Pengaruh Karakteristik Organisasional Dan individual Terhadap Stres Kerja Perawat Di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Porsea

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK ORGANISASI0NAL DAN

INDIVIDUAL TERHADAP STRES KERJA PERAWAT

DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM

DAERAH PORSEA

TESIS

Oleh

HARLEN SARAGIH

057013008/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

PENGARUH KARAKTERISTIK ORGANISASIONAL DAN INDIVIDUAL TERHADAP STRES KERJA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PORSEA

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes)

dalam Program Studi Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi Administrasi Rumah Sakit

pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

HARLEN SARAGIH 057013008/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2008


(3)

Judul Tesis : PENGARUH KARAKTERISTIK

ORGANISASIONAL DAN INDIVIDUAL TERHADAP STRES KERJA PERAWAT DI RUANG RAWAT INAP RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PORSEA

Nama Mahasiswa : Harlen Saragih Nomor Pokok : 057013008

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Konsentrasi : Administrasi Rumah Sakit

Menyetujui Komisi Pembimbing

( Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi, MKM ) ( dr. Halinda Sari Lubis, MKKK ) Ketua Anggota

Ketua Program Studi Direktur

( Dr. Drs. Surya Utama, MS ) ( Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc )


(4)

Telah diuji pada Tanggal 27 Mei 2008

__________________________________________________________________

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. Kintoko Rochadi, MKM Anggota :1. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK 2.Dra. Lina Tarigan, Apt, MS 3. Drs. Amru Nasution, M.Kes


(5)

ABSTRAK

Perawat dalam memberikan asuhan keperawatan kepada pasien sangat rawan terhadap stres kerja. Terdapat 2 faktor penyebab stes kerja pada perawat yaitu faktor karakteristik organisasional yang terdiri dari: otonomi, mutasi, beban kerja/tanggung jawab, karier dan interaksi perawat, dan faktor karakteristik individual, yang terdiri dari: dukungan keluarga perawat yaitu suami/isteri, anak-anak dan sanak saudara, kejenuhan dan konflik dengan rekan kerja dalam melaksanakan pekerjaannya

Tujuan penelitian adalah untuk melihat pengaruh faktor organisasional dan faktor individual terhadap terjadinya stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea. Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain cross sectional dengan menggunakan uji chi square dan regresi logistik. Sampel adalah keseluruhan populasi sejumlah 70 orang dengan alat ukur penelitian kuesioner.

Berdasarkan penelitian karakteristik responden diketahui resonden kebanyakan berpendidikan SPK 40 orang (57,14 %), jenis kelamin perempuan 68 orang (97,14 %) dan bekerja di ruang rawat penyakit dalam 30 orang (42,86 %). Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh mutasi ( p = 0,029), peningkatan karier ( p 0,005), dukungan keluarga ( p = 0,036), kejenuhan ( p = 0,006), dan konflik dengan rekan kerja ( p = 0,016) terhadap stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea.

Disarankan manajemen RSUD Porsea : mengatasi stres dengan cara mencari penyebab kejenuhan yang dialami perawat, memberikan waktu berlibur dan berolahraga, pengembangan karier, mengatasi konflik dengan cara dominasi, kompromi serta penyelesaian masalah secara menyeluruh, melakukan mutasi bagi perawat yang telah lama bertugas di ruangan dan mengadakan sosialisasi pekerjaan perawat kepada keluarga perawat.

Kata kunci : Stres kerja, Perawat, Karakteristik organisasional, Karakteristik individual


(6)

ABSTRACT

When treating patients, nurses are susceptible to work stress. There are two factors causing work stress in nurses, namely, the organizational characteristic factor which includes autonomy, work mutation, work load/responsibility, career, and nurse interaction, and the individual characteristic factor comprising support from the nurse”s families such as spouse, children, and relatives, boredom, and conflict with co-workers at work place.

The purpose of this analytical study with cross section design is to look at the influence of the organizational and individual factors on the incidence of work stress in the in-patient ward at Porsea General Hospital. The samples are all of the 70 respondents. The data were obtained through questionnaires distributed to the nurses and were analyzed through chi-square and logistic regression tests.

Based on the study of the characteristics of respondents, it is found out that 40 nurses are SPK (Nursing Education School) graduates (57,14%), 68 nurses are female (97,14%), and 30 nurses are working in the internal medicine in-patient wards (42,86%). The result of statistical analysis reveals that work mutation (p = 0,0029), career development (p = 0,005), family support (p = 0,036), boredom (p = 0,006), and conflict with co-workers (p = 0,016) have an influence on the incidence of work stress in the in-patient wards of Porsea General Hospital.

It is suggested that the management of Porsea General Hospital solve the stess by searching the cause of the boredom experienced by nurses, providing time for vacation and sport, overcoming the conflict by means of domination, compromise and solving the problem as a whole, arranging work mutation for the nurses who have been long working in one in-patient ward, and socializing the duty of the nurses to their family.

Key words : Work stress, Nurses, Organizational characteristic, Individual characteristic.


(7)

PERNYATAAN

PENGARUH KARAKTERISTIK ORGANISASIONAL DAN

INDIVIDUAL TERHADAP STRES KERJA PERAWAT DI

RUANG RAWAT INAP RSUD PORSEA

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam Tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan disuatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan, yang telah memberikan berkat rahmat dan karuniaNya yang berlimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan tesis ini, yang merupakan salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada Program Magister Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

Selama penelitian dan penyusunan tesis ini dengan judul Pengaruh Karakteristik Organisasional dan Individual Terhadap Stres Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap RSUD Porsea, penulis telah banyak mendapatkan bantuan baik moril maupun materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Prof.Dr.drg.Nurmala Situmorang, MKes, Bapak Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi, MKM dan Ibu dr.Halinda Sari Lubis, MKKK yang telah membimbing dari awal sampai selesainya penulisan tesis ini. Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Prof.Dr.Ir.T. Chairun Nisa B, Msc, selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Drs. Surya Utama, MS, selaku Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.


(9)

3. Ibu Dr. Dra. Ida Yustina, Msi, selaku selaku Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Dra. Lina Tarigan, Apt, MS dan Bapak Drs. Amru Nasution,Mkes, selaku Dosen Pembanding tesis.

5. Seluruh Dosen dan Staf di Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan, Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara.

6. Bapak Bupati Simalungun yang telah memberikan izin melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pasca Sarjana USU Medan.

7. Bapak dr. Pontas Batubara, Mkes, selaku direktur Rumah Sakit Umum Daerah Porsea.

8. Orangtuaku tercinta, Bapak St.Gr.E.Saragih dan Ibu S.br.Sihombing, serta Ibu mertua T.br.Hutapea yang telah telah memberikan kasih sayang, perhatian dan doa restu kepada ananda agar dapat menyelesaikan pendidikan Pasca Sarjana. 9. Teristimewa buat istriku tercinta Dra.Dame T Lumban Tobing dan ketiga

anakku Fernandes M Saragih, Sally Harnecia Saragih dan Fleming R Saragih yang selalu setia mendampingi, memberikan dorongan dan selalu berdoa untuk saya dalam penyelesaian tesis ini.

10.Seluruh Staf RSUD Parapat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Simalungun, atas dorongan dan perhatian yang tak pernah putus serta pengertian yang dalam. 11.Teman-teman di Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara,


(10)

Halim Purba, Agus M Manurung, Flora Maya, Sandra Anggraeni dan seluruh rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang selama ini telah sama-sama berjuang dan memberikan dorongan agar tesis ini dapat diselesaikan dengan baik.

12.Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna baik dari segi isi maupun penulisan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan masukan yang bersifat membangun demi kesempurnaan tesis ini dan pengembangan penulisan di masa yang akan datang. Akhirnya penulis mengharapkan tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2008

Penulis


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...………... i

ABSTRACT... ii

PERNYATAAN... iii

KATA PENGANTAR... iv

RIWAYAT HIDUP... vii

DAFTAR ISI ... viii

DAFTAR TABEL... xi

DAFTAR GAMBAR... xiii

DAFTAR LAMPIRAN... xiv

BAB 1. PENDAHULUAN………... 1

1.1.Latar Belakang………... 1.2.Permasalahan………... 1.3.Tujuan Penelitian………... 1.4.Hipotesis Penelitian………... 1.5.Manfaat Penelitian……….... 1 8 8 10 10 BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA………... 11

2.1. Tenaga Perawat...………... 11

2.1.1. Asuhan Keperawatan………... 2.1.2. Kompetensi Perawat Profesional………... 2.1.3. Hak-hak Perawat...………... 2.1.4. Kewajiban Perawat... 2.1.5. Perilaku Perawat Sebagai Individu... 11 12 13 14 17 2.2. Pengertian Stres dan Stres Kerja………... 18

2.2.1.Proses Terjadinya Stres, Jenis Stres dan Tingkatan Stres... 2.2.2.Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja... 2.2.3.Gejala dan Tanda-tanda Stres... 2.2.4.Jenis Pekerjaan yang Menimbulkan Stres Serta Dampaknya pada Perusahaan... 21 25 27 30 2.3. Kerja... 35 2.3.1.Kondisi Kerja dan Beban Kerja...

2.3.2.Beban Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap... 2.3.3.Produktifitas Kerja...

37 40 41


(12)

2.4. Organisasi... 46 2.4.1.Unsur-unsur Organisasi...

2.4.2.Prinsip Pokok Organisasi... 2.4.3.Organisasi Rumah Sakit...

46 48 53 2.5. Klasifikasi Pasien...

2.6. Landasan Teori... 2.7. Kerangka Teori... 2.8. Kerangka Konsep Penelitian...

57 60 62 63 BAB 3. METODE PENELITIAN………... 64

3.1. Jenis Penelitian………....

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian………... 3.3. Populasi dan Sampel ...………... 3.4. Metode Pengumpulan Data... 3.5. Variabel dan Defenisi Operasional... 3.6. Metode Pengukuran... 3.7. Metode Analisis Data...

64 64 64 64 67 68 73 BAB 4. HASIL PENELITIAN... 74 4.1. Deskripsi Lokasi Penelitian...

4.2. Deskripsi Karakteristik Responden...

74 76 4.2.1.Jenis Kelamin...

4.2.2.Pendidikan... 4.2.3.Unit Kerja...

76 77 77 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Independen .. 78 4.3.1.Distribusi Variabel Karakteristik Organisasional....

4.3.2.Distribusi Variabel Karakteristik Individual... 78 79 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Dependen...

