mempunyai peranan penting dalam upacara tersebut walaupun tidak seluruh musik yang dimainkan dalam upacara kematian saurmatua yang tersebut. Gondang sabangunan dimainkan secara murni


(17)

adanya kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Batak Toba semenjak dulunya. Mereka masih mempercayai bahwa pada saat gondang tersebut dimainkan mempunyai peranan yang sangat penting karena menurut mereka dapat mempertemukan langsung dengan orang yang meninggal tersebut untuk terakhir kalinya. Jadi, peranan penting pada saat gondang sabangunan tersebut dimainkan adalah yang menjadi pokok permasalahan terpenting yang akan dibahas dalam menyelesaikan skripsi ini.

Maka dari itu, untuk kebutuhan penelitian dan penulisan maka penulis hendak membuat tulisan ini dengan judul “STUDI DESKRIPTIF GONDANG SABANGUNAN DALAM UPACARA KEMATIAN SAURMATUA PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DI KOTA MEDAN”.

1.2 Pokok Permasalahan

Untuk membatasi pembahasan agar topik menjadi terfokus, dan menjaga agar pembahasan nantinya tidak menjadi melebar maka disini penulis merasa perlu membuat pemabatasan masalah dalam bentuk pokok permasalahan, yaitu:

1. Peranan godang sabangunan yang dimainkan pada upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba yg ada di kota Medan.


(18)

2. Bagaimana fungsi dan kegunaan gondang dalam upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba.

3. Mengapa pada saat-saat tertentu pada upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba di kota Medan harus menggunakan gondang sabangunan secara murni (tanpa ada bantuan dari alat musik lainnya).

1.3 Tujuan dan Mamfaat

1.3.1 Tujuan

Adapun tujuan penulisan tentang gondang sabangunan pada upacara kematian Batak Toba adalah:

1. Untuk mengetahui peranan gondang sabangunan pada upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba di kota Medan.

2. Untuk mengetahui fungsi dan kegunaan gondang dalam upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba.

3. Untuk mengetahui mengapa pada saat-saat tertentu pada upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba di kota Medan harus menggunakan gondang sabangunan secara murni (tanpa ada bantuan dari alat musik lainnya.


(19)

1.3.2 Manfaat

Selain tujuan, penelitian ini juga diharapkan bermanfaat bagi para pembaca, baik yang berada dalam disiplin ilmu Etnomusikologi, maupun di luarnya, dan khususnya untuk penulis sendiri dalam menambah wawasan tentang budaya masyarakat Batak Toba. Beberapa manfaat yang diperoleh dan ingin dicapai dalam tulisan ini adalah:

1. Sebagai dokumentasi untuk menambah referensi tentang masyarakat Batak Toba bagi disiplin ilmu Etnomusikologi, khususnya mengenai peranan gondang sabangunan dalam upacara kematian saurmatua pada masyarakat Batak Toba.

2. Menambah referensi tentang peranan penting gondang sabangunan dalam upacara kematian masyarakat Batak Toba, khususnya bagi jurusan Etnomusikologi.

3. Tujuan lebih jauh adalah untuk dapat digunakan lagi oleh penulis lain yang ingin membahas tentang masalah yang sama, dengan objek yang berbeda.


(20)

1.4 Konsep Dan Teori

1.4.1. Konsep

Menurut pandangan yang terkait dalam konsep pembahasan gondang sabangunan dalam upacara kematian Batak Toba, sebagian besar masyarakat masyarakat Batak Toba yang mulai kurang perduli dengan adat istiadat yang pada masyarakat Batak Toba sejak dulunya. Oleh karena itu, penulis lebih mengasumsikan bahwa minimnya gondang sabanguan yang digunakan pada upacara kematian Batak Toba yang berada di kota Medan dikarenakan oleh budaya yang berkembang dan juga perkembangan zaman.

Pada upacara kematian Batak Toba khususnya di kota Medan pada umumnya menggunakan dua perangkat alat musik yaitu: gondang sabangunan dan brass band/music tiup. Walaupun demikian, dalam upacara kematian tersebut menggunakan dua perangkat alat musik yang pada dulunya berfungsi sebagai tanda hormat semua keluarga dan kerabat lainnya yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal tersebut dan juga sebagai ritual keberangkatan arwah orang yang meninggal tersebut menuju banua ginjang. Pada saat upacara kematian tersebut berlangsung, orang yang dating untuk melayat orang yang meninggal tersebut biasanya datang secara berkelompok. Hal itu terjadi karena apabila orang yang melayat


(21)

Dalam upacara kematian tersebut, setiap seperangkat alat musik yang dimainkan mempunyai saat-saat tertentu bagi kedua perangkat alat musik tersebut untuk dimainkan walaupun kadang kala dimainkan secara bersamaan. Gondang sabangunan dimainkan secara murni tanpa ada bantuan dari alat musik lainnya, itu disebabkan oleh masih adanya kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Batak Toba semenjak dulunya. Mereka masih meyakini bahwa pada saat gondang tersebut dimainkan mempunyai peranan yang sangat penting karena menurut mereka dapat mempertemukan langsung dengan orang yang meninggal tersebut untuk terakhir kalinya. Jadi, peranan penting pada saat gondang itu dimainkan adalah pokok permasalahan terpenting yang akan dibahas dalam menyelesaikan skripsi ini.

Sebelum kita membahas pokok permasalahan yang akan dibahas pada skripsi ini, baiknya terlebih dahulu kita mengetahui pengertian dari konsep. Konsep adalah kesatuan pengertian tentang sesuatu hal atau persoalan yang perlu di rumuskan. Pada upacara kematian pada Batak Toba, peralatan gondang sabangunn yang digunakan akan membawakan instrument musik dalam adat istiadat Batak Toba yang disebut dengan margondang. Pada saat kerabat-kerabat yang datang untuk menghormati arwah dari jasad yang meninggal dunia, akan selalu meminta gondang kepada pargonci gondang yang telah lazim digunakan pada upacara kematian lainnya.


(22)

Adapun gondang yang dimainkan oleh peralatan gondang tersebut adalah:

1. Gondang Mula-Mula

2. Gondang Sitio-tio

3. Gondang Liat-liat

4. Gondang Simba-simba

5. Gondang Hasuhuton

Pangorsi biasanya dipanggil kepada orang yang memainkan peralatan gondang dalam upacara kematian tersebut. Dalam sekelompok pargocci, pemain Taganing (Partaganing), diberi gelar sebagai Batara Guru Humundul, karena dia adalah orang yang memimpin music yang dilakukan pada upacara kematian pada Batak Toba.. Hal ini merupakan satu kehormatan bagi para pargocci, karena pargocci adalah orang yang dianggap mampu menyampaikan keinginan mereka kepada Tuhan (Batara Guru dalam bahasa Batak). Cara menyampaikannya adalah dengan memainkan pola-pola ritem tertentu, yang sudah sering digunakan dalam berbagai upacara adat.


(23)

1.4.2. Teori

Teori dapat digunakan sebagai landasan kerangka berfikir dalam membahas permasalahan dalam tulisan ini dan juga menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas adalah deskriptif gondang sabangunan dalam upacara kematian masyarakat Batak Toba di kota Medan.

Seeger (1958:184) menyebutkan, penyampaian suatu objek dengan menerangkannya terhadap pembaca secara tulisan ataupun lisan dengan sedetail-detailnya. Dengan demikian deskriptif yang penulis maksudkan adalah menyampaikan dengan menggambarkannya melalui tulisan secara jelas mengenai peralatan gondang dalam upacara kematian masyarakat Batak Toba.

Untuk memahami fungsi peralatan gondang dalam upacara masyarakat saurmatua pada masyarakat Batak Toba, penulis mengacu pada pendapat Alan P.Merriam (1964:120) mengenai penggunaan dan fungsi musik. Dimana diartikan bahwa use (penggunaan) menitik-beratkan pada masalah situasi atau cara yang bagaimana musik itu digunakan, sedangkan fungsion (fungsi) menitik beratkan pada alasan penggunaan atau tujuan pemakaian musik, terutama maksud yang lebih luas; sampai sejauh mana musik itu mampu memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Alan P. Merriam juga mengemukakan bahwa perubahan dapat juga dipandang sebagai permulaan dari sebuah kebudayaan yang disebabkan


(24)

oleh adanya 2 faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Dalam hal ini faktor yang paling berpengaruh terhadap perubahan yang terjadi pada saat proses pembuatan taganing adalah faktor external. Faktor external yang dimaksud disini adalah difusi atau penyebaran agama. Sementara perubahan internal merupakan perubahan yang timbul dari dalam dan dilakukan oleh pelaku-pelaku kebudayaan itu sendiri. Perubahan internal penulis sebut dengan invensi. Invensi merupakan penemuan-penuan baru oleh pelaku budaya, sedangkan external ini penulis maksud dengan difusi atau penyebaran agama.

(Sumardjo,2002:107) kehidupan terdiri dari dua kutub pertentangan, antara “hidup” dan “mati”, yang menjadi paham dasar manusia sejak masa purba sebagai bentuk dualisme keberadaan hidup hingga masa kini. Perubahan terjadi karena usaha masyarakat untuk menyesuaiakan diri sesuai kebutuhan situasi dan kondisi yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat (Soekanto 1992;21). Pada akhir ini masyarakat Batak Toba mengalami perubahan dan berkelanjutan secara refeleksi dimana masyarakat Batak Toba yang tidak menghilangkan adat dan ajaran agama yang dianut. Dalam hal ini mungkin mungkin sudah ada hipotesa-hipotesa, mungkin belum, tergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan (Koenjaraningrat, 1991:29). Sedangkan menurut R.M Soedarsono (1994:46) penelitian


(25)

kualitatif adalah data-data hasil penelitian harus dicermati dengan cermat dan dianalisa.

