Sistem Dinamik Pengelolaan Rusunawa Melalui Konstruksi Ramah

148 Guna menunjang infrastruktur pemukiman bagi penduduk yang terus berkembang dan menghilangkan pertumbuhan rumah bermasalah tersebut, pemerintah daerah bersama pemerintah pusat terus mengembangkan pemukiman yang bersifat vertikal, seperti rusunawa dan rusunami. Hal ini untuk mengantisipasi terbatasnya lahan yang ada di Pulau Batam. Pengembangan rusunawa dan rusunami merupakan salah satu solusi memecahkan permasalahan sosial akibat tumbuhnya perumahan bermasalah ruli. Kondisi ruli yang kumuh, padat, kurang terjaga sanitasi dan kenyamanannya, sering menimbulkan permasalahan sosial. Kertidakteraturan ruli juga bisa mengganggu penataan ruang yang dilakukan pemerintah kota, serta menimbulkan permasalahan lingkungan, seperti kesalahan penggunaan lahan dan timbulan limbah domestik. Pembangunan rusunawa sebagai salah satu alternatif teknologi bisa memecahkan berbagai hal, antara lain keterbatasan lahan, efisiensi penggunaan bahan ramah lingkungan, dan pemanfaatan tenaga kerja terampil. Diagram sebab akibat dalam causal loop pengembangan kawasan permukiman Kota Batam, khususnya pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan disajikan pada bab sebelumnya Bab III. Secara umum diagram sebab akibat tersebut menggambarkan berbagai parameter terkait sistem pengembangan pemukiman. Sistem ini sendiri terdiri dari beberapa sub-sistem yang dapat dikelompokkan berdasarkan isu terkait pembangunan berkelanjutan. Sub-sistem tersebut terdiri dari sub-sistem sosial-kependudukan, sub-sistem lingkungan fisik, dan sub-sistem perekonomian daerah. Ketiganya menggambarkan tiga pilar pembangunan berupa aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan ekologi dalam pengembangan pemukiman secara berkelanjutan di Kota Batam. Guna melakukan simulasi terhadap model yang dibangun, diagram sebab akibat tersebut menjadi dasar perancangan stock-flow diagram SFD. Diagram SFD ini disusun dengan bantuan perangkat lunak Powersim Studio 5.0. Diagram yang disajikan dalam Gambar 56 ini menggambarkan aliran energi, materi, dan informasi terkait pengembangan pemukiman di Kota Batam. 149 Gambar 56 Stock-flow diagram model pengembangan pemukiman di Kota Batam. 149 150 G am b ar 56 lan juta n 150 151

4.7.1 Sub-sistem Sosial Kependudukan

Sub-sistem sosial kependudukan terdiri dari parameter utama berupa jumlah penduduk dan tenaga kerja. Selain itu terdapat parameter turunan berupa pertambahan jumlah penduduk yang terdiri dari kelahiran dan imigrasi, serta pengurangan jumlah penduduk yang terdiri dari kematian dan emigrasi. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk memperlihatkan kecenderungan pertumbuhan positif positive growth naik mengikuti kurva eksponensial pada tahun simulasi 2010 sampai 2030. Hal ini disebabkan secara kumulatif laju tingkat pertumbuhan penduduk lebih besar dibandingkan dengan tingkat pengurangan penduduk. Laju pertambahan penduduk ini terdiri dari jumlah penduduk eksisiting ditambah dengan jumlah kelahiran dan jumlah imigrasi yang masuk ke Kota Batam. Jumlah kelahiran dipengaruhi oleh fraksi kelahiran sebesar 1,7. Sementara jumlah imigrasi secara signifikan dipengaruhi fraksi imigrasi sebesar 9,1. Laju pertambahan penduduk secara positif ini diimbangi dengan laju pengurangan penduduk yang bersifat negatif negative growth. Laju pengurangan penduduk ini terdiri dari jumlah penduduk eksisiting dikurangi dengan jumlah kematian dan jumlah emigrasi yang keluar dari Kota Batam. Jumlah kematian dipengaruhi oleh fraksi kematian sebesar 0,7. Sementara jumlah imigrasi secara signifikan dipengaruhi fraksi emigrasi sebesar 2. Hasil simulasi pertumbuhan penduduk disajikan pada Gambar 57 dan Tabel 44. Grafik jumlah penduduk memperlihatkan prediksi peningkatan yang signifikan mulai tahun 2010 sebanyak 992.095 jiwa sampai menjadi 4.710.501 jiwa pada tahun 2030. 