4.5. Hubungan Variabel Independen dengan Variabel

Dependen... 4.6. Analisis Multivariat...

80 81 82 BAB 5. PEMBAHASAN... 87 5.1. Gambaran Karakteristik Responden...

5.2. Otonomi (Kemandirian) Perawat... 5.3. Mutasi (Relokasi) Pekerjaan... 5.4. Beban Kerja... 5.5. Karier Perawat... 5.6. Interaksi Perawat ... 5.7. Dukungan Keluarga Perawat... 5.8. Kejenuhan Perawat... 5.9. Konflik dengan Rekan Kerja...

87 87 89 90 92 94 95 97 99


(13)

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN... 101 6.1. Kesimpulan...

6.2. Saran...

101 102 DAFTAR PUSTAKA... 106


(14)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Kuisioner Pengaruh Karakteristik

Organisasional dan Individual terhadap Stres Kerja Perawat ... 66 3.2. Blueprint Kuesioner Variabel Independen Karakteristik

Organisasional dan Individual... 69 3.3. Blueprint Kuesioner Variabel Dependen Stres Kerja... 72 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin di RSUD

Porsea ... 77 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di RSUD

Porsea... 77 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Unit kerja di RSUD

Porsea... 78 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Karakteristik

Organisasional di RSUD Porsea... 78 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Karakteristik

Individual di RSUD Porsea... 80 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Variabel Dependen di

RSUD Porsea... 81 4.7. Hubungan Variabel Dependen dengan Variabel Independen di

RSUD Porsea... 81 4.8. Analisis Multivariat Pengaruh Variabel Karakteristik

Organisasional (Tanpa Variabel Interaksi, Beban Kerja dan Otonomi) dan Karakteristik Individual terhadap Stres di RSUD

Porsea... 82 4.9. Uji Interaksi Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kejadian Stres


(15)

4.10. Analisis Multivariat Regresi Logistik antara Variabel Mutasi, Peningkatan Karier, Dukungan Keluarga, Kejenuhan dan Konflik terhadap Kejadian Stres pada Perawat di RSUD


(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Stres Level ... 33 2.2. Kerangka Teori Penelitian ... 62 2.3. Kerangka Konsep Penelitian... 63


(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Kuesioner (Instrument Penelitian)………... 110 2. Uji Validitas dan Reliabilitas…... 125 3. Uji Regresi Pengaruh Karakteristik Organisasional dan

Individual Terhadap Stres Kerja Perawat di Ruang Rawat


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang

Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional telah diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal. Tujuan pembangunan kesehatan nasional adalah peningkatan mutu, cakupan, dan efisiensi melalui penerapan dan penyempurnaan standar pelayanan, standar tenaga, standar peralatan, standar profesi dan peningkatan manajemen rumah sakit (Depkes, 2000).

Rumah sakit adalah salah satu penyelenggara pelayanan kesehatan, yang merupakan tempat dan tumpuan harapan masyarakat untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Rumah sakit harus mampu memberikan pertolongan dan perawatan yang memadai, berupa pelayanan yang nyaman, tepat, bermanfaat dan profesional. Untuk itu rumah sakit dituntut memberikan pelayanan dengan mutu yang baik dan menyediakan fasilitas yang dilengkapi sarana peralatan yang memadai dan modern dengan sumber daya manusia yang berkualitas dan profesional yang mampu menghasilkan produktifitas kerja yang tinggi (Depkes, 1998).

Rumah sakit merupakan suatu organisasi yang kompleks, hal ini disebabkan karena rumah sakit merupakan institusi yang padat karya, padat modal dan padat iptek. Pesatnya perkembangan ilmu kedokteran dan teknologi serta membaiknya


(19)

keadaan sosial ekonomi dan pendidikan, mengakibatkan perubahan sistem penilaian masyarakat yang menuntut pelayanan kesehatan yang berkualitas (Depkes, 1998).

Hubungan pasien dengan dokter dan perawat telah mengalami perubahan, sehingga pasien tidak segan-segan menuntut secara hukum apabila dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit menyalahgunakan keahliannya membuat kelalaian atau terjadi malpraktek. Rumah sakit sebagai sebuah lembaga penyedia pelayanan kesehatan dalam zaman modern ini makin dirasakan perlu dan harus dikelola secara profesional, jika tidak masyarakat akan beralih ke rumah sakit lain yang lebih bagus. Usaha dibidang bisnis rumah sakit semakin kompetitif, tak terkecuali apakah rumah sakit tersebut milik pemerintah ataupun swasta (Guwandi , 1992).

Sebagai salah satu jaringan pelayanan kesehatan yang penting, rumah sakit merupakan salah satu industri jasa yang tidak cukup bekerja di siang hari saja tetapi harus 24 jam, karena setiap saat orang sakit membutuhkan pelayanan. Untuk itu dibutuhkan kecekatan dan keterampilan serta kesiagaan setiap saat dari seorang perawat dalam menangani pasien, kondisi ini akan membuat seorang perawat akan lebih mudah mengalami stres (Hamid, 2001).

Pengelolaan Rumah Sakit telah mengalami perubahan-perubahan mendasar dalam kaitannya dengan peningkatan daya saing untuk meraih pangsa pasar pada masa sekarang dan masa mendatang. Berbagai perubahan telah dilakukan dengan


(20)

lebih transparan dan akuntabel. Sebagaimana dunia bisnis umumnya. Rumah Sakit sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal dan internal, faktor eksternal diantaranya adalah stabilitas politik dan pemerintahan, stabilitas ekonomi, budaya masyarakat pelanggan, dan lain sebagainya. Sedangkan faktor internal diantaranya adalah, tenaga, lokasi, peralatan yang tersedia, gedung, sumber daya manusia, jenis pelayanan, dan lain sebagainya (Aditama, 2005). Menurut Sabarguna (2004) dalam konsep quality assurance penilaian baik buruknya sebuah rumah sakit dapat dilihat dari empat komponen yang mempengaruhinya yaitu :

1. Aspek Klinis, yaitu komponen yang menyangkut pelayanan dokter, perawat dan terkait dengan teknis medis.

2. Efisiensi dan Efektifitas, yaitu pelayanan yang murah, tepat guna, tidak ada diagnosa dan terapi yang berlebihan.

3. Keselamatan Pasien, yaitu upaya perlindungan pasien dari hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan pasien seperti jatuh, kebakaran, dan lain-lain.

4. Kepuasan Pasien, yaitu yang berhubungan dengan kenyamanan, keramahan, dan kecepatan pelayanan.

Penampilan sebuah rumah sakit dapat diketahui dari beberapa indikator antara lain : a. Cakupan dan mutu pelayanan (kunjungan baru rawat jalan per 100.000 penduduk, angka kematian netto dan angka kematian umum) b. Tingkat efisiensi pengelolaan rumah sakit (BOR, LOS, BTO dan TOI).


(21)

Di Propinsi Sumatera Utara terdapat 115 Rumah sakit milik pemerintah maupun swasta (Depkes, 2007) yang terdiri dari bermacam tipe, rumah sakit tipe C sejumlah 10 rumah sakit , dari kesepuluh tipe C ini salah satunya adalah Rumah Sakit Umum Daerah Porsea yang merupakan milik pemerintah Kabupaten Toba Samosir (TOBASA) yang menjadi pusat rujukan bagi daerah sekitarnya serta sebagai tempat untuk penelitian penulis. Adapun alasan sebagai pertimbangan untuk memilih Rumah Sakit Umum Porsea sebagai tempat penelitian adalah karena rendahnya cakupan masyarakat yang berobat dilihat dari BOR Tahun 2002-2006 rata-rata 19 % dibanding dengan standar Nasional 60 %, LOS yang tinggi (>12 hari), BTO yang rendah (< 30), TOI yang tinggi (> 3 hari), lokasi Rumah Sakit Umum Daerah Porsea relatif dekat dengan tempat tinggal peneliti, adanya kerjasama yang baik dari pihak manajemen Rumah Sakit Umum Porsea dan keterbatasan kemampuan dari peneliti.

Hasil wawancara awal peneliti bulan Februari 2007 dengan beberapa orang pasien maupun keluarga pasien, menunjukkan bahwa pasien atau keluarga sering merasa tidak nyaman menerima perawatan oleh karena kurangnya keramahtamahan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan. Wawancara dengan perawat juga menunjukkan bahwa perawat yang bekerja di Rumah Sakit Umum Daerah Porsea memiliki beban kerja yang cukup banyak, karena selain memberikan asuhan keperawatan terhadap pasien, juga harus membersihkan ruangan pasien, membersihkan kamar mandi, membersihkan peralatan dan


(22)

penyebab stres pada perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Porsea. Bila situasi ini tidak ditangani secara serius oleh pihak manajemen rumah sakit, akan dapat menurunkan minat masyarakat untuk berkunjung ke rumah sakit dengan demikian maka BOR akan mengalami penurunan yang drastis.

Perawat dalam menjalankan profesinya sangat rawan terhadap stres, kondisi ini dipicu karena adanya tuntutan dari pihak organisasi dan interaksinya dengan pekerjaan yang sering mendatangkan konflik atas apa yang dilakukan. Beban kerja yang sering dilakukan oleh perawat (Nursalam, 2002) adalah bersifat fisik seperti mengangkat pasien, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur pasien, mendorong brankart dan yang bersifat mental yaitu kompleksitas pekerjaan misalnya keterampilan, tanggung jawab terhadap kesembuhan, mengurus keluarga serta harus menjalin komunikasi dengan pasien. Menurut Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI, 2006) sebanyak 50,9 % perawat Indonesia yang bekerja mengalami stres kerja, sering merasa pusing, lelah, kurang ramah, kurang istirahat akibat beban kerja terlalu tinggi serta penghasilan yang tidak memadai.

Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya penanganan perawatan pasien atau asuhan keperawatan kepada pasien dengan tuntutan kerja yang tergantung pada karakteristik-karakteristik tertentu dalam melaksanakan pekerjaannya yaitu, karakteristik tugas dan material seperti peralatan, kecepatan, kesiagaan, karakteristik organisasi yaitu jam kerja/shift kerja dan karakteristik lingkungan kerja seperti teman tugas, suhu, kebisingan, penerangan, sosio budaya dan bahan pencemar (Nursalam, 2002).


