64
proporsi perawat dengan motivasi kerja yang rendah 69,6 terdapat pada perawat yang belum kawin dibandingkan yang sudah kawin atau berstatus jandaduda. Hal ini
menunjukkan bahwa secara faktual perbedaan status perkawinan tidak mempunyai hubungan dengan motivasi kerja perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
kepada pasien di ruang rawat inap. Hasil penelitian ini berbeda dengan pendapat Kurniasari 2001, bahwa status
perkawinan seseorang turut pula memberikan gambaran tentang cara, dan tehnik yang sesuai untuk digunakan bagi perawat yang telah berkeluarga untuk melakukan
pekerjaan diluar rumah dibandingkan dengan perawat yang tidak atau belum berkeluarga. Hal tersebut mengindikasikan bahwa karyawan yang telah berkeluarga
memiliki potensi untuk memperlihatkan motivasi yang berbeda daripada yang belum berkeluarga.
5.1.4. Pengaruh Pendidikan dengan Motivasi Kerja Perawat
Hasil penelitian menunjukkan dengan uji regresi linear berganda menunjukkan variabel pendidikan juga tidak mempunyai pengaruh terhadap motivasi
kerja perawat dalam menerapkan standar asuhan keperawatan di ruang rawat inap BPK-RSU Sigli, meskipun secara analisis bivariat menunjukkan dengan uji chi
square menunjukkan bahwa pendidikan mempunyai pengaruh signifikan dengan motivasi kerja perawat di RSU Sigli p=000, dan secara proporsi perawat yang
mempunyai motivasi kerja yang rendah 58,7 terdapat pada perawat dengan pendidikan SPK.
65
Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Aridani 2003, bahwa perawat dengan pendidikan D3 keperawatan justru lebih rendah motivasi kerjanya 89,2
dibandingkan dengan perawat yang berpendidikan SPK, namun secara statistik tidak menunjukkan hubungan signifikan antara pendidikan perawat denganmotivasi kerja
perawat di unit rawat inap RSU Haji Jakarta. Menurut Siagian 1995, latar belakang pendidikan mempengaruhi motivasi
kerja seseorang. Tenaga keperawatan yang berpendidikan tinggi motivasinya akan lebih baik karena telah memiliki pengetahuan dan wawasan yang lebih luas
dibandingkan dengan perawat yang berpendidikan rendah. Perawat dengan pendidikan lebih tinggi diharapkan dapat memberikan sumbangsih berupa saran-
saran yang bermanfaat terhadap manajer keperawatan dalam upayanya meningkatkan motivasi perawat. Hal serupa dikemukakan oleh Notoadmodjo 1993 bahwa melalui
pendidikan seseorang dapat meningkatkan kematangan intelektual sehingga dapat membuat keputusan dalam bertindak. Simanjuntak 1985 mengatakan bahwa
semakin tinggi pendidikan seseorang akan semakin tinggi produktivitas kerjanya.
5.1.5. Pengaruh Masa Kerja dengan Motivasi Kerja Perawat
Hasil penelitian menunjukkan dengan uji regresi linear berganda menunjukkan variabel masa kerja mempunyai pengaruh signifikan terhadap motivasi
kerja perawat dalam menerapkan standar asuhan keperawatan di ruang rawat inap BPK-RSU Sigli p=0,000.
66
Secara proporsi menunjukkan perawat dengan motivasi kerja yang rendah 80,4 terdapat pada perawat dengan masa kerja 5 tahun. Pengaktegorian dibawah
dan diatas lima tahun, didasarkan pada perhitungan rata-rata masa kerja, dan masa kerja minimum dan maksimum.
Masa kerja adalah lamanya seseorang bekerja pada suatu organisasi. Setiap organisasi pelayanan kesehatan menginginkan turn overnya rendah dalam arti tenaga
karyawan aktif yang lebih lama bekerja di rumah sakit tersebut tidak pindah ke rumah sakit lain, sebab dengan turn over yang tinggi menggambarkan kinerja rumah sakit
tersebut Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Andriani 2003 di RSU Haji
Jakarta, bahwa responden dengan lama kerja 5 tahun mempunyai motivasi kerja lebih tinggi dibandingkan dengan responden dengan lama kerja
≤ 5 tahun. Hal ini didukung juga oleh penelitian Beryanti 1996 yang hasilnya
responden dengan usia 5 tahun memiliki motivasi kerja yang rendah. Menurut pendapat Siagian 1989 semakin lama seseorang berkarya dalam suatu organisasi,
semakin tinggi pula produktivitasnya karena semakin berpengalaman dan keterampilannnya menyelesaikan tugas semakin tinggi.
5.2. Pengaruh Karakteristik Pekerjaan dengan Motivasi Kerja Perawat