152 Gambar 57 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja di Kota Batam. Tabel 45 Hasil simulasi pertumbuhan penduduk dan tenaga kerja di Kota Batam Tahun Jumlah Penduduk jiwa Tenaga Kerja jiwa 2010 992.095 384.04 2015 1.464.474 566.898 2020 2.161.774 836.823 2025 3.191.087 1.235.270 2030 4.710.501 1.823.435 Jumlah tenaga kerja yang terserap di Kota Batam dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan fraksi tenaga kerja. Grafik jumlah tenaga kerja terserap memperlihatkan prediksi peningkatan yang signifikan mulai tahun 2010 sampai tahun 2030. Hal ini didorong oleh laju pertumbuhan penduduk yang sebagian besar disebabkan emigrasi penduduk yang mencari kerja di Kota Batam. Tenaga kerja yang bisa terserap sebesar 384.040 jiwa pada tahun 2010 dan akan terus meningkat hingga mencapai 1.823.435 jiwa pada tahun 2030. Penyerapan yang terjadi relatif tinggi berkisar 38,71 dari jumlah penduduk setiap tahunnya. Hal ini dimungkinkan dengan banyaknya perusahaan yang beroperasi di Kota Batam, sehingga alternatif lapangan kerja baru di bidang industri, yang bisa menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja. 2010 2015 2020 2025 2030 1.000.000 2.000.000 3.000.000 4.000.000 Jum lah Penduduk Tenaga Ker j a Ta h u n J u m la h P e n d u d u k ji w a 153

4.7.2 Sub-sistem Lingkungan Fisik

Sub-sistem lingkungan fisik terdiri dari parameter utama berupa meningkatnya kebutuhan pemukiman yang berdampak pada lingkungan, seperti penggunaan lahan dan bahan bangunan, serta dampaknya terhadap penyerapan karbon dioksida CO 2 . Pertumbuhan penduduk yang mendorong pertumbuhan tenaga kerja, pada akhirnya juga mendorong kebutuhan penyediaan pemukiman bagi penduduk termasuk para tenaga kerja tersebut. Penyediaan pemukiman tentu saja membutuhkan lahan bagi pembangunannya. Kebutuhan pemukiman bagi tenaga kerja bisa melalui pembangunan rumah tapak landed house atau rumah susun rusun. Pilihan pembangunan jenis rumah ini berimplikasi pada kebutuhan lahan yang akan digunakan. Selain kebutuhan lahan, pembangunan pemukiman juga akan mendorong pemanfaatan sumber daya alam sebagai bahan bangunan. Salah satunya adalah pemanfaatan kayu sebagai bahan bangunan. Pemanfaatan kayu sebagai bahan bangunan juga akan sangat bervariasi, tergantung pilihan jenis rumah dan teknologi yang digunakan. Rumah tapak memerlukan kayu lebih banyak dibandingkan dengan rusun. Rusun dengan beton konvensional juga memerlukan kayu lebih banyak dibandingkan rusun dengan beton semi pracetak. Ditinjau dari aspek lingkungan, penghematan penggunaan kayu ini akan berdampak pada berkurangnya penebangan pohon atau penggundulan hutan. Keuntungan ini akan berlanjut dengan terjaganya fungsi pohon sebagai penyerap CO 2 di alam. • Pemukiman Hasil simulasi terhadap kebutuhan dan pemenuhan pemukiman bagi penduduk di Kota Batam disajikan pada Gambar 58. Kebutuhan pemukiman direpresentasikan dalam bentuk unit rusunrumah tapak berdasarkan jumlah pertumbuhan penduduk yang diperkirakan belum memiliki rumah tenaga kerja dan non tenaga kerja. Secara umum, hasil simulasi tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk mendorong kebutuhan pemukiman, termasuk pemukiman bermasalah rumah liar, ruli. 154 Gambar 58 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman tenaga kerja di Kota Batam. Berdasarkan asumsi 30 dari jumlah tenaga kerja di Kota Batam belum memiliki rumah, maka bisa disimulasikan kebutuhan unit rumah setiap tahunnya. Kebutuhan unit rumah hasil simulasi diperkirakan mencapai 63.367 unit rumah tapak atau rusun pada tahun 2010 untuk semua tenaga kerja yang belum memiliki rumah. Jika tidak dilakukan pemenuhan terhadap kebutuhan pemukiman, diperkirakan kebutuhan pemukiman tersebut akan meningkat menjadi 300.867 unit rumah pada tahun 2030. Hal ini juga akan berdampak pada bertambahnya rumah bermasalah di Kota Batam. Tabel 46 Hasil simulasi kebutuhan dan pemenuhan pemukiman tenaga kerja di Kota Batam. Tahun Kebutuhan Unit Rusun TK unit Rumah Bermasalah TK unit Pengurangan Rumah Bermasalah TK unit Pemenuhan Unit Rusun unit Unit Rusun Belum Terpenuhi unit 2010 63.366,60 12.673,32 