(23)

Perawat juga dibebani tugas tambahan lain dan sering melakukan kegiatan yang bukan fungsinya misalnya menangani administrasi, keuangan dan lainnya. Hal ini sejalan dengan penelitian Depkes dan Universitas Indonesia (2005) menyatakan bahwa sebagian besar perawat melaksanakan tugas kebersihan, melakukan tugas administrasi dan melakukan tugas non keperawatan misalnya menetapkan diagnosa penyakit, membuat resep dan melakukan tindakan pengobatan, hanya sebahagian kecil yang melakukan asuhan keperawatan sesuai dengan fungsinya. Keadaan ini patut dicurigai sebagai salah satu pemicu terjadinya stres pada perawat dalam sebuah rumah sakit.

Frasser (1997) menjelaskan 74 % perawat mengalami kejadian stres, yang mana sumber utamanya adalah lingkungan kerja yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan.

Stres kerja adalah perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan yang disebabkan oleh stressor dari lingkungan kerja seperti faktor lingkungan fisik, sistem organisasi dan individu.

Meskipun organisasi terbentuk dari kelompok dan individu terdapat dimensi yang lebih makrolevel, khusus pada organisasi yang terdapat stressor didalamnya. Situasi dan kondisi sebuah organisasi sangat berperan dalam terjadinya stres kerja. Penyebab karakteristik organisasional yang sering menyebabkan stres kerja (National Safety Council, 2004) adalah : 1. Kurangnya otonomi, 2. Mutasi, 3. Beban kerja, 4. Karier, 5. Interaksi .


(24)

Situasi dan kondisi individu seorang perawat juga berperan dalam terjadinya stres kerja. Penyebab karakteristik individual yang menyebabkan stres kerja (National

Safety Council, 2004) adalah : 1.Dukungan Keluarga, 2. Kejenuhan, 3. Konflik

dengan rekan kerja.

Menurut Philip L.Rice (1999), penulis buku Stres and Health seseorang dapat dikategorikan stres kerja jika :

1. Stres yang dialami seorang karyawan melibatkan juga pihak organisasi atau perusahaan tempat individu bekerja dan penyebabnya tidak hanya di dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga menjadi penyebab stres kerja.

2. Mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka stres yang dialami oleh perawat perlu diperhatikan kira-kira faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya stres yang dialami oleh perawat, karena apabila dibiarkan tanpa adanya upaya untuk menanganinya secara tepat dikhawatirkan akan memberikan dampak penurunan terhadap kinerja perawat yang akhirnya menyebabkan penurunan mutu pelayanan di rumah sakit.

Dari beberapa teori yang dikemukakan oleh para ahli tersebut diatas, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya stres dalam pekerjaan. Peneliti memilih teori yang dikemukakan oleh National Safety Council dalam melakukan penelitian ini, karena menurut peneliti teori yang dikemukakan oleh para ahli yang lain sudah


(25)

tercakup sebagian besar dalam teori yang ada dalam National Safety Council tentang penyebab stres kerja.

Dari keseluruhan penjabaran diatas maka timbul keinginan peneliti untuk menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stres pada perawat disebuah rumah sakit. Banyak ruangan disebuah rumah sakit dimana perawat bekerja yang pada umumnya menyebabkan terjadinya stres, misalnya di Unit Gawat Darurat, poliklinik dan ruangan rawat inap. Namun peneliti hanya ingin menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya stres pada perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Porsea, karena penelitian ini belum pernah dilakukan di Rumah Sakit Umum Porsea sehingga sangat relevan jika permasalahan ini untuk diangkat.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : Bagaimana pengaruh karakteristik ”organisasional” (otonomi, mutasi, karier, beban kerja dan interaksi perawat) dan ”Individual” (Dukungan keluarga, kejenuhan dan konflik dengan rekan kerja) terhadap stres kerja perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Porsea.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis pengaruh Otonomi seorang perawat dalam melaksanakan pekerjaannya terhadap terjadinya stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea.


(26)

2. Untuk menganalisis pengaruh Mutasi seorang perawat dalam melaksanakan pekerjaannya terhadap terjadinya stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea.

3. Untuk menganalisis pengaruh Bebankerja seorang perawat dalam melaksanakan pekerjaannya terhadap stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea.

4. Untuk menganalisis pengaruh Karier seorang perawat dalam melaksanakan pekerjaannya terhadap stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea.

5. Untuk menganalisis pengaruh Interaksi perawat dalam melaksanakan pekerjaannya terhadap stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea.

6. Untuk menganalisis pengaruh Dukungan keluarga seorang perawat dalam melaksanakan pekerjaannya terhadap stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea.

7. Untuk menganalisis pengaruh Kejenuhan seorang perawat dalam melaksanakan pekerjaannya terhadap stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea.

8. Untuk menganalisis pengaruh Konflik dengan rekan kerja seorang perawat dalam melaksanakan pekerjaannya terhadap stres kerja di ruang rawat inap RSUD Porsea.


(27)

1.4. Hipotesis Penelitian

Terdapat pengaruh karakteristik organisasional (otonomi, mutasi, karier, beban kerja dan interaksi perawat) dan individual (dukungan keluarga, kejenuhan dan konflik dengan rekan kerja) terhadap stres kerja perawat di ruang rawat inap Rumah Sakit Umum Daerah Porsea.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan dan pertimbangan bagi Rumah Sakit Umum Daerah Porsea untuk dapat mengetahui dan bagaimana mengatasi masalah stres kerja yang terjadi pada perawat.

2. Bagi Akademisi

Memberikan dasar pengetahuan dan pengembangan yang dapat dijadikan sumber gagasan, sehingga dapat diaplikasikan pada penelitian selanjutnya khususnya konsep stres kerja.

3. Peneliti

Menambah pengetahuan dan wawasan dalam melakukan penelitian tentang analisis penyebab stres kerja pada perawat di Rumah Sakit Umum Daerah Porsea.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tenaga Perawat

Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan (Undang-undang Kesehatan No. 23 tahun 1992). Seorang perawat dikatakan profesional jika memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan keperawatan profesional serta memiliki sikap profesional sesuai kode etik profesi.

Husein (1994), menegaskan bahwa yang dimaksud dengan keterampilan profesional keperawatan bukan sekedar terampil dalam melakukan prosedur keperawatan, tetapi mencakup keterampilan interpersonal, keterampilan intelektual dan keterampilan teknikal.

2.1.1. Asuhan Keperawatan

Dalam lokakarya Perawat Nasional tahun 1983 dirumuskan bahwa asuhan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan, didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosial-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga dan masyarakat baik sakit maupun sehat yang mencakup seluruh proses kehidupan manusia.

Pelayanan keperawatan berupa bantuan, diberikan karena adanya kelemahan fisik dan mental, keterbatasan pengetahuan serta kurangnya kemauan menuju


(29)

kepada kemampuan melaksanakan kegiatan hidup sehari-hari secara mandiri (Ibrahim, 1984). Tujuan asuhan keperawatan ini adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan individu, keluarga, kelompok khusus dan masyarakat secara keseluruhan serta meningkatkan kemampuan dalam upaya memelihara kesehatannya, sehingga dapat mencapai derajat kesehatan yang optimal.

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien/klien menggunakan pendekatan pemecahan masalah atau proses keperawatan. Proses keperawatan merupakan metode pemberian asuhan keperawatan kepada pasien (individu, keluarga, kelompok dan masyarakat) yang logis, sistematis dan teratur (Budi Ana Keliat, 1993). Seorang perawat dalam memberikan asuahan keperawatan harus mempunyai keterampilan dan kemampuan yang baik dalam menjalankan profesinya, biasanya seorang perawat yang kurang terampil dan profesional akan lebih mudah mengalami stres kerja.

2.1.2. Kompetensi Perawat Profesional

Kelompok kerja Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia di tahun 2001 merumuskan kompetensi yang harus dicapai oleh perawat profesional adalah sebagai berikut :

1. Menunjukkan landasan pengetahuan yang memadai untuk praktek yang aman.

2. Berfungsi sesuai dengan peraturan/undang-undang ketentuan lain yang mempengaruhi praktek keperawatan.


(30)

3. Memelihara lingkungan fisik dan psykososial untuk meningkatkan keamanan, kenyamanan dan kesehatan yang optimal.

4. Mengenal kemampuan diri sendiri dan tingkat kompetensi profesional. 5. Melaksanakan pengkajian keperawatan secara komprehensif dan akurat

pada individu dan kelompok di berbagai tatanan.

6. Merumuskan kewenangan keperawatan melalui konsultasi dengan individu/kelompok dengan memperhitungkan regimen terapeutik anggota lainnya dari tim kesehatan.

7. Melaksanakan asuhan keperawatan yang direncanakan.

8. Mengevaluasi perkembangan terhadap hasil yang diharapkan dan meninjau kembali sesuai data evaluasi.

9. Bertindak untuk meningkatkan martabat dan integritas individu dan kelompok.

10.Membantu individu atau kelompok membuat keputusan berdasarkan informasi yang dimiliki.

2.1.3. Hak-hak Perawat

Perawat mempunyai hak yang sama dengan yang umumnya diberikan masyarakat pada semua orang. Tetapi disamping itu, umumnya disepakati bahwa para perawat juga mempunyai hak profesional, hak profesional perawat menurut Claire Fagin (1975) adalah sebagai berikut :


(31)

1. Hak memperoleh martabat dalam rangka mengekspresikan dan meningkatkan dirinya melalui penggunaan kemampuan khususnya dan sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

2. Hak memperoleh pengakuan sehubungan dengan konstribusinya melalui ketetapan yang diberikan lingkungan untuk praktek yang dijalankan serta imbalan ekonomi sehubungan dengan profesinya.

3. Hak mendapatkan lingkungan kerja dengan stres fisik dan emosional serta resiko kerja yang seminimal mungkin.

4. Hak untuk melakukan praktek-praktek profesi dalam batas-batas hukum yang berlaku.

5. Hak menetapkan standar yang bermutu dalam perawatan yang dilakukan. 6. Hak berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan yang berpengaruh

terhadap perawatan.

7. Hak untuk berpartisipasi dalam organisasi sosial dan politik yang mewakili perawat dalam meningkatkan asuhan kesehatan.

2.1.4. Kewajiban Perawat

Iswani (2000) dalam Etika Keperawatan yang menyatakan kewajiban perawat sebagai berikut :

1. Perawat wajib mematuhi semua peraturan institusi yang bersangkutan. 2. Perawat wajib memberikan pelayanan atau asuhan keperawatan sesuai


(32)

4. Perawat wajib merujuk pasien kepada perawat atau tenaga kesehatan lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, bila yang bersangkutan tidak dapat mengatasinya sendiri.

