temurun. Ketaatan anggota masyarakat untuk melaksanakan keputusan yang diberikan oleh seorang syaikh terhadap perkara-perkara yang diajukan para pihak
yang berperkara, termasuk suatu pembunuhan, adalah mutlak diperlukan. Jika tidak, akan timbul kegoncangan dalam masyarakat, yang dapat juga berakibat runtuhnya
suku itu dikarenakan saling berbunuh-bunuhan dengan alasan penentuan balas dendam darah.
Vonis yang paling berat dirasakan oleh seorang terhukum adalah pengusiran ke luar suku. Setiap pengusiran berarti pula tercabut hak untuk mendapat
perlindungan. Jika dia tidak memperoleh perlindungan dari suku lain, maka akan menemukan ajalnya secara tersiksa tanpa ada orang yang menuntut balas atas
kematiannya. Syaikh juga berkewajiban untuk mencari penyelesaian atas sengketa yang
terjadi antar suku demi keselamatan dan kehormatan sukunya. Jika anggota sukunya yang terbunuh maka syaikhlah yang berkewajiban untuk mengajukan tuntutan
pembalasan dendam darah yang tertumpah yang harus dibayar dengan darah, atau cukup dengan ganti rugi darah diyat. Hal ini tergantung pada kuat lemahnya suku
yang dihadapi atau berdasarkan pertimbangan lain seperti adanya hubungan persahabatan dan lain sebagainya. Demikian pula sebaliknya, syaikh berkewajiban
untuk menawarkan cara penyelesaian dengan syaikh dari suku yang dirugikan. Seorang budak yang dimerdekakan tetapi masih menggantungkan diri pada
keluarga bekas tuannya, maka dia bersetatus sebagai klien mawla. Seseorang asing dapat juga meminta perlindungan pada satu suku. Dalam hal perlindungan ini dapat
juga satu suku yang lemah secara keseluruhan meminta perlindungan pada clan yang lebih kuat yang pada akhirnya mereka masuk terabsorbir ke dalam suku yang kuat
tersebut. Barang-barang yang dimiliki secara pribadi hanya kemah dan isi perabotannya. Air, ladang tempat beternak, dan tanah pertanian adalah milik bersama
semua anggota clan yang harus dipertahankan secara bersama pula.
a. Keyakinan Masyarakat Hijaz dan Kedudukan Ka’bah
Di tengah masyarakat perkotaan Hijaz, yang jumlahnya hanya sekitar 17 persen dari masyarakat Hijaz, tahap pemujaan terhadap benda-benda langit
muncul sejak lama. Al- „Uzaa, al-Latta, dan Manat –tiga anak perempuan Allah–
memiliki tempat pemujaannya masing-masing yang disakralkan di daerah yang kemudian menjadi kelahiran Islam.
Al-Lat dari kata Ilahah, yang berarti tuhan perempuan memiliki tempat pemujaan suci di dekat Taif, tempat berkumpul orang-orang Makkah dan lainnya
untuk beribadah haji dan menyembelih binatang korban. Di sekitar daerah itu tidak dibolehkan menebang pohon, memburu binatang dan menumpahkan darah.
Hewan dan tanaman di sekitarnya tidak boleh diganggu karena di sanalah tuhan yang diagunggkan tinggal.
Al-Uzza yang paling agung, Venus, atau bintang pagi dipuja di Nakhlah, sebelah timur Makkah. Ia merupakan berhala yang paling diagungkan oleh orang-
orang Quraisy. Tempat pemujaannya terdiri atas tiga batang pohon. Korban manusia menjadi ciri khas pemujaannya. Ia adalah permaisuri Uzzay-an yang
menjadi tuhan bangsa Arab Selatan. Pada masa menjelang kelahiran islam, banyak masyarakat Arab yang menamai anaknya dengan Abd al-
„Uzza. Manah berasal dari kata maniyah, pembagian nasib adalah dewa yang
menguasai nasib, dan dengan demikian merepresentasikan tahap kehidupan keagamaan yang lebih awal. Tempat suci utamanya adalah sebuah batu hitam di
Qudayd, di sebuah jalan antara Makkah dan Madinah. Dewa Nasib ini sangat populer di kalangan suku Aws dan Khazraj. Dewa lainnya, yaitu Hubal dari
bahasa Aramaik, yang berarti roh, yang tampaknya merupakan dewa tertinggi di Ka‟bah, direpresentasikan dalam bentuk manusia. Di samping patung representasi
Hubal disediakan busur dilengkapi anak panah yang digunakan untuk mengundi nasib oleh para peramal.
Ka‟bah pra_Islam, yang kemudian menjadi tempat suci Islam adalah bangunan bentuk kubus sederhana, yang awalnya tidak beratap, yang menjadi
tempat penyimpanan meteor hitam yang digunakan sebagai benda sakral. Pada masa kemunculan Islam, bangunan itu dipugar tahun 608 M oleh orang-orang
Abissinia memanfaatkan bahan-bahan material dari sisa-sisa kapal Bizantium atau Abissinia yang hancur di Laut Merah.
Tradisi Islam menyebutkan bahwa Ka,bah awalnya dibangun oleh Adam yang meniru bentuk aslinya di Surga, dan setelah banjir besar, Ka‟bah dibangun
kembali oleh Ibrahim dan Ismail. Ketika sedang melakukan renovasi, Ismail diberi batu hitam oleh Jibril, yang kini masih ditempatkan disudut sebelah
tenggara Ka‟bah, dan termasuk dalam rangkaian ibadah-ibadah haji. Setelah masa keduanya, pemeliharaan Ka‟bah tetap berada di tangan keturunan Ismail hingga
akhirnya Banu Khuza‟ah, yang memperkenalkan penyembahan berhala, mulai
menguasainya. Lalu datang suku Quraisy, yang melanjutkan jalur keturunan Ismail.
Salah satu konsep keagamaan penting yang dikenal di kawasan Hijaz adalah konsep tentang Tuhan. Bagi masyarakat Hijaz, Allah Allah, al-ilah,
Tuhan adalah yang paling utama, meskipun bukan satu-satunya. Besarnya penghormatan orang Makkah pra-islam kepada Allah sebagai pencipta dan
pemberi nikmat, dan wujud yang diseru saat tertimpa musibah, misalnya digambarkan dalam beberapa ayat Al-
Qur‟an. Namun, senyatanya allah yang dikenal saat itu adalah dewa suku Quraisy.
Karena orang-orang badui sering datang ke kota Hijaz untuk melakukan barter, terutama selama masa gencatan senjata, ya
itu pada “empat bulan yang disucikan”, akhirnya mereka terbiasa dengan kepercayaan orang-orang perkotaan
yang lebih maju, kemudian mereka mulai melakukan ritual di sekitar Ka‟bah dan
menyembelih kurban. Unta dan domba merupakan hewan persembahan utama di kota Makkah, dan keduanya disembelih di atas batu-batu yang dianggap sebagai
berhala atau altar persembahan. Praktek ziarah ke beberapa tempat suci masyarakat perkotaan Arab menjadi praktik ibadah yang paling penting bagi
masyarakat nomad. “Gencatan senjata di bulan suci” mencakup bulan kesebelas, keduabelas, pertama, dan keempat Zulkaidah, Zulhijjah, Muharram, dan Rajab.
Tiga bulan pertama dikhususkan untuk pelaksanaan ritual agama, dan bulan keempat untuk melakukan aktivitas dagang.
b. Kota-kota Utama Hijaz: Taif, Mekah, dan Madinah