Ritual menurut Echols dan Sadily (2000:488) memiliki arti upacara keagamaan. Namun dalam tulisan ini, penulis mengasumsikan bahwa ritual adalah upacara yang berkaitan dengan adat istiadat yang dimiliki oleh suatu kelompok masyarakat tertentu. Dalam hal ini peralatan gondang yang terdapat dalam upacara kematian masyarakat Batak Toba, penulis mengacu kepada apa yang dikemukakan Suparlan (1983:43-45), dimana seorang peneliti hendaknya memperlihatkan delapan hal sebagai berikut: (1) Ruang dan Tempat, (2) Pelaku, (3) Kegiatan, (4) Benda-benda atau alat, (5) Waktu, (6) Peristiwa, (7) Tujuan, (8) Perasaan.

Seni sebagai presentasi estestis, dalam pertunjukan ini ada pesan moral yang disampaikan khususnya kepada generasi muda masyarakat Batak Toba. Nilai-nilai estesis ini meliputi rasa rindu terhadap kampung halaman, menjadi fantasi nostalgia akan kebiasaan-kebiasaan hidup dan rasa cinta akan budaya maupun adat-istiadat.


(26)

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian yang penulis gunakan dalam menulis fungsi gondang sabangunan dalam upacara kematian pada masyarakat batak toba ini adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala, atau untuk menentukan frekwensi atau penyebaran suatu gejala atau frekwensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala lain dalam masyarakat. Bahan ataupun data penelitian dapat diperoleh dari tulisan-tulisan atau ceramah yang terekam dalam konteks yang berbeda-beda, bisa dari observasi, berita surat kabar dan sebagainya. Salah satu sifat dari data kualitatif adalah bahwa data itu merupakan data yang memiliki kandungan yang kaya, yang multi dimensional dan kompleks. Penelitian ini tidak mempersoalkan sampel populasi sebagaimana dalam penelitian kuantitatif.

Dalam mengumpulakan data-data yang nantinya dapat digunakan untuk menjawab segala permasalahan yang ada, Nettl (1963:63-64) menawarkan 2 cara, kerja lapangan yaitu lapangan (field work) dan kerja laboratorium (desk work). Dalam penelitian lapangan penulis langsung nerinteraksi dengan komunitas atau masyarakat pendukung yang menjadi pelaku/penyaji musik gondang dalam upacara kematian Batak Toba (pelaksana pargocci). Kegiatan ini dilakukan dengan melihat dan


(27)

mengamati pertunjukan gondang sabangunan yang dimainkan oleh pargocci dalam upacara kematian Batak Toba.

1.5.1 Studi Kepustakaan

Untuk memperoleh data secara sistematis, maka penulis menggunakan metode penelitian dengan pendekatan kualitatif, yaitu suatu penelitian yang menghasilkan data deskriptif dengan menggambarkan atau memaparkan suatu data detail yang berupa ungkapan-ungkapan, catatan yang diperoleh dari pertanyaan-pertanyaan atau tulisan individu atau masyarakat yang bersangkutan. Metode kualitatif juga berkaitan dengan kualitas dan diartikan sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan (Bogdan, 1975:4).

1.5.2 Teknik Pengumpulan Data

Dalam proses pengumpulan data, penulis melakukan berbagai cara baik mencari informan atau nara sumber yang dianggap memiliki otoritas pada masyarakat pendukungnya ataupun metode yang dilakukan pada pelaksanaan penelitian tersebut.


(28)

Selanjutnya, penulis juga melakukan wawancara di luar kegiatan, dan untuk kepentingan ini, penulis mencoba mewawancari para pargocci yang mengiringi upacara kematian tersebut. Dan untuk tahap terakhir, penulis melakukan analisis data untuk melengkapi data dan juga untuk kesempurnaan tulisan ini.

1.5.3 Kerja Lapangan

Kerja lapangan penulis lakukan dengan turun secara langsung ke lapangan untuk melakukan penelitian. Dalam kerja lapangan penulis melakukan pengamatan, wawancara dan perekaman/pencatatan data. Selain itu penulis juga melaksanakan interaksi dengan para informan dan masyarakat setempat untuk mendukung mudahnya pelaksanaan penelitian. Sehingga dalam pengamatan, penulis dapat dikategorikan melakukan pengamatan terlibat, dimana berinteraksi langsung dengan objek penelitian. Namun tetap menjaga etika sebagai seorang peneliti, tetap bertindak sebagai out sider terhadap objek penelitian.


(29)

1.5.4 Wawancara

Dalam melakukan wawancara, penulis melakukan wawancara tidak berstruktur untuk melengkapi data. Wawancara ini dilakukan untuk mendapatkan data-data yang dihimpun dari jawaban-jawaban informan dari pertanyaan-pertanyaan yang penulis ajukan. Adapun pertanyaan itu tidak hanya dipersiapkan terlebih dahulu, akan tetapi juga muncul sebagai reaksi saat menyaksikan kegiatan atau proses upacara dan pembuatan taganing tersebut, dan melihat adanya beberapa hal yang menarik untuk dipertanyakan.

1.5.5 Observasi

Observasi atau pengamatan dapat berarti kegiatan untuk melakukan pengukuran dengan menggunakan indra penglihatan yang juga berarti tidak melakukan pertanyaan-pertanyaan. Dalam mengumpulkan data salah satu tehnik yang cukup baik untuk diterapkan adalah pengamatan secara langsung satu observasi terhadap subyek yang akan diteliti. Dalam hal ini penulis mengadakan observasi pengamatan secara langsung upacara kematian di kota Medan.


(30)

BAB II

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BATAK TOBA

2.1 Letak Geografis

Wilayah Sumatera Utara terdiri dari daerah pantai, dataran rendah dan dataran tinggi serta pegunungan Bukit Barisan yang membujur ditengah-tengah dari Utara ke Selatan. Suku bangsa Batak dari Pulau Sumatra Utara. Daerah asal kediaman orang Batak dikenal dengan Daratan Tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, Toba, Mandailing dan Tapanuli Tengah. Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah Sumatra Utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang menjadi orang Batak. Dilihat dari wilayah administrative, mereka mendiami wilayah beberapa Kabupaten atau bagaian dari wilayah Sumatra Utara. Yaitu Kabupaten Karo, Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, dan Asahan.

Suku bangsa Batak dari pulau Sumatera Utara. Daerah asal kediaman orang batak dikenal dengan daratan tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang Hulu, Simalungun, toba, Mandailing dan tapanuli tengah. Daerah ini dilalui oleh rangkaian Bukit Barisan di daerah sumatera utara dan terdapat sebuah danau besar dengan nama Danau Toba yang sangat terpenting untuk sumber mata pencaharian buat masyarakat


(31)

sekitarnya. Dilihat dari wilayah administrative, mereka mendiami wilayah beberapa kabupaten atau bagian dari sumatera utara. Yaitu Kabupaten Karo, simalungun, dairi, tapanuli utara dan dairi.

Danau Toba dianggap sebagai simpul pemersatu areal tanah yang didiami individu-individu maupun kelompok etnis Batak Toba ini, yang keadaannya berada pada ketinggian 900 m di atas permukaan air laut. Danau ini terbentuk dari vulkanik gunung merapi yang hasil letusannya membentuk sebuah bentuk danau, yang letusannya berdampak menyemburkan kawah yang kemudian dipenuhi oleh debit air yang sangat besar. Danau Toba ini adalah salah satu kebanggaan masyarakat Batak Toba sebagai danau yang sangat bermanfaat untuk sumber kehidupan dari hasil yang ada di dalam danau ini, seperti suber air bersih, ikan-ikan dan sebagai aset pariwisata karena pemandangannya yang menawan di sekitar danau ini. Di tengah-tengah danau tuba ini terdapat sebuah pulau yang dinamakan Pulau Samosir (menurut sejarah sesungguhnya dahulu tidak benar-benar terpisah dengan dataran disekeliling Danau Toba artinya tidak benar-benar sebagai sebagai sebuah pulau).

Masyarakat Batak merupakan masyarakat perantau yang diwarisi dengan sifat pekerja keras, berani, jujur dan pantang menyerah. Keinginan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik selalu ditanamkan kepada generasi muda sehingga demi mencapai impian, seorang pemuda atau pemudi batak harus bersedia meninggalkan kampung halaman tercinta


(32)

untuk merantau ke negeri/daerah orang yang jauh. Akan tetapi kerinduan akan kampung halaman masih akan selalu melekat di hati. Tak heran saat ini banyak orang Batak yang berhasil dan sukses tersebar di seluruh penjuru dunia.

2.2 Asal Usul Masyarakat Batak Toba

Menurut zaman prasejarah sikap pandangan etnis Batak Toba lebih bertitik tolak pada situasi alam dan lingkungannya dan pola berpikir mereka yang masih mempercayai mythos, legenda-legenda, dan pewarisan sejarah kehidupan mereka umumnya dituturkan dalam dongeng yang dituangkan secara lisan.

Untuk mengetahui sejak kapan manusia pertama sekali mendiami areal tanah dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, memang belum dapat ditentukan secara pasti, akan tetapi berdasarkan penelitian para ahli, dapat diketahui bahwa di kawasan tanah yang merupakan tempat asal usul manusia Batak Toba secara mythos manusia itu sudah ada sejak zaman prasejarah. Mythos yang merupakan pernyataan asal usul manusia Batak Toba ini di dalam masyarakatnya adalah mythos yang dipercaya.