5. Perawat wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk berhubungan dengan keluarganya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan atau standar profesi yang ada.

6. Perawat wajib memberikan kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan agama atau kepercayaan masing-masing sepanjang tidak mangganggu pasien yang lain

7. Perawat wajib berkolaborasi dengan tenaga medis atau tenaga kesehatan terkait lainnya dalam memberikan pelayanan kesehatan dan keperawatan kepada pasien.

8. Perawat wajib memberikan informasi yang akurat tentang tindakan keperawatan yang diberikan kepada pasien dan atau keluarganya sesuai dengan batas kemampuannya.

9. Perawat wajib meningkatkan mutu pelayanan keperawatannya sesuai dengan standar profesi keperawatan demi kepuasan pasien.

10.Perawat wajib membuat dokumentasi asuhan keperawatan secara akurat dan berkesinambungan.

11.Perawat wajib mengikuti perkembangan IPTEK keperawatan atau kesehatan secara terus menerus.


(33)

12.Perawat wajib melakukan pelayanan darurat sebagai tugas kemanusiaan sesuai dengan batas-batas kewenangannya.

13.Perawat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, kecuali jika diminta keterangan oleh pihak yang berwenang.

14.Perawat wajib memenuhi hal-hal yang telah disepakati atau perjanjian yang telah dibuat sebelumnya terhadap institusi tempat kerja.

Pekerja rumah sakit yang terbanyak adalah perawat, terdapat sekitar 60 % dari tenaga kesehatan rumah sakit. Perawat merupakan salah satu jenis pekerja kesehatan yang selalu ada di setiap rumah sakit dan merupakan ujung tombak pelayanan kesehatan rumah sakit. Perawat adalah profesi pekerjaan yang mengkhususkan diri pada upaya penanganan perawatan pasien atau asuhan kepada pasien dengan beban kerja yang berlebihan serta tugas tambahan dan sering melakukan kegiatan yang bukan fungsinya. Tenaga keperawatan di rumah sakit memberi pelayanan kepada pasien selama 24 jam terus menerus. Perawat di rumah sakit bertugas pada pelayanan rawat inap, rawat jalan atau poliklinik dan pelayanan gawat darurat (Hamid, 2001).

Sebagai pemberi jasa pelayanan kesehatan, rumah sakit beroperasi 24 jam. Salah satu dari sarana pelayanan kesehatan yang ada di rumah sakit adalah unit pelayanan ruang rawat inap. Menurut DEPKES RI (1987) ruang rawat inap adalah ruang pelayanan terhadap pasien masuk rumah sakit yang menempati tempat tidur perawatan untuk keperluan observasi, diagnosa, terapi, rehabilitasi medik dan


(34)

penanganan kesehatan pasien. Ruang rawat inap terdiri dari perawatan anak, perawatan bedah, perawatan kebidanan dan penyakit dalam. Seluruh pasien yang ada di ruang rawat inap adalah merupakan tanggung jawab perawat dalam hal memberikan asuhan keperawatan, oleh karena itu perawat dituntut untuk selalu berada dalam ruangan untuk melayani pasien yang terbaring di tempat tidur. 2.1.5. Perilaku Perawat sebagai Individu

Perawat sebagai individu mempunyai watak, temperamen, sifat dan kepribadian yang berbeda-beda. Mengingat pada dasarnya setiap individu tidak mampu memenuhi kebutuhannya, maka untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan itu ia menjadi anggota dari berbagai kelompok, yang menurut pandangannya akan dapat memenuhi bebrbagai macam kebutuhan dan dapat menyalurkan aspirasinya. Bila seorang perawat sebagai individu itu masuk menjadi anggota suatu rumah sakit, maka segala sifat, watak, temperamen dan kepribadiannya akan ikut masuk ke dalam rumah sakit (Wursanto, 2002). Dengan demikian akan terbentuk perilaku yang pada awal mulanya berorientasi kepada perilaku individu. Perilaku yang demikian, yaitu perilaku kelompok yang berorientasi kepada perilaku individu, harus dikendalikan dan diarahkan ke arah perilaku yang berorientasi kelompok. Hal ini berarti perilaku individu seorang perawat harus diarahkan menuju kepentingan rumah sakit guna mencapai tujuan rumah sakit sehingga dalam perkembangan selanjutnya perilaku kelompok berkembang menjadi perilaku organisasi (rumah sakit).


(35)

Sifat, watak, temperamen dan kepribadian setiap perawat berinteraksi dalam sebuah rumah sakit akan mempengaruhi seseorang dalam pekerjaannya. Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan rumah sakit, semuanya dapat merupakan tekanan pada perawat dalam pekerjaannya sehingga akan menyebabkan seseorang perawat menjadi stres dalam pekerjaannya (Munandar, 2004). Seorang perawat yang mengalami stres dalam pekerjaan ditentukan pula oleh individunya sendiri, sejauh mana ia melihat situasinya sebagai penuh stres. Dengan demikian, faktor-faktor dalam diri individu berfungsi sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan pembangkit stres potensial dengan individu.

2.2. Pengertian stres dan stres kerja

Stres adalah merupakan suatu fenomena yang sangat kompleks dan unik sehingga banyak pakar berbeda pendapat dalam memberikan defenisi tentang stres, walaupun pada dasarnya antara satu defenisi dengan defenisi lainnya terdapat inti persamaannya.

Menurut Hawari (2001), yang dimaksud dengan stres adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya. Misalnya bagaimana respon tubuh seseorang mana kala yang bersangkutan mengalami beban pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan pada fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak


(36)

lebih organ tubuh sehingga yang bersangkutan tidak lagi dapat menjalankan fungsi pekerjaannya dengan baik, maka ia disebut mengalami stres.

Menurut Hasibuan H. Malayu S.P (2003), stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Orang-orang yang mengalami stres menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Mereka sering menjadi marah-marah, agresif, tidak dapat relaks, atau memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif.

Menurut Carry Cooper (1995), stres adalah tekanan yang terlalu besar bagi kita. Stres itu sangat bersifat personal, setiap orang memiliki tingkatan toleransi tertentu pada tekanan di setiap waktunya, yaitu kemampuan kita untuk mengatasi atau tidak mengatasinya.

National Safety Council (2004) Stres adalah sebagai ketidakmampuan

mengatasi ancaman yang dihadapi oleh mental, fisik, emosional, dan spiritual manusia, yang pada suatu saat dapat mempengaruhi kesehatan fisik manusia tersebut.

Dari beberapa uraian diatas, penulis menyimpulkan bahwa stres merupakan suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses berfikir dan kondisi seseorang yang terpaksa memberikan tanggapan melebihi kemampuan penyesuaian dirinya terhadap suatu tuntutan eksternal. Stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan seseorang untuk menghadapi lingkungannya. Sebagai hasilnya, pada diri para karyawan berkembang berbagai macam gejala stres yang dapat mengganggu pelaksanaan kerja mereka.


(37)

Stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis,yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang karyawan (Veithzal Rivai, 2004).

Stres kerja dikategorikan apabila seseorang mengalami stres dan melibatkan pihak organisasi tempat orang yang bersangkutan bekerja (Rice, 1992). Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja, tergantung dari persepsi tenaga kerja terhadap lingkungannya, apabila ia merasakan adanya stres atau tidak.

Luthans (2000) mendefenisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda. Masalah stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efesiensi di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berfikir dan kondisi fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresif, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil,


(38)

sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat dan kesulitan dalam masalah tidur.

Stres dapat terjadi pada hampir semua pekerja, baik tingkat pimpinan maupun pelaksana. Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik sangat potensial untuk menimbulkan stres bagi pekerjanya. Stres dilingkungan kerja memang tidak dapat dihindarkan, yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengelola, mengatasi atau mencegah terjadinya stres tersebut, sehingga tidak menganggu pekerjaan (Notoatmodjo,2003).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa terjadinya stres kerja adalah dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan.

2.2.1. Proses Terjadinya Stres , Jenis Stres dan Tingkatan Sres

Dalam peristiwa terjadinya stres, ada tiga hal yang saling terkait satu dengan yang lainnya (Nasution, 2000) yakni :

1. Hal, peristiwa, keadaan, orang yang menjadi sumber stres (stressor) jika dipandang secara umum, hal-hal yang menjadi sumber stres dipahami sebagai ransangan (stimulus).

2. Orang yang mengalami stres (the stressed), kita dapat memusatkan perhatian pada tanggapan (respons) orang tersebut terhadap hal-hal yang dinilai mendatangkan stres. Tanggapan orang tersebut terhadap sumber stres dapat mempengaruhi pada psikologis dan fisiologis. Tanggapan ini


(39)

disebut strain, yaitu tekanan atau tanggapan yang dapat membuat pola pikir, emosi dan perilakunya kacau, dapat membuat gugup dan gelisah. 3. Hubungan antara orang yang mengalami stres dengan hal yang menjadi

penyebab (transaction). Hubungan itu merupakan proses, yaitu ada penyebab stres dan pengalaman individu yang terkena stres saling terkait. Tidak semua stres itu buruk. Kenyataannya, banyak orang yang setuju kalau kita memang membutuhkan stres sampai derajat tertentu agar tetap sehat. Namun, bagaimana stres bisa menjadi sesuatu yang baik? Apabila stres dianggap sebagai sebuah motivasi positif, stres dapat dianggap sebagai sesuatu yang menguntungkan. Tetapi apabila melebihi poin optimal yang menguntungkan, stres ternyata lebih membawa keburukan daripada kebaikan.

Menurut National Safety Council (2004), stres dibagi dalam dua jenis yaitu : 1. Stres baik (positif).

Yaitu segala situasi dan kondisi apapun yang menurut anda dapat memotivasi atau memberikan inspirasi. Promosi jababatan dan cuti yang dibayar adalah contoh-contoh dari stres baik.

2. Stres buruk (disstres).

Adalah stres yang membuat anda menjadi marah, tegang, bingung, cemas, merasa bersalah, atau kewalahan. Stres buruk (disstres) dibagi menjadi dua bentuk yaitu stres akut dan stres kronik.