9.793,32 2.880,00 60.486,60 2015 93.538,17 18.707,63 9.918,57 8.789,06 84.749,10 2020 138.075,72 27.615,14 793,05 26.822,09 111.253,63 2025 203.819,53 40.763,91 0 81.854,52 121.965,00 2030 300.866,79 60.173,36 249.800,18 51.066,61 2010 2015 2020 2025 2030 100.000 200.000 300.000 Kebut uhan Unit Rusun TK Pem enuhan Unit Rusun TK Kebut uhan Rum ah Non TK Unit Rusun TK Belum Terpenuhi Rum ah Berm asalah TK Pengurangan Rum ah Berm asalah TK Ta h u n Ju m la h Ru m a h u n it 155 Kebijakan pemenuhan kebutuhan pemukiman tenaga kerja di Kota Batam akan diakomodasi dengan pembangunan twin block TB rusun. Setiap rusun diasumsikan memiliki 96 unit rumah tinggal beserta fasilitas umumnya. Saat ini terdapat 30 TB rusun eksisting yang terdiri dari 2.880 unit rumah tinggal dan bisa menampung 11.520 jiwa tenaga kerja. Jika dilakukan pengembangan rusun secara bertahap, maka akan ada pengurangan kebutuhan pemukiman setiap tahunnya. Hal ini bisa terjadi, jika prosentase peningkatan pembangunan rusun lebih besar dari prosentase peningkatan jumlah penduduk di Kota Batam. Menurut Dinas Tata Kota Batam 2009 diperlukan sedikitnya 756 unit TB untuk memenuhi kebutuhan pemukiman tenaga kerja pada tahun 2011. Jika kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dalam waktu 20 tahun, maka setidaknya pemerintah harus membangun rata-rata 38 unit TB rusun atau rata-rata 3.629 unit rumah tinggal setiap tahunnya. Hal ini sebanding dengan pembangunan TB rusun sebanyak 127 per tahun dari kondisi eksisting yang ada 30 unit. Kondisi ini belum termasuk pertumbuhan kebutuhan pemukiman akibat peningkatan jumlah tenaga kerja setiap tahunnya. Keterbatasan pemerintah dalam membangun pemukiman yang hanya mencapai 25 unit TB rusun dari kondisi eksisting yang ada akan menghasilkan 8.789 unit rumah tinggal atau setara 92 unit TB rusun pada tahun 2015. Jika hal ini terus dilakukan maka pada tahun 2030 akan dicapai pembangunan sekitar 249.800 unit rusun atau setara 2.602 unit TB rusun. Hal ini setara dengan pemenuhan 83 kebutuhan rusun pada tahun 2030. Pemenuhan kebutuhan tersebut bisa menekan angka kebutuhan pemukiman dari tahun ke tahun. Hal ini juga akan mengurangi keberadaan rumah bermasalah yang jika dibiarkan diperkirakan akan berkembang hingga sekitar 60.173 unit pada tahun 2030. Penerapan kebijakan pembangunan pemukiman sebanyak 25 setiap tahun tersebut diharapkan mampu mengurangi hingga menghapuskan keberadaan rumah bermasalah pada tahun 2020. • Penggunaan Lahan Kebutuhan akan pemukiman juga akan mendorong kebutuhan terhadap luas lahan pemukiman. RTRW 2004-2014 Kota Batam telah mengalokasikan lahan 156 pemukiman sebesar 14.136,14 ha 141.361.400 m 2 dari 47.325,27 ha lahan kawasan budidaya. Luas alokasi lahan pemukiman ini setara dengan 13,61 dari luas keseluruhan wilayah Kota Batam 103.843,22 ha atau setara 25 dari luas kawasan budidaya 56.517,95 ha. Kebutuhan lahan pemukiman yang disimulasikan sebelumnya akan mengurangi alokasi lahan pemukiman yang tersedia di Kota Batam. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW Kota Batam Tahun 2004-2014 Perda Kota Batam Nomor 2 tahun 2004. Menurut RTRW Kota Batam, alokasi lahan pemukiman seluas 14.136,14 ha atau sekitar 13,61 dari luas keseluruhan Kota Batam. Hasil simulasi menunjukkan alokasi luas lahan pemukiman akan segera habis digunakan sekitar tahun 2023 jika pemenuhan kebutuhan pemukiman dipenuhi menggunakan rumah tapak Gambar 59. Hal ini bisa diantisipasi dengan menerapkan pemenuhan melalui rusun yang hingga tahun 2030 baru mencapai 12.970,05 ha, atau masih menyisakan sekitar 1.166,09 ha alokasi lahan pemukiman Tabel 44. Gambar 59 Hasil simulasi kebutuhan lahan pemukiman di Kota Batam. Setiap TB rusunawa yang terdiri dari 96 unit membutuhkan lahan 3.000 m 2 , dibandingkan dengan kebutuhan rumah tapak dengan 96 unit tersebut dibutuhkan lahan 14.400 m 2 dengan asumsi setiap rumah tapak membutuhkan lahan 150 m 2 . Dengan demikian pada tahun 2015 akan diperoleh penghematan luas lahan sebanyak 860 ha selanjutnya pada tahun 2010 2015 2020 2025 2030 5.000 10.000 15.000 Kebut uhan Lahan Pem ukim an dgn Rum ah Tapak Luas Alokasi Lahan Pem uk im an Lahan Perm uk im an Eksist ing Luas Lahan Rusun Kebut uhan Lahan r usun Rum ah Tapak Ta h u n L u a s L a h a n h a 157 2030 menjadi 5.409 ha. Penghematan penggunaan lahan tersebut dapat digunakan untuk menambah ruang terbuka hijau RTH di Kota Batam yang berfungsi untuk hutan kota. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa RTH adalah area memanjangjalur danatau mengelompok, yang penggunaanya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman,baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam. RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH privat; dengan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 dari luas wilayah kota; dan proporsi RTH Publik pada wilayah kota paling sedikit 20 dari luas wilayah kota. Hutan kota sebagai bagian dari RTH dapat menyerap hasil negatif dari kota antara lain: suhu kota, kebisingan, debu, dan hilangnya habitat burung. Pengelompokan hutan kota menurut sifat pengaruhnya terhadap kualitas lingkungan sangat terkait dengan perubahan suhu, kelembaban, kebisingan, debu, populasi, distribusi burung dan estetika. Pengelompokan hutan kota berdasarkan hubungan bentuk dan struktur hutan kota terhadap kualitas lingkungan antara lain: jalur, menyebar, bergerombol, dua strata dan berstrata banyak. Selanjutnya dikatakan bahwa hutan kota berpengaruh terhadap beberapa parameter lingkungan antara lain penurunan suhu, peningkatan kelembaban, penurunan kebisingan, dan penurunan kadar debu Zoer’aini, 2005, Tabel 47 Hasil simulasi kebutuhan lahan pemukiman di Kota Batam. Tahun Kebutuhan Lahan Pemukiman dgn Rumah Tapak ha Lahan Pemukiman Eksisting ha Luas Lahan Rusun ha Kebutuhan Lahan Rusun Rumah Tapak ha 2010 9.363,52 6.544,76 9,00 9.363,52 2015 10.797,26 7.120,30 27,47 9.937,01 2020 12.647,68 7.746,45 83,82 10.677,18 2025 15.089,78 8.427,67 255,80 11.654,02 2030 18.379,85 9.168,80 780,63 12.970,05 • Penggunaan Kayu Parameter luas lahan pemukiman juga mendorong penggunaan sumberdaya alam sebagai bahan bakunya. Salah satu sumberdaya alam yang kritis untuk digunakan adalah penggunaan kayu untuk bahan baku rumah. Simulasi penggunaan kayu untuk rumah tapak dan rumah susun tersebut disajikan dalam 158 Gambar 60. Penggunaan kayu untuk rumah tapak memiliki perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan penggunaan kayu untuk rumah susun. Teknologi pembangunan rumah susun sendiri cukup mempengaruhi pemakaian kayu. Hal ini terlihat dalam penggunaan kayu untuk rumah susun dengan beton konvensional, beton semi pracetak, dan beton pracetak penuh. Hal ini disajikan dalam Tabel 48. Hasil simulasi menunjukkan kebutuhan kayu untuk rumah tapak berkisar 240.793 m 3 pada tahun 2010 dan terus meningkat hingga 1.143.293 m 3 pada tahun 2030. Kebutuhan kayu untuk rumah tapak ini masih lebih sedikit dibandingkan dengan kebutuhan kayu untuk pembangunan rusun dengan beton konvensional. Pembangunan rusun konvensional memerlukan kayu hampir dua kali lebih banyak dibandingkan pembangunan rumah tapak, karena masih banyak menggunakan cetakan beton dari bahan kayu. Rusun konvensional diproyeksikan membutuhkan kayu sebanyak 401.559 m 3 kayu pada tahun 2010 dan meningkat hingga 1.906.617 m 3 kayu pada tahun 2030. Gambar 60 Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam. Kebutuhan kayu akan sangat dihemat jika penyediaan pemukiman melalui pembangunan rusun menggunakan beton semi pracetak. Rusun semi pracetak hanya membutuhkan kayu sekitar 3.537 m 3 kayu pada tahun 2010 dan hanya meningkat menjadi 16.798 m 3 kayu pada tahun 2030. Kebutuhan kayu untuk pembangunan rusun konvensional pada tahun 2010 hanya berjumlah sekitar 1,47 dibandingkan kebutuhan kayu untuk pembangunan rumah tapak dan hanya 2010 2015 2020 2025 2030 500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 Kebut uhan Kayu Rum ah Tapak TK Kebut uhan Kayu Rusun Konv ensional TK Kebut uhan Kayu