Adapun tonggak sejarahnya mythos asal usul manusia etnis Batak Toba adalah dimulai dari mythos kehidupan di Pusuk Buhit, dan manusia yang pertama berasal dari Pusuk Buhit tersebut dianggap sebagai nenek moyang bagi etnis ini. Dan juga versi lain, sejarah berkesimpulan adanya


(33)

migrasi nenek moyang yang berasal dari pegunungan Burma yang keberadaannya tinggal dan menetap sebagai pribumi di areal budaya Batak Toba ini juga dianggap sebagai asal-usul etnis ini. Kemudian dilanjutkan lagi dengan zaman penyebaran etnis Batak Toba, dari Pusuk Buhit ini manusianya menyebar keseluruh areal yang menjadi kawasan kehidupan pertumbuhan individu-individu masyarakat Batak Toba. Fakta sejarah menyebutkan, bahwa kedatangan orang-orang Eropa maupun Asia dan Timur Tengah juga secara khusus mempengaruhi pola-pola kehidupan di dalam masyarakat, dekade ini disebutkan sebagai’zaman penjajahan Eropa maupun Asia yang mempengaruhi kultur masyarakatnya. Dimasa zaman kemerdekaan Republik Indonesia hingga sekarang ini setiap periode pembabakan sejarah etnis Batak Toba ini tentunya mempunyai pengaruh tersendiri dalam sisi kehidupan masyarakatnya yang dampak pengaruhnya langsung berpengaruh ke dalam sistem sosial, agama, ekonomi, budaya, politik dan teknologi modern.

2.3 Sistem Kekerabatan

Sistem kekerabatan memegang peranan penting dalam jalinan hubungan baik antara individu dengan individu ataupun individu dengan masyarakat lingkungannya. Dari sistem ini biasanya bersumber masalah


(34)

lain dalam sistem kemasyarakatan, seperti sistem daur hidup, kesatuan hidup setempat dan stratifikasi sosial.

Kelompok kekerabatan suku bangsa Batak Toba berdiam di daerah pedesaan yang disebut huta (kampung). Biasanya satu Huta didiami oleh keluarga dari satu marga. Marga (klan) tersebut terikat oleh simbol-simbol tertentu misalnya nama marga yang membentuk sebuah klan kecil. Klan kecil tadi merupakan kerabat patrilineal (garis keturunan ayah) yang masih berdiam dalam satu kawasan areal yang menciptakan sosial budaya. Sebaliknya klen besar yang anggotanya sudah banyak hidup tersebar sehingga tidak saling kenal tetapi mereka dapat mengenali anggotanya melalui nama marga yang selalu disertakan dibelakang nama kecilnya, Stratifikasi sosial orang Batak didasarkan pada empat prinsip yaitu : (a) perbedaan tigkat umur, (b) perbedaan pangkat dan jabatan, (c) perbedaan sifat keaslian dan (d) status kawin.

Pada umumnya perkawinan Batak Toba adalah monogami. Tetapi karena faktor keturunan laki-laki dianggap penting membawa garis keturunan, maka apabila sebuah keluarga di dalam perkawinan belum mempunyai anak laki-laki sering sekali terjadi poligami yang tujiuannya agar garis keturunan yetap berlanjut. Perkawinan sangat erat kaitannya dengan keluarga, sedang perceraian sangat jarang terjadi dan sejauh mungkin diusahakan jangan sampai terjadi. Hal ini terjadi karena adat. Bila seorang istri yang diceraikan suaminya cenderung tidak akan


(35)

mempunyai hubungan lagi dengan keluarga laki-laki baik anak sendiri, maupun keluarga lain. Berpoligami sebenarnya sangat tidak diinginkan di dalam status sosial pada masyarakat Batak Toba. Dalam kehidupan sehari-hari orang yang berpoligami itu selalu kurang mendapat penghargaan dari masyarakat sekitar dan juga status sosialnya dianggap kurang baik.

Pandangan masyarakat Batak Toba bahwa anak (laki-laki dan perempuan) merupakan harta yang paling berharga baginya di dalam keluarga. Hal ini dapat di lihat dari semboyan di masyarakatnya yaitu anakhonki do hamoraon di au (anak adalah kekayaan yang dimiliki). Keturunan-keturunan dari orang yang berpoligami dalam kenyataannya lebih banyak menderita karena percekcokan antara anak pihak istri yang pertama dengan pihak istri kedua. Dengan demikian pada prinsipnya masyarakat Batak Toba tidak menginginkan adanya poligami dari pihak suami , kecuali jika tidak ada keturunan, apalagi tidak mempunyai keturunan laki-laki yang dianggap anak laki-laki merupakan penerus kesinambungan secara genetika.

2.4 Sistem Mata Pencaharian

Ada dua jenis rumah adat yang ada didalam huta Batak, yaitu ruma dan sopo yang saling berhadapan. Diantara kedua deretan bangunan tersebut terdapat alaman \(halaman) yang luas yang menjadi tempat kegiatan orangtua maupun anak-anak dalam kehidupan sehari-hari,


(36)

seperti: tempat menjemur hasil panen padi, sebagai halaman tempat berpesta dan upacara ritual, tempat muda-mudi bila mengadakan hiburan martumba (tarian khas masyarakatnya yang diiringi dengan nyanyian), Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya berbeda dari sisi konstruksi dan fungsi di dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari di dalam tradisinya.

Pada umumnya pekerjaan masyarakat adalah bercocok tanam padi di sawah dan lading, selain itu sebagai nelayan di danau toba. Orang Batak memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup yang membentuk kelompok kecil masyarakatnya. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga/klan atau masih memiliki hubungan kekerabatan dalam dalihan na tolu. Desa-desa tertutup ini disebut huta. Disekitar huta tersebut biasanya dekat dengan bahal biasanya terdapat pohon baringin, biasanya disebut juga dengan hariara (pohon beringin). Ada dua jenis rumah adat yang ada didalam huta Batak, yaitu ruma dan sopo yang saling berhadapan. Diantara kedua deretan bangunan tersebut terdapat halaman yang luas (alaman) yang menjadi tempat kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya berbeda dari sisi konstruksi dan fungsi.

Pada umumnya masyarakat batak bercocok tanam padi di sawah dan ladang. Lahan didapat dari pembagian yang didasarkan marga. Setiap kelurga mandapat tanah tadi tetapi tidak boleh menjualnya. Selain tanah


(37)

ulayat adapun tanah yang dimiliki perseorangan. Perternakan juga salah satu mata pencaharian suku batak antara lain perternakan kerbau, sapi, babi, kambing, ayam, dan bebek. Penangkapan ikan dilakukan sebagian penduduk disekitar danau Toba. Sektor kerajinan juga berkembang. Misalnya tenun, anyaman rotan, ukiran kayu, tembikar, yang ada kaitanya dengan pariwisata.

Sebagian besar masyarakat Batak Toba saat ini bermata pencaharian sebagai petani, peladang, nelayan, pegawai, wiraswasta dan pejabat pemerintahan. Dalam berwiraswasta bidang usaha yang banyak dikelola oleh masyarakat adalah usaha kerajinan tangan seperti usaha penenunan ulos, ukiran kayu, dan ukiran logam. Saat ini sudah cukup banyak juga yang memulai merambah ke bidang usaha jasa. Masyarakat tradisional Batak Toba bercocok tanam padi di sawah dan juga mengolah ladang secara berpindah-pindah. Pengelolaan tanaman padi di sawah banyak terdapat di daerah selatan Danau Toba. Hal ini disebabkan oleh daerah tersebut adalah dataran yang landai dan terbuka sehingga memungkinkan untuk bercocok tanam padi di sawah. Sedangkan ladang banyak terdapat di daerah utara (Karo, Simalungun, Pakpak, dan Dairi). Kawasan ini berhutan lebat dan tertutup serta berupa dataran tinggi yang sejik sehingga mengakibatkan lahan ini lebih memungkinkan untuk pengolahan ladang. Jika anda mendengar daerah Karo sebagai peghasil


(38)

sayuran dan buah yang potensial, ini adalah salah satu dampak positif yang dihasilkan oleh keberadaan bentuk lahan tersebut.

Sistem teknologi yang muncul pada masyarakat Batak Toba cukup unik dengan adanya ruma batak yang menjadi arsitektur kebanggaan mereka. Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan alami seperti ijuk, kayu, dan batu. Terdapat pengaturan hierarki ruang dalam ruma batak ini menurut kepentingan ruang dan penamaannya berdasarkan jenis ruangan tersebut. Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan sebuah kampung atau huta yang dimulai dari kelompok terkecil yaitu klan keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang terbesar.

2.5 Agama Dan Kepercayaan

Menurut sumber-sumber yang diperoleh, sebelum masuknya agama Kristen ke Tanah Batak, pengaruh agama Islam sudah terlebih dahalu masuk, terutama di daerah- daerah pesisir. Oleh sebab itulah penginjil-penginjil mengambil lokasi penginjilannya pada daerah yang belum dimasuki oleh agama Islam. Daerah Batak merupakan daerah pertama yang dikunjungi oleh penginjil-penginjil Eropa maupun dari Amerika. Sebelum kehadiran kedua agama tersebut, masyarakat Batak dulunya adalah memeluk kepercayaan animisme dan dynamisme. Kepercayaan ini menganggap bahwa benda-benda tertentu mempunyai daya kekuatan, oleh karena itu harus ditutupi dengan rasa takut, khidmat


(39)

dan rasa terima kasih. Saat ini aliran kepercayaan seperti ini sudah mulai menghilang dari tengah-tengah masyarakat. Berbeda dengan masyarakat Batak Toba yang berdomisili di kota Medan. Sesuai dengan data-data yang diperoleh, penyebaran agama yang terjadi di kota Medan terlihat secara merata.

