Developing green building rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) model by optimazing green construction

(1)

MODEL PENGEMBANGAN RUSUNAWA

RAMAH LINGKUNGAN MELALUI OPTIMASI

PELAKSANAAN

GREEN CONSTRUCTION

DI BATAM

HAIRUL SITEPU

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan Melalui Optimasi Pelaksanaan Green Construction adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Oktober 2011

Hairul Sitepu


(3)

HAIRUL SITEPU, Developing Green Building Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Model by Optimazing Green Construction, under the supervision of Bambang Pramudya as a chairman, Aris Munandar, Etty Riani and Rinekso Soekmadi as members respectively

The vertical storeyed houses policy has been an important policy since the growth of population and the scarcity of the landed houses in the city. Vertical houses for middle-up class people are known as Rumah Susun Sederhana Milik (Rusunami) or Simple Storeyed Owned Houses while vertical houses for lower income class people are called Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa).Rusunawa development utilizes a lot of natural resources as the construction materials which impact to depletion of nature. The objective is to set up the policy of green Rusunawa development utilizing green construction through the identification/research of building materials that are potentially causing negative impacts to the environment, key factors and actors as well as the alternatives in the construction accomplishment to obtain its optimum.

A Rusunawa building is built of concrete. There are three alternatives in the construction, system conventional, semi pre-cast, and pre-cast way. This research starts with the calculation of using of building materials for each alternative continued with the analysis of the environmental impact in utilizing natural resources that are produced, utilized and recycled. The tool that is used to analyze is Life Cycle Assessment (LCA) using the SimaPro 5.0 software. The result of the single score of the conventional LCA shows that iron is the largest impacting element (8,19 kPt), followed by cement (4,55 kPt). LCA semi pre-cast, shows that cement is the largest impacting element (4,7 kPt), followed by iron (3,59 kPt) while LCA pre-cast shows concrete iron is the largest contributor of impact (6,81 kPt), followed by cement (3,82 kPt). Almost all of the elements potentially result in 3 dominant impact categories, (1) chronic content of poison in water environment; (2) accute content of poison in water environment and (3) chronic content of poison in land environment. The total impact of the environment in using building materials in conventional construction is 18,6 kPt and could be reduced to 13,8 kPt by using pre-cast and is able to be reduced more to 13,0 kPt by using semi pre-cast.

Besides the potential environment impact it caused, this research also found out that the usage of construction energy for the pre-cast concrete system is less, merely 806,981 KWH, in comparison to the conventional system which is 1,253,774 KWH and the pre-cast system is 1,008,199 KWH for each twin-block Rusunawa. The LCA research data and energy are forwarded to the experts to obtain inputs through the Analyses Hierarchy Process (AHP) approach, with the result that the construction accomplishment alternative utilizing semi pre-cast concrete is able to maintain the environment quality through regulating the government policy in respect to the green Rusunawa development. Further more, through the Interpretative Structure Modeling (ISM), it is discovered that with regard to the semi pre-cast concrete development, the dominant actor is the Ministry of Public Housing (Kemenpera) with the potential obstacle of development recognized to be in its socialization and draw backs of Human Resources. The development of semi pre-cast concrete system has the ability to save wood logs of 398,021 M3 or equal to 6,636 Hectares of forest area in 2010, increasing to 1,899,819 M3 of wood logs or equal to 31,496 Hectares of forest area in 2030, merely for the development in Batam.

Key words: LCA, AHP, ISM, element, impact, material, pre-cast, energy, AHP, ISM


(4)

HAIRUL SITEPU, Model Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan melalui Optimasi Pelaksanaan Green Construction di Batam, dibawah bimbingan Bambang Pramudya sebagai ketua, Aris Munandar, Etty Riani dan Rinekso Soekmadi sebagai anggota.

Pembangunan yang baik adalah pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu dengan mempertimbangkan aspek lingkungan sejak dari perencanaan, pelaksanaan pembangunan sampai pemanfaatannya. Peningkatan pertambahan jumlah populasi penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya baik dari segi kuantitas maupun dari sisi kualitas, sehingga faktor pertambahan penduduk ini mempengaruhi perubahan yang besar dalam lingkungan hidup. Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup manusianya, pemerintah telah melakukan peremajaan kota sebagai upaya penataan kembali bagian kawasan kota dengan cara mengganti sebagian, atau seluruh dari unsur-unsur lama dengan yang lebih baru. Baik itu dalam bentuk rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) ataupun rumah susun sederhana milik (Rusunami) Pemerintah merencanakan pembangunan Rusunawa dalam 5 tahun kedepan sebanyak 650 twin block (TB) yang seluruhnya akan menggunakan konstruksi beton.

Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi jenis – jenis bahan bangunan utama yang ramah lingkungan dalam beberapa alternatif pelaksanaan konstruksi pengembangan rusunawa, mendapatkan alternatif pelaksanaan konstruksi pembangunan rusunawa yang ramah lingkungan, mengidentifikasi aktor dan kendala dalam pelaksanaan pengembangan Rusunawa, serta mendesain kebijakan pembangunan rusunawa yang ramah lingkungan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi hijau (green construction).

Pembangunan rusunawa membutuhkan banyak sumberdaya alam sebagai bahan baku konstruksi. Pemanfaatan sumberdaya tersebut dapat berdampak terhadap kerusakan pada sumberdaya alam dan lingkungan. Bangunan rusunawa terbuat dari konstruksi beton, yang dalam pengerjaannya dapat dilakukan melalui 3 alternatif pelaksanaan konstruksi, yaitu secara konvensional, semi pracetak dan pracetak. Bahan bangunan yang digunakan antara lain terdiri dari semen, bata merah, batu pecah, pasir, keramik, besi beton, besi biasa, baja ringan, alumunium, kaca, kayu panel pintu, dan air. Bahan baku yang digunakan sebagai bahan pendukung pembangunan terdiri dari baja scafolding, baja cetakan, kayu penyangga, kayu cetakan, dan oli cetakan. Penelitian dimulai dengan menghitung kebutuhan bahan bangunan masing-masing alternatif.

Pengolahan data penggunaan bahan bangunan masing-masing alternatif dilaksanakan dengan pendekatan Life Cycle Assesment (LCA) melalui bantuan perangkat lunak SimaPro5. Hasil karakterisasi yang diperoleh menunjukkan bahwa hampir seluruh dampak lingkungan terbesar didominasi oleh kontributor proses pada pembuatan rusunawa menggunakan beton konvensional, kecuali pada dampak pengasaman dan sumberdaya. Penggunaan beton semi pracetak dan pracetak secara umum bisa mengurangi dampak terhadap lingkungan. Hasil skor tunggal secara agregat menunjukkan penggunaan beton semi pracetak memiliki kinerja sedikit lebih baik dibandingkan dengan penggunaan beton pracetak dalam hal dampak lingkungan yang ditimbulkan daur hidup kontributor prosesnya. Dampak lingkungan secara keseluruhan akibat daur hidup kontributor proses penggunaan beton konvensional sebesar 18,6 kPt. Hal ini bisa diturunkan menjadi hanya 13,8 kPt dengan penggunaan beton pracetak dan menjadi hanya 13,0 kPt dengan penggunaan beton semi pracetak. Sementara perbedaan kemampuan antara penggunaan beton pracetak dan beton semi pracetak sekitar 6% (0,8 kPt) dalam menurunkan dampak lingkungan


(5)

memiliki dampak terbesar dalam pembangunan rusunawa terhadap lingkungan. Bahan lain yang memiliki dampak terbesar adalah semen yang terbuat dari copper slag, steel slag, pasir silika dan bahan-bahan ferrite. Pada proses pembuatan semen jika tidak dikelola dengan benar akan menyebabkan global warming akibat emisi dari proses pembakaran bahan bakar fosil. Adapun elemen yang memberikan dampak paling kecil adalah air untuk beton karena tidak melalui pengolahan dan penggunaan truk.

Hasil LCA dan ISM menjadi landasan penyusunan strategi kebijakan pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Pelaku utama yang harus berperan dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan di Kota Batam adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat. Kedua institusi ini harus mendorong pengembangan rusunawa terutama melalui sosialisasi untuk meningkatkan kemampuan SDM dan pemahaman semua pihak. Selain itu, perlu dilakukan kebijakan yang bisa mendorong penerapan prioritas bagi konstruksi beton semi pracetak bagi keberhasilan pengembangan rusunawa ramah lingkungan

Pelaksanaan konstruksi dengan menggunakan beton semi pracetak dan pracetak mempunyai kelebihan dalam percepatan waktu pelaksanaan dan biaya lebih murah dibanding konvensional, sedangkan semi pracetak adalah yang lebih ramah lingkungan. Kekurangan penggunaan beton semi pracetak adalah penggunaan tenaga kerja secara total lebih sedikit dibandingkan beton konvensional, namun penggunaan tenaga kerja terampil lebih banyak. Besi beton dan semen merupakan kontributor proses yang bisa memberikan dampak paling besar, sementara air untuk beton dan penggunaan truk merupakan elemen dengan dampak terkecil. Hampir seluruh elemen bahan bangunan berpotensi menimbulkan tiga dampak lingkungan dominan, yaitu: (1) kandungan racun lingkungan perairan kronis; (2) kandungan racun lingkungan perairan akut; (3) kandungan racun lingkungan tanah kronis.

Berdasarkan kajian struktur sistem, maka Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat merupakan pelaku kunci (key stakeholders) dalam pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Sementara sosialisasi merupakan kendala utama yang menghambat pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Semua hasil tersebut menjadi bahan penyusunan kebijakan stakeholders kunci guna keberhasilan pengembangan rumah susun ramah lingkungan, khususnya di Kota Batam .


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB


(7)

RAMAH LINGKUNGAN MELALUI OPTIMASI

PELAKSANAAN

GREEN CONSTRUCTION

DI BATAM

HAIRUL SITEPU

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(8)

Ujian tertutup pada 10 September 2011, Penguji luar:

1. Prof. Dr. Ir. Hadi Susilo 2. Dr. Ir. Andi Gunawan

Ijian terbuka pada 11 Oktober 2011, Penguji luar:

1. Dr. Ir. Hazaddin TS 2. Dr. Ir. Siti Nurisjah


(9)

(10)

Penulis dilahirkan di Desa Pamah Tambunan, Langkat, Sumatera Utara pada tanggal 15 Mei 1962, merupakan anak ke 5 dari 8 bersaudara dari pasangan B. Sulaiman Sitepu (alm) dan Ayem br. Singarimbun. menyelesaikan pendidikan S1 Teknik Sipil pada tahun 1991, S2 Manajemen pada tahun 2001 di Surabaya. Pada tahun 2005 diterima sebagai mahasiswa S3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja di Kanwil Departemen Pekerjaan Umum Provinsi Jawa Timur sejak 1983 sampai 2002, lalu bekerja Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah di Jakarta sejak 2003 sampai 2004, selanjutnya bekerja di Kementerian Perumahan Rakyat sejak 2005 sampai sekarang. Pengalaman mengajar di Fakultas Teknik Sipil Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya dan Fakultas Teknik Sipil Universitas Bhayangkara Surabaya pada tahun 1998 sampai 2002.