Rusun Sem i- PC TK Ta h u n V o lu m e K a y u m 3 159 berjumlah sekitar 0,88 dibandingkan kebutuhan kayu untuk pembangunan rusun konvensional. Hal ini akan semakin signifikan perbedaannya jika diproyeksikan pada tahun 2030. Tabel 48 Simulasi kebutuhan kayu untuk pemukiman di Kota Batam. Tahun Kebutuhan Kayu Rumah Tapak TK m 3 Kebutuhan Kayu Rusun Konvensional TK m 3 Kebutuhan Kayu Rusun Semi -PC TK m 3 2010 240.793,06 401.559,40 3.537,97 2015 355.445,03 592.759,15 5.222,55 2020 524.687,74 874.997,34 7.709,23 2025 774.514,20 1.291.621,32 11.379,92 2030 1.143.293,81 1.906.617,93 16.798,40 Hasil simulasi penggunaan kayu ini berimplikasi pada penghematan penggunaan kayu berdasarkan pilihan jenis dan teknologi penyediaan pemukiman Gambar 61. Pemilihan jenis pemukiman rumah tapak vs rusun akan memberikan penghematan sebesar 237.255 m 3 pada tahun 2010. Hal ini akan semakin besar jika diproyeksikan pada tahun 2030 yang menunjukkan penghematan penggunaan kayu sebesar 1.126.495 m 3 . Gambar 61 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam. 2010 2015 2020 2025 2030 500.000 1.000.000 1.500.000 Penghem at an Kay u Rusun SPC TK Rusun Konv Penghem at an Kay u Rusun SPC TK v s Rum ah Tapak Ta h u n V o lu m e K a y u m 3 160 Teknologi pembangunan pemukiman rusun konvensional vs rusun semi pracetak akan memberikan penghematan sebesar 398.021 m 3 pada tahun 2010. Hal ini juga akan semakin besar jika diproyeksikan pada tahun 2030 yang menunjukkan penghematan penggunaan kayu sebesar 1.889.819 m 3 Tabel 49. Tabel 49 Simulasi penghematan kayu untuk pemukiman di Kota Batam Tahun Penghematan Kayu Rusun SPC TK vs Rumah Tapak m 3 Penghematan Kayu Rusun SPC TK vs Rusun Konv.m 3 2010 237.255,10 398.021,43 2015 350.222,48 587.536,60 2020 516.978,51 867.288,12 2025 763.134,27 1.280.241,39 2030 1.126.495,41 1.889.819,54 Penghematan penggunaan kayu dalam membangun pemukiman, pada dasarnya juga bisa menghemat penebangan pohon sebagai bahan baku kayu. Jika diasumsikan bahwa kayu yang digunakan berasal dari penebangan pohon di hutan, maka penghematan penggunaan kayu juga bisa mengurangi luas penebangan pohon di hutan. Menurut penelitian IPB 2010 dalam www.info.ipb.ac.id; 25 Sept 2010, setiap 50-70 m 3 volume kayu bisa diperoleh dari hutan seluas 1 ha. Hasil penelitian ini mendasari simulasi penghematan luas hutan berdasarkan banyaknya volume penggunaan kayu dalam membangun pemukiman. Hasil simulasi penghematan luas hutan disajikan dalam Gambar 62 dan Tabel 50. Pada tahun 2010 bisa dilakukan penghematan luas hutan sebanyak 6.633,69 ha jika pemukiman tenaga kerja melalui pembangunan rusun semi pracetak dibandingkan melalui pembangunan rusun konvensional. Penghematan makin meningkat jika diproyeksikan pada tahun 2030 yang mencapai penghematan hutan seluas 31.496,99 ha. Penghematan luas hutan dengan beton semi pracetak disbanding rumah tapak mencapai 3.954,25 ha pada tahun 2010 dan terus meningkat seiring pembangunan rusun. Pada tahun 2030 diproyeksikan penghematan luas hutan akan mencapai 18.774,92 ha Gambar 60 dan Tabel 47. 161 Gambar 62 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam. Tabel 50 Simulasi penghematan luas hutan untuk pemukiman di Kota Batam Tahun Penghematan Luas Hutan Rusun SPC TK vs Konv. ha Penghematan Luas Hutan Ruasun SPC TK vs Rumah Tapak ha 2010 6.633,69 3.954,25 2015 9.792,28 5.837,04 2020 14.454,80 8.616,31 2025 21.337,36 12.718,90 2030 31.496,99 18.774,92 Hutan alam dapat meyerap CO 2 sebesar 1,559 tonhahari www.repository.ipb.ac.id, 22 November 2010. Oleh karena itu maka pada pembangunan permukiman tenaga kerja melalui rusunawa dengan sistem semi pracecak dibandingkan dengan sistem konvensional akan membantu melakukan penyerapan CO 2 secara signifikan. Dalam hal pembangunan rusunawa dengan sistem semi pracetak pada tahun 2010 akan terjadi penghematan terhadap penggunaan kayu penghematan terhadap luas hutan yang ditebang yang jika dikonversi terhadap CO 2 akan dapat menyerap CO 2 sebesar 10.342, 59 tonhari dan pada tahun 2030 sebesar 49.106,96 tonhari. Gambar 63. 