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional Batak Toba adalah kepercayaan terhadap Mulajadi Na Bolon yang dipercayai oleh orang Batak sebagai dewa tertinggi mereka: pencipta 3(tiga) dunia: dunia atas (banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan dunia bawah (banua toru). Manusia dipercaya hidup di tengah, tidak terpisah dari alam, manusia satu dengan kosmos. Adat memimpin hidup manusia perseorangan, sedangkan masyarakat adalah simbol ketertiban kosmos. Tiga golongan fungsional dalam masyarakat adat Batak yang disebut Dalihan Na Tolu dipercaya sebagai refleksi kerjasama ketiga dunia itu. Dalam sistem adat istiadat orang Batak dikenal adanya Dalihan na Tolu yang berarti Tiga nan Satu. Tiga unsur penting dalam sistem kekerabatan masyarakat berdasarkan asas Dalihan Na Tolu berlaku secara umum dalam semua sub suku walaupun berbeda-beda dalam penamaannya, saling mendukung satu dengan yang lainnya. Dalihan Na Tolu berasal dari kata ”dalihan” yang berarti tungku dan ”na tolu” artinya nan tiga. Tungku nan tiga melambangkan terdapat tiga buah batu sebagai tungku yang menopang kuali (lambang kehidupan sehari-hari). Hal ini


(40)

mencerminkan kehidupan sehari-hari orang Batak Toba yang ditopang oleh prinsip Dalihan Na Tolu. Sistem Dalihan Na Tolu menentukan kedudukan, hak dan kewajiban orang Batak dalam lingkungannya.

Dalam sistem masyarakat orang Batak Toba ketiga unsur ini digambarkan sebagai Hula-hula, Dongan Sabutuha dan Boru. Prinsip Dalihan Na Tolu memiliki kaitan erat dengan sistem marga dan silsilah. Seorang anak harus mengetahui asal-usul klan marga keluarganya dan juga urutan silsilahnya sehingga setiap orang dapat menempatkan diri dengan baik dalam tatanan pergaulan di masyarakat. Salah satu contoh penerapan prinsip Dalihan Na Tolu ini dapat dilihat dalam penggunaan ulos yang erat kaitannya dengan kehidupan adat orang Batak Toba maupun sub suku Batak Toba dan juga lainnya. Dalam masyarakat Batak Toba pemberian ulos ditujukan sebagai perlambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani dan hanya digunakan pada upacara khusus.

2.6 Bahasa

Sistem tradisi penulisan didalam bahasa Batak Toba diduga telah ada sejak abad ke-13, dengan aksara yang mungkin berasal dari aksara Jawa Kuna, melalui aksara Sumatera Kuna. Aksara ini bersifat silabis artinya tanda untuk menggambarkan satu suku kata/silaba atau silabis.


(41)

Jumlah lambang /tanda itu sebanyak 19 buah huruf yang disebut juga induk huruf dan ditambah 7 jenis anak huruf.

Pada dasarnya huruf /ka/ tidak pernah ditemukan dalam bahasa Batak Toba, misalnya orang Batak Toba pada mulanya bila menyebutkan kopi adalah hopi, dan hoda [bukan kuda]. Tetapi sekarang ini orang Batak tidak lagi menyebutnya hopi melainkan kopi, itulah perubahan pelafalan dalam bahasa Batak Toba.

2.7 Kesenian

Seni pada masyarakat Batak umumnya meliputi seni musik, seni sastra, seni tari, seni bangunan dan seni kerajinan tangan. Walaupun bagaimana sederhananya sesuatu suku bangsa di dunia ini, mereka pasti terlibat dengan jenis-jenis seni tersebut. Seni-seni ini pun merupakan seni yang dimiliki desa Lumban Gaol.

2.7.1 Seni Sastra

Pada masyarakat Batak Toba terkenal ceritera Si Boru Tumbaga dan terjadinya Danau Toba. Bahwa ceritra Si Boru Tumbaga ini menggambarkan perbedaan antara anak laki-laki dan wanita yang masih tumpang, terutama dalam hal hak waris. Ceritra terjadinya Danau Toba menggambarkan bahwa seseorang yang melanggar janji akan dikutuk. Kutukan itu datangnya dari Tuhan berupa keajaiban atau dalam bentuk


(42)

yang lain.Sastra Batak, khususnya cerita rakyat dalam bahasa Toba disebut turi-turi.

Masyarakat Batak dikatakan kaya raya akan dongeng-dongeng. Cerita seperti ini masih populer, khususnya oleh para nenek-nenek terhadap cucu-cucunya ataupun orang tua terhadap anak-anaknya pada waktu senggang. Seni sastra ini dapat diungkapkan berupa umpama (pantun). Bentuknya sama dengan pantun Melayu, berbaris empat, mengandung sampiran dan sajaknya adalah ab-ab. Pantun Batak bermacam-macam jenisnya menurut isinya. Ada pantun yang biasa dipergunakan pada pidato-pidato, dalam upacara-upacara hukum adat dan ada pula yang mengenai percintaan antara muda-mudi. Tonggo-tonggo adalah ucapan yang disusun secara puitis dan biasanya diungkapkan pada waktu mengadakan upacara-upacara rituil. Adakalanya kalimatnya panjang-panjang, isinya penuh mengandung gaya bahasa yang indah dengan aliterasi dan praktisme. Pada umumnya jarang orang yang bisa mengucapkan hal tersebutdan hanya orang-orang tertentulah yang mengetahuinya. Teka-teki yang singkat disebut dalam bahasa bahasa Batak Toba disebut huling- hulingan. Kalau teka-teki itu memerlukan jawaban, berupa ceritra dinamakan torkan- torkan. Hal ini umpama oleh para orang tua terhadap anak-anak.


(43)

2.7.2 Seni Musik

Musik adalah suara yang dapat memuaskan perasaan dan menggembiakan isi jiwa (ekspresi). Kesenian khususnya dalam bidang seni musik telah mengalami perkembangan yang pesat di dalam masyarakat Batak. Biasanya pada waktu habis panen berbagai desa di daerah Batak selalu dikunjungi oleh opera-opera Batak. Juga dalam upacara-upacara adat yang besar selalu dibunyikan gondang sebangunan yaitu seperangkat musik tradisional Batak. Musik tradisional Batak boleh dikatakan kaya dalam bunyi-bunyian, di samping gong (ogung) trum (taganing dan gordang) dan klarinet (serunai), juga dikenal garantung (sejenis taganing dari kayu), hasapi (kecapi), sordam (sejenis seruling tapi diembus dari ujung), sulim (seruling), tuila (dari bambu kecil pendek dan diembus pada bagian tengah), dll.

2.7.3 Seni Tari

Seni tari (tor-tor) adalah ekspresi gerakan yang estetis dan artistik akan menjelma dalam yang teratur, sesuai dengan isi irama yang menggerakan. Gerakan teratur ini dapat dilakukan oleh perorangan, berpasangan ataupun berkelompok. Tarian perorangan misalnya yang berhubungan dengan ritus. Tarian seperti ini antara lain : tarian tunggal panaluan, dimana sang dukun menari, berdoa dan sambil memegang tongkat sihir tersebut. Tarian bersama dalam upacara-upacara adat


(44)

menurut tradisinya merupakan tarian dari masing-masing unsur Dalihan Natolu pelaku gerakan tortor ini. Karena ketiga unsur ini secara fungsional dalam masyarakat bersama-sama mendukung upacaranya. Biasaya bentuk tarian ketiga unsur Dalihan Na Tolu ini, adanya pemimpin tortor yang mengatur gerakan yang sesuai dan selaras dengan pola gerakan etika di dalam tortor..Di dalam pola gerakan tortor Batak Toba ada sebuah gerakan berputar yang berlawanan dengan jarum jam, hal ini dilakukan apabila orang-orang manortor (menari) menarikan tortor Gondang Mangaliat di dalam upacara adat.

2.7.4 Seni Bangunan dan Ukir-ukiran

Rumah adat tradisional Batak terbuat dari kayu dengan tiang-tiang yang besardan kokoh. Atapnya terbuat dari bahan ijuk dan bentuk atapnya adalah melengkung. Di ujung atap bagian depan terdapat tanduk kerbau. Pada umumnya rumah-rumah adat Batak selalu dihiasi dinding depan dan samping. Dengan berbagai macam atau ornamen, yang terdiri dari warna merah, hitam dan putih. Merah melambangkan benua tengah, hitam melambangkan benua atas dan putih melambangkan benua bawah. Sekarang ini, rumah adat tradisional sudah mulai menuju kepunahan dari daerah Batak.


(45)

2.7.5 Seni Kerajinan Tangan (Ulos)

Seni kerajinan tangan khususnya ulos selalu dikaitkan dengan angka, warna, struktur sosial, religius yakni tiga, lima, hitam dan putih, atas tengah dan bawah dan segi tiga, garis tiga, manunggal dan lain sebagainya. Setiap ulos mempunyai pola dasar tertentu dan berdasarkan itulah namanya disebutkan, sesuai rencana pemula dari yang mengerjakan. Ulos dipergunakan pada waktu upacara, kepercayaan dan adat istiadat serta belakangan ini bernilai ekonomis (sebagai mata pencaharian).

Pada setiap ujung pangkal ulos terdapat rambu, yakni benang yang dipintal (dipulos) berjumlah sepuluh atau lima tergantung besar benangnya. Antara badan ulos dan rambu selalu dibuat sirat (corak) sebagai hiasan untuk memperindah, juga berfungsi untuk menyatukan ulos itu sendiri agar benang-benangnya jangan lepas. Pada bagian tengah ada juga hiasan lukisan yang bertempel yang disebut dengan jungkit.


(46)

BAB III

DESKRIPSI GONDANG SABANGUNAN PADA UPACARA KEMATIAN SAURMATUA DI KOTA MEDAN

3.1 Tahapan Upacara Kematian Saurmatua

Acara kematian saurmatua yang berlokasi di kota Medan mayoritas telah menggunakan alat musik tiup sebagai pengiring alunan musik pada saat upacara berlangsung. Upacara seperti inilah yang banyak dilakukan oleh masyarakat Batak Toba pada saat sekarang ini malahan sangat diperingkas melihat situasi dan kondisi daerah dan agama. Untuk memenuhi amanat (tona) orang tua yang meninggal atau karena niat kesepakatan keturunanya, bahwa upacara kematian diadakan adat gok. Jadi, fungsi ritual yang terdapat pada alunan gondang yang dimainkan gondang sabangunan pada upacara kematian masyarakat Batak Toba yang berada di kota Medan sudah semakin lama semakin pudar. Walaupun masih saja dapat kita temui beberapa upacara kematian yang menggunakan gondang sabangunan atau dua perangkat alat musik dalam upacara kematian tersebut.