Penulis menikah pada 21 April 1991 dengan Sempa Arih Ginting, SE, MSi dikaruniai seorang putra Lazuar Anshar Ramadhan Sitepu dan seorang putri Layasi Andhini Sitepu.


(11)

Disertasi ini kupersembahkan kepada istriku, kedua anakku dan orangtuaku serta seluruh seluruh keluarga besarku


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xviii

I . PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 5

1.3. Tujuan Penelitian ... 8

1.4. Manfaat Penelitian ... 9

1.5. Kerangka Pemikiran ... 9

1.6. Novelty ... 12

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1. Pembangunan Berkelanjutan ... 13

2.2. Perkotaan dan Lingkungan ... 15

2.3. Rumah Susun ... 19

2.4. Green Environment ... 21

2.5. Green Building ... 21

2.6. Ruang Terbuka Hijau ... 22

2.7. Beton Konvensional ... 28

2.8. Beton Pracetak ... 28

2.9. Energi Bahan Bangunan ... 30

2.10. Pemanasan Global ... 32

III. METODE PENELITIAN ... 36

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 36

3.2. Jenis Data, Teknik Pengumpulan Data, dan Sumber Data ... 36

3.2.1. Data Spasial ... 37

3.2.2. Data Sosial Ekonomi ... 37

3.2.3. Data Bahan Bangunan ... 37

3.2.4. Data Fisik Konstruksi ... 38

3.2.5. Data Sumber Daya Alam dan Lingkungan ... 38

3.3. Teknik Penarikan Sampel ... 39

3.4. Pendekatan Penelitian ... 40

3.5. Life Cycle Assassment (LCA) ... 40

3.6. Analytical Hierarchy Proccess (AHP) ... 48

3.7. Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 51

3.8. Pendekatan Sistem ... 54

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 64

4.1. Gambaran Umum Kota Batam ... 64

4.1.1. Geografis dan Administrasi ... 64

4.1.2. Kependudukan ... 66

4.1.3. Pemanfaatan dan Pengembangan Lahan ... 67


(13)

4.3. Pembangunan Fisik Rusunawa ... 78

4.3.1. Metoda Pelaksanaan ... 78

4.3.2. Sistem Pracetak Beton yang Digunakan ... 80

4.3.3. Kebutuhan Bahan Bangunan ... 82

4.4. Analisis LCA ... 84

4.4.1. Bahan Baku Pembangunan Rusunawa ... 84

4.4.2. LCA Beton Konvensional ... 86

4.4.3. LCA Beton Semi Pracetak (Semi PC) ... 98

4.4.4. LCA Beton Pracetak (PC) ... 108

4.4.5. Perbandingan Alternatif ... 115

4.5. AHP ... 122

4.6. Struktur Sistem Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan ... 133

4.6.1. Elemen Pelaku atau Institusi Sistem Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan ... 134

4.6.2. Kendala Utama Terkait Sistem Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan ... 141

4.7. Sistem Dinamik Pengelolaan Ramah Lingkungan ... 147

4.7.1. Sub-sistem Sosial Kependudukan ... 151

4.7.2. Sub-sistem Lingkungan Fisik ... 153

4.7.3. Sub-sistem Nilai Ekonomi ... 164

4.7.4. Validasi Model ... 168

4.8. Model Konseptual Kebijakan Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan ... 169

4.8.1. Pendekatan Kebijakan ... 170

4.8.2. Kebijakan Prioritas Pengembangan Rusunawa Ramah Lingkungan ... 172

4.8.3. Model Kebijakan ... 174

4.8.4. Implikasi Kebijakan ... 185

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 186

5.1. Simpulan ... 186

5.2. Saran ... 188

DAFTAR PUSTAKA ... 189


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Jumlah menara rusuna yang telah dibangun Lima tahun terakhir ... 6

2 Rencana pembangunan rusunawa ... 6

3 Pengaruh hutan kota terhadap parameter lingkungan ... 24

4 Daftar precaster yang telah mendapat hak paten di Indonesia... .. 30

5 Kandungan energi bahan bangunan ... 31

6 Jenis-jenis peta dan sumber ... 37

7 Jenis data dan sumber data sosial ekonomi ... 37

8 Jenis data dan sumber data bahan bangunan ... 38

9 Jenis data dan sumber data fisik konstruksi ... 38

10 Jenis data dan sumber daya alam dan lingkungan ... 38

11 Pengambilan jumlah responden ... 40

12 Katagori life cycle impact assesment ... 44

13 Skala penilaian perbandingan berpasangan ... 49

14 Structural sel interaction matrix (SSIM) awal elemen ... 52

15 Hasil reschability matrix (RM) final elemen ... 52

16 Jumlah penduduk Kota Batam tahun 2010 ... 66

17 Pertumbuhan penduduk Kota Batam tahun 2006-2010... 67

18 Spesialisasi fungsi pusat Kota Batam ... 69

19 Pengembangan rusunawa dan rusunami hingga tahun 2009 ... 75

20 Pengembangan rusunawa dan rusunami tahun 2009 ... 76

21 Analisis kebutuhan pengembangan rusunawa di Kota Batam ... 78

22 Kebutuhan bahan bangunan masing-masing alternatif ... 83

23 Perbandingan kebutuhan bahan pembangunan rusunawa berdasarkan volume dan harga ... 85

24 Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional ... 91

25 Kontributor utama untuk kategori dampak beton konvensional ... 94

26 Hasil karakteristik setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional ... 96

27 Hasil normalisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton konvensional ... 97

28 Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton semi pracetak ... 102

29 Kontributor utama untuk kategori dampak beton semi pracetak ... 103

30 Hasil karakteristik setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton semi pracetak ... 106

31 Hasil normalisasi setiap kontributor terhadap setiap dampak beton semi pracetak... 107

32 Single score setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak beton pracetak... 110

33 Kontributor utama untuk kategori dampak penggunaan beton pracetak ... 111

34 Hasil karakteristik setiap kontributor terhadap setiap dampak beton pracetak... 113


(15)

35 Hasil normalisasi setiap kontributor terhadap setiap kategori dampak

beton pracetak ... 114

36 Perbandingan kontributor utama pada setiap alternatif ... 117

37 Kebutuhan energi setiap alternatif... ... 118

38 Kandungan emisi karbon tiap jenis bahan bakar... ... 119

39 Matriks interaksi tunggal terstruktur (SSIM) elemen pelaku ... 135

40 Hasil reachability matrix (RM) elemen pelaku ... 136

41 Hasil reachability matrix (RM) revisi elemen pelaku ... 137

42 Matrix interaksi tunggal terstruktur (SSIM) elemen kendala utama ... 141

43 Hasil reachability matrix (RM) elemen kendala utama ... 142

44 Hasil reachability matrix revisi elemen kendala utama ... 143

45 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja di Kota Batam .. 152

46 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman di Kota Batam .... 154

47 Hasil simulasi kebutuhan lahan rumah di Kota Batam ... 157

48 Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam ... 159

49 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam ... 160

50 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam ... 161

51 Hasil simulasi potensi penyerapan CO2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam ... 162

52 Hasil simulasi biaya pembangunan dan keuntungan pembangunan pemukiman di Kota Batam ... 166

53 Hasil simulasi biaya sewa rumah bagi tenaga kerja di Kota Batam ... 167

54 Data validasi model pengembangan rusunawa ramah lingkungan berdasarkan perkembangan jumlah penduduk ... 168


(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Perbandingan persentase APBN dalam memfasilitasi pembangunan

perumahan ... 5

2 Kerangka pemikiran penelitian... 12

3 Profil penggunaan lahan ... 27

4 Konstruksi beton konvensional ... 28

5 Perakitan sistem beton pracetak ... 29

6 Tahapan rencana penelitian ... 36

7 Prinsip kerja LCA ... 41

8 Tahapan penyusunan LCA ... 42

9 Hierarki pengambilan keputusan (AHP) kebijakan pengembangan rumah susun sederhana (rusunawa) ramah lingkungan ... 50

10 Tingkat pengaruh dan ketergantungan antar faktor ... 54

11 Diagram causal loop... 57

12 Diagram input-output model pengembangan rusunawa ... 58

13 Batas administrasi Kota Batam ... 65

14 Peta rencana pemanfaatan lahan berdasarkan RTRW Kota Batam tahun 2004-2014 ... 68

15 Sistem sambungan konstruksi beton pracetak ... 81

16 Sistem column, beam and slab ... 82

17 Hasil analsis diagram pohon tahapan proses daur hidup beton konvensional ... 87

18 Hasil analsis diagram pohon tahapan proses daur hidup semen... ... 88

19 Hasil analsis diagram pohon tahapan proses daur hidup besi beton... ... 88

20 Hasil analsis diagram pohon tahapan proses daur hidup kayu penyangga... ... 89

21 Hasil analisis single score beton konvensional ... 90

22 Besarnya dampak penggunaan besi beton pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt) ... 92

23 Besarnya dampak penggunaan semen pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt) ... 92

24 Besarnya dampak penggunaan bata merah pada pembangunan rusunawa menggunakan beton konvensional untuk setiap kategori (Pt) ... 93

25 Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton konvensional ... 94

26 Hasil karakteristik setiap kontributor proses beton konvensional ... 95

27 Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak lingkungan menggunakan beton konvensional ... 95

28 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup bata merah ... 98

29 Hasil analisis single score beton semi precetak ... 99

30 Besarnya dampak penggunaan semen pada pembangunan rusunawa menggunakan beton pracetak untuk setiap kategori (Pt) ... 99


(17)

31 Besarnya dampak penggunaan besi beton pada pembangunan rusunawa

menggunakan beton semi pracetak untuk setiap kategori (Pt) ... 100

32 Besarnya dampak penggunaan bata merah pada pembangunan rusunawa menggunakan beton pracetak untuk setiap kategori (Pt) ... 100

33 Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton semi pracetak ... 104

34 Hasil karakteristik setiap kontributor proses beton semi pracetak ... 105

35 Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak lingkungan menggunakan beton semi pracetak ... 105

36 Hasil analisis diagram pohon tahapan proses daur hidup beton pracetak . 108 37 Hasil analisis single score beton pracetak ... 109