2010 2015 2020 2025 2030 10.000 20.000 30.000 Penghem at an Luas Hut an Rusun SPC TK vs Rm h Tapak Penghem at an Luas Hut an Rusun SPC TK vs Konv . Ta h u n L u a s H u ta n h a 162 Gambar 63 Hasil simulasi potensi penghematan CO 2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam Potensi penyerapan CO 2 dimungkinkan karena penggunaan kayu pada pembangunan rusun konvensional lebih banyak dibandingkan pada pembangunan rumah tapak. Pembangunan rusun konvensional memerlukan sekitar 6,3 m 3 kayu per unitnya. Sedangkan rumah tapak memerlukan sekitar 3,8 m 3 kayu per unitnya dan rusun semi pracetak hanya memerlukan sekitar 0,05 m 3 per unitnya. Rusun semi pracetak hanya memerlukan kayu pada panel pintu saja. Menurut IPCC 2003 dan Mitigation, Fourth Assesment Report dalam WBCSB 2007 jika hutan lestari dalam jangka panjang, maka akan terpelihara bahkan akan meningkatkan stok karbon hutan, sehingga bukan saja produksi kayu pertahun lestari, getah dan energi dari hutan juga akan menghasilkan keuntungan yang lestari dan lebih besar. Seperti halnya penggunaan kayu, potensi penyerapan CO 2 juga bisa bernilai ekonomis jika kita mampu menjual CO 2 tersebut dalam skema perdagangan karbon yang ada saat ini. Tabel 51 Hasil simulasi potensi penyerapan CO 2 dalam pembangunan pemukiman di Kota Batam dalam tonhari Tahun Potensi penyerapan CO 2 SPC TK vs Rumah Tapak tonhari Potensi penyerapan CO 2 SPC TK vs Rusun Konv tonhari 2010 6.165,07 10.342,59 2015 9.100,53 15.267,14 2020 13.433,69 22.536,48 2025 19.830,04 33.267,07 2030 29.271,98 49.106,96 2010 2015 2020 2025 2030 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 Pot ensi peny erapan CO2 Rusun SPC TK vs Rm h Tapak Pot ensi peny erapan CO2 Rusun SPC TK vs Konv. Ta h u n C O 2 to n h a r i 163 RPJMN 2009-2014 mengamanatkan pembangunan 650 twin block TB rusunawa yang dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah pusat saja pada tahun 2010-2012, dengan demikian akan ada pembangunan rusunawa sebanyak 217 TB setiap tahun. Kalau pemerintah daerah juga membangun rusunawa sebanyak 26 dari bantuan pemerintah pusat, maka setiap tahun akan terbangun 300 TB, mulai dari tahun 2010, akan terakumulasi menjadi 6.300 TB rusunawa pada 2030 yang dibangun oleh pemerintah saja. Pembangunan rusunawa ramah lingkungan dengan green construction dapat menghemat kayu olahan sebanyak 598 m 3 TB 1.196 m 3 kayu bulat, dengan demikian maka pada tahun 2010 dapat dihemat kayu sebanyak 358.800 m 3 , setara dengan luas hutan 5.980 ha, dengan potensi penyerapan CO 2 sebanyak 9.322 tonhari. Pada tahun 2020 akan terakumulasi pembangunan rusunawa menjadi 3.300 TB dengan penghematan kayu 3.946.800 m3, setara dengan luas hutan 65.780 ha dengan potensi penyerapan CO2 sebesar 102.551 tonhari. Kondisi ini akan meningkat pada 2030 menjadi 7.534.800 m 3 kayu, setara dengan 125.580 ha dengan potensi penyerapan CO 2 sebesar 195.779 tonhari. Penghematan tersebut akan berkontribusi terhadap komitmen pemerintah menurunkan emisi CO 2 sebesar 26 pada tahun 2010, dari sektor perumahan yang dibangun oleh pemerintah saja. Peningkatan CO 2 di atmosfir disebabkan oleh anthropogenetic yaitu: dari hasil pembakaran bahan bakar fosil yang memperlihatkan keadaan komposisi kandungan karbon di atmosfir terdapat sedikit konsentrasi 14 C dan banyaknya konsentrasi 13 C sesuai dengan karakteristik isotop C dari hasil pembakaran bahan bakar fosil. Demikian pula, peningkatan CO 2 dibelahan bumi sebelah utara lebih cepat karena pembakaran bahan bakar fosil terjadi paling tinggi . Perubahan iklim global dapat ditanggulangi dengan menyimpan karbon sebesar besarnya tetapi hutan tropis rusak jauh lebih cepat dengan hutan di wilayah iklim sedang. Indonesia memiliki potensi untuk mengurangi laju tersebut karena memiliki hutan tropis terbesar di dunia dan kelestarian hutan tropis harus terjaga. Sumberdaya alam ini menjadi potensial untuk meningkatkan daya saing bangsa. Presentasi cadangan karbon yang