Dalam upacara kematian saurmatua Batak Toba yang saya teliti ini, upacara kematian saurmatua ini menggunakan dua perangkat alat music. Dalam upacara kematian ini mempunyai tahapan-tahapan yang telah dirancang oleh pihak yang bersangkutan walaupun telah banyak


(47)

yang berubah. Sebelum kita membahas tahapan-tahapan dalam upacara tersebut, baiknya kita mengetahui terlebih dahulu tahapan-tahapan pada upacara kematian masyarakat Batak Toba pada dahulunya. Tahapan-tahapannya adalah setelah mayat dikemasi didalam rumah, peti matinya akan dibuat dari hau tata (kayu hidup). Untuk itu, pertama-tama yang harus dilakukan hasuhuton adalah : mangalap tukang (memanggil tukang), mangalap panggorsi yaitu pemalu gendang dan alat music lainya, pature pinahan yaitu seekor babi kecil lengkap dengan beras.

3.1.1 Mangalap Pande Dohot Panggorsi

Apabila semua sudah lengkap yaitu hasuhuton, pande hau, babi dan kelengkapannya sudah berada pada pohon kayu yang hendak ditebang, biasanya kayu yang ada diporlak disekitar kampung, maka petugas kepercayaan lalu martonggo. Biasanya pada saat penebangan kayu peti jenazah, panggorsi akan memulai pemotongan kayu tersebut dengan bunyi gendang yang terdiri dari tujuh gendang. Tetapi pada upacara kematian ini, kebiasaan itu tidak pernah diadakan lagi terutama di kota Medan. Itu disebabkan oleh pengaruh jarangnya kayu yang dapat dibuat menjadi peti jenazah disekitar daerah tempat meninggalnya orang tersebut dan juga untuk mempersingkat waktu dan juga materi untuk kualitas kayu yang akan digunakan untuk peti jenazah orang yang meninggal tersebut.


(48)

3.1.2 Tonggo Raja / Pangarapotna

Apabila penduduk yang bertempat tinggal disekitar daerah tempat tinggal orang yang meninggal tersebut dan duduk diatas lage tiar (tikar) dihalaman rumah sesuai dengan fungsi kekerabatan, mereka mengadakan siding musyawarah yang disebut tonggo raja digabung dengan pangarapotna. Biasanya acara musyawarah ini dimulai dengan suara ogung ‘saparangguan’ sering dikatakan dengan soara nasungkot dilangit jala natandol ditano, manjou sian nadonok, jala mangkirapi sian nadao. yang diartikan sebagai sapaan untuk arwah orang meninggal tersebut.

3.1.3 Mompo

Ruma-ruma (peti jenazah) dimasukkan ke dalalm rumah oleh pihak boru diiringi oleh gondang sabangunan dan disambut hasuhuton, hula-hula boru dan petugas kepercayaan. Pada saat memasukkan peti jenazah dimasukkan kedalam rumah, pargocci akan memainkan gondang yang cukup panjang.

Panomboli menyerahkan peti jenazah kepada hasuhuton, hula-hula boru dan petugas kepercayaan. Setelah panomboli mengucapkan kata-katanya, itu akan disambut oleh pihak suhut yang langsung meminta gondang kepada panggorsi ‘Amang panggual panggorsi, alu-aluhon ma jolo tu Ompunta Mulajadi Na Bolon’. Setelah gondang alu-aluhon diaminkan selesai, suhut langsung menyambut dengan ucapan ‘nunga


(49)

dialu-aluhon ho panggorsi name tu Ompunta Mulajadi Na Bolon, bahen ma jo gondang Mulajadi I asa marsomba hami tu Mulajadi Na Bolon. Semua yang hadir menari dengan sikap menyembah dalam suasana ritual.

Setelah gondang selesai lalu pihak suhut meminta kepada kepada pihak boru agar sama-sama memasukkan mayat orang yang meninggal tersebut kedalam ruma-ruma (peti jenazah) yang telah diantar pihak boru tadinya. Dan pihak suhut juga meminta kepada panggorsi untuk memainkan musik Mula-Mula ‘asa marmula tu nauli marmula tu nadenggan ulaon laos padomu ma tu gondang ‘mompo’.

Nungga dibahen ho panggual name gondang mula-mula dohot gondang mompo, asa bahen ma jolo gondang somba-somba asa marsomba hami tu hula-hula naro nasida rap dohot hami mamompohon natua-tua on tu jabuna naimbaru huhut manjangkon nasida dibagasan adat “kata boru” dan sambil memulai manortor. Setelah mayat orang yang meninggal tersebut dimasukkan kedalam peti jenazah, lalu suhut meminta gondang lagi kepada panggorsi “ Ima tutu panggual panggorsi panggual namoalo, bahe ma gondang sampe tua, asa hupasahat hami ulos sampe tua kepada keturunan orang yang meninggal tersebut.


(50)

3.1.4 Sanggul Marata

Dalam acara sanggul marata ini adalah pada saat menurunkan peti jenazah dari rumah ke halaman dituruti bunyi gondang dan diterima oleh raja Opat Bius serta diletakkan dihalaman muka rumah dimana peti kepala peti jenazah menhadap gerbang kampung tersebut. Acara kedua tortor dongan tubu selama lima gendang, kemudia klemudian dilanjutkan dengan Bona Ni Ari-Bona Ni Tulang-Tulang-Tulang Rorobot-Hla-Hula masing-masing lima gendang. Tetapi sekarang ini acaara Sanggul Marata ini sudah jarang ditemukan. Itu disebabkan oleh adanya beberapa fkator yang tidak mendukung seperti; banyaknya waktu yang habis pada upacara tersebut dan juga tidak adanya halaman rumah orang yang meninggal tersebut.

3.1.5 Partuatna - Maralaman

Partuatna Marhalaman adalah menurunkan mayat orang yang meninggal tersebut serta peti jenazahnya ke ha;laman rumah. Sebelum diturunkan kehalaman biasanya terlebih dahulu orang yang meninggal tersebut diurapi dengan air suci (air pangurason oleh petugas kepercayaan). Hal ini juga telah jarang juga kita temukan dalam upacara kematian yang terdapat di kota Medan.


(51)

3.1.6 Acara Penguburan

Peti jenazah dikuburkan, dan ditempatkan ditepi kuburan. Uluan Malim Raja Na Opat seksi itu yang memimpin acara lalu martonggo kepada Mula Jadi Nabolon dengan pancaran kuasanya Debata Natolu termasuk kepada semua penghuni kemulian-Nya dengan tonggo penutup bunyi antara lain : Ngolu dohot hamatean huaso ni Debata, borhat ma ho tu bangsa panjadian Mi.

3.1.7 Mangungkap Hombung

Unsur dalihan natolu kembali berkumpul di tempat hasuhuton. Sudah menjadi adat Batak Toba bahwa setiap kegiatan harus didahului dengan makan bersama. Dalam acara ini keluarga serta kerabat sekampung akan makan bersama di rumah tempat orang yang meninggal tersebut. Dalam hal ini peranan gondang sabangunan tidak digunakan lagi.

3.1.8 Manuan Ompuompu Dohot Manambak

Acara manuan ompuompu dohot manambak ini dilaksanakan pada esok harinya, tepatnya pada pagi hari yang dilaksanakan oleh pihak hasuhuton.


(52)

3.2 Deskripsi Gondang Sabangunan Dalam Upacara Kematian Saurmatua Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan

3.2.1 Ruang Dan Tempat Penyajian

Posisi pemain gondang sabangunan pun sudah berbeda dengan posisi mereka ketika di dalam rumah. Pada upacara ini, posisi mereka sudah menghadap ke halaman rumah, Tetapi pada upacara maralaman mereka berada di bilik bonggar sebelah kanan. Kemudian pargonsi pun bersiap-siap dengan instrumennya masing-masing.

3.2.2 Pelaku

Seperti yang telah diuraikan pada sub-bab sebelumnya, bahwa keseluruhan pemain yang menggunakan instrumen- instrumen dalam gondang sabangunan disebut pargonsi. Dahulu, istilah pargonsi ini hanya diberikan kepada pemain taganing saja, sedangkan kepada pemain instrumen lainnya hanya diberikan nama sesuai dengan nama instrumen yang dimainkannya, yaitu pemain ogling (parogung), pemain hesek dan pemain sarune (parsarune).

Dalam konteks sosial, pargonsi ini mendapat perlakuan yang khusus. Hal ini didukung oleh adanya prinsip stratifikasi yang berhubungan dengan kedudukan pargocci berdasarkan pangkat dan jabatan. Sikap khusus yang diberikan masyarakat kepada pargonsi itu


(53)

disebabkan karena seorang pargocci selain memiliki ketrampilan teknis, mendapat sabala dari Mulajadi Na Bolon, juga mempunyai pengetahuan tentang ruhut-ruhut ni adat (aturan-aturan adat/sendi-sendi peradaban).

Sehingga untuk itu, pargonsi mendapat sebutan Batara Guru Hundul (artinya : Dewa Batara Guru yang duduk) untuk pemain taganing dan ‘Batara Guru Manguntar’ untuk pemain sarune. Mereka berdua dianggap sejajar dengan Dewa dan mendapat perlakuan istimewa, baik dari pihak yang mengundang pargocci maupun dari pihak yang terlibat dalam upacara tersebut. Dengan perantaraan merekalah, melalui suara gondang (keseluruhan instrumen), dapat disampaikan segala permohonan dan puji-pujian kepada Mulajadi Na Bolon (Yang Maha Esa) dan dewa-dewa bawahannya yang mempunyai hak otonomi. Posisi pargcci tampak pada saat hendak diadakannya horja (upacara pesta) yang menyertakan gondang sabangunan untuk mengiringi jalannya upacara. Pihak yang berkepentingan dalam upacara akan mengundang pargonsi dan menemui mereka dengan permohonan penuh hormat, yang disertai napuran tiar (sirih) diletakkan di atas piring.