38 Hasil pembobotan (weighting) dampak lingkungan penggunaan beton pracetak... 111

39 Hasil karakteristik setiap kontributor proses beton pracetak ... 112

40 Hasil normalisasi pada setiap jenis dampak beton pracetak ... 112

41 Perbandingan hasil karakteristik pada setiap alternatif ... 115

42 Perbandingan hasil normalisasi pada setiap alternatif ... 116

43 Perbandingan hasil pembobotan pada setiap alternatif ... 116

44 Perbandingan hasil skor tunggal pada setiap alternatif ... 117

45 Konsumsi energi di Indonesia tahun 2005... 119

46 Penyebab utama emisi CO2... 121

47 Hasil analisis AHP pemilihan bahan rusunawa ramah lingkungan ... 125

48 Prioritas pendapat pakar dalam pengembangann rusunawa ... 126

49 Faktor-faktor dalam pengembangan rusunawa ... 127

50 Tujuan dalam pengembangan rusunawa ... 130

51 Alternatif dalam pengembangan rusunawa ... 131

52 Klasifikasi elemen pelaku berdasarkan tingkat ketergantungan ... 138

53 Level hirarki dan hubungan dalam elemen pelaku ... 140

54 Klasifikasi elemen kendala utama berdasarkan tingkat ketergantungan dan daya pendorongnya ... 144

55 Level hirarki dan hubungan dalam elemen kendala utama ... 146

56 Stock-flow diagram model pengembangan pemukiman di Kota Batam ... 148

57 Hasil simulasi jumlah penduduk dan tenaga kerja di Kota Batam ... 152

58 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman di Kota Batam .... 154

59 Hasil simulasi kebutuhan lahan rumah di Kota Batam ... 156

60 Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam ... 158

61 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam ... 159

62 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam ... 161

63 Hasil simulasi potensi penghematan CO2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam ... 162

64 Hasil simulasi biaya pembangunan dan keuntungan pembangunan pemukiman di Kota Batam ... 165

65 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi di Kota Batam ... 166

66 AVE jumlah penduduk di Kota Batam ... 169

67 AME jumlah penduduk di Kota Batam... 169


(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Diagram pohon alternatif beton semi pracetak ... 197

2. Diagram pohon alternatif beton pracetak ... 198

3. Persamaan matematik model dinamik pengembangan rusunawa ... ... 199


(19)

I.

P

P

E

E

N

N

D

D

A

A

H

H

U

U

L

L

U

U

A

A

N

N

1.1Latar Belakang

Indonesia sebagai Di negara yang sedang berkembang, seperti Indonesia, dengan tingkat kesejahteraan masih rendah, pembangunan menjadi sangat penting dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Pembangunan yang dilakukan selain membawa dampak positif juga membawa dampak negatif terhadap kerusakan lingkungan, apabila pembangunan yang dilakukan tidak direncanakan dan dilaksanakan dengan baik.

Pembangunan yang baik adalah pembangunan berwawasan lingkungan, yaitu dengan memperhatikan mempertimbangkan aspek lingkungan sejak perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, sampai pembongkarannya (demolish). Adanya pelaksanaan pembangunan yang berwawasan lingkungan, dapat dikatakan bahwa pembangunan tersebut sudah merupakan bagian dari pembangunan yang berkelanjutan.

Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup (PPLH) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya ke dalam proses pembagunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. Adapun pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) haruslah memiliki konsep dalam melaksanakan kegiatan pembagunannya, yaitu : (a) Konsep pembangunan, (b) Konsep lingkungan, (c) Konsep sosial budaya.

Kegiatan pPembangunan yang dilakukan oleh manusia pada hakekatnya bertujuan untuk mensejahterakan kehidupan manusia. Pertambahan populasi penduduk menyebabkan peningkatan kebutuhan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik dari segi kuantitas maupun dari sisi kualitas, sehingga faktor pertambahan penduduk ini mempengaruhi perubahan yang besar dalam lingkungan hidup (Soemarwoto, 2001). Agar berperan aktif dalam pembangunan, maka sSumberdaya tidak hanya harus berperan aktif dan tidak hanya dikelola secara berkelanjutan (sustainable management), tetapi perlu


(20)

dikelola menuju pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Pembangunan yang berkelanjutan tersebut memerlukan keseimbangan antara ekonomi, sosial dan ekologi. Ketiga aspek tersebut harus dapat diwujudkan melalui trade off yang dapat diterima dan disepakati para pihak (Rossi, 2004).

Pertambahan penduduk perkotaan di Indonesia sangat pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari total penduduk nasional pada tahun 2015 (BPS, 20033).

Salah satu implikasi tingginya kKepadatan penduduk perkotaan tersebut berimplikasi padaadalah mepeningkatanya kebutuhan perumahan, yang merupakan masalah utama kota-kota besar di Indonesia. Hal tersebut ditandai dengan adanya hubungan kuat antara penyebaran pengembangan perumahan dengan ketersediaan lahan, harga tanah, dan aksesibilitas. Bahkan karena keterbatasan lahan, maka kualitas lingkungan dan perumahan masuk pada kategori tidak layak jika ditinjau dari segi kesehatan.

Dalam rangka meningkatkan kualitas lingkungan hidup manusianya, pemerintah telah melakukan peremajaan kota sebagai upaya penataan kembali bagian kawasan kota dengan cara mengganti sebagian, atau seluruh dari unsur-unsur lama dengan yang lebih baru. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan vitalitas serta kualitas lingkungan baik secara fisik, fungsional, maupun visual. Adanya peningkatan vitalitas dan kualitas lingkungan, diharapkan dapat memberikan kontribusi yang lebih baik bagi kehidupan kota secara keseluruhan. Adapun salah satu cara untuk meningkatkan vitalitas dan kualitas lingkungan tersebut dengan cara melakukan pembangunan rumah susun, . Bbaik dalam bentuk rumah susun sederhana sewa (Rusunawa) ataupun rumah susun sederhana milik (Rusunami).

Pembangunan rumah susun sebagai kebijakan pembangunan perumahan telah lama dilaksanakan. Rumah susun yang pertama dibangun pada tahun 1950-an adalah berupa flat perumah1950-an inst1950-ansi pemerintah di Jal1950-an Isk1950-andarsyah, Jakarta Selatan, diperuntukkan bagi perumahan PNS Departemen Luar Negeri.


(21)

Namun saat ini rumah susun tersebut telah beralih fungsi menjadi kawasan bisnis Pasar Raya. Selain itu juga terdapat rumah susun Flat PTIK di Jl. Tirtayasa, yang hingga saat ini kondisinya masih terawat dengan baik. Rumah susun lainnya adalah Rumah Susun Kebon Kacang yang merupakan pembangunan rumah susun (public housing) untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Rusunawa seperti tersebut di atas juga telah dibangun di Tanah Abang, Penjaringan, Cengkareng, Medan, Bandung, Batam dan lain-lain. Menurut para stakeholders, dengan membangun rumah susun di daerah perkotaan, maka kota dapat ditata dengan rapi, efisien, dan kota bercitrakan modern.

Hingga saat ini telah dilakukan berbagai penelitian yang mencoba mencari hubungan pengembangan perumahan dengan aspek keberlanjutan, baik ditinjau dari fisik lingkungan, sosial, maupun ekonomi. Elder dan Zumpano (1991) telah melakukan penelitian kepemilikan lahan, permintaan perumahan dan lokasi perumahan. Penelitian ini mendapatkan hasilHasil penelitian tersebut menyatakan bahwa salah satu aspek yang menjadi pertimbangan penting dalam pemilihan rumah adalah jarak lokasi perumahan ke tempat kerja. Hal tersebut menjadi pertimbangan pemilihan rumah oleh kepala keluarga yang menggunakan sarana angkutan umum.

Penelitian lainnya dilakukan oleh Almeida (1998) yang meneliti model tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Hasil pemodelan ini menunjukkan bahwa dinamika tata guna lahan memberikan estimasi pada perkembangan perkotaan berkelanjutan. Tamin (2001) dalam hasil penelitiannya menyebutkan bahwa belum ada pemodelan yang menjelaskan penentuan lokasi perumahan berkelanjutan secara komprehensif.

Sheiner dan Kaster (2002) melakukan penelitian tentang gaya hidup, pilihan lokasi perumahan dan mobilitas sehari-hari. Hasil penelitian tersebut, hasilnya menunjukkan bahwa pilihan lokasi perumahan dan mobilitas sehari-hari adalah hal yang saling terkaitberhubungan. Ionnidesdan Rossi-Housberg (2004) meneliti struktur dan pertumbuhan kota, dan hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pola konsentrasi kegiatan ekonomi dan evolusinya merupakan determinan pertumbuhan ekonomi nasional. Evaluasi distribusi kota memiliki hubungan erat dengan pertumbuhan ekonomi nasional.


(22)

Freeman (2004) meneliti tentang trend lokasi perumahan, hasil penelitiannya menunjukkanhasil penelitiannya menunjukkan bahwa kedekatan dengan lokasi perumahan pemerintah dapat meningkatkan keterjangkauan daya beli rumah murah. Winarso (2004) meneliti tentang kebijakan pertanahan untuk pengembangan lahan perumahan di Indonesia. Hasil, hasil penelitiannya menunjukkan bahwa kebijakan lahan perkotaan termasuk faktor eksogen, yang akan yang akan mempengaruhi keputusan para pengembang dalam memilih lokasi perumahan.

Dilain pihak pDi lain pihak pembangunan perumahan khususnya rusunawa tentunya membutuhkan banyak sumberdaya alam sebagai bahan baku konstruksinya, seperti: pasir, batu, semen, besi, kayu, dll. Keberadaan bahan-bahan bangunan tersebut sangat terbatas secara kuantitas di alam. Pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan, saat ini sudah dalam tahap memprihatinkan. Kegagalan pengelolaah hutan produksi secara lestari, telah menyebabkan banjir, longsor, erosi sampai berkurangnya penyerapan CO2 yang berpengaruh pada perubahan iklim global.

Hutan Indonesia mencapai 63% dari luas daratan dan menjadi bagian penting dari paru-paru kehidupan dunia, sehingga kelestarian hutan Indonesia tidak hanya menjadi kepentingan Bangsa Indonesia tetapi juga menjadi kepentingan bangsa-bangsa di seluruh dunia (Poernama, 2006). Akan tetapi di Indonesia sampai sekarang terus terjadi deforestrasi dan degradasi hutan yang menyebabkan penurunanpenurunan penutupan vegetasi hutan. Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985/1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2005-2010 menjadi sebesar 1,08 juta hektar. Demikian juga penggalian pasir dan batu yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan telah menyebabkan bahaya banjir dan longsor yang menelan korban jiwa.

Kondisi tersebut di atas mendorong perlunya Demikian juga penggalian pasir dan batu yang tidak memperhatikan aspek keberlanjutan telah menyebabkan bahaya banjir dan longsor serta menelan korban jiwa.


(23)

penelitian tentang sistem pembangunan rusunawa yang ramah lingkungan, yang dalam pelaksanaan pembangunannya secara fisik, memanfaatkan sumberdaya alam seminimal mungkin. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu disusun suatu model pengembangan rusunawa yang ramah lingkungan dengan mengoptimalkan pelaksanaan konstruksi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dan solusi yang ideal untuk mengefisiensikan pelaksanaan pembangunan rusunawa, sehingga mewujudkan pengembangan Rusunawa yang memperhatikan kelestarian lingkungan (environmental sustainability).