tersebar di hutan tropis sebesar 53,1 ada di Indonesia. Hutan memiliki tegakan pohon, jumlah karbon yang diserap 164 oleh sebuah pohon yang sedang tumbuh tergantung dari spesies, iklim, dan tanah serta umur pohon, hutan yang sedang tumbuh membentuk sekitar 10 ton karbon per hektar per tahun. Dalam melangsungkan hidupnya, pohon melakukan proses fotosintesis di siang hari untuk memperoleh cadangan makanan. Melalui proses tersebut, pohon menyerap CO 2 di udara sehingga jumlah CO2 di udara berkurang dan berubah menjadi penambahan O 2 oksigen. Penyerapan CO 2 dalam proses fotosintesis menyebabkan pengurangan emisi CO 2 sebagai gas rumah kaca penyebab pemanasan global. Daya serap pohon terhadap CO 2 1.559,10 kgha.hari dan 129,92 kgha.jam www.repository.ipb.ac.id, 22 november 2010. Adanya penghematan luasan hutan yang ditebang untuk dimanfaatkan katunya guna melakukan pembangunan rusun dengan system konvensional akan sangat membantu pemerintah dalam mengimplementasikan strategi nasional dalam mengatasi pemanasan global. Mengingat kondisi ini sesuai dengan strategi nasional dalam rangka mengatasi masalah pemanasan global yang antara lain adalah a pengurangan emisi CO 2 , b perusahaan manufaktur harus mengganti teknologi dengan yang tidak banyak mengeluarkan emisi karbon, c peningkatan pengembangan sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan sebagai sumber rosot karbon, d pengurangan penggunaan bahan bakar fosil sebagai sumber penghasil listrik, dan e pengembangan clean energi seperti tenaga air dan tenaga angin, serta tenaga nuklir bila memungkinkan. Masuknya karbon hutan dalam mekanisme pembangunan bersih juga merupakan kesempatan yang sangat berharga dalam rangka meningkatkan nilai ekonomi hutan. Walau pada kenyataannya masih terdapat masalah dan pembatasan dalam pelaksananyya yang berakibat pada permintaan karbon melalui sekuestrasi karbon memiliki pangsa yang kecil dan tidak seluruh lahan terdegradasi potensial untuk dikelola lewat perdagangan karbon Murdiyarso, 2003; Dutschke, 2004; Chatterjee ,2004; Boer, 2004; namun adanya pangsa pasar karbon tersebut merupakan kabar yang cukup menggembirakan bagi provinsi atau kabupaten yang mempunyai hutan masih relatif utuh.

4.7.3 Sub-sistem Nilai Ekonomi

Sub-sistem perekonomian daerah dicerminkan oleh parameter utama 165 berupa nilai keuntungan ekonomis dalam bentuk penghematan biaya pembangunan, penghematan sewa rumah dan keuntungan harga penyerapan CO 2 . Simulasi model dinamik pada sub model ini dilihat dari nilai uang yang bisa dihemat dengan memanfaatkan pilihan jenis rumah tinggal dan teknologi yang digunakan dalam pembangunannya. Hasil simulasi terhadap biaya pembangunan dengan pilihan rumah tapak, rusun dengan beton konvensional dan pracetak menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan. Perbedaan ini bisa menjadi dasar perhitungan penghematan biaya pembangunan atau keuntungan berdasarkan pilihan jenis rumah dan teknologi pembangunannya. Gambar 64 dan Tabel 52 menunjukkan hasil simulasi biaya pembangunan untuk pemukiman di Kota Batam. Biaya pembangunan rumah tapak merupakan biaya pembangunan pemukiman yang paling murah. Tetapi hal ini diikuti penggunaan lahan dan sumberdaya kayu terbesar. Biaya pembangunan rusun semi pracetak lebih murah dibandingkan dengan rusun konvensional, serta diikuti keuntungan penggunaan sumber daya kayu yang lebih hemat. Gambar 64 Hasil simulasi biaya pembangunan dan keuntungan pembangunan pemukiman di Kota Batam. Keuntungan biaya pembangunan pemukiman jika dipilih rusun semi pracetak dibandingkan rusun konvensional berkisar sekitar 1,4 triliun rupiah pada tahun 2010. Sementara hasil proyeksi pada tahun 2030 menunjukkan keuntungan meningkat menjadi sekitar 6,7 triliun rupiah. 