(40)

dengan General Adaptation Syndrom. Ia menyatakan ada tiga fase yang dapat di identifikasi bila seseorang terpapar stres, yaitu :

1. Reaksi tanda bahaya, dalam keadaan bahaya timbul ketegangan atau ketakutan tubuh memobilisasi sumber-sumber yang ada untuk meningkatkan aktivitas mekanisme pertahanan. Terjadi peningkatan aktivitas sistim simpatis yang mengakibatkan peninggian sekresi katekolamin. Tubuh dipersiapkan secara psikofisiologis untuk bereaksi dengan stres tersebut. Muncul reaksi emergensi yang dikenal dengan ”melarikan diri atau menyerang”.

2. Reaksi resistensi, terjadi resistensi terhadap stres. Tubuh berusaha beradaptasi dengan stres. Mekanisme defensi bekerja secara maksimum untuk beradaptasi dengan stres. Pada fase ini juga biasanya individu mencoba berbagai macam mekanisme penanggulangan psikologis dan pemecahan masalah serta mengatur strategi untuk mengatasi stressor ini. Tubuh berusaha menyeimbangkan proses fisiologis yang telah dipengaruhi selama reaksi waspada untuk sedapat mungkin kembali ke keadaan normal dan pada waktu yang sama pula tubuh mencoba mengatasi faktor-faktor penyebab stres. Apabila proses fisiologis telah teratasi maka gejala-gejala stres akan menurun, tubuh akan secepat mungkin berusaha normal kembali karena ketahanan tubuh ada batasnya dalam beradaptasi. Jika stressor berjalan terus dan tidak dapat diatasi/terkontrol maka ketahanan tubuh untuk beradaptasi akan habis dan timbul berbagai keluhan pada individu.


(41)

3. Fase kelelahan, bila reaksi tanda bahaya datang terlalu kuat atau sering dan berlangsung dalam waktu lama, kebutuhan energi untuk beradaptasi menjadi habis sehingga timbul kelelahan.

Menurut Robert J.Van Amberg (1979), sebagaimana dikemukakan oleh Dadang Hawari (2001) bahwa tahapan stres sebagai berikut :

a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki, dan penglihatan menjadi tajam.

b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar dan otot kaku. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

c. Stres tahap ketiga, yaitu stres dengan keluhan, seperti defekasi tidak teratur (kadang-kadang diare), otot kaku, emosional, insomnia, mudah terjaga dan sulit tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur kembali (late insomnia), koordinasi tubuh terganggu, dan mau jatuh pingsan.

d. Stres tahap ke empat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan


(42)

pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

e. Stres tahap ke lima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental (physical and psyhological exhaustion), ketidakmampuan menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik. f. Stres tahap ke enam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda,

seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, loyo, pingsan atau kolaps.

2.2.2. Faktor-faktor Penyebab Stres Kerja

Menurut National Safety Council (2004), penyebab stres kerja

dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu :

1. Penyebab Karakteristik Organisasional yang terdiri dari :

a) Otonomi yaitu kemandirian perawat dalam menjalankan tugasnya serta tidak membutuhkan pengawasan yang ketat dari atasannya.

b) Mutasi (relokasi pekerjaan) yaitu perpindahan tempat kerja seseorang dari satu bagian/unit ke bagian/unit yang lain.

c) Karier yaitu jabatan yang diduduki seseorang dalam pekerjaannya. d) Beban kerja yaitu pekerjaan yang diterima atau diemban seseorang

yang di dukung dengan tanggung jawab dari pekerjaan tersebut.

e) Interaksi perawat yaitu kontak langsung antara pasien/keluarga dengan perawat dalam asuhan keperawatan yang dilaksanakan oleh seorang perawat.


(43)

2. Penyebab Karakteristik Individual yang terdiri dari :

a) Dukungan keluarga yaitu dukungan yang berasal dari suami/isteri dan anak-anak serta sanak saudara dalam melaksanakan suatu pekerjaan. b) Kejenuhan yaitu adanya kebosanan dengan pekerjaan yang selalu sama

sepanjang tahun dan sudah tidak suka lagi karena sudah terlalu sering atau banyak.

c) Konflik dengan rekan kerja yaitu ketidak sesuaian antara dua atau lebih anggota atau kelompok di tempat kerja.

3. Penyebab Karakteristik Lingkungan.

Penyebab stres karyawan (Hasibuan H Malayu S.P, 2003), dapat juga disebabkan oleh : beban kerja yang sulit dan berlebihan, tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar, waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai, konflik dengan pimpinan atau rekan kerja, upah yang terlalu rendah dan masalah keluarga.

Menurut Luthans Fred (2005), stressor dari organisasi yang menyebabkan stres kerja pada karyawan adalah :

1. Kebijakan dan strategi adminstratif yakni penyusutan karyawan, perencanaan gaji, shift kerja, aturan birokrasi dan teknologi canggih. 2. Struktur dan Desain organisasi yaitu sentralisasi, konflik lini staf dan tidak ada kesempatan untuk maju.

3. Proses organisasi yakni sedikit umpan balik, hanya komunikasi ke bawah, pengambilan keputusan tersentralisasi, kurang berpartisipasi dalam


(44)

4. Kondisi kerja yakni area kerja ramai, bising, panas, dingin, polusi udara, bau, penerangan kurang, kondisi tidak aman dan bahan kimia beracun atau radiasi.

Setiap aspek di pekerjaan dapat menjadi pembangkit stres. Tenaga kerja yang menentukan sejauh mana situasi yang dihadapi merupakan situasi stres atau tidak. Tenaga kerja dalam interaksinya di pekerjaan, dipengaruhi pula oleh hasil interaksinya di tempat lain, di rumah, di sekolah, di perkumpulan dan sebagainya. Sumber stres yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi optimal atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit, tidak saja datang dari satu macam pembangkit stres saja tetapi dari beberapa pembangkit stres (Munandar Ashar Sunyoto,2001).

Faktor-faktor di pekerjaan yang berdasarkan penelitian dapat menimbulkan stres (Hurrell, dkk. 1988), dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar yaitu :

1. Faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan 2. Peran dalam organisasi

3. Pengembangan karier 4. Hubungan dalam pekerjaan 5. Struktur dan iklim organisasi. 2.2.3. Gejala dan tanda-tanda stres

Menurut Terry Beehr dan Newman (1987), gejala dan tanda stres dibagi menjadi tiga gejala yakni : gejala fisik, gejala psikologis dan perilaku.


(45)

1. Gejala Fisik : meningkatnya detak jantung dan tekanan darah,

meningkatnya sekresi adrenalin dan non adrenalin, gangguan lambung, mudah terluka, kematian, mudah lelah secara fisik, gangguan pernafasan, sering berkeringat, gangguan kulit, kepala pusing, migrain, kanker, ketegangan otot dan sulit tidur.

2. Gejala Psikologi : kecemasan, ketegangan, bingung, marah, sensitif, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif, menurunnya fungsi intelektual, mengurung diri, ketidak puasan kerja, depresi, kebosanan, lelah mental, mengasingkan diri, kehilangan konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas, kehilangan semangat hidup, menurunnya harga diri dan rasa percaya diri.

3. Gejala Perilaku : menunda atau menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan produktifitas, minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase, sering mangkir kerja, makan yang tidak normal, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, ngebut dijalan, menigkatnya agresivitas dan kriminalitas, penurunan hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman serta kecendrungan bunuh diri.

Stres mempengaruhi baik pada tubuh maupun mental dan keduanya akan mempengaruhi bagaimana kita berperilaku di bawah tekanan yang berat, dan mempengaruhi tingkatan dimana kita bisa melanjutkan peran kita, di rumah dan di tempat kerja, secara efektif dan efisien (Towner Lesley, 2002).


(46)

Selama stres berlangsung, akan menimbulkan reaksi kimiawi dalam tubuh manusia yang mengakibatkan perubahan-perubahan, antara lain meningkatnya : tekanan darah tinggi, metabolisme meningkat, produksi kolesterol dan adrenalin. Reaksi kimiawi tersebut pada dasarnya merupakan senjata yang di perlukan manusia untuk menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap gangguan-gangguan diatas. Masalahnya terletak pada karakteristik sosio-kultural masyarakat sekarang yang semakin tidak toleran dengan penggunaan “senjata” tersebut diatas, sehingga reaksi kimiawi yang tidak tersalurkan justru menimbulkan reaksi balik yang menjadi bumerang bagi yang bersangkutan (Anoraga Pandji, 2006).

Anoraga Pandji (2006), mengemukakan bahwa stres yang tidak teratasi menimbulkan gejala badaniah, jiwa dan gejala sosial. Dapat ringan, sedang, dan berat. Suatu “stres” tidak langsung memberi akibat saat itu juga, walaupun banyak diantaranya yang segera memperlihatkan manifestasinya. Dapat juga bermanifestasi beberapa hari, minggu, bulan atau setahun kemudian.

Dalam hubungan dengan gangguan pada badan, dikatakan bahwa stres emosional mempengaruhi otak, yang kemudian melalui sistem neurohormonal menyebabkan gejala-gejala badaniah yang dipengaruhi oleh hormon (adrenalin) dan sistem saraf otonom.

Adrenalin yang meningkat menimbulkan kadar asam lemak bebas juga

meningkat dan ini merupakan persediaan sumber energi ekstra. Bilamana peningkatan ini tidak disertai kegiatan fisik, energi ekstra ini tidak dibakar habis dan akan diubah hati menjadi lemak kolesterol dan trigliserid yang kemudian


(47)

menimbun pada dinding pembuluh darah, termasuk pembuluh jantung koroner. Selanjutnya terjadi kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang bertambah, dan keduanya mengakibatkan gangguan pada kerja jantung bahkan mudah menimbulkan kematian mendadak ( serangan jantung).

Pada sistem saraf otonom, menimbulkan gejala seperti keluarnya keringat dingin (keringat pada telapak tangan), rasa panas dingin badan, asam lambung yang meningkat (sakit maag), kejang lambung dan usus, mudah kaget, gangguan seksual, dan lain-lain. Gejala berat akibat stres bisa menyebabkan kematian, gila (psikosis) dan hilangnya kontak sama sekali dengan lingkungan sosial.

2.2.4. Jenis pekerjaan yang menimbulkan stres serta dampaknya pada perusahaan

Berikut adalah pekerjaan yang dianggap paling dapat membuat stres (National Safety Council, 2004) yakni : pegawai pos, perawat, jurnalis, pilot pesawat, manajer tingkat menengah, sekretaris, polisi, petugas medis, para medis, guru, pemadam kebakaran, petugas customer service dan pelayan.