1.2 Perumusan Masalah

Tingginya pertumbuhan penduduk di perkotaan dan sangat terbatasnya lahan mengakibatkan kondisi pemenuhan kebutuhan perumahan dan permukiman di perkotaan masih belum terealisir sepenuhnya. Bahkan kondisi ini terjadi hampir di seluruh pelosok Indonesia, karena pertambahan penduduk setiap tahunnya relatif tidak diimbangi dengan ketersediaan perumahan dan permukiman. Selain itu, permasalahan yang menyebabkan belum terpenuhinya kebutuhan perumahan adalah akibat kemampuan ekonomi masyarakat yang terbatas. Sebagai perbandingan, persentase alokasi dana APBN dalam memfasilitasi pembangunan perumahan di Indonesia, dibanding dengan negara-negara lain adalah sebagaimana disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Perbandingan persentase APBN dalam memfasilitasi pembangunan perumahan, (Menpera, 2009)

Kondisi tersebut menyebabkan masalah kekurangan rumah (backlog) di Indonesia masih terus meningkat. Sensus perumahan yang dilaksanakan BPS Tahun 200710 menunjukkan angka backlog sebesar 8,5 juta dan perlunya


(24)

rekonstruksi rumah akibat bencana alam sebesar 118 ribu unit, adanya rumah tidak layak huni 13 juta unit, permukiman kumuh pada 54 ribu hektar di 10 ribu lokasi dan pertambahan kebutuhan rumah 800.000 unit/tahun.

Pada uUmumnya pembangunan perumahan untuk golongan menengah ke atas lebih banyak dibandingkan dengan tingkat pembangunan rumah sederhana untuk kelompok menengah ke bawah. Padahal, dilihat dari statistik dan komposisi penduduk, jumlah penduduk yang masuk kategori menengah ke bawah jauh lebih banyak dibanding kelas menengah atas. Sementara itu, pembangunan perumahan sederhana maupun Rusunawa dapat dikatakan belum menunjukkan pertumbuhan berarti. Perumahan untuk masyarakat menengah ke bawah dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), bahkan hampir tidak ada yang dikembangkan oleh pengembang. Menurut Suwito S. (2004), hantaman kKrisis ekonomi yang membuat harga bahan bangunan menjulang semakin memperpuruk kondisi rakyat kecil terhadap kebutuhan papan.

Pada tahun 2006 pemerintah mencanangkan program pembangunan 1.000 menara rumah susun sederhana (Rusuna), baik itu Rusunawa (sewa) yang akan dikembangkan oleh pemerintah maupun Rusunami (milik) yang akan dikembangkan oleh swasta. Target ini diharapkan dapat dicapai pada tahun 2011, dengan melibatkan stakeholders, namun realisasi pembangunan Rusuna sampai saat ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah menara Rusuna yang telah dibangun lima tahun terakhir. (Menpera, 2011)

Tahun Rusunawa Rusunami Total

2005 50 - 50

2006 67 - 67

2007 86 - 86

2008 98 7 105 2009 55 94 149 2010

2011

49 143

49 143

Melihat lambatnya perkembangan pembangunan Rusunami oleh pengembang swasta, maka pemerintah merencanakan pembangunan 650 menara Rusunawa selama lima tahun, sebagaimana rencana pada Tabel 2.

Tabel 2. Rencana pembangunan Rusunawa, (Bappenas, RPJMN 2010-2014)


(25)

2010 170 2011 170 2012 170 2013 70 2014 70

Kalau dilihat dari rencana masa pelaksanaan pembangunan Rusuna, baik Rusunami yang akan dibangun pengembang maupun Rusunawa yang akan dibangun pemerintah melalui Kementerian Perumahan Rakyat dan Kementerian Pekerjaan Umum, akan ada pembangunan 200 menara setiap tahun. Hal ini akan menyebabkan penggunaan sumber daya alam untuk bahan bangunan secara besar-besaran, khususnya penggunaan kayu, pasir, batu, semen sampai besi. Bahan-bahan bangunan tersebut tentunya akan diambil langsung dari alam, yang dikhawatirkan akan menyebabkan kerusakan lingkungan.

Pada saat pelaksanaan konstruksi, kayu dimanfaatkan sebagai bahan bangunan utama berupa kusen, rangka atap, daun pintu dan jendela, maupun untuk bahan bangunan pendukung konstruksi berupa bekesting dan perancah. Biasanya kayu diambil langsung dari hutan, dengan menebang pepohonan yang berfungsi sebagai penyedia O2, penyerap CO2, pencegah erosi dan banjir. Demikian juga dengan bahan bangunan lain seperti pasir dan batu, yang biasanya langsung diambil dari sungai atau pegunungan, yang berfungsi sebagai penahan tanah longsor dan banjir.

Dalam penyediaan bahan bangunan yang diambil dari alam, kemudian diolah sampai menjadi bahan siap pakai untuk dipasang dan dirakit sebagai bagian konstruksi, memerlukan banyak energi. Baik itu energi yang dihasilkan oleh bahan bakar yang dapat diperbaharui seperti: nabati, air, angin, sinar matahari, maupun dari bahan bakar yang tidak dapat diperbaharui seperti dari fosil-fosil. Sebagaimana diketahui, sampai saat ini bahwa mayoritas energi yang dipakai adalah dari bahan bakar fosil, yang dalam penggunaannya mengeluarkan emisi CO2 sebagai salah satu gas rumah kaca.

Melihat kondisi tersebut di atas, bahwa penggunaan kayu dalam pembangunan fisik Rusunawa dapat mengurangi persediaan O2 dan mengurangi pula penyerapan CO2 oleh tanaman kayu tersebut. Kondisi yang sama juga terjadi


(26)

pada pemanfaatan sumber daya alam berupa pasir, batu dan semen yang dapat mengurangi daya dukung lingkungan, ditambah kebutuhan energi untuk membuat bahan bangunan agar siap pakai. Oleh karena itu dirasa perlu melakukan penelitian terhadap cara-cara pelaksanaan konstruksi yang ramah lingkungan dengan mengurangi penggunaan sumber-sumber daya alam yang berdampak negatif terhadap lingkungan.

Adanya pPembangunan rusunawa ini tentu saja tidak serta merta menyelesaikan permasalahan pemenuhan kebutuhan akan rumah, karena dalam pelaksanaan pembangunannya harus mempertimbangkan kesiapan dan daya dukung lingkungan. Oleh karena itu beberapa fokus permasalahan yang dapat diformulasikan, untuk dicarikan jawabannya adalah:

1. Bahan bangunan apa saja yang termasuk katagori ramah lingkungan, baik dari segi kebutuhan energi pembuatannya, pemasangannya, sampai pengelolaannya, hingga perkiraan dampak lingkungan yang akan ditimbulkannya ?

2. Jenis pelaksanaan konstruksi seperti apa yang dapat dipilih, agar seminimal mungkin menggunakan bahan-bahan bangunan dari sumber daya alam, yang berdampak pada ketahanan lingkungan ?

3. Bagaimana kesediaan stakeholders dalam mengembangkan Rusunawa dengan metoda pelaksanaan dan penggunaan bahan bangunan yang ramah lingkungan (green building) ?

4. Apa saja kendala yang dihadapi selama ini dalam mengembangkan Rusunawa melalui optimasi pelaksanaan konstruksi

1.3Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah membangun model pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan (green building) dengan optimasi pelaksanaan konstruksi. Guna mencapai tujuan tersebut, maka pada penelitian ini akan dilakukan berbagai kajian yang akan mendukung tujuan penelitian, yaitu:

1. Menganalisa gidentifikasi jenis–jenis bahan bangunan utama yang berperan penting ramah lingkungan ddalam beberapa alternatif pelaksanaan konstruksi


(27)

pengembangan Rrusunawa yang berpotensi menimbulkan dampak lingkungan;ramah lingkungan.

2. Mengidentifikasi alternatif pelaksanaan konstruksi pembangunan Rrusunawa yang ramah lingkungan melalui optimasi pelaksanaan konstruksi bangunan hijau (green building construction).;

3. Mengidentifikasigidentifikasi kendala dalam pelaksanaan pengembangan Rrusunawa yang ramah lingkungan;.

4. Mengembangkan model pengembangan Rrusunawa yang ramah lingkungan;.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat sebagai :

1. Gambaran umum tentang permasalahan perumahan dan permukiman, khususnya dalam pengembangan pelaksanaan pembangunan Rusunawa yang ramah lingkungan.

2. Informasi tentang bahan-bahan bangunan yang ramah lingkungan, yaitu yang hemat energi dengan tingkat emisi minimal, yang dibutuhkan dalam pembangunan Rusunawa.

3. Alternatif model pelaksanaan konstruksi pengembangan Rusunawa, sebagai salah satu strategi pemenuhan kebutuhan rumah yang ramah lingkungan. 4. Referensi dalam pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan.

5. Informasi ilmiah untuk pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan (green building) melalui optimasi pelaksanaan konstruksi bangunan hijau (green construction).

1.5 Kerangka Pemikiran

Pembangunan Rusunawa sebagai salah satu solusi pemenuhan kebutuhan perumahan di kawasan perkotaan, telah lama dikembangkan pemerintah, khususnya lagi setelah pencanangan pengembangan 1.000 menara Rusuna. Rusunawa yang akan dikembangkan adalah yang direncanakan memenuhi aspek-aspek keberlanjutan, yaitu hemat energi, hemat sumber daya alam, nyaman dan aman serta seminimal mungkin menghasilkan limbah dan sampah (green building). Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun 2010, yang dimaksud dengan bangunan ramah lingkungan (green


(28)

building) adalah suatu bangunan yang menerapkan prinsip lingkungan dalam perancangan, pembangunan, pengoperasian, dan pengelolaannya dan aspek penting penanganan dampak perubahan iklimMenurut . Iggnes (2008), menyatakan bahwa bangunan yang berkelanjutan haruslah memiliki konsep sebagai berikut: (1) Pemilihan material yang low energy-embody; (2) Orientasi tata letak bangunan; (3) Hemat energi; (4) Hemat penggunaan air; (5) Memiliki

recycle air buangan; (6) Penanganan sampah 3R (reuse, reduce, recycle); (7)

Low heat dissipation; (8) Memperhatikan unsur iklim lokal; (9) Penggunaan HVAC yang ramah ozon; (10) Memiliki juklak/SOP pengoperasian bangunan dengan spirit penghematan energi dan sumber-sumber yang digunakan.

Selain itu, menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No: 05/PRT/M/2007 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Susun Sederhana Bertingkat Tinggi diantaranya memberikan acuan untuk pembangunan Rusunawa dengan cara sebagai berikut:

1. Menerapkan rancangan, teknologi konstruksi, mekanikal dan elektrikal, maupun pengelolaan rumah susun hemat energi.

2. Maksimalisasi ventilasi silang secara alami untuk menaikkan tingkat nisbi dan menurunkan suhu ruangan.

3. Minimalisasi pemakaian lampu dengan memaksimalkan pencahayaan alami. 4. Menggunakan peralatan managemen air, udara, tinja dan lain lain yang hemat

energi.

