Agama Masyarakat dan Kebudayaan Achaeminiyah

dalam bahasa Elam ditemukan di Persepolis. Selain itu, bahasa Aram juga merupakan bahasa kerajaan dan bahasa yang paling banyak dipakai dalam birokrasi kerajaan. Awal dari pengaruh bahasa Aram di Persia sudah dapat dilihat dalam prasasti kerajaan Persia Kuno pada akhir dinasti Achaeminiyah.

b. Organisasi Sosial

Tidak banyak diketahui mengenai organisasi sosial yang berkembang pada periode Achaeminiyah. Secara umum, organisasi sosial ketika didasarkan pada cara-cara feudal, baik yang berkaitan dengan fungsi-fungsi ekonomi maupun sosial. Masyarakat tradisional Indo-Iran terbagi ke dalam tiga kelas: ksatria atau aristokrat, pendeta, dan petani atau penggembala. Persilangan pembagian ini merupakan struktur kesukuan yang didasarkan pada keturunan patrilineal. Gelar raja diraja, yang dipakai oleh para shah Iran pada abad ke-20, meng- gambarkan adanya otoritas kekuasaan yang terpusat. Struktur piramid ini memper-lihatkan adanya otoritas tertinggi yang bersifat individual yang dimiliki seorang raja. Secara tradisional, raja dilipih dari keluarga tertentu oleh kelas ksatria. Ia kemudian disucikan dan melekat padanya kharisma kerajaan. Pengorganisasian dan pengawasan masyarakat tentu saja dapat berubah sesuai dengan tuntutan para penguasa dan mengalami banyak modifikasi karena mening-katnya kehidupan sosial dan pemikiran politik penduduknya. Meskipun demikian, bahkan pada masa-masa yang lebih kemudian, terdapat bukti-bukti bahwa konsep asli bangsa Iran yang terkait dengan keluarga dan organisasi sosial masih menghargai dan mempertahankan ideal-ideal kebudyaan Persia.