Akan tetapi sejalan dengan perkembangan zaman, penghargaan kepada pargonsi sudah berubah. Hal ini disebabkan kehadiran musik (suatu sebutan dari masyarakat Batak Toba untuk kelompok music tiup) yang menggantikan kedudukan gondang sabangunan sebagai pengiring upacara. Apabila pihak yang terlibat dalam upacara meminta sebuah


(54)

repertoar, mereka akan menyebut pargonsi kepada dirigen atau pimpinan kelompok musik tersebut. Walaupun kedudukan kelompok musik sama dengan gondang sabangunan dengan menyebut “pargonsi” kepada pemain musik, namun musisi tersebut tidak dapat dianggap sebagai Batara Guru Humundul ataupun Batara Guru Manguntar.

Sikap hormat yang diberikan masyarakat kepada pargonsi bukanlah suatu sikap yang permanen (tetap), tetapi hanya dalam konteks upacara. Di luar konteks upacara, sebutan dan sikap hormat tersebut akan hilang dan pargonsi akan mempunyai kedudukan seperti anggota masyarakat lainnya, ada yang hidup sebagai petani, pedagang, nelayan dan sebagainya. Sejalan dengan uraian di atas, ada beberapa penulis Batak Toba yang menerangkan sebutan untuk masing-masing instrumen dalam gondang sabangunan. Seperti Pasariboe (1938) menuliskan sebagai berikut : oloan bernama simaremare, pangalusi bernama situri-turi, panonggahi bernama situhur tolong, doal bernama sisunggul madam, taganing bernama silima hapusan, gordang bernama sialton sijarungjung dan odap bernama siambaroba.

3.2.3 Alat Musik Yang Digunakan

Gondang sabangunan sebagai kumpulan alat-alat musik tradiosional Batak Toba, terdiri dari : taganing, gordang, sarune, ogling oloan, ogling ihutan, ogung panggora, ogling doal dan hesek.


(55)

Dalam uraian berikut ini akan dijelaskan masing-masing instrument, yakni fungsinya.

1. Taganing

Dari segi teknis, instrumen taganing memiliki tanggung jawab dalam penguasaan repertoar dan memainkan melodi bersama-sama dengan sarune bolon . Walaupun tidak seluruh repetoar berfungsi sebagai pembawa melodi, namun pada setiap penyajian gondang, taganing berfungsi sebagai “pengaba” atau “dirigen” (pemain group gondang) dengan isyarat- isyarat ritme yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota ensambel dan pemberi semangat kepada pemain lainnya.

Gambar Taganing 1. Gordang

Gondang ini berfungsi sebagai instrumen ritme variabel, yaitu memainkan iringan musik lagu yang bervariasi. Selain itu gordang juga berfungsi sebagai instrumen untuk menjaga tempo yang konstan dalam permainan saat keseruhan instrumen dibunyikan.


(56)

Gambar Gordang (Gondang Sabangunan)

2. Sarune Bolon

Sarune berfungsi sebagai alat untuk memainkan melodi lagu yang dibawakan oleh taganing, artinya di sini adanya kerjasama yang heterophonis antara partaganing dan parsarune. Dalam permainannya, sarune bolon ini pembawa melodi utama, dan awal dari komposisi lagu selalu bermula dari suaranya, dan juga ketika akan berakhirnya komposisi lagu dimainkan selalu ada kode (tanda) yang berupa suara yang khas dari permainan sarune bolon.


(57)

3. Ogung Oloan

Gambar Ogung Oloan

Ogung Oloan mempunyai fungsi sebagai instrumen ritme konstan, yaitu memainkan iringan irama lagu dengan model yang tetap. Fungsi agung oloan ini umumnya sama dengan fungsi agung ihutan, agung panggora dan agung doal dan sedikit sekali perbedaannya. agung doal memperdengarkan bunyinya tepat di tengah-tengah dari dua pukulan hesek dan menimbulkan suatu efek synkopis nampaknya merupakan suatu ciri khas dari gondang sabangunan.

Fungsi dari ogung panggora ditujukan pada dua bagian. Di satu bagian, ia berbunyi berbarengan dengan tiap pukulan yang kedua, sedang di bagian lain sekali ia berbunyi berbarengan dengan ogung ihutan dan sekali lagi berbarengan dengan agung oloan. Para penari maupun pendengar hanya berpegang pada bunyi agung oloan dan ihutan saja. Berdasarkan hal ini, maka ogung oloan yang berbunyi lebih rendah itu berarti “pemimpin” atau “Yang harus di turuti” , sedang ogling ihutan yang berbunyi lebih tinggi, itu “Yang menjawab” atau “Yang menuruti”. Maka dapat disimpulkan bahwa peranan dan fungsi yang berlangsung antara ogling dan ihutan dianggap oleh orang Batak Toba sebagai suatu permainan “tanya jawab”


(58)

4. Ogung Ihutan atau Ogung pangalusi (Yang menjawab atau yang menuruti).

Gambar Ogung Ihutan / Pangalusi (Sebelah kiri)

5. Ogung panggora atau Ogung Panonggahi (Yang berseru atau yang membuat orang terkejut).

Ogung Panggora

6. Ogung Doal (Tidak mempunyai arti tertentu)

Gambar Ogung Doal (Sebelah kanan)

7. Hesek

Hesek ini berfungsi menuntun instrumen lain secara bersama-sama dimainkan. Tanpa hesek, permainan musik instrumen akan terasa kurang lengkap. Walaupun alat dan suaranya sederhana saja, namun peranannya


(59)

Gambar seperangkat gondang sabangunan


(60)

3.2.4 Jenis Gondang Yang Dimainkan

Dalam upacara kematian Batak Toba, gondang mulai dimainkan pada malam terakhir mayat tersebut di rumah itu. Guna dari gondang yang dimainkan pada malam hari tersebut adalah sebagai perpisahan terakhir kepada orang yang yang tinggal disekitar kampung tersebut.

Pada saat upacara berlangsung, pargonsi akan dilayani dengan hormat, seperti ketika suatu kelompok orang yang terlibat dalam Dalihan Na Tolu ingin menari, maka mereka akan meminta gondang kepada pargonsi dengan menyerukan sebutan yang menyanjung dan terhormat, yaitu : “Ale Amang panggual pargonsi, Batara Guru Humundul, Batar Guru Manguntar, Na sinungkun botari na ni alapan arian, Parindahan na suksuk, parlompaan na tabo, Paraluaon na tingkos, paratarias na malo”. Artinya “Yang terhormat para pemain musik, Batara Guru Humundul, Batara Guru Manguntar yang ditanya sore hari dan dijemput sore hari penikmat nasi yang empuk, penikmat lauk yang lezat, penyampai pesan yang jujur, pemikir yang cerdas”. Untaian kalimat di atas menunjukkan makna dari suatu sikap yang menganggap bahwa pargonsi itu setaraf dengan Dewa. Mereka harus selalu disuguhi dengan makanan yang empuk dan lezat, harus dijemput dan diantar kembali bila pergi ke suatu tempat dan mereka itu dianggap mempunyai fikiran yang jujur dan cerdas sehingga dapat menjadi perantara untuk menghubungkan dengan Mulajadi Nabolon.


(61)

Penulis Batak Toba lainnya, Pasaribu (1967) menuliskan taganing bernama pisoridandan, gordang bernama sialtong na begu, odap bernama siambaroba, oloan bernama si aek mual, pangalusi bernama sitapi sindar mataniari, panggora bernama situhur, doal bernama diri mengambat dan hesek bernama sigaruan nalomlom. Nama-nama di atas nama yang diberikan oleh pemilik instrumen musik atau pimpinan komunitas musik yang sulit sekali dicari padanannya dalam bahasa Indonesia dan bukan menunjukkan gambaran mengenai superioritas instrumen tersebut. Nama-nama tersebut biasa saja berbeda pada tiap-tiap daerah. Khusus untuk instrumen sarune tidak ditemukan adanya sebutan terhadap instrumen itu.

Selanjutnya pada besok harinya susunan acara yang akan dimainkan oleh pargocci hendaknya memenuhi tiga bagian, yang merupakan bentuk upacara secara umum, yaitu pendahuluan yang disebut gondang mula-mula, pemberkatan yang disebut gondang pasu-pasu, dan penutup yang disebut gondang hasatan. Ketiga bagian gondang inilah yang disebut si pitu Gondang (Si Tujuh Gondang). Walaupun dapat dilakukan satu, tiga, lima, dan sebanyak-banyaknya tujuh nomor acara atau jenis gondang yang diminta. “Gondang mula-mula i ma tardok patujulona na marpardomuan tu par Tuhanon, tu sabala ni angka Raja dohot situan na torop”. Artinya Gondang mula-mula merupakan pendahuluan atau pembukaan yang berhubungan dengan Ketuhanan, kuasa roh raja-raja dan khalayak ramai.


(62)

Anugerah pasu-pasuan i ma tardok gondang sinta-sinta pangidoan hombar tusintuhu ni na ginondangkan dohot barita ngolu. Artinya gondang pasu-pasuan merupakan penggambaran cita-cita dan pernohonan sesuai dengan acara pokok dan kisah hidup.

Salah satu gondang yang dimainkan dalam upacara kematian Masyarakat Batak Toba adalah gondang Hasahatan. Gondang Hasahatan menggambarkan penghargaan yang pasti tentang segala yang dipinta akan diperoleh dalam waktu yang tidak lama. Gondang hasatan i ma pas ni roha na ingkon sabat saut sude na pinarsinta. Artinya ialah suatu keyakinan yang pasti bahwa semua cita-cita akan tercapai. Lagu-lagu untuk ini biasanya pendek-pendek saja. Dari ketiga bagian gondang tersebut di atas, maka para peminta gondang menentukan beberapa nomor acara gondang dan nama gondang yang akan ditarikan.