5. Menggunakan sistem utilitas daur ulang seperti daur ulang pembuangan air untuk menyiram taman.

6. Mengunakan bahan bangunan maupun teknologi pembangunan yang tidak mengkonsumsi banyak energi.

7. Melaksanakan pembangunan dengan menggunakan seminimal mungkin bahan baku dari alam

8. Menata lingkungan dan lanskap di sekitar bangunan gedung dengan menanam banyak pohon juga merupakan salah satu upaya penghematan energi yang juga dapat mengurangi pemanasan global.

Di lain pihak, permasalahan pemanasan global juga sampai saat ini belum menemukan solusi terbaik. Pertemuan para kepala negara dan pemerintahan di


(29)

Kopenhagen, Denmark beberapa waktu lalu, belum menghasilkan kesepakatan bersama yang mengikat untuk mengurangi emisi CO2, sebagai salah satu gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global sampai perubahan iklim. Indonesia sebagai salah satu peserta, berpartisipasi secara mandiri akan mengurangi emisi CO2 sebesar 26 % pada 2020, melalui pengurangan laju luasan hutan (deforestasi), baik penebangan pohon, maupun akibat kebakaran.

Melihat kondisi tersebut dan kaitan dalam mencapai target pembangunan 1.000 menara rusuna, maka diperlukan suatu optimasi atau eksplorasi tata cara pembangunan rumah susun yang ramah lingkungan, dengan seminimal mungkin menggunakan sumber daya alam, khususnya kayu. Salah satu metoda pelaksanaan konstruksi yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan sistem beton pracetak (pre cast)

Dengan sistem ini, beton dicetak terlebih dahulu, baik di pabrik atau di lapangan, selanjutnya baru dirakit di lapangan sesuai kebutuhan perencanaan. Cetakan beton (bekisting) biasanya terbuat dari besi yang dapat dipakai berulang-ulang (Ervianto 2006). Pada pelaksanaan beton biasa (konvensional), beton dicetak di lapangan sesuai bentuk strukturnya, dengan sistem beton biasa dibutuhkan banyak kayu untuk cetakan beton (bekisting) berikut penyangganya, cetakan kayu ini umumnya hanya bisa dipakai 1-2 kali saja, selanjutnya dibuang, karena setelah dipakai akan terjadi perubahan bentuk kayu karena kembang-susut pengaruh akibat air beton.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, terdapat bukti potensial akan manfaat teknologi dan sistem beton pracetak ini. Untuk penggunaan beton pracetak bagi pembangunan rusunawa, telah ditemukan beberapa hal seperti di bawah ini (Nurjaman dan Sijabat, 2007):

• Efisiensi biaya bisa mencapai 20 % jika dibandingkan pada rancangan awal dengan sistem konvensional.

• Efisiensi waktu pelaksanaan pembangunan (misalnya dengan sistem konvensional waktu pelaksanaan 8 bulan, pada sistem pracetak dapat menjadi 6 bulan).

• Ketahanan bangunan terhadap gempa lebih besar dibandingkan dengan sistem konvensional.


(30)

• Mengurangi pemakaian bahan bangunan, khususnya penggunaan kayu yang bisa dihemat sampai lebih dari 95 %, tergantung metoda yang digunakan.

Dengan demikian diharapkan, selain secara perencanaan sudah ramah lingkungan (green design), secara pelaksanaan konstruksi juga ramah lingkungan (green construction). Berkurangnya pemakaian bahan bangunan pada sistem ini, khususnya kayu, sudah barang tentu akan mengurangi penebangan pohon di hutan (deforestasi), sehingga memberikan kontribusi dalam mempertahankan luasan hutan, yang berfungsi sebagai penyerap CO2. Adapun kerangka pemikiran yang penelitian sebagaimana tertera pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka pemikiran penelitian

1.6Novelty

Penelitian terkait sebelumnya banyak mengkaji model penentuan lokasi dan model engembangan perumahan yang berkelanjutan dengan rekomendasi pembangunan rusunawa. Namun penelitian yang lebih fokus pada cara pembangunan rusunawa, agar dapat dilaksanakan secara ramah lingkungan, sampai saat ini belum ada. Berdasarkan hal tersebut maka model kebijakan pengembangan rusunawa yang ramah lingkungan berkelanjutan (green

UU 1/2011 UU 28/2002


(31)

building)melalui optimasi pelaksanaan green construction konstruksi merupakan

novelty dari penelitian ini.

II.

T

T

I

I

N

N

J

J

A

A

U

U

A

A

N

N

P

P

U

U

S

S

T

T

A

A

K

K

A

A

2.1Pembangunan Berkelanjutan

Dalam hal hal pengelolaan sumberdaya alam, telah disepakati secara global mengenai bagaimana seharusnya sumberdaya alam dikelola agar berkelanjutan sebagai dasar bagi peningkatan kesejahteraan manusia dan kegiatan ekonomi. Kesepakatan ini jelas bahwa pengelolaan sumberdaya alam harus mempertimbangkan ketiga aspek sekaligus yakni ekonomi, ekologi, dan sosial. Sejalan dengan hal ini, upaya mengubah pola konsumsi dan produksi yang tidak berkelanjutan menjadi hal utama untuk mendukung upaya perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan sebagai prasyarat peningkatan kesejahteraan masyarakat generasi sekarang dan yang akan datang.

Soemarwoto (2006) mengemukakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah perubahan positif sosial ekonomi yang tidak mengabaikan sistem ekologi dan sosial masyarakat. Keberhasilan penerapannya memerlukan kebijakan, perencanaan dan proses pembelajaran sosial yang terpadu, viabilita politiknya tergantung pada dukungan penuh masyarakat melalui pemerintahnya, kelembagaan sosialnya, dan kegiatan dunia usahanya. Djajadiningrat (2001) dan Arsyad (2005) mengemukakan bahwa berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi peluang bagi generasi mendatang untuk mendapatkan kesempatan hidup. Menurut Siagian (2005) konsep berkelanjutan (sustainable) menawarkan penyeimbangan antara


(32)

pemeliharaan kelestarian alam dengan pemenuhan kebutuhan manusia yang semakin berkembang di masa depan. Konsep keberlanjutan juga merupakan sebuah sistem yang ditandai dengan kestabilan, dimana perubahan-perubahan terus dibatasi untuk menjaga keseimbangan dari sistem pada masa depan. Ada tiga hal yang menjadi tujuan dari konsep yang ingin dicapai yaitu : a) meminimalkan konsumsi bahan dan energi, b) mencegah efek negatif pada daya dukung lingkungan dan lingkungan itu sendiri, 3) memenuhi kebutuhan manusia.

Tujuan pembangunan berkelanjutan secara ideal membutuhkan pencapaian hal-hal sebagai berikut : (i) Keberkelanjutan ekologis; (ii) Keberkelanjutan ekonomi dan keberkelanjutan sosial budaya; (iii) Keberkelanjutan politik; dan (iv) Keberkelanjutan pertahanan keamanan (Djajadiningrat, 2001).

Menciptakan lingkungan perkotaan berkelanjutan sangat krusial karena aktivitas perkotaan berkontribusi terhadap permasalahan lingkungan dan memegang peranan penting dalam perbaikan kesejahteraan manusia dengan memfasilitasi pembangunan sosial, kultural dan ekonomi (urban and regional development Institute, URDI, 2002). Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) merupakan perpaduan antara aspek teknis, ekonomis, sosial dan ekologis yang dituangkan dalam perumusan kebijakan nasional (Arsyad, 2002).

International Labour Organization (ILO) mengemukakan bahwa tujuan pembangunan berkelanjutan adalah membuat semua anggota masyarakat mendapatkan semua elemen-elemen kunci bagi kehidupan, seperti pangan yang cukup, sandang, permukiman, perawatan kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja. Konsep pembangunan berkelanjutan adalah upaya mengkombinasikan kebutuhan mendesak dengan pentingnya melindungi lingkungan (Sarosa, 2002).

Karakteristik kota berkelanjutan adalah: (i) tata guna lahan terintegrasi dengan rencana transportasi; (ii) pola tata guna lahan; (iii) pola tata guna lahan membantu melindungi sumberdaya air; (iv) control penggunaan lahan untuk setiap orang; (v) kota yang manusiawi, ruang hijau, pasar petani, dan daerah pedestrian; (vi) mendukung kota lebih kompak (Sarosa, 2002).

Keberkelanjutan (sustainability) adalah menyeimbangkan upaya untuk memenuhi kebutuhan saat ini dengan keharusan untuk menyisakan warisan positif


(33)

kepada generasi masa yang akan datang. Semua komponen ekonomi, lingkungan dan sosial sebenarnya saling berkaitan dan tidak dapat digarap sendiri – sendiri. Oleh karena itu perlu dikembangkan pendekatan kemitraan terhadap semua permasalahan (Timmer dan Kate, 2006).

Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan diartikan sebagai pembangunan perumahan termasuk di dalamnya pembangunan kota berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi, dan kualitas lingkungan tempat hidup dan bekerja semua orang. Inti pembangunan perumahan berkelanjutan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas hidup secara berkelanjutan (Kirmanto, 2005).

Pembangunan berkelanjutan sektor perumahan dan permukiman akan mendominasi penggunaan lahan dan pemanfaatan ruang, untuk itu, perlu dipertimbangkan empat hal utama, yaitu : (i) pembangunan yang secara sosial dan kultural bisa diterima dan dipertanggung- jawabkan (sociality and culturally suitable and accountable); (ii) pembangunan yang secara politis dapat diterima (politically acceptable); (iii) pembangunan yang layak secara ekonomis (economically feasible); dan (iv) pembangunan yang bisa dipertanggung jawabkan dari segi lingkungan (environmentally sound and sustainable). Hanya dengan jalan mengintegrasikan keempat hal tersebut secara konsisten dan konsekuen, pembangunan perumahan dan permukiman bisa berjalan secara berkelanjutan dan berwawasan lingkungan (Soenarno, 2004).

Dalam rangka keberkelanjutan perkotaan perlu melibatkan berbagai pihak yang terkait dengan perkotaan. Pemerintah kota tidak dapat memecahkan permasalahannya sendiri. Peran pemerintah kota semakin lama semakin bergeser ke peran sebagai fasilitator. Intinya, sistem pelaku majemuk akan menggantikan sistem pelaku-tunggal yang selama ini didominasi pihak pemerintah. Di masa depan, akan terdapat titik majemuk kewenangan dan pengaruh, dan tantangannya adalah bagaimana memberdayakan mereka agar dapat bekerja sama. Manfaatnya adalah adanya kepercayaan dan koneksi sosial (modal sosial) yang terus terakumulasi, yang pada gilirannya akan mencapai tiga sasaran yaitu menjaga agar pemerintah semakin memiliki akuntabilitas dan tidak korup; menurunkan


(34)

sumber konflik, dan memberdayakan para pelaku non-pemerintah (Alexander,., 2006).

