dan wilayah-wilayah yang hilang selama pemberontakan orang-orang Ionia. Keberhasilan tersebut mengiringi invasi Persia ke Yunani yang telah menyebabkan
kekalahan Darius dalam Peperangan Marathon pada akhir musim semi tahun 490 SM. Darius terpaksa mendur dan untuk menghadapi Yunani tampaknya diperlukan usaha-
usaha yang lebih konsentrasi dan menyeluruh. Ia mulai melakukan usaha persiapan untuk menalukan invasi ke Yunani dalam skala yang besar dan terkoordinasi. Tetapi
rencana tersebut terhenti pada tahun 486 SM disebabkan dua peristiwa, yaitu terjadinya pemberontakan di Mesir, dan kematian Darius.
3. Xerxes I
Xerxes I memerintah tahun 486 465 SM, adalah anak laki-laki tertua Darius dengan Ratu Atossa, dilahirkan setelah ayahnya naik tahta. Ia telah ditunjuk sebagai
putera mahkota pada awal tahun 498 SM. Selama menjadi putera mahkota, ia menjabat sebagai gubernur di Babilonia. Raja baru ini dengan cepat berusaha
memadamkan pemberontakan di Mesir dengan penyerangan tunggal yang dilakukan pada tahun 484 SM.
Xerxes tidak mengikuti kebijakan yang dilakukan oleh Cyrus dan Darius dalam memerintah wilayah-wilayah asing secara baik dengan mengambil sikap yang
sesuai dengan tradisi lokal. Ia dengan kejam tidak mengindahkan bentuk-bentuk pemerintahan orang Mesir dan memaksakan keinginannya kepada para pemberontak
dalam gaya Persia. Rencana untuk melakukan invasi ke Mesir yang sudah dimulai pada masa Darius semakin tertunda dengan adanya pemberontakan di Babilonia pada
tahun 482 SM. Xerxes kembali memberikan perhatiannya ke arah barat, yaitu ke Yunani. Ia
menghabiskan musim dingin di Sardis pada tahun 48-480 SM dan memimpin penyerangan baik melalui daratan maupun lautan ke Yunani. Yunani bagian utara
jatuh pada tahun 480 SM, Yunani pada bulan Agustus tahun 480 SM bertahan di Thermopylae, dan pasukan Persian menyerbu Athena, menguasai dan membakar kota
Acropolis. Tetapi di Peperangan Salamis pasukan Persia mengalami kemunduran, sehingga daya dorong untuk melakukan invasi menjadi mandul.
Xerxes, sebagai seorang raja yang cukup lama jauh dari Asia dengan tanggung jawabnya yang luas bermaksud kembali, dan membiarkan Mardonius untuk
melakukan operasi lebih jauh. Invasi berakhir dengan terjadinya Perang Plataea, dengan jatuhnya Thebes yang merupakan benteng kekuatan pro-Persia, dan
kekalahan angkatan laut Persia di Mycale pada tahun 479 SM. Dari ketiga hal di atas, kekalahan Persia dalam Perang Plataea adalah yang
paling menentukan, karena pada perang itulah Mardonius terbunuh. Isu yang beredar dalam perang tersebut mungkin masih meragukan, tetapi kurangnya kepemimpinan,
organisasi yang kacau dan kurangnya kedisiplinan, menyebabkan pasukan Persia mengalami kehancuran. Pada waktu-waktu yang kemudian hal seperti ini tampaknya
telah menjadi pola, karena Persia tidak pernah bisa mengatasi problem militernya. Pembentukan Liga Delia, yang menandai kebangkitan imperialisme Athena,
telah menimbulkan kekacauan di pantai barat Asia Kecil, sekaligus mengakhiri ambisi militer Persia di Aegean mengiringi peristiwa yang terjadi di Plataea. Xerxes
telah kehilangan semangatnya dan tenggelam dalam kesenangan hidup di Susa, Ecbatana, dan Persepolis. Tipu daya para harem atau selir-selir raja yang terus
menerus melemahkan kekuatan dan vitalitas kerajaan Achaeminiyah menyebabkan terjadinya pembunuhan atas raja pada tahun 465 SM.
4. Artaxerxes I sampai Darius II