Apapun profesi seseorang, dapat mengalami stres kerja. Namun, ada profesi tertentu yang sangat rentan terhadap stres kerja yaitu pekerjaan di bidang perawatan kesehatan, penegakan hukum dan pendidikan (Goliszek Andrew, 2005).

Tenaga kesehatan yang sering mengalami stres kerja di rumah sakit antara lain adalah :


(48)

1. Dokter

Guncangan perasaan paling besar yang dihadapi para dokter adalah kegagalan terapi, kesulitan diagnosis, kematian pasien, dan dampak keluarga yang negatif. Ketika peristiwa negatif di atas tak terbendung, beberapa dokter akan mengalami stres bahkan dapat memikirkan upaya bunuh diri. Penelitian akhir-akhir ini menunjukkan bahwa dokter pria, sebagai suatu kelompok, memiliki kemungkinan dua kali lebih besar untuk melakukan bunuh diri ketimbang populasi secara umum. Bagi sebagian dokter, adalah sulit untuk menghadapi standar ganda antara lingkungan pekerjaan dan rumah. Misalnya, seorang dokter yang jengkel dan marah karena diminta membuang sampah atau membantu mencuci pakaian di rumah, setelah seharian mendapat perlakuan penuh hormat dan kagum di tempat kerja.

2. Perawat

Perawat juga mengalami stres kerja, tetapi mereka mempunyai alasan yang berbeda. Selain mengurus pasien yang suka menuntut, mereka juga berhadapan dengan dokter yang stres. Dua penyebab stres tersebut sering menjadi alasan mengapa perawat merasa kelebihan beban, kelebihan kerja, dan kurang di hargai. Perawat muda memulai kariernya dengan antusiasme dan idealisme yang luar biasa. Mereka percaya bahwa perawat adalah profesi yang sangat istimewa. Idealisme tersebut runtuh ketika mereka berhadapan dengan pasien atau dokter yang kritis, menuntut, dan tidak tahu berterimakasih, yang memperlakukan


(49)

mereka seperti warga negara kelas dua. Salah satu alasan terbesar munculnya kejenuhan perawat adalah kesenjangan antara harapan dan kenyataan.

Stres di tempat kerja bukanlah fenomena baru. Akan tetapi, dewasa ini stres telah menjadi masalah manajemen yang sangat penting di dunia bisnis, Manajer perusahaan dan penyelia pabrik mengakui bahwa stres telah mewabah, dua dari tiga pekerja mengaku mengalami stres kerja. Perkiraan terbaru mengindikasikan bahwa stres kerja menyebabkan pemilik perusahaan harus mengeluarkan sekitar $200 milyar per tahun karena masalah absen, keterlambatan, kejenuhan, produktivitas yang semakin rendah, angka keluar masuk yang yang tinggi, kompensasi pekerja, dan peningkatan biaya asuransi kesehatan. Kini diyakini bahwa sekitar 80% penyakit dan kesakitan dipicu dan diperburuk oleh stres (National safety council, 2004).

Rendal Schuller (dalam Rini, 2003) mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Menurut peneliti ini, stres yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, ketidakhadiran kerja serta tendensi mengalami kecelekaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja dapat berupa :

1. Terjadinya kekacauan, hambatan baik dalam manajemen maupaun operasional kerja

2. Mengganggu kenormalan aktivitas kerja 3. Menurunkan tingkat produktivitas


(50)

4. Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. Kerugian financial yang dialami perusahaan karena tidak imbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya.

Stres merupakan suatu kondisi yang negatif dan mengarah ke timbulnya penyakit fisik ataupun mental, atau mengarah ke perilaku yang tak wajar. Selye membedakan antara distress, yang destruktif dan eustress yang merupakan kekuatan yang positif (eustress yang dalam bahasa Yunani berarti ”baik”, seperti yang terdapat dalam kata euphoria). Stres diperlukan untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan bentuk-U-terbalik antara stres dan unjuk-kerja pekerjaan sebagaimana dapat dilihat seperti gambar 2.1. berikut ini :

High

Health And Performance

Low

Low (Distress)

Optimum (Eustress)

High (Distress)


(51)

Tampak bahwa stres tingkat rendah dan tingkat tinggi dua-duanya menghasilkan unjuk-kerja pekerjaan yang rendah. Makin tinggi dorongan untuk berprestasi, makin tinggi tingkat stresnya dan makin tinggi juga produktivitas dan efisiensinya. Stres dalam jumlah tertentu dapat mengarah ke gagasan-gagasan yang inovatif dan keluaran yang konstruktif. Sampai titik tertentu bekerja dengan tekanan batas waktu dapat merupakan proses kreatif yang merangsang. Seseorang yang bekerja pada tingkat optimal menunjukkan antusiasme, semangat yang tinggi, kejelasan dalam berpikir (mental clarity) dan pertimbangan yang baik. Jika orang terlalu ambisius, memiliki dorongan kerja yang besar atau jika beban kerja menjadi berlebih, tuntutan pekerjaan tinggi, maka unjuk-kerja menjadi rendah lagi.

Stres menguras kesehatan dan kekuatan. Tanda-tanda beban berlebih adalah mudah tersinggung, kelelahan fisik dan mental, ketidaktegasan, hilangnya obyektivitas, kecendrungan berbuat salah, kekhilafan dalam ingatan dan hubungan interpersonal yang tegang. Stres yang meningkat sampai unjuk-kerja mencapai titik optimalnya merupakan stres yang baik dan menyenangkan (eustress), sebelum mencapai titik optimalnya, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai tantangan yang merangsang. Melewati titik optimal stres menjadi distress, peristiwanya atau situasinya dialami sebagai ancaman yang mencemaskan. Agar tetap berada dalam kesehatan yang baik dan bekerja pada tingkat puncak, kita harus mampu mengenali titik optimal kita dan mampu menggunakan


(52)

teknik-2.3. Kerja

Kerja merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Kebutuhan itu bisa bermacam-macam, berkembang dan berubah, bahkan seringkali tidak disadari oleh pelakunya. Seseorang bekerja karena ada sesuatu yang hendak dicapainya, dan orang berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukannya akan membawanya kepada suatu keadaan yang lebih memuaskan daripada keadaan sebelumnya (Anoraga Pandji, 2006).

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa pada diri manusia terdapat kebutuhan-kebutuhan yang pada saatnya membentuk tujuan-tujuan yang hendak dicapai dan dipenuhinya. Demi mencapai tujuan-tujuan itu, orang terdorong melakukan suatu aktivitas yang disebut kerja. Tetapi tidak semua aktivitas dapat dikatakan kerja. Menurut Frans Von Magnis, pekerjaan adalah kegiatan yang direncanakan. Jadi pekerjaan itu memerlukan pemikiran yang khusus dan tidak dapat dijalankan oleh binatang. Yang dilakukan tidak hanya karena pelaksanaan kegiatan itu sendiri menyenangkan, melainkan karena kita mau dengan sungguh-sungguh mencapai suatu hasil yang kemudian berdiri sendiri atau sebagai benda, karya, tenaga dan sebagainya. Menurut Hegel, inti pekerjaan adalah kesadaran manusia dimana pekerjaan memungkinkan orang dapat menyatakan diri secara objektif ke dunia ini, sehingga ia dan orang lain dapat memandang dan memahami keberadaan dirinya.

Memang sulit untuk dapat merumuskan secara jelas, tepat dan ringkas defenisi dari apa yang dimaksud dengan istilah “kerja”. Apabila defenisi itu


(53)

dikaitkan dengan pengertian imbalan atau pembayaran (atas suatu prestasi kerja), maka para ibu rumah tangga yang juga bekerja keras tentulah tidak akan tercakup dalam pengertian kerja. Tetapi bila defenisi kerja dihubungkan dengan pengertian kesenangan atau pilihan (terhadap jenis pekerjaan), maka dapat dengan mudah terlihat bahwa bagi sementara orang, antara kerja dan permainan (keisengan) sesungguhnya sama saja.

Kerja itu sesungguhnya adalah suatu kegiatan sosial. Dahulu orang beranggapan bahwa satu-satunya perangsang (insentif) untuk bekerja hanyalah uang atau perasaan takut menganggur. Tetapi dewasa ini ternyata bahwa uang bukanlah merupakan faktor utama yang memotivasi semua orang untuk bekerja. Miller dan Form menyatakan bahwa “Motivasi untuk bekerja tidak dapat dikaitkan hanya pada kebutuhan-kebutuhan ekonomis belaka, sebab orang tetap akan bekerja walaupun mereka sudah tidak membutuhkan hal-hal yang bersifat materiil”.

Bagi sementara orang, bekerja merupakan sarana untuk menuju ke arah terpenuhinya kepuasan pribadi dengan jalan memperoleh kekuasaan dan menggunakan kekuasaan itu pada orang lain. Pada pokoknya, kerja itu merupakan aktivitas yang memungkinkan terwujudnya kehidupan sosial dan persahabatan. Dalam pandangan paling modern mengenai kerja, dikatakan bahwa :

a. Kerja merupakan bagian yang paling mendasar/esensial dari kehidupan manusia. Sebagai bagian yang paling dasar, dia akan memberikan status


(54)

baik yang bekerja atau tidak. Sehingga kerja akan memberi isi dan makna dari kehidupan manusia yang bersangkutan.

b. Baik pria maupun wanita menyukai pekerjaan. Kalaupun orang tersebut tidak menyukai pekerjaan, hal ini biasanya disebabkan kondisi psikologis dan sosial dari pekerjaan itu.

c. Moral dari pekerja tidak mempunyai hubungan langsung dengan kondisi material yang menyangkut pekerjaan tersebut.

d. Insentif dari kerja banyak bentuk dan tidak selalu tergantung pada uang. Insentif ini adalah hal-hal yang mendorong tenaga kerja untuk bekerja lebih giat.

2.3.1. Kondisi Kerja dan Beban Kerja

Menurut Munandar AS (2001), kondisi kerja meliputi variabel lingkungan fisik kerja dan kondisi lama waktu kerja. Dapat dijelaskan bahwa variabel-variabel tadi dapat mempengaruhi sikap dan perilaku kerja. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam kondisi kerja yang sesuai dengan situasi organisasi tertentu termasuk bagaimana biasanya pekerjaan dilakukan, karakteristik tenaga kerja yang terlibat dan aturan standar eksternal yang sesuai. Dalam Psikologi industri (1998), kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mengalami stres psikologis dan menurunkan produktivitas kerja.