2010 2015 2020 2025 2030 10.000 20.000 30.000 40.000 Biay a Pem bangunan Rum ah Tapak TK Biay a Pem bangunan Rusun Konvensional TK Biay a Pem bangunan Rusun Sem i- PC TK Keunt ungan Biaya Pem bangunan Sem i PC v s Tapak Keunt ungan Biaya Pem bangunan Sem i- PC vs Tapak Ta h u n B ia y a R p m il y a r 166 Tabel 52 Hasil simulasi biaya pembangunan dan keuntungan pembangunan pemukiman di Kota Batam Tahun Biaya Pembangunan Rumah Tapak TK Rp milyar Biaya Pembangunan Rusun Konv Rp milyar Biaya Pembangunan Rusun Semi- PC TK Rp milyar Keuntungan Biaya Pembangunan Semi PC vs TapakRp milyar Keuntungan Biaya Pembangunan Semi-PC vs Konv. Rp milyar 2010 6.599,98 9.014,56 7.590,79 990,81 1.423,77 2015 9.742,52 13.306,78 11.205,09 1.462,58 2.101,69 2020 14.381,35 19.642,71 16.540,32 2.158,97 3.102,39 2025 21.228,93 28.995,45 24.415,88 3.186,95 4.579,57 2030 31.336,94 42.801,44 36.041,33 4.704,39 6.760,10 Berdasarkan keuntungan biaya pembangunan pemukiman, pilihan jenis rumah tapak justru relatif lebih murah dibandingkan rusun. Hal ini disebabkan, harga pembangunan rumah tapak rata-rata senilai sekitar 104,1 juta rupiah per unit termasuk biaya pembangunan fasilitas umum. Biaya pembangunan rusun semi pracetak sekitar 114,5 juta rupiah per unitnya. Namun keuntungan dari segi biaya pembangunan ini tidak diikuti oleh keuntungan penggunaan lahan yang sangat terbatas bagi rumah tapak. Kebutuhan rumah tapak dalam hal penggunaan lahan mencapai sekitar 5 kali lipat lebih banyak dibandingkan rusun per unitnya. Keuntungan lain yang bisa diperoleh dari pembangunan rusun adalah biaya sewa bagi para tenaga kerja untuk setiap unitnya dibandingkan dengan biaya sewa pada rumah tapak. Tenaga kerja yang menggunakan rusunawa memerlukan dana rata-rata Rp 217.500 per unit untuk setiap bulannya. Sedangkan biaya sewa rumah tapak relatif lebih mahal, rata-rata sekitar Rp 500.000 per unit setiap bulannya. Gambar 65 Hasil simulasi biaya sewa rumah bagi tenaga kerja di Kota Batam. 2010 2015 2020 2025 2030 500 1.000 1.500 Biaya Sew a Rum ah Tapak TK Biaya Sew a Rusun Sem i- PC TK Keunt ungan Sew a Rusun v s Tapak Ta h u n B ia y a R p m il y a r 167 Kondisi tersebut menyebabkan terjadinya penghematan biaya sewa rumah bagi tenaga kerja yang secara kumulatif disimulasikan pada tahun 2010 hingga tahun 2030 Gambar 65 dan Tabel 53. Hasil simulasi menunjukkan keuntungan sewa rusun kumulatif dibandingkan sewa rumah tapak bagi tenaga kerja sekitar 214,8 milyar rupiah pada tahun 2010 dan meningkat menjadi 1,09 triliun rupiah pada tahun 2030. Tabel 53 Hasil simulasi biaya sewa rumah bagi tenaga kerja di Kota Batam Tahun Biaya Sewa Rumah Tapak TK Rp Biaya Sewa Rusun Semi-PC TK Rp Keuntungan Sewa Rusun vs Tapak Rp 2010 380,20 165,39 214,81 2015 561,23 244,13 317,09 2020 828,45 360,38 468,08 2025 1.222,92 531,97 690,95 2030 1.805,20 785,26 1.019,94

4.7.4 Validasi Model

Validasi dilakukan untuk mendapatkan hasil kesimpulan yang benar berdasarkan persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan Hartrisari, 2007 dari model pengembangan rusunawa ramah lingkungan di Kota Batam. Validasi kinerja model adalah aspek pelengkap dalam metode berpikir sistem yang bertujuan untuk memperoleh keyakinan kinerja model sesuai dengan kinerja sistem nyata sehingga memenuhi syarat sebagai model ilmiah yang taat fakta. Hal ini dilakukan melalui perbandingan validasi kinerja model dengan data empiris untuk melihat sejauh mana perilaku kinerja model sesuai dengan data empiris Muhammadi, 2001. Validasi perilaku model dilakukan dengan membandingkan antara besar dan sifat kesalahan dapat digunakan: 1 absolute mean error AME adalah penyimpangan selisih antara nilai rata-rata mean hasil simulasi terhadap nilai actual, 2 absolute variation error AVE adalah penyimpangan nilai variasi variance simuasi terhadap aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 1 -10. Adapun validasi yang digunakan adalah AME dengan persamaan seperti di bawah ini. 168 AME = 100 x A A S − ; N Si S ∑ = N Ai A ∑ = S, A dan N berturut-turut adalah nilai simulasi, nilai aktual, dan interval waktu pengamatan. Berdasarkan hasil analisis sistem dinamis dapat dilihat bahwa perilaku model pengelolaan rusunawa ramah lingkungan dapat terpenuhi syarat kecukupan struktur dari suