102
b. Faktor Penghambat
Penyelenggaran kebijakan
sekolah tentang
Pendidikan Lingkungan Hidup memiliki faktor pendukung maupun faktor
penghambatnya. Faktor penghambat selalu ada dalam suatu kebijakan yang telah dibuat. Beberapa faktor penghambat yang ada datang dari
dalam sekolah sendiri maupun berasal dari luar sekolah. Faktor penghambat ini bisa berupa dari sumber daya manusia, lingkungan,
sosial, ekonomi, maupun sarana prasarana yang dimiliki sekolah. Faktor pengahambat yang berasal dari dalam sekolah internal
yaitu ada alat-alat pendukung PLH yang sudah rusak, misalnya komposter dan alat pencacah sampah, dan masih adanya siswa yang
kurang memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan. Faktor penghambat lainnya yaitu sekarang ini guru memiliki beban mengajar
24 jam dalam 6 hari kerja. Guru diwajibkan untuk memenuhi kewajiban mengajarnya tersebut sehingga guru seakan terpancang
untuk mengejar materi-materi yang harus disampaikan kepada peserta didiknya,
sehingga penyampaikan
pesan-pesan Pendidikan
Lingkungan Hidup terabaikan.
Gambar 10. Alat-alat pendukung PLH yang sudah rusak
103 Solusi dari faktor penghambat internal yang ada di sekolah
tersebut yaitu sekolah mengupayakan untuk memperbaiki alat-alat pendukung pendidikan lingkungan hidup yang sudah rusak tersebut
dengan adanya agenda pengembangan dan pengelolaan sarana pendukung sekolah pada setiap tahunnya. Solusi selanjutnya
mengenai peserta didik kurang memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan yaitu setiap tahunnya sekolah mengadakan diklat tentang
lingkungan hidup, selain itu guru menasehati dan menegur siswa yang masih kurang memiliki kesadaran untuk menjaga lingkungan. Solusi
untuk beban mengajar guru selama 24 jam ini yaitu sekolah tidak memaksakan guru untuk menyisipkan pendidikan lingkungan hidup
pada setiap materi yang diberikan, namun sekolah mewajibkan guru minimal satu kali dalam satu semester guru menyisipkan pendidikan
lingkungan hidup pada mata pelajaran yang diampu. Faktor penghambat lainnya berasal dari luar sekolah eksternal
yaitu perilaku siswa yang sudah terbentuk dari lingkungan rumah. Anak-
anak yang „bermasalah‟ kadang di sekolah juga menjadi anak yang „bermasalah‟ pula. Masih kurangnya komunitas-komunitas
pecinta alam sebagai wadah pengembangan diri siswa di lingkungan masyarakat, dan kurangnya konsistensi antara kehidupan siswa di
rumah dan di sekolah, yaitu di sekolah siswa sudah menerapkan Pendidikan Lingkungan Hidup dengan baik, namun saat di rumah
lingkungan masyarakatnya kurang mendukung, contohnya masih ada
104 anggota masyarakat yang membuang sampah sembarangan, berbuat
seenaknya dan tidak menjaga kelestarian lingkungan sekitar, sebagaimana dipaparkan oleh siswa HB:
“Alatnya kurang memadai, siswanya ada yang malas, masih ada siswa yang kurang memiliki kesadaran akan lingkungan,
kurangnya koordinasi ”. 05052015
Pernyataan di atas diperkuat oleh Bapak AG: “Tidak semua siswa mempunyai greget, mungkin sekitar 10
siswa, itu kendalanya pada karakter anak yang sudah terbentuk yang sudah sulit untuk dibentuk, bermasalah dari rumah. Sering
terpancang
pada materi-materi
pelajaran yang
harus disampaikan, jadi pesan-pesan pendidikan lingkungan hidup
terabaikan, waktu untuk menyelesaikan materi mata pelajaran. Karyawan terpancang oleh tugas pokoknya saja, bukan
hambatan program namun pada personal ”. 04042015
Pernyataan di atas juga diperkuat oleh Ibu EM: “Belum konsistennya antara lingkungan sekolah dengan
lingkungan rumah, dan masih kurangnya komunitas pecinta lingkungan
”. 30032015 Berdasarkan wawancara dapat disimpulkan bahwa faktor
penghambat dari penyelenggaraan kebijakan sekolah tentang pendidikan lingkungan hidup di SMA Negeri 1 Jetis ada 2 macam
yaitu faktor internal dan faktor eksternal.
C. Pembahasan
1. Kebijakan Sekolah Tentang Pendidikan Lingkungan Hidup
SMA Negeri 1 Jetis mendapatkan penghargaan sebagai sekolah “Adiwiyata Mandiri”, sekolah Adiwiyata adalah sekolah yang peduli dan
berbudaya lingkungan. Program Adiwiyata yaitu program untuk mewujudkan sekolah yang peduli dan berbudaya lingkungan, dengan