Rancangan kantor memberikan pengaruh pada produktivitas juga. Schultz (1982) mengajukan hasil suatu penelitian di Amerika serikat tentang pengaruh kantor yang dirancang seperti pemandangan alam. Kantornya terdiri dari ruangan


(55)

yang luas, tidak ada dinding-dinding yang membagi ruangan ke dalam kamar-kamar terpisah. Semua karyawan dari pegawai rendah sampai menengah dikelompokkan ke dalam satuan-satuan kerja fungsional, masing-masing dipisahkan dari satuan-satuan lainnya dengan pohon-pohon (pendek) dan tanaman, kasa jendela yang rendah, lemari-lemari pendek dan rak buku. Kantor ”pemandangan alam ini” dikatakan dapat melancarkan komunikasi dan alur kerja. Disamping itu, keterbukaan menunjang timbulnya keikatan dan kerjasama kelompok serta mengurangi rintangan-rintangan psikologis antara manajemen dan karyawan.

Kondisi lingkungan kerja, dapat menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya misalnya suhu udara dan kebisingan, karena beberapa orang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan (Muchinsky dalam Margiati, 1999). Lazarus dan Folkman (1984), menyatakan timbulnya suatu ransangan dari lingkungan eksternal dan internal yang dirasakan oleh individu melalui sikap tertentu apakah menimbulkan stres, bergantung pada penilaian kognitif individu tentang situasi.

Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit ”kuantitatif”, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit ”kualitatif”, yaitu


(56)

menggunakan keterampilan dan atau potensi dari tenaga kerja. Disamping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan kebutuhan untuk bekerja selama jumlah jam yang sangat banyak, yang merupakan sumber tambahan terjadinya stres.

Everly dan Girdano (dalam Munandar, 2001) menambahkan kategori lain dari beban kerja, yaitu kombinasi dari beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif. Beban kerja berlebih secara fisik maupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan kemungkinan sumber stres pekerjaan. Unsur yang menimbulkan beban berlebih ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat. Pada saat-saat tertentu, dalam hal tertentu waktu akhir (dead line) justru dapat meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Namun, bila desakan waktu menyebabkan timbulnya banyak kesalahan atau menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih kuantitatif.

Beban kerja terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan dimana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan keterampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia ”tidak maju-maju”, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan keterampilannya (Sutherland dan Cooper dalam Munandar, 2001).


(57)

2.3.2. Beban Kerja Perawat di Ruang Rawat Inap

Beban kerja di perawatan rawat inap adalah perawat dituntut harus tetap ada di sisi pasien untuk melakukan berbagai hal yang berkaitan dengan perawatan pasien, seperti pelayanan yang diberikan dalam keadaan sakit ringan ataupun berat yang memerlukan pemantauan serta tindakan yang terus menerus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Azwar (1993) bahwa beban perawat pada pasien adalah menyelamatkan kehidupan dan mencegah kecacatan sehingga pasien dapat hidup. Perawat di ruangan juga melaksanakan asuhan keperawatan selama 24 jam dan bekerja secara bergiliran/shift jaga. Dalam shift jaga, perbandingan jumlah perawat dalam satu shift jaga sering tidak seimbang dengan jumlah pasien. Akibatnya perawat sering bekerja melebihi kapasitasnya (PPNI, 2000). Menurut Jauhari (2005) bahwa standar beban kerja perawat senantiasa harus sesuai dengan asuhan keperawatan yang berorientasi pada kebutuhan pasien. Untuk menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien diupayakan kesesuaian antara ketersediaan tenaga perawat dengan beban kerja yang ada. Penelitian menunjukkan bahwa shift/kerja malam merupakan sumber utama stres bagi para pekerja (Monk dan Tepas dalam Munandar, 2001). Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan-gangguan perut.


(58)

(1994) yaitu pada ruangan perawatan bedah, perawat harus menyiapkan perlengkapan alat-alat atau obat-obat yang dibutuhkan pasien sebelum dan sesudah operasi, menyiapkan kebutuhan untuk pasien yang mau operasi, memelihara kebersihan dan merawat pasien sesudah operasi dan melaksanakan administrasi. Pada ruang perawatan anak, perawat harus mempunyai keterampilan khusus atau spesialistik tentang penanganan perawatan anak misalnya pemasangan infus pada pasien anak berbeda seperti pada dewasa, mengkaji kebutuhan pasien, mengamati keadaan dan mengevaluasi perkembangan pasien, melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien, mencatat perkembangan pasien dan kegiatan administrasi ruangan. Beban kerja diruangan kebidanan adalah menerima dan merawat pasien yang akan bersalin, menyiapkan fasilitas kebutuhan pasien, mengamati keadaan pasien, menjaga kebersihan pasien, melaksanakan tindakan keperawatan, menjalin komunikasi dengan pasien dan melaksanakan administrasi kebidanan. Sedangkan uraian tugas perawat di ruangan penyakit dalam adalah selain harus mengerjakan administrasi dan mencatat perkembangan pasien, perawat menyiapkan fasilitas dan peralatan yang dibutuhkan di ruangan seperti peralatan emergensi, memelihara kebersihan pasien, melakukan tindakan pengobatan, melakukan penyuluhan kepada pasien mengenai penyakitnya dan bekerja sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan untuk menghindari penularan penyakit.


(59)

Dilihat dari segi psikolog, produktivitas adalah suatu tingkah laku. Memang bisa lain kalau dilihat dari sudut pandang lain, karena perbedaan ilmu bisa juga didasarkan atas perbedaan objek kajian. Dalam psikologi, produktivitas menunjukkan tingkah laku sebagai keluaran (output) dari suatu proses berbagai macam komponen kejiwaan yang melatarbelakanginya (Anoraga Pandji, 2006). Pada umumnya bagi manajemen, produktivitas adalah sesuatu yang ada hubungan langsung dengan sasaran-sasaran organisasi, hingga produktivitas adalah kuantitas dan kualitas tertentu dikaitkan dengan efisiensi pada tingkat tertentu. Ini adalah arti eksternal dari produktivitas yang klasik.

Bagi seorang karyawan mungkin berbeda tolok ukurnya, kuantitas dan kualitas hanyalah tolak ukur terakhir dari produktivitas, dan tidak harus yang terpenting, karena ada tolok-tolok ukur lainnya yang pada saatnya adalah lebih penting, seperti arti dari pekerjaan yang harus dilakukan dalam rangka urutan sebuah proses yang lebih besar.

Produktivitas dalam arti kuantitas dan kualitas saja dapat dipaksakan tanpa menghiraukan arti internal bagi karyawan, tapi hanya untuk sejenak dan dengan biaya kemanusiaan yang sangat tinggi. Karena seorang karyawan yang melihat adanya perbedaan antara persepsinya dengan persepsi manajemen mengenai produktivitas, akan mengalami apa yang dinamakan sebagai disonansi kognitif. Faktor-faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja.


(60)

1. Pekerjaan yang menarik

Biasanya apabila seseorang mengerjakan suatu pekerjaan dengan senang atau menarik bagi dirinya, maka hasil pekerjaannya akan lebih memuaskan daripada mengerjakan pekerjaan yang tidak ia senangi. Demikian pula apabila kita akan memberikan tugas pada seseorang, maka alangkah baiknya bila kita mengetahui apakah orang tersebut senang atau tidak dengan pekerjaan yang akan kita berikan.

2. Upah yang baik

Pada dasarnya seseorang yang bekerja, mengharapkan imbalan yang sesuai dengan jenis pekerjaannya. Karena adanya upah yang sesuai dengan pekerjaannya, maka akan timbul pula rasa gairah kerja yang semakin baik. Dengan terpenuhinya upah yang baik atau dengan kata lain upah yang tidak ditangguh-tangguhkan oleh para manajer /pimpinan, maka rasa kecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup baik bagi dirinya maupun bagi keluarganya akan semakin terasa. Selain itu ia akan merasa dibutuhkan oleh perusahaan, dan ia membutuhkan pekerjaan itu, sehingga ada rasa timbal balik yang selaras.

3. Keamanan dan perlindungan dalam pekerjaan

Yang dimaksud keamanan dan perlindungan dalam pekerjaan yaitu bekerja pada pekerjaan yang memerlukan perlindungan tubuh, ataupun juga memberikan training sebelumnya untuk pekerjaan yang akan


(61)

dilakukannya. Dengan terpenuhinya jaminan atas pekerjaan, maka dalam bekerja tidak akan ada lagi perasaan was-was atau ragu-ragu.

4. Penghayatan atas maksud dan makna pekerjaan

Yang dimaksud penghayatan atas maksud dan makna pekerjaan adalah bila seorang pekerja tetap telah tahu kegunaan dari pekerjaannya bagi umum, dan juga sudah tahu betapa sangat pentingnya pekerjaan, maka dalam mengerjakan pekerjaannya , si pekerja akan lebih meningkatkan produktivitas kerjanya. Cara untuk menanamkan rasa penghayatan atas maksud dan makna pekerjaan adalah dengan memberitahukan si pekerja akan kegunaan dari hasil produk yang dikerjakannya, baik dengan cara langsung menunjukkan kegunaannya ataupun dengan cara mengambil sampel.

5. Lingkungan atau suasana kerja yang baik

Lingkungan kerja yang baik akan membawa pengaruh yang baik pula pada segala pihak, baik pada para pekerja, pimpinan ataupun pada hasil pekerjaannya.

6. Promosi dan perkembangan diri sejalan dengan perkembangan perusahaan

Seorang pekerja akan merasa bangga bila perusahaan dimana ia bekerja mengalami kemajuan yang pesat, apalagi sampai terkenal di mata masyarakat . Hal ini pula yang mengangkat derajat kebanggaan pada diri si


(62)

keuntungan bagi perusahaan, karena secara langsung atau tidak, si pekerja membawa promosi perusahaan dan menjaga citra perusahaan agar tetap baik di mata masyarakat.

7. Merasa terlibat dalam kegiatan-kegiatan organisasi

Dengan adanya keterlibatan dalam organisasi dimana para pekerja itu tetap bekerja, akan merasakan bahwa dirinya benar-benar dibutuhkan dalam perusahaan, dan merasa memiliki perusahaan. Dengan timbulnya kecintaan dalam dirinya terhadap perusahaan, maka si pekerja akan lebih meningkatkan produktivitas kerjanya.

Jadi para manajer hendaknya menanamkan rasa/sifat yang demikian terhadap bawahannya agar perusahaan dapat mencapai tujuannya dengan lebih baik.

8. Pengertian dan simpati atas persoalan-persoalan pribadi

Seorang pemimpin yang bijaksana akan memperhatikan bawahannya sampai pada urusan pribadinya. Dengan demikian para pekerja merasakan bahwa dirinya diberi perhatian besar oleh pimpinannya. Hal ini mendorong motivasi pekerja untuk bekerja lebih giat lagi melalui pendekatan secara kekeluargaan atau dari hati ke hati antara pimpinan dan bawahan.

9. Kesetiaan pimpinan pada diri si pekerja

Kesetiaan pimpinan pada diri si pekerja merupakan juga dasar rasa kepercayaan pekerja terhadap perusahaan dimana dia bekerja. Kesetiaan


(63)

pimpinan ini merupakan juga suatu wibawa dari perusahaan, karena bila si pimpinan hanya mengobral janji-janji akan melakukan sesuatu, tetapi kenyataannya tidak, maka hal ini akan menimbulkan suatu rasa yang tak baik dalam diri si pekerja.

10.Disiplin kerja yang keras

Kita sebagai manusia biasanya mempunyai sifat ego yang tinggi, antara lain tak ingin dikekang oleh suatu peraturan atau suatu tata tertib yang ketat. Demikian pula dengan para pekerja, biasanya mereka akan merasa enggan akan disiplin kerja yang keras dari perusahaan dimana dia bekerja, karena hal ini akan membuat si pekerja merasa terkekang.

Seorang karyawan apabila mengalami stres kerja pada perusahaan akan menyebabkan berkurangnya produktivitas seseorang dan akan mengakibatkan kerugian pada perusahaan.

2.4. Organisasi

Organisasi adalah suatu sistem perserikatan formal dari dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk mencapai tujuan tertentu (Hasibuan H. Malayu S.P, 2003). Ada juga yang mengatakan bahwa organisasi adalah suatu sistem yang mengatur kerjasama antara dua orang atau lebih, sedemikan rupa sehingga segala kegiatan dapat diarahkan untuk mencapai tujuan yang telah di tetapkan (Azwar Azrul, 1996).


(64)

Secara sederhana organisasi mempunyai tiga unsur, yaitu ada orang, ada kerja sama, dan ada tujuan bersama. Tiga unsur organisasi ini tidak berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi saling kait atau saling berhubungan sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh (Wursanto, 2002). Agar orang-orang yang ada di dalam organisasi dapat melakukan kerjasama dalam usaha mencapai tujuan bersama maka diperlukan daya kerja. Daya kerja dibedakan menjadi dua macam, yaitu daya manusia dan daya bukan manusia.

1. Daya Manusia

Daya manusia terdiri dari kemauan dan kemampuan yang meliputi : Kemauan dan kemampuan untuk bekerja atau untuk berbuat, kemauan dan kemampuan untuk mempengaruhi orang lain dan kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi. Sebagaian dari daya manusia di rumah sakit adalah dokter dan perawat yang bekerja untuk mendiagnosis, mengobati dan merawat pasien di ruangan dan merupakan salah satu unsur pokok yang terpenting di sebuah organisasi rumah sakit.

2. Daya bukan manusia

Daya bukan manusia ialah daya yang diperoleh dari sumber materi, barang, benda misalnya mesin-mesin, uang, waktu, metode dan dari sumber kekayaan alam lainnya (iklim, udara, cuaca, air dan sebagainya). Daya bukan manusia disebuah rumah sakit adalah berupa : tempat tidur


(65)

pasien, alat-alat kedokteran, alat-alat diagnostik, oabat-abatan dan lain sebagainya.

Disamping itu keadaan lingkungan (environment) juga mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap terbentuknya organisasi. Keadaan lingkungan misalnya keadaan sosial, budaya, ekonomis dan teknologi yang sedang berkembang.

2.4.2. Prinsip pokok Organisasi

Untuk dapat melakukan pekerjaan pengorganisasian dengan baik perlu dipahami berbagai prinsip pokok yang terdapat dalam organisasi. Prinsip pokok yang dimaksud banyak macamnya, beberapa diantaranya yang penting ialah : 1. Mempunyai pendukung

Pendukung (follower, member) yang dimaksudkan adalah setiap orang per orang yang bersepakat untuk membentuk organisasi. Pendukung yang dimaksud disini termasuk semua karyawan yang bekerja pada perusahaan tersebut. Contoh, untuk suatu rumah sakit misalnya, pendukung tersebut adalah dokter, perawat serta tenaga non medis lainnya yang terdaftar sebagai karyawan rumah sakit. Semua karyawan ini telah sama-sama sepakat untuk bersekutu dalam suatu wadah yang disebut rumah sakit.

2. Mempunya tujuan

Setiap organisasi harus mempunyai tujuan, baik yang bersifat umum (goal) ataupun yang bersifat khusus (objectives). Pada dasarnya tujuan yang dimaksud disini adalah sesuatu yang mengikat para pendukung yakni orang-orang yang


(1)

44 0 100.0

26 0 .0

62.9 tidak stress

stress Stress

Overall Percentage Step 0

Constant is included in the model. a.

The cut value is .500 b.

Variables in the Equation

-.526 .247 4.523 1 .033 .591

Constant Step 0

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variables not in the Equation

8.099 1 .004

9.944 1 .002

15.425 1 .000

4.509 1 .034

7.068 1 .008

12.479 1 .000

33.478 6 .000

Otonomi Mutasi Karier Keluarga Kejenuhan Konflik Variables

Overall Statistics Step

0

Score df Sig.

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

42.683 6 .000

42.683 6 .000

42.683 6 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

49.677a .457 .623

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square


(2)

Variables in the Equation

1.032 .818 1.592 1 .207 2.806 .565 13.933

1.770 .807 4.810 1 .028 5.870 1.207 28.544

1.825 .771 5.595 1 .018 6.200 1.367 28.122

1.829 .855 4.578 1 .032 6.230 1.166 33.291

2.157 .805 7.183 1 .007 8.643 1.785 41.845

1.451 .807 3.235 1 .072 4.269 .878 20.761

-15.658 3.854 16.506 1 .000 .000

Otonomi Mutasi Karier Keluarga Kejenuhan Konflik Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: Otonomi, Mutasi, Karier, Keluarga, Kejenuhan, Konflik. a.

Logistic Regression

Case Processing Summary

70 100.0

0 .0

70 100.0

0 .0

70 100.0

Unweighted Casesa

Included in Analysis Missing Cases Total

Selected Cases

Unselected Cases Total

N Percent

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0 1 Original Value

tidak stress stress

Internal Value


(3)

44 0 100.0

26 0 .0

62.9 tidak stress

stress Stress

Overall Percentage Step 0

Constant is included in the model. a.

The cut value is .500 b.

Variables in the Equation

-.526 .247 4.523 1 .033 .591

Constant Step 0

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variables not in the Equation

9.944 1 .002

15.425 1 .000

4.509 1 .034

7.068 1 .008

12.479 1 .000

31.735 5 .000

Mutasi Karier Keluarga Kejenuhan Konflik Variables

Overall Statistics Step

0

Score df Sig.

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

41.072 5 .000

41.072 5 .000

41.072 5 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

51.287a .444 .606

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Estimation terminated at iteration number 6 because a.


(4)

Variables in the Equation

1.697 .778 4.756 1 .029 5.457 1.188 25.080

2.088 .751 7.738 1 .005 8.068 1.853 35.131

1.684 .803 4.398 1 .036 5.385 1.116 25.975

2.164 .790 7.498 1 .006 8.702 1.850 40.938

1.819 .755 5.806 1 .016 6.166 1.404 27.078

-14.819 3.647 16.507 1 .000 .000

Mutasi Karier Keluarga Kejenuhan Konflik Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: Mutasi, Karier, Keluarga, Kejenuhan, Konflik. a.

Logistic Regression

Case Processing Summary

70 100.0

0 .0

70 100.0

0 .0

70 100.0

Unweighted Casesa

Included in Analysis Missing Cases Total

Selected Cases

Unselected Cases Total

N Percent

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0 1 Original Value

tidak stress stress

Internal Value


(5)

44 0 100.0

26 0 .0

62.9 tidak stress

stress Stress

Overall Percentage Step 0

Constant is included in the model. a.

The cut value is .500 b.

Variables in the Equation

-.526 .247 4.523 1 .033 .591

Constant Step 0

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variables not in the Equation

17.678 1 .000

13.313 1 .000

15.809 1 .000

14.260 1 .000

16.943 1 .000

18.837 1 .000

22.207 1 .000

11.931 1 .001

13.047 1 .000

21.983 1 .000

36.758 10 .000

Karier by Mutasi Keluarga by Mutasi Kejenuhan by Mutasi Konflik by Mutasi Karier by Keluarga Karier by Kejenuhan Karier by Konflik Kejenuhan by Keluarga Keluarga by Konflik Kejenuhan by Konflik Variables

Overall Statistics Step

0

Score df Sig.

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

46.008 10 .000

46.008 10 .000

46.008 10 .000

Step Block Model Step 1


(6)

Variables in the Equation

.135 1.268 .011 1 .915 1.144 .095 13.726

.605 1.021 .351 1 .554 1.831 .247 13.551

1.239 .965 1.648 1 .199 3.452 .521 22.885

-.734 1.428 .264 1 .607 .480 .029 7.882

1.073 1.017 1.113 1 .291 2.924 .398 21.466

-1.604 1.510 1.129 1 .288 .201 .010 3.875

1.973 1.140 2.995 1 .083 7.194 .770 67.203

.803 .856 .880 1 .348 2.233 .417 11.956

-1.481 1.164 1.617 1 .203 .227 .023 2.228

1.275 1.369 .867 1 .352 3.578 .245 52.350

-8.051 2.111 14.551 1 .000 .000

Karier by Mutasi Keluarga by Mutasi Kejenuhan by Mutasi Konflik by Mutasi Karier by Keluarga Karier by Kejenuhan Karier by Konflik Kejenuhan by Keluarga Keluarga by Konflik Kejenuhan by Konflik Constant

Step 1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: Karier * Mutasi , Keluarga * Mutasi , Kejenuhan * Mutasi , Konflik * Mutasi , Karier * Keluarga * Kejenuhan , Karier * Konflik , Kejenuhan * Keluarga , Keluarga * Konflik , Kejenuhan * Konflik .