3.2.4.1 Gondang Mula-Mula

Gondang Mula-mula yaitu Gondang ini dibunyikan untuk menggambarkan bahwa segala yang ada di dunia ini ada mulanya, baik itu manusia, kekayaan dan kehormatan.

Bentuk upacara yang termasuk gondang mula-mula antara lain:

1. Gondang alu-alu, untuk mengadukan segala keluhan kepada yang tiada terlihat yaitu Tuhan Yang Maha Pencipta, biasanya dilakukan tanpa tarian.


(63)

2. Gondang Samba-Samba, sebagai persembahan kepada Yang Maha Pencipta. Semua penari berputar di tempat masing-masing dengan kedua tangan bersikap menyembah.

3.2.4.2 Gondang Sitio-tio

Gondang Sitio-tio, menggambarkan kecerahan hidup masa depan sebagai jawaban terhadap upacara adat yang telah dilaksanakan.

Yang termasuk gondang pasu-pasuan :

1. Gondang Sampur Marmere, menggambarkan permohonan agar dianugrahi dengan keturunan banyak.

2. Gondang Marorot, menggambarkan permohonan kelahiran anak yang dapat diasuh.

3. Gondang Saudara, menggambarkan permohonan tegaknya keadilan dan kemakmuran.

4. Gondang Sibane-bane, menggambarkan permohonan adanya kedamaian dan kesejahteraan.

5. Gondang Simonang-monang, menggambarkan permohonan agar selalu memperoleh kemenangan.

6. Gondang Didang-didang, menggambarkan permohonan datangnya sukacita yang selalu didambakan manusia.


(64)

7. Gondang Malim, menggambarkan kesalehan dan kemuliaan seorang imam yang tidak mau ternoda.

8. Gondang Mulajadi, menggambarkan penyampaian segala permohonan kepada Yang Maha pencipta sumber segala anugerah.

3.2.4.3 Gondang Liat-liat

Gondang Liat-liat, para pengurus gereja menari mengelilingi mayat memberkati semua suhut dengan meletakkan tangan yang memegang ulos ke atas kepala suhut dan suhut membalasnya dengan meletakkan tangannya di wajah pengurus gereja.

3.2.4.4 Gondang Simba-Simba

Gondang Simba-simba maksudnya agar kita patut menghormati gereja. Dan pihak suhut menari mendatangi pengurus gereja satu persatu dan minta berkat dari mereka dengan rneletakkan ulos ke bahu rnasing-masing pengurus gereja. Sedangkan pengurus gereja menaruh tangan mereka ke atas kepala suhut.


(65)

3.2.4.5 Gondang Hasuhuton

Gondang yang terakhir, hasuhuton meminta gondang hasahatan dan sitio-tio agar semua mendapat hidup sejahtera bahagia dan penuh rejeki dan setelah selesai ditarikan rnereka semuanya mengucapkan horas sebanyak tiga kali.


(66)

BAB IV

PENGGUNAAN DAN FUNGSI GONDANG SABANGUNAN DALAM UPACARA SAUR MATUA DI KOTA MEDAN

4.1 Fungsi Gondang Sabangunan Pada Upacara Kematian Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan

Rombongan dari pengurus gereja akan mengawali kegiatan margondang. Pertama sekali mereka meminta kepada pargonsi supaya memainkan sitolu Gondang (tanpa menyebut nama gondangnya) , yaitu gondang yang dipersembahkan kepada Debata (Tuhan) agar kiranya Yang Maha Kuasa berkenan memberkati upacara ini dari awal hingga akhirnya dan memberkati semua suhut agar beroleh hidup yang sejahtera di masa mendatang. Lalu pargonsi memainkan sitolu Gondang itu secara berturut-turut tanpa ada yang menari.

Setelah sitolu Gondang itu selesai dimainkan, pengurus gereja kemudian meminta kepada pargonsi yaitu gondang liat-liat. Maksud dari gondang ini adalah agar semua keturunan dari yang meninggal saur matua ini selamat-selamat dan sejahtera. Pada jenis gondang ini, rombongan gereja menari mengelilingi borotan (yang diikatkan kepadanya seekor kuda) sebanyak tiga kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerak tari pada gondang ini ialah kedua tangan ditutup dan


(67)

digerakkan menurut irama gondang. Setelah mengelilingi borotan, maka pihak pengurus gereja memberkati semua boru dan suhut.

Kemudian pengurus gereja meminta gondang Marolop-olopan. Maksud dari gondang ini agar pengurus gereja dengan pihak suhut saling bekerja sama. pada waktu menari pengurus gereja mendatangi suhut dan unsur Dalihan Natolu lainnya satu persatu dan memberkati mereka dengan meletakkan ulos di atas bahu atau saling memegang wajah, sedang suhut dan unsur Dalihan Na Tolu lainnya memegang wajah pengurus gereja. Setelah gondang ini selesai, maka pengurus gereja menutup kegiatan margondang mereka dengan meminta kepada pargonsi gondang Hasahatan tu sitiotio. Semua unsure Dalihan Na Tolu menari di tempat dan kemudian mengucapkan ‘horas’ sebanyak 3 kali.

Kegiatan margondang selanjutnya diisi oleh pihak hasuhutan yang meminta gondang Mangaliat kepada pargonsi. Semua suhut berbaris menari mengelilingi kuda sebanyak 3 kali, yang disambut oleh pihak boru dengan gerakan mundur. Gerakan tangan sama seperti gerak yang dilakukan oleh pengurus gereja pada waktu mereka menari gondang Mangaliat. Setelah gondang ini selesai maka suhut mendatangi pihak boru dan memberkati mereka dengan memegang kepala boru atau meletakkan ulos di atas bahu boru.Sedangkan boru memegang wajah suhut.

Setelah hasuhutan selesai menari pada gondang Mangaliat, maka menarilah dongan sabutuha juga dengan gondang Mangaliat, dengan


(68)

memberikan ‘beras si pir ni tondi’ kepada suhut. Kemudian mangaliatlah (mengelilingi borotan) pihak boru sambil memberikan beras atau uang. Lagi giliran pihak hula-hula untuk mangaliat. Pihak hula-hula selain memberikan beras atau liang, mereka juga memberikan ulos kepada semua keturunan orangtua yang meninggal (baik anak laki-laki dan anak perempuan). Ulos yang diberikan hula-hula kepada suhut itu merupakan ulos holong

4.2 Fungsi Gondang Sabangunan Pada Upacara Kematian Masyarakat Batak Toba Di Kota Medan

Gondang sabangunan secara harafiah dapat diartikan dalam beberapa kelompok antara lain sebagai seperangkat alat musik, ensambel musik, komposisi lagu (kumpulan dari beberapa lagu), bisa juga berarti sebagai menunjukkan satu bagian dari kelompok kekerabatan, tingkat usia; atau orang-orang dalam tingkatan status sosial tertentu yang sedang menari (manortor) pada saat upacara berlangsung. Gondang sabnagunan sendiri terdiri dari: tagading, ogung dan sarune.

Tagading merupakan rangkaian gendang yang memiliki ukuran yang berbeda, terdiri dari lima buah kendang yang dikunci punya peran melodis dengan sarune, gordang (sebuah kendang besar yang menonjolkan irama ritme). Ogung terdiri dari beberapa gong yang masing-masing punya peran dalam struktur irama. ogung oloan, ogung ihutan, ogung doal


(69)

dan ogung jeret, pola irama gondang disebut doal. Sarune juga terdiri dari lima lobang. Teknik permainan sarune disebut marsiulak hosa (kembalikan nafas terus menerus) dan biarkan pemain untuk memainkan frase-frase yang panjang sekali tanpa henti untuk tarik nafas. Hasapi ende (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main melodi), hasapi doal (sejenis gitar kecil yang punya dua tali yang main pola irama), garantung (sejenis gambang kecil yang main melody ambil peran taganing dalam ansambel gondang hasapi), sulim (sejenis suling terbuat dari bambu yang punya selaput kertas yang bergetar Tangga nada gondang sabangunan menggunakan tangga nada diatonis mayor yang ditemukan dimusik Barat: do, re, mi, fa, sol.

Gambar. Pemain dan perangkat alat gondang sabangunan

Gondang sabangunan sebagai ensambel musik tradisi batak toba telah menjadi sebuah repertoar yang sangat umum baik digunakan sebagai pengiring acara religi, adat maupun upacara – upacara seremonial lainya


(70)

seperti gondang naposo. Sebagai pengiring acara ensambel gongadang sabanguanan memiliki peranan yang sangat penting .Karena rangkaian acara adat tidak akan dapat berjalan dengan semestinya tanpa diiringi musik gondang yang memnjadai salah satu bentuk media penyampaian seperti rasa hormat ketika musik somba–somba maupaun rasa senang ketika musik embas dimainkan.

Hal ini menjadikan posisi pemain musik (panggorsi) menjadi sanggat penting dimana panarune (pemain serunai) dan partaganing (pemain taganing) dianggap manifestasi dari Batara Guru yaitu salah satu dewa (sahala ni oppung), yang dianggap mampu menjembatani antara kehidupan manusai dan kehidupan alam baka.

4.2.1 Fungsi Gondang Sabangunan Sebagai Sarana Ritual

Dalam konsep adat istiadat masyarakat batak toba dunia dibagai menjadi tiga bagian yaitu dunia bawah tempat orang yang sudah mati (banua toru), dunia tengah tempat manusia hidup (banua tongga) dan dunia atas tempat para dewa (banua ginjang inganan ni mula jadi nabolon). Ketika seseorang mati maka ia akan berada dibanua toru sehingga komunikasinya akan terputus dengan banua ginjang tempat para dewa atau mula jadi nabolon berada. Mate saurmatua menjadi tingkat tertinggi dari klasifikasi upacara, karena mati saat semua anaknya telah berumah tangga. Memang masih ada tingkat kematian tertinggi diatasnya,


(71)

yaitu mate saurmatua bulung (mati ketika semua anak-anaknya telah berumah tangga, dan telah memberikan tidak hanya cucu, bahkan cicit dari anaknya laki-laki dan dari anaknya perempuan) (Sinaga,1999:37–42).

