mengembangkannya dan
kemudian menyebarkannya
ke seluruh
wilayah kekuasaannya. Sebagaimana bangsa Romawi, Assyria juga memperkenalkan sistem
sentralisai administrasi pemerintahan. Wilayah-wilayah propinsi dikuasakan kepada seorang kepala wilayah yang bergelar gubernur yang bertanggung jawab secara
langsung kepada raja. Mereka membangun sejumlah jalan raya untuk memperlancar perhubungan wilayah-wilayah kekuasaannya yang berjauhan.
Warisan kerajaan Assyria berupa alfabet Phoeic dan bahasa versi Armenia. Dalam hal ini alfabet Phoeic sebagai sarana bahasa Armenia. Untuk menulis alfabet
dan bahasa armenia labih mudah dan lebih cepat karena ditulis di atas daun lontar dibanding menuliskan di lembaran tanah liat versi Sumeria pada masa Akkadia.
Sebuah bas-relief dari istana Sennacherib pada Nineveh melukiskan dua pelajar Assyria berdiri berdampingan.
E. Kerajaan Babylonia Baru
1. Sistem Sosial dan Religi
Setelah kekuasaan Assyria mengalami kehancuran dengan matinya raja Asshurbanipal pada tahun 626 SM, bangsa Babylonia bangkit kembali di bawah
kekuasaan dinasti Chaldean atau dinasti Babylonia baru 625-538 SM. Pendiri dinasti ini adalah Nabopolassar. Pada masanya, daerah sampai perbatasan Mesir dapat
ditaklukkan, mengalahkan Raja Yahudi, Hebrew, dan secara bengis menaklukkan kota Yerusalem pada tahun 586 SM. Pada pertengahan abad ke-6 SM, kekuasaan
Babylonia-Chaldean ini dikalahkan oleh bangsa Persia. Bangsa Babylonia menyembah banyak Tuhan, yakni dewa-dewa alam.
Marduk merupakan dewa mereka yang terbesar, sedangkan Isthar diyakini sebagai dewa kasih sayang. Bentuk utama keyakinan mereka adalah kepercayaan terhadap-
roh-roh jahat. Mereka juga mempercayai ramalan dari langit dan bintang-bintang mengenai suatu peristiwa yang terjadi. Para ahli nujum Chaldean mahir dalam bidang
perbintangan, sehingga mereka tersohor ke penjuru dunia.
2. Peradaban Babylonia Baru
Sejarah peradaban dunia mencatat, bahwa bangsa Babylonia sangat besar peranannya. Bangsa ini melahirkan banyak pakar dan tenaga ahli dalam bidang
pertanian. Mereka menggali sejumlah sungai unruk keperluan pengairan pertanian di musim kemarau. Selain itu, mereka juga membuat bendungan untuk melindungi
pertanian mereka dari ancaman banjir di musim hujan. Dalam bidang industri dan perdagangan, bangsa ini telah mencapai kemajuan. Para pedagang ini menciptakan
sistem timbangan dan takaran. Lebih kurang selama dua ribu tahun, negeri Babylonia menjadi pusat perdagangan dan perniagaan wilayah lembah sungai Tigris-Eufrat.
Pada saat itu bangsa Babylonia telah mengenal ragam tulisan yang dinamakan cuneiform. Sistem ini dipandang lebih maju daripada tulisan bangsa Mesir Kuno.
Bangsa Babylonia menggunakan 400-500 simbol suku kata. Tidak diketahui apakah mereka telah menggunakan kertas, tetapi biasanya menggunakan lempengan-
lempengan sebagai media tulis. Dalam bidang ilmu pengetahuan, Bangsa babylonia telah banyak mencapai
kemajuan. Kemajuan mereka dalam ilmu astronomi mengungguli kemajuan bangsa Mesir. Pengetahuan mereka dalam bidang astronomi berawal dari hasrat mereka
dalam bidang astrologi. Mereka membagi zodiak ke dalam dua belas simbol dan menyebutkan kedudukan masing-masing. Mereka mampu meramalkan terjadinya
gerhana matahari dan juga bulan. Demikian pula mereka menggunakan sistem kalender yang lebih maju dibanding bangsa Mesir. Mereka membagi bilangan tahun
menjadi dua belas bulan, membagi malam dan siang menjadi bilangan jam, dan membagi tujuh bilangan hari dalam satu minggu. Dalam bidang matematika peran
mereka juga sangat besar. Hitungan inilah yang pada akhirnya dijadikan sebagai rujukan sistem hitungan modern.
BAB II KEBUDAYAAN DAN PERADABAN PERSIA
Sebutan Persia telah dikenal dan dipergunakan selama berabad-abad. Sebutan ini, terutama oleh Barat, dipakai untuk menunjuk pada suatu wilayah yang merupakan tempat
berkembangnya kebudayaan dan bahasa Persia. Akan tetapi, sebutan tersebut lebih tepat apabila dipakai untuk menunjuk pada suatu wilayah yang berada di bagian selatan Iran,
yang pada masa dahulu dikenal dengan nama Persis, atau kemungkinan lain Pārs atau Parsa, yang pada masa modern dikenal dengan Fārs. Parsa merupakan nama bagi
penduduk nomadik Indo-Eropa yang bermigrasi ke tempat itu kira-kira pada tahun 1000 SM. Sebutan Parsa untuk pertama kali dipakai pada masa pemerintahan Shalmanesar II,
seorang raja Assyria, pada tahun 844 SM. Selama masa kekuasaan dinasti Achaeminayah Persia 559-330 SM, orang-orang Yunani kuno untuk pertama kali menemukan
penduduk Persis di dataran tinggi Iran, yaitu ketika orang-orang Achaeminiyah --suku asli Persis-- melakukan perluasan atas wilayah kekuasaan politik mereka.
Bangsa Achaeminiyah merupakan dinasti yang dominan selama masa sejarah Yunani sampai masa kekuasaan Alexander the Great, dan pemakaian nama Persia secara
perlahan diperluas oleh orang-orang Yunani dan lainnya untuk menyebut semua penduduk yang tinggal di dataran tinggi Iran. Kecenderungan ini diperkuat dengan
berdirinya dinasti Sasania, juga berasal dari suku Persis, yang kebudayaannya mendominasi dataran tinggi Iran sampai abad ke-7 M. Penduduk wilayah ini secara
tradisional menyebut wilayahnya sebagai Iran, Land of the Aryan, dan pada tahun 1935, pemerintah Iran menyatakan bahwa nama Iran dipakai sebagai pengganti Persia.
Akan tetapi, kedua sebutan tersebut, seringkali digunakan secara bergantian ketika dipakai untuk menunjuk periode-periode sebelum abad ke-20.