2.2Perkotaan dan Lingkungan

Richadson (1978) menyatakan bahwa kota merupakan suatu wilayah administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah; kepadatan penduduknya tinggi; sebagian besar wilayah merupakan daerah terbangun dengan jalur lalu lintas dan transportasi; merupakan kegiatan perekonomian non pertanian. Kota merupakan konsentrasi masnusia dalam suatu wilayah geografis tertentu dengan mengadakan kegiatan ekonomi (Galion 1986). Dickinson dalam Jayadinata (1992) mengungkapkan bahwa kota adalah suatu permukiman yang bangunan rumahnya rapat dan penduduknya bernafkah bukan dari hasil pertanian.

Budihardjo dan Hardjohubodjo (1993) menyatakan kota-kota di Indonesia pada umumnya berkembang secara laissez-faire, tanpa dilandasi perencanaan menyeluruh dan terpadu. Kota-kota di Indonesia tidak betul-betul dipersiapkan atau direncanakan untuk dapat menampung pertumbuhan penduduk yang besar dalam waktu relatif pendek.

Royal Swedish Academy of Science (1995) menyatakan bahwa suatu kKota berkelanjutan adalah: (i) mencakup aspek kultural, sosial dan ekonomi dari seluruh lingkungan urban-pedesaan; (ii) memberikan manfaat bagi pelaku individual dalam masyarakat; (iii) kriteria tersebut harus didefinisikan dalam kaitannya dengan kondisi lokal dan dibangun dengan partisipasi publik; (iv) konservasi sumberdaya, menjaga keragaman hayati dan ekosistem; (v) mendukung kapasitas manusia untuk meningkatkan kondisinya; (vi) menyediakan akses yang sama terhadap layanan untuk semua warga; (vii) memprioritaskan opsi yang mensinergikan sosio-ekonomi dan lingkungan; (viii) mendukung proses pembuatan keputusan yang demokratis; dan (ix) menghormati ilmu pengetahuan dan kreativitas penduduk lokal.

Berkaitan dengan tata guna lahan perkotaan, Almeida (1998) melakukan penelitian mengenai pemahaman dan permodelan dinamik tata guna lahan perkotaan berkelanjutan. Eksperimen dilakukan dengan membangun sebuah


(35)

panduan metodologis untuk pemodelan perubahan tata guna lahan perkotaan melalui metode statistik ”pembobotan bukti”.

Variabel-variabel yang menjelaskan dapat bersifat endogen (melekat di dalam sistem transformasi tata guna lahan) atau eksogen (di luar sistem). Variabel-variabel endogen berkaitan dengan ciri-ciri lingkungan alam dan buatan manusia maupun berbagai aspek sosial ekonomi dari sebuah kota, seperti legislasi peruntukan dan legislasi perkotaan; prasarana teknik dan sosial; topografi; kawasan lindung/konservasi; pasar real estate; kesempatan kerja; adanya pusat-pusat kegiatan yang terpolarisasi seperti mall, taman-taman tematik, tempat peristirahatan, dan seterusnya (Almeida,1998).

Djajadiningrat (2001) mengungkapkan pada abad kedua puluh satu keseimbangan lingkungan hidup buatan mengalami gangguan. Inilah yang dianggap awal krisis lingkungan akibat manusia saebagai pelaku sekaligus menjadi korbannya. Berbagai fenomena terjadi akibat kesalahan yang dilakukan para pengelola kota dalam penataan ruangnya, dewasa ini dapat dilihat dari aras (level) yang paling ringan hingga yang paling berat. Sebagai contoh, jeleknya fasilitas transportasi, kurangnya berbagai macam fasilitas, kurang lancarnya telekomunikasi,serta kurang memadainya air bersih dan prasarana umum lainnya.

Kebijakan lahan perkotaan termasuk perencanaannya merupakan salah satu faktor eksogen yang mempengaruhi keputusan para pengembang. Tujuan kebijakan lahan perkotaan adalah untuk mempengaruhi kepemilikan lahan, harga dan tatagunanya, dan memanfaatkan nilai lahan sebagai salah satu dasar untuk memperoleh dana masyarakat. Di Negara–negara berkembang yang pengendaliannya tidak ditegakkan secara keras, ketersediaan lahan bagi perumahan untuk masyarakat miskin menciut, dan harga lahan meroket (Winarso, 2002).

Rahardjo (2003) dalam penelitiannya mengenai upaya pengendalian lahan di perkotaan mengungkapkan dengan semakin liberalnya ekonomi dan adanya desentralisasi pemerintahan yang berwujud otonomi memberikan kebebasan pada daerah untuk mengelola daerahnya sendiri. Sisi negatif dari kebijakan ini dapat berakibat pada terjadinya penurunan mutu lingkungan. Salah satu penyebabnya adalah tidak baiknya pengelolaan dan penggunaan lahan. Dalam rangka


(36)

mengurangi dampak negatif dari pemanfaatan lahan maka diperlukan suatu penanganan tepadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu dan institusi terkait dengan lahan itu sendiri, baik pemerintah maupun swasta. Salah satu upaya untuk menghilangkan dan mengurangi dampak negatif adalah melalui manajemen lahan. Menurut Rahardjo (2003) kesalahan dalam manajemen lahan dapat mengakibatkan terjadinya degradasi lahan, berakibat tanah berubah menjadi marjinal yang tidak dapat ditanami, dan rusaknya ekosistem alam. Kekuatan yang mendorong degradasi lahan tersebut antara lain, cepatnya pertambahan populasi, kebijakan ekonomi yang mengekploitasi sumberdaya alam secara berlebihan, dan dipercepat oleh buruknya manajemen pembangunan kota. Khusus bagi daerah perkotaan terbatasnya pasokan lahan, mengakibatkan lahan menjadi mahal sehingga mendorong para investor yang bergerak dalam sektor properti mengkonversi sawah, situ dan lahan pertanian menjadi lahan perumahan.

Siahaan (2004) dalam kajiannya mengenai indeks konversi lahan dalam pembangunan perumahan mengatakan bahwa ada upaya mengambil jalan pintas untuk menguasai pangsa pasar perumahan yang tidak diikuti oleh kesadaran adanya bahaya konservasi lahan dan tidak siapnya aspek pengelolaan kawasan mengakibatkan percepatan kerusakan lingkungan.

Permasalahan perkotaan hasil kajian Ionnides dan Rossi-Hausberg (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan perkotaan sebagai salah satu gejala ekonomi berkaitan dengan proses urbanisasi. Urbanisasi dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Kajian ruang kegiatan ekonomi yang diukur dengan populasi, output dan pendapatan, pada umumnya terkonsentrasi. Pola–pola konsentrasi variabel – variabel ekonomi dan demografi membentuk beberapa gejala ekonomi perkotaan. Perpindahan penduduk secara besar-besaran dari perdesaan ke perkotaan telah memicu berbagai pertumbuhan perkotaan di seluruh dunia.

Gejala lain adalah kecenderungan hilangnya ruang hijau akibat kurang jelasnya pengaturan dan pemanfaatan ruang. Selain itu, timbul berbagai macam kasus seperti taman yang merupakan paru-paru kota diubah fungsinya menjadi kawasan komersial seperti pompa bensin, supermarket atau department store, yang mengakibatkan timbulnya berbagai masalah lingkungan. Dampak yang ditimbulkan sangat menyedihkan, mulai dari ketidaknyamanan penduduk akibat


(37)

kurangnya sarana dan prasarana lingkungan, kesengsaraan masyarakat akibat banjir, sampai masalah sosial, karena benturan berbagai kepentingan pemanfaatan lahan.

Degradasi lingkungan tidak dapat dibiarkan terus berlangsung. Salah satu jalan keluar untuk mengatasi degradasi lingkungan yang mengancam perkotaan adalah upaya-upaya penyusunan tata ruang secara terpadu dan berwawasan lingkungan. Penataan ruang tidak sekedar pengelolaan perubahan lingkungan binaan dan alam saja, melainkan sebagai upaya untuk penyelesaian berbagai benturan kepentingan yang berbeda. Penelitian mengenai masalah kebijakan pembangunan perkotaan dalam kaitannya dengan lokasi perumahan banyak diarahkan kepada upaya pemerintah kota untuk mengendalikan aktivitas pembangunan perumahan di daerahnya, sehingga dapat menunjang rencana induk pengembangan kota yang berkelanjutan.

Kota yang nyaman huni adalah sistem perkotaan terpadu dengan dimensi sosial, ekonomi, budaya dan ekologi. Ada enam kendala kelembagaan yang dihadapi setiap pemerintah daerah dalam menciptakan kota nyaman-huni, yaitu : (i)Jurisdiksi yang terpecah-pecah; (ii) kesinambungan politik yang buruk; (iii) kerjasama antar pemerintah yang buruk; (iv) kerjasama lintas sektoral yang buruk; (v) ketidakselarasan budaya dan ideologi; dan (vi) sistem pemerintah daerah yang lemah (Timmer dan Kate, 2006).

Pembangunan perkotaan harus memperhatikan konsep berkelanjutan. Berkenaan dengan pembangunan kota berkelanjutan Timmer dan Kate (2006) mengajukan gagasan mengenai inisiatif kawasan berkelanjutan (IKB).

2.3Rumah Susun

Menurut SNI-03-2846-1992, rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama. Satuan rumah susun adalah rumah susun yang tujuan peruntukan utamanya digunakan secara terpisah sebagai


(38)

tempat hunian yang mempunyai sarana penghubung ke akses yang sifatnya umum.

Beberapa peraturan perundangan yang terkait dengan rumah susun adalah sebagai berikut:

1. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 20111992 tentang Perumahan dan Kawasan Ppermukiman

Pasal 3 Ayat (f):

Perumahan dan kawasan permukiman diselenggarakan untuk menjamin terwujudnya rumah yang layak huni dan terjangkau dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, teratur, terencana, terpadu dan berkelanjutan.

Pasal 5 Ayat (1):

Setiap warga negara mempunyai hak untuk menempati dan/atau menikmati dan/atau memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi dan teratur.Negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan perumahan dan kawasan permukiman yang pembinaannya dilaksanakan oleh pemerintah.

Pasal 32 Ayat (2):

Pembangunan perumahan dilakukan dengan mengembangkan teknologi dan rancang bangun yang ramah lingkungan serta mengembangkan industri bahan bangunan lokal yang aman bagi kesehatan.

2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun

Pasal 19 3 Ayat (1), Penjelasan:

Pembangunan rumah susun bertujuan untuk :

a. memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, yang menjamin kepastian hukum dalam pemanfaatannya;

b. meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan

menciptakan lingkungan pemukiman yang lengkap, serasi,dan seimbang.


(39)

c. Memenuhi kebutuhan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat, dengan tetap mengutamakan ketentuan ayat (1 huruf a).

Penghuni satuan rumah susun tidak dapat menghindarkan diri atau melepaskan kebutuhannya untuk menggunakan bagian bersama, benda bersama dan tanah bersama. Dalam rangka menjamin ketertiban, kegotong-royongan dan keselarasan sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia dalam mengelola bagian bersama, benda bersama, tanah bersama, maka dibentuk perhimpunan penghuni yang mengatur dan mengurus kepentingan bersama.

3. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung

Pasal 14 ayat (4):

Persyaratan penampilan bangunan gedung, tata ruang dalam, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya….dst harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan gedung, ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungannya”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal demi pasal lebih ditegaskan lagi, bahwa ruang luar bangunan gedung diwujudkan untuk sekaligus mendukung pemenuhan persyaratan keselamatan, kesehatan, kenyamanan, dan kemudahan bangunan gedung, disamping untuk mewadahi kegiatan pendukung fungsi bangunan gedung dan daerah hijau disekitar bangunan. Mengenai lingkungan bangunan gedung, seperti ruang terbuka hijau (RTH) diwujudkan dengan memperhatikan potensi unsur-unsur alami yang ada dalam tapak seperti danau, sungai, pohon-pohon menahun, tanah serta permukaan tanah, dan dapat berfungsi untuk kepentingan ekologis, sosial, ekonomi, serta estetika.

4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun


(40)

Bagian bersama yang berupa ruang untuk umum, ruang tangga, lift, selasar, harus mempunyai ukuran yang mempunyai persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat memberikan kemudahan bagi penghuni dalam melakukan kegiatan sehari-hari, baik dalam hubungan sesama penghuni, maupun dengan pihak lain, dengan memperhatikan keserasian, keseimbangan, dan keterpaduan.

Pasal 21:

Benda bersama harus mempunyai dimensi, lokasi, kualitas, kapasitas yang memenuhi persyaratan dan diatur serta dikoordinasikan untuk dapat memberikan keserasian lingkungan guna menjamin keamanan dan kenikmatan para penghuni maupun pihak-pihak lain, dengan memperhatikan keselarasan, keseimbangan, dan keterpaduan.

5. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunanuntuk

Kepentingan Umum

Pasal 25 ayat (1) : “Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan bangunan gedung dengan lingkungannya…..dst harus mempertimbangkan terciptanya ruang luar bangunan dan ruang terbuka hijau yang seimbang, serasi, dan selaras dengan lingkungan”. Selanjutnya ayat (2) menyebutkan: “Pertimbangan terhadap terciptanya ruang luar bangunan gedung dan ruang terbuka hijau diwujudkan dalam pemenuhan persyaratan daerah resapan, akses penyelamatan, sirkulasi kendaraan dan manusia, serta terpenuhinya kebutuhan prasarana dan sarana di luar bangunan gedung”.

2.4Green Environment

Green environment merupakan sebuah totalitas dari penanganan aspek lingkungan kawasan sehingga menjadi kawasan yang memiliki karakter sebagai

sustainable development, yang terdiri dari: (1) Penanganan tata guna lahan; (2) Pola jaringan jalan, perkerasan, pedestrian, transportasi; (3) Penanganan penghijauan kawasan; (4) Penanganan sistem air bersih; (5) Penanganan sistem air limbah; (6) Penanganan drainase kawasan; (7) Penanganan persampahan; (8)


(41)

Penanganan perilaku melalui pengelolaan kawasan yang mengacu pada konsep

green environment (Iggnes, 2008).

Salah satu konsep green environment adalah bangunan berkelanjutan atau dikenal dengan istilah green building. Green building merupakan suatu bangunan yang memiliki konstruksi yang dirancang dan dibangun sebagai urban/komunitas/bangunan sehat dengan efisiensi sumber daya berdasarkan prinsip ekologi (Iggnes, 2008).

2.5 Green Building

Green building adalah bangunan yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan dengan menggunakan seluruh sistem design approach, dengan tujuan untuk mengoptimalkan seluruh kapasitas dari bangunan dan lingkungannya (Greendepot, 2009).

Menurut Greendepot (2009) gGreen building terdiri dari tiga faktor pendukung, diantaranya adalah efesiensi energi (baik dalam hal pemilihan bahan bangunan dan penggunaan energi aktual); kehidupan yang sehat, termasuk kualitas udara di dalam bangunan; dan manajemen sumber energi secara cermat.

Green building tidak memerlukan persyaratan tipe arsitektur yang beraneka ragam, tidak perlu terlihat membumi atau organik, juga tidak perlu memerlukan biaya yang tinggi dalam pembangunannnya, serta tidak perlu terlihat berbeda dari yang lain. Green building dapat dirancang dengan berbagai jenis atau bentuk. Fokus utama dari bangunan green building adalah memberikan keuntungan bagi para penghuninya, yaitu lebih mudah dalam mengkondisikan temperatur ruang, lebih nyaman, lebih sehat terutama untuk anak-anak, lebih tahan lama, dan lebih murah dalam hal pemeliharaannya.

Green building memiliki konsep bangunan sebagai berikut: (1) Pemilihan material yang low energy-embody; (2) Orientasi tata letak bangunan; (3) Hemat energy; (4) Hemat penggunaan air; (5) Memiliki recycle air buangan; (6) Penanganan sampah 3 R; (7) Low heat dissipation; (8) Memperhatikan unsur iklim lokal; (9) Penggunaan HVAC yang ramah ozon; (10) Memiliki juklak/SOP


(42)

pengoperasian bangunan dengan spirit penghematan energi dan sumber-sumber yang digunakan (Ignes, 2008).

Green Building Council Indonesia (GBIC, 2010) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan bangunan hijau adalah efisiensi dalam penggunaan lahan, energi, air dan material, baik itu dari segi kuantitas maupun jenis material yang ramah lingkungan. Selain itu juga yang dapat memberikan keamanan dan kenyamanan penggunaannya, baik dari segi kesehatan dan pemanfaatan ruang.

Pengaturan tentang green design sebenarnya telah tertuang secara tidak langsung mulai dari UU No. 283/2002, Peraturan Pemerintah No. 36/2005 termasuk Peraturan Menteri yang menjadi bagian dari Peraturan Pemerintah tersebut yaitu Permen PU No. 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung yang memuat SNI dan Pedoman Teknis lain yang perlu diacu.

2.6 Ruang Terbuka Hijau

Sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaanya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota; dan proporsi RTH Publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota. Menurut laboratorium perencanaan lansekap Departemen Arsitektur Lansekap Fakultas Pertanian IPB (2008), RTH kota adalah bagian dari ruang-ruang terbuka (open space) suatu wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi guna mendukung manfaat langsung dan tidak langsung yang di hasilkan oleh RTH dalam kota tersebut yaitu keamanan, kenyamanan, kesejahteraan, dan keindahan wilayah perkotaan tersebut. Berdasarkan bobot kealamiannya, RTH di klasifikasikan menjadi RTH alami dan RTH binaan. Berdasarkan sifat dan karakter ekologisnya, RTH di kategorikan ke dalam RTH kawasan dan RTH jalur. Berdasarkan penggunaan lahan dan kawasan fungsionalnya, RTH di kategorikan ke dalam RTH kawasan perdagangan, RTH kawasan perindustrian, RTH kawasan


(43)

permukiman, RTH kawasan pertanian, dan RTH kawasan khusus, antara lain untuk pemakaman dan olah raga.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zoer’aini (2005), fungsi hutan kota sebagai bagian dari RTH dapat menyerap hasil negatif dari kota antara lain: suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya habitat burung. Pengelompokan hutan kota menurut sifat pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan sangat terkait dengan perubahan suhu, kelembaban, kebisingan, debu, populasi, distribusi burung dan estetika. Pengelompokan hutan kota berdasarkan hubungan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan antara lain: jalur, menyebar, bergerombol, dua strata dan berstrata banyak. Selanjutnya dikatakan bahwa hHutan kota berpengaruh terhadap beberapa parameter lingkungan antara lain penurunan suhu, peningkatan kelembaban, penurunan kebisingan, dan penurunan kadar debu (Tabel 3).

Hutan kota sebagai bagian dari RTH memegang peranan yang sangat penting, karena penyelenggaraan hutan kota adalah untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Hal ini telah menjadi kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 63 tahun 2002. Persyaratan minimal untuk menetapkan lahan yang akan digunakan sebagai hutan kota adalah sebagai berikut : berada di wilayah perkotaan, merupakan RTH yang didominasi pepohonan, luas minimum 0,25 ha mampu membentuk atau memperbaiki iklim mikro, estetika dan berfungsi sebagai resapan air. Beberapa pakar mengemukakan luas hutan kota harus dibangun berdasarkan jumlah penduduk; luasan hutan kota di Malaysia ditetapkan sebesar 1,9 m2/penduduk, sedangkan di Jepang sebesar 5,0 m2/penduduk.

Tabel 3. Pengaruh hutan kota terhadap parameter lingkungan No Pengaruh terhadap

kualitas lingkungan

Bentuk hutan kota Peningkatan/penurunan (%)

1. Penurunan suhu Jalur Menyebar Bergerombol

1,43 3,60 3,18 2. Peningkatan

kelembaban

Jalur Menyebar

1,77 4,79


(44)

Bergerombol - 3. Penurunan

kebisingan

Jalur Menyebar Bergerombol

5,54 21,87 16,34 4. Penurunan

kadar debu

Jalur Menyebar Bergerombol

37,62 39,91 51,14 Sumber : Zoer’aini (2005)

Dewan kota Lanchasire Inggris menentukan 11,5 m2/penduduk, dan Amerika menetapkan 60 m2/penduduk, sedangkan DKI Jakarta taman untuk bermain dan olahraga diusulkan 1,5 m2/penduduk. (Departemen Kehutanan, 2006).

Secara garis besar fungsi hutan kota dapat dikelompokkan menjadi : 1. Fungsi lansekap, yaitu meliput fungsi fisik dan fungsi sosial

a. Fungsi fisik, yaitu berfungsi untuk perlindungan terhadap angin, sinar matahari, pemandangan yang kurang bagus dan terhadap bau, sebagai pemersatu, penegas, pengenal, pelembut, dan pembingkai.

b. Fungsi sosialsosial, sebagai tempat interaksi masyarakat, bermanfaat sebagai laboratorium, tanaman obat, tempat rekreasi, dan olah raga. . Penataan tumbuh-tumbuhan dalam hutan kota dengan baik akan memberikan tempat interaksi sosial yang sangat menyenangkan. Hutan kota dengan aneka ragam tumbuh-tumbuhan mengandung nilai-nilai ilmiah sehingga hutan kota dapat sebagai laboratorium hidup untuk sarana pendidikan dan penelitian. Fungsi kesehatan misalnya untuk terapi mata dan mental serta fungsi rekreasi, olah raga, dan tempat interaksi sosial lainnya. Fungsi sosial politik ekonomi misalnya untuk persahabatan antar negara. Hutan kota dapat memberikan hasil tambahan secara ekonomi untuk kesejahteraan penduduk seperti buah-buahan, kayu, obat-obatan sebagai warung hidup dan apotik hidup. 2. Fungsi pelestarian lingkungan (ekologi)

Dalam pengembangan dan pengendalian kualitas lingkungan diutamakan tanpa mengesampingkan fungsi-fungsi lainnya.