c. Agama

Agama bangsa Iran pada priode pra-Achaeminiyah dan Achaeminiyah merupakan sedikit persoalan yang disepakati para sarjana. Ketika bangsa Iran pertama kali memasuki periode protosejarah, agama mereka bercorak politeistik yang mempercayai dan mempraktikkan corak keagamaan yang sama dengan kelompok-kelompok Indo-Iran dan Indo-Eropa. Paara Dewa biasanya diasosiasikan dengan fenomena alam, dengan fungsi-fungsi sosial, militer, dan ekonomi, dan dengan konsep-konsep abstrak seperti keadilan dan kebenaran. Praktik-praktik keagamaannya meliputi pengorbanan hewan korban, penyembahan pada api, dan meminum juce tanaman haoma, sejenis minuman keras alami. Baru kira-kira pada tahun 600 SM, di bagian timur laut dataran tinggi Iran, muncul seorang nabi atau guru agama yang bernama Zoroaster Zaathushtra. Agama Zoroaster yang ia kembangkan lebih rumit dan kontroversial dibandingkan agama yang sudah ada sebelumnya. Tetapi ciri-ciri utama agamanya masih tetap ada. Ia merupakan nabi etik dari ranking tertinggi, yang menekankan perlunya kejujuran, senantiasa bicara benar, dan meninggalkan kebohongan. Dalam ajarannya, kebohongan sering dipersonifikasikan dengan Druj, pemimpin kerajaan iblis. Melalui ajarannya, ia menghapus banyak dewa yang ada pada agama Indo-Iran sebelumnya. Tuhan yang disembah adalah Ahura Mazda, yang nampaknya merupakan ciptaan, baik nama dan sifat-sifatnya, Zoroaster. Meskipun secara teknis ajarannya bersifat monoteistik, tetapi agama Zoroaster memandang dunia dalam pengertian dualistik, Ahura Mazda dan Dusta, yang secara mendalam terlibat dalam perjuangan jiwa manusia. Zoroasster, seperti diperkirakan, berusaha untuk memperbaharui prakti- praktik dan kepercayaan keagamaan bangsa Iran sebelumnya. Ia pertama-tama menolak, tetapi kemudian ternyata mengizinkan adanya bentuk modifikasi dalam praktik pemujaan haoma, penyembahan api, dan menolak praktik pengorbanan binatang. Penyembahan terhadap api merupakan istilah yang salah, karena para pengikut Zoroaster tidak pernah menyembah api. Istilah itu dipakai untuk menghormati api yang merupakan simbol kebenaran utama. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah: apakah para penganut Zoroaster dari dinasti Achaeminiyah atau setidaknya para pengikutnya memahami misi sang nabi? Kemungkinan Cyrus the Great, Darius I, Xerxes I dan para penggantinya, memahami ajaran sang nabi. Jawaban sederhana atas pertanyaan itu dapat diketahui karena Zoroaster sebagai agama telah mengalami perkembangan dan modifikasi seiring berjalannya waktu, yaitu dipengaruhi oleh kepercayaan dan prakktik-praktik, serta oleh agama-agama penduduk Timur Tengah yang telah melakukan kontak dengan orang-orang Iran. Tuhan dari raja-raja dinasti Achaeminiyah adalah Ahura Mazda Yang Agung. Xerxes dan para penggantinya masih menyebut nama dewa-dewa yang lain, tetapi Ahura Mazda ditempatkan sebagai dewa tertinggi. Dalam prasastinya, Darius hanya menyebut tuhan Ahura Mazda. Bukti yang signifikan adalah terlihat dalam sifat-sifat Darius. Sifat-sifat yang melekat padanya sangat sesuai dengan sifat moral Zoroaster, dan dalam beberapa contoh, sangat cocok dengan ajaran teologi Zoroaster. Selama masa pemerintahan Darius dan Xerxes, catatan-catatan arkeologis yang ditemukan memperlihatkan bahwa upacara-upacara keagamaan yang dilakukan ketika itu sesuai dengan perkembangan agama Zoroaster. Upacara haoma dipraktik-kan di Persepolis, tetapi upacara pengorbanan binatang tidak dilakukan. Lebih dari itu, api menempati peran yang utama dalam agama orang- orang Achaeminiyah. Selain kenyataan di atas, ada kemungkinan telah terjadi perselisihan antara Cambyses dan Darius di satu pihak dengan Bardiya, seorang pendeta bangsa Media, di pihak lain. Tampaknya terdapat adanya motivasi-motivasi keagamaan dan politik di balik penindasan Xerxes terhadap dewa devadaeva yang disembah dan penghancuran tempat peribadatan mereka. Ada kemungkinan telah terjadi konflik di kalangan anggota keluarga istana, yang menjadi pengikut agama Zoroaster, para pendukung agama Zoroaster seperti dipraktikkan oleh orang- orang Iran lainnya, para pengkut agama Iran kuno, dan para pengikut agama- agama asing, yang dalam pandangan ajaran Zoroaster patut dicela. Adanya kompromi dan sinkretisme dengan demikian merupakan suatu gejala yang tidak dapat dihindari. Meskipun kalender Zoroaster diadopsi sebagai kalender resmi kerajaan dalam pemerintahan Artaxerxes I; sejak masa Artaxerxes II, tuhan orang-orang kuno, yaitu dewa Mithra dan dewi Anahita Anahiti telah ditempatkan di sisi Ahura Mazda. Dengan demikian, dalam suatu pengertian, raja-raja dinasti Achaeminiyah adalah para pengikut Zoroaster, tetapi agama Zoroaster itu sendiri tidak lagi merupakan agama yang harus dilembagakan. Apakah agama yang dianut oleh orang-orang yang berada di luar lingkaran istana? Satu perkiraan bahwa peribatan-peribatana Iran kuno merupakan agama yang dipraktikkan secara umum. Magi, yang berasal dari para pendeta bangsa Media, kemungkinan lebih berpengaruh di masyarakat, demikian juga dengan kepercayaan dan praktik- praktik keagamaan yang berasal dari luar.

d. Seni