Kematian bagi masyrakat batak toba merupakan perpindahan dunia dari banua tongnga ke banua toru dan upacara kematian saur matua bagi seseorang dilakukan sebagai salah satu bentuk penghormatan maupun ucapan syukur karena apa yang telah didapatnya selama hidup. Untuk itu ketika diadakan upacara kematian, khususnya saur matua gondang sabagunan berfungsi sebagai media penyampaian doa – doa kepada mula jadi nabolon di banua ginjang dengan posisi pemain gondang yang dianggap sebagai manifestasi Batara Guru dipercaya memudahkan penyampaian doa ataupun ucapan syukur lainya.

Fungsi gondang sabangunan sebagai sarana spiritual menjadi sangat jelas terlihat pada pelaksanaan upacara saur matua ini. Seseorang yang mati saurmatua umumnya akan disembah sedikit-dikitnya dari semua anaknya. Terjadi hubungan mutualisme (saling menguntungkan), karena penyembahan yang diterima arwah orang tua melalui upacara saurmatua dari para keturunannya akan menambah kekuatan sahala leluhur di alam lain, sedangkan keturunannya mendapatkan berkat sahala dari orang tua yang mati tersebut. (Vergouwen,2004:77–78).


(72)

Pelaksanaan upacara biasanya diawali dengan martonggo raja atau musyawarah untuk mempersiapakan segala keperluan. Pihak-pihak yang ikut dalam martonggo raja ini adalah unsur-unsur dalihan natolu. Dalihan natolu sendiri merupakan sebuah sistem hubungan sosial masyarakat Batak, terdiri dari tiga kelompok unsur kekerabatan, yaitu : pihak hula-hula (kelompok orang keluarga marga pihak istri), pihak dongan tubu (kelompok orang-orang yaitu : teman atau saudara semarga), dan pihak boru (kelompok orang-orang dari pihak marga suami dari masing-masing saudara perempuan kita, keluarga perempuan pihak ayah).

Pada hari terakhir mayat akan disemayamkan dimulailah rangkaian upacara tersebut. Setelah semua pelayat hadir maka pihak keluarga berkesempatan untuk menjamu atau memberikan makan siang kepada seluruhyang hadir saat itu. Setelah itu masuk acara adat yang disebut dengan mambagi jambar. Jambar pertama disebut dengan jambar juhut yaitu daing kerbau mentah yang dipotong parhobas jambar juhut itu adalah: 1.Kepala (ulu) untuk raja adat (pada masa sekarang adalah pembawa acara selama upacara), 2.Leher (rungkung atau tanggalan) untuk pihak boru, 3.Paha dan kaki (soit) untuk dongan sabutuha, 4.Punggung dan rusuk (somba-somba) untuk hula-hula, 5.Bagian belakang (ihur-ihur) untuk hasuhuton. Adapun dongan sahuta (teman sekampung), pariban (kakak dan adik istri kita) dan ale-ale (kawan karib), dihitung sama


(1)

musik elektronik (brass band), tetapi ada juga upacara kematian saurmatua yang diiringi oleh dua perangkat alat musik yang berbeda yaitu; gondang sabangunan dan juga alat musik elektronik modern (dalam bentuk band). Tetapi pada saat upacara kematian saurmatua itu berlangsung, dapat kita melihat pada setiap kelompok masyarakat atau keluarga yang masuk kerumah tempat orang itu ditempatkan sementara sebelum dikebumikan, menggunakan perangkat alat musik gondang sabangunan secara murni tanpa ada bantuan dari alat musik lainnya. Dan hal tersebutlah yang dibahas secara lengkap pada tulisan ini.

Gondang sabangunan dimainkan secara murni pada saat-saat tertentu dalam upacara kematian saurmatua tersebut dikarenakan oleh masih adanya kepercayaan dan adat istiadat yang masih melekat dari dahulu sampai sekarang. Kepercayaan yang melekat tersebut adalah pada saat manortor usip-usip pada upacara kematian saurmatua tersebut, masyarakat yang berada di kota Medan masih yakin dan percaya pada saat manortor gondang usip-usip mereka masih percaya bahwa mereka akan bertemu langsung dengan orang yang meninggal tersebut untuk terakhir kalinnya. Karena kita mengetahui secara umum bahwa apabila gondang sabangunan dimainkan, bahwa alunan musik gondang sabangunan mengandung ritual dan mistik. Menurut pandangan masyarakat Batak Toba arwah orang yang meninggal tersebut masih berada di sekitar rumah tempat dia tinggal pada masa hidupnya. Jadi, apabila gondang sabangunan


(2)

dimainkan dalam alunan gondang usip-usip, orang yang manortor tersebut dapat bertemu langsung dengan orang yang meninggal tersebut untuk terkhir kalinya. Semua hal yang terjadi dapat saya rangkumkan dikarenakan oleh pengaruh budaya yang berkembang dan perkembangan zaman yang terjadi pada saat sekarang ini.

5.2 Kesimpulan

Batak merupakan satu dari sekian banyak suku yang memdiami salah satu provinsi dinusantara tetpatnya Sumatera Utara memilki keberagaman adat istiadat suku batak menjadi lebih istimewa karena suku tersebut juga memilki sub – sub suku. Menurut sejarah keberadaan penghuni nusantara berasal dari hindia belakang yaitu rumpun melayu tua seperti sunda , jawa, minang dan termasuk didalamya suku batak, akan tetapi jika menurut orang batak sendiri mereka memiliki mitos sendiri.

Suku batak yang lebih senang disebut dengan bangso batak percaya bahwa mereka merupakan turunan lansung dari yang Maha Kuasa atau disebut dengan Mula Jadi Nabolon. Kemudian sub – sub suku tersebut menyebar keseluruh daerah sumatera utara yang kemudian sedikit banyaknya mengalami perkembangan dalam hal budaya masing – masing, sebut saja suku batak simalungun, suku batak toba, mandailing dan suku batak karo.


(3)

Namun perlu kita ketahui sub – sub suku tersebut dipersatukan dalam sebuah atauran adat yang kompleks yang disebut dengan Dalihan Na Tolu. Arti kata Dalihan Na Tolu secara harafiah adalah” tungku nan tiga”yang melambangkan sisitem sosial dalam masyarakat yang terdiri dari Hula – hula, Boru dan Dongan Sabutuha. Dalam masyarakat batak toba ada dua bentuk upacara adat yaitu ulaon unjuk atau pesta perayaan dan ulaon siluluton atau upacara yang berhubungan dengan kesedihan ( duka cita ) seperti kematian saur matua.

Untuk upacara saur matua dimaknai dengan kematian yang sempurna dimana seseorang yang saur matua sudah menikah, mempunyai putera dan putri serta memilki cucu namun masih ada kondisi lain yang melengkapi kematian saur matua seseorang seperti hamoraon atau harta. Pada pelaksanaanya upacara saur matua selalu diiringi dengan gondang sabangaunan yang berfungsi sebagai pengiring tortor dan media penyampaian harapan maupun doa kepada Mula Jadi Nabolon. Gondang sabangunan yang terdiri dari seperangkat alat musik tradisional batak toba dimainkan oleh pargocci yang dimanifestasikan sebagai Batara Guru yaitu salah satu dewa yang dipercaya masyarakat batak toba jaman dahulu.

Saur matua secara tidak langsung juga menjadi sebuah sarana ekpresi keseniaan lainya seperti seni tari ( tortor ) maupun seni kerajianan tangan berupa ulos batak yang dipakai pada saat pelaksanaan upacara. Keseniaan dan adat batak toba dalam hal ini menjadi saling berkaitan erat


(4)

dan dengan dijalankanya adat atau budaya batak toba seperti saur matua ini menjadi salah satu pendorong terciptanya kelestariaan budaya batak lainya, Akhir kata penulis mengucapakan terimaksih kepada para pembaca serta semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005 Jakarta : Balai Pustaka

Merriam, Alam P. The anthropology of music

1964 Chicago : Northwestern University Press Koentjaraningrat Pengantar Ilmu Antropologi Balai Pustaka

1987 Jakarta, Balai Pustaka Dyson, L (dalam Sujarwa) Manusia dan Seni Budaya

1987 Jakarta : Balai Pustaka Kayam, Umar Seni, Tradisi, Masyarakat

1981 Jakarta : Sinar Harapaan Koentjaraningrat Metode Penelitian Masyarakat

1981 Jakarta, Balai Pustaka

Nettl, Bruno. Theory and Method in Ethnomusikilogi. 1964 New York, The Free Press

Sediawati, Edi Seni Pertunjukan Indonesia 1987 Jakarta : Sinar Harapan Soeharto M Kamus Musik

1995 Jakarta : PT. Grasindo

Sukardi Metodologi Penelitian Pendidikan 1981 Jakarta, Bumi Aksara


(6)

Taylor dan Bogdan Metodologi Penelitian Kualitatif 1975 Jakarta, Rosda

Sihombing, T.M. Filasafat Batak Tentang Kebiasaan-kebiasaan Adat Istiadat

1986 Balai Pustaka. Jakarta

Vergouwen, J.C. Masyarakat dan hukum adat Batak Toba 2004 LKIS, Yogyakarta

Sinaga, Richard Meninggal Adat Dalihan Natolu 1999 Dian Utama , Jakarta

M. Junus Manusia dan kebudayaan di Indonesia 1971 Djambatan Melalatoa, Jakarta

Depdikbud Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia 1997 Jakarta

Payung Bangun. Kebudayaan Batak II dalam Koenjaraningrat 1980 Jakarta; Djambatan,

Sumber dari internet:

http://de-kill.blogspot.com/2009/04/budaya-suku-batak.html