Fungsi pelestarian lingkungan antara lain adalah :

a. Menyegarkan udara atau sebagai paru-paru kota. Fungsi menyegarkan udara dengan mengambil CO2 dalam proses fotosintesis menghasilkan


(1)

D. Pembobotan Alternatif (Diskripsi masing-masing Alternatif, pada halaman 21)

13. Berilah tanda

(

)

pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap alternatif Pengembangan Rusunawa yang dapat mewujudkan Terpeliharanya Kualitas Lingkungan .

No. Kriteria (A)

I ntensitas Kepentingan

Kriteria (B) Diisi jika alternatif di kolom kiri

(A) lebih penting dibanding kolom kanan (B)

Diisi jika alternatif di kolom kanan (B) lebih penting dibanding kolom kiri (A)

S a n g a t P ti Je la s P e n ti n g S e d ik it S a m a S e d ik it P e n ti n g Je la s S a n g a t

Skor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak 2. Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Pracetak Penuh 3 Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak Melaksanakan Dengan Beton Pracetak penuh

14. Berilah tanda

(

)

pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap alternatif Pengembangan Rusunawa yang dapat mewujudkan Menurunnya Penggunaan Sumber Daya Alam Untuk Bahan Bangunan .

No. Kriteria (A)

I ntensitas Kepentingan

Kriteria (B) Diisi jika alternatif di kolom kiri

(A) lebih penting dibanding kolom kanan (B)

Diisi jika alternatif di kolom kanan (B) lebih penting dibanding kolom kiri (A)

S a n g a t P ti Je la s P e n ti n g S e d ik it S a m a S e d ik it P e n ti n g Je la s S a n g a t

Skor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak 2. Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Pracetak Penuh 3 Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak Melaksanakan Dengan Beton Pracetak penuh


(2)

Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan 225 15. Berilah tanda

(

)

pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap alternatif

Pengembangan Rusunawa yang dapat mewujudkan Hematnya Penggunaan Energi ( Bahan Bakar Fosil) .

No. Kriteria (A)

I ntensitas Kepentingan

Kriteria (B) Diisi jika alternatif di kolom kiri

(A) lebih penting dibanding kolom kanan (B)

Diisi jika alternatif di kolom kanan (B) lebih penting dibanding kolom kiri (A)

S a n g a t P ti Je la s P e n ti n g S e d ik it S a m a S e d ik it P e n ti n g Je la s S a n g a t

Skor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak 2. Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Pracetak Penuh 3 Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak Melaksanakan Dengan Beton Pracetak penuh

16. Berilah tanda

(

)

pada kolom skor berdasarkan tingkat kepentingan setiap alternatif Pengembangan Rusunawa yang dapat mewujudkan Terpenuhinya Koefisien2 Dasar Bangunan .

No. Kriteria (A)

I ntensitas Kepentingan

Kriteria (B) Diisi jika alternatif di kolom kiri

(A) lebih penting dibanding kolom kanan (B)

Diisi jika alternatif di kolom kanan (B) lebih penting dibanding kolom kiri (A)

S a n g a t P ti Je la s P e n ti n g S e d ik it S a m a S e d ik it P e n ti n g Je la s S a n g a t

Skor 9 8 7 6 5 4 3 2 1 2 3 4 5 6 7 8 9 1 Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak 2. Melaksanakan Dengan Beton Konvensional Melaksanakan Dengan Beton Pracetak Penuh 3 Melaksanakan Dengan Beton Semi Pracetak Melaksanakan Dengan Beton Pracetak penuh


(3)

Diskripsi Alternatif Metoda Pembangunan Rusunaw a Melalui Optimasi Pelaksanaan 1. Beton Konvensional

Adalah beton yang dicetak sesuai bentuk dan tempat pada gambar konstruksi di lokasi. Cetakan/ bekesting biasanya terbuat dari kayu yang masa penggunaannya terbatas, perancah dari kayu/ besi dibutuhkan maksimal menopang beban beton. Dinding menggunakan bata merah.

2. Beton Semi Pracetak

Adalah beton yang dicetak terlebih dahulu di pabrik atau dilapangan selanjutnya dirakit mengikuti kebutuhan konstruksi di lokasi. Cetakan/ bekesting dapat digunakan berulang, menggunakan perancah minimal. Pada alternatif ini, beton pada balok, kolom dan lantai memakai pracetak, sedangkan dinding menggunakan pasangan bata merah.

3. Beton Pracetak Penuh

Seluruh beton menggunakan Pracetak, baik beton balok, kolom, lantai dan dinding.

Kebutuhan bahan bangunan utama, tenaga kerja

dan kandungan energi bahan bangunan

No Komponen Utama Konvensional Semi Pracetak Pracetak Penuh

1 Semen 677 ton 688 ton 569 ton

2 Pasir 3.483 m3 3.354 m3 682 m3

3 Batu pecah 339 m3 398 m3 642 m3

4 Besi tulangan 180 ton 77 ton 122 ton

5 Cetakan Kayu 41 m3 Baja 7,9 ton Baja 9,2 ton

6 Perancah Kayu 562 m3 Baja 7,8 ton Baja 7,8 ton

7 Tenaga terampil 25 org 50 org 60 org

8 Tenaga tdk terampil 100 org 40 org 20 0rg

9 Biaya (Rp x 1 milyar) 13,406 11,500 11,456


(4)

Kuisioner Pakar - Model Pengembangan Rusunawa Yang Ramah Lingkungan 227

Bagian 2, I S M

Interpretatif Structural Modelling (ISM)

1. Teknik Permodelan I nterpretasi Struktural (

I nterpretatif Structural Modelling)

digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. Analisis ini digunakan sebagai salah satu alat (

tool

) dalam penelitian yang dilakukan untuk mengetahui faktor kunci dan tujuan strategis apa saja yang berperan dalam peningkatan daya dukung lingkungan, sesuai dengan pendapat dari para pelaku (

stakeholder

) yang terlibat di dalam pengembangannya. Selanjutnya faktor kunci dan tujuan strategis tersebut akan digunakan untuk mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan bagi daya dukung lingkungan, melalui pemodelan dinamika sistem.

2. Teknik Permodelan I nterpretasi Struktural

(I nterpretatif Structural Modelling)

digunakan untuk merumuskan alternatif kebijakan dimasa yang akan datang. Menurut Marimin (2004), I SM adalah proses pengkajian kelompok

(group

learning process

) di mana model-model struktural dihasilkan guna memotret perihal yang kompleks dari suatu sistem, melalui pola yang dirancang secara seksama dengan menggunakan grafis serta kalimat. Teknis I SM merupakan salah satu teknik permodelan sistem untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif

.

3. Petunjuk Pengisian

Apabila I bu/ Bapak telah menentukan pilihan alternatif terbaik sesuai pertanyaan pada kuesioner AHP nomor 13-16 di atas, selanjutnya dimohon memberikan pendapat atas beberapa pertanyaan terkait rencana pengembangan alternatif tersebut

.

Kuesioner ini dimaksudkan untuk menstrukturisasi sub elemen-sub elemen pada elemen-elemen yang terkait dengan kebijakan pengembangan Rusunawa yang ramah lingkungan, yang saling berkaitan.

Untuk membandingkan antar sub-elemen pada setiap elemen, maka Bapak/ I bu dapat memilih huruf-huruf

V

,

A

,

X

, dan

O

dimana :

V

: Jika sub-elemen yang ke-1 lebih penting atau harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-2

A

: Jika sub-elemen yang ke-2 lebih penting atau harus lebih dahulu ditangani dibandingkan dengan sub-elemen ke-1

X

: Jika kedua sub-elemen sama pentingnya atau keduanya harus ditangani bersama

O

: Jika kedua sub-elemen tidak sama penting atau kedua sub-elemen bukan prioritas yang harus ditangani.


(5)

A. Aktor / Stakeholder

No

Sub-elemen ke-j

Sub-elemen ke-i

LSM Ma

sya

ra

ka

t

Pr

a

k

ti

si

Aka

d

em

isi

Pe

la

ku

U

s

a

h

a

P

e

ngel

o

la R

us

un

a

Din

a

s

PU

K

e

men

terian Peru

m

a

h

an Rak

y

a

t

K

e

men

terian PU

Pe

m

k

a

b

/P

e

m

ko

t

Pe

m

p

ro

v

P

e

mer

intah

P

u

s

a

t

12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 Pemerintah Pusat 2 Pemprov 3 Pemkab/Pemkot 4 Kementerian PU

5 Kementerian Perumahan Rakyat

6 Dinas PU

7 Pengelola Rusuna

8 Pelaku Usaha

9 Akademisi

10 Praktisi

11 Masyarakat


(6)

B . Permasalahan Pengembangan

No

Sub-elemen ke-j

Sub-elemen ke-i

Peke

rjaan

terlambat

G

aga

l k

on

str

uk

si

SOP/p

emeli

ha

raa

n belum ad

a

SOP/p

elaksan

aan

be

lu

m a

da

Kuran

g b

ant

uan

pe

rban

kan

Suli

ny

a urus p

eriz

ina

n

Kerag

uan

m

asyarak

at

Belum semua a

da

btn

mu

tu

tingg

i

Peralata

n te

rbatas

Kont

ra

ktor b

lm semua

pa

ha

m

Terb

atasn

ya

te

kn

olog

i

Re

nda

hn

ya

in

ovasi

Terb

atas b

ah

anra

m

ah lingkun

ga

n

Le

ma

h peng

awasan

Kuran

gnya

SD

A

Terb

atasn

ya

SDM

K

ur

ang

ny

a s

osi

al

is

as

i

17 16 15 14 13 12 11 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1

1 Kurangnya sosialisasi

2 Terbatasnya SDM

3 Kurangnya SDA

4 Lemah pengawasan

5 Terbatas Bahan bangunan ramah lingkungan

6 Rendahnya inovasi

7 Terbatasnya teknologi

8 Kontraktor blm semua paham

9 Peralatan terbatas

10 Belum semua daerah ada beton mutu tinggi

11 Keraguan masyarakat

12 Sulinya urus perizinan

13 Kurang bantuan perbankan

14 SOP/pelaksanaan belum ada

15 SOP/pemeliharaan belum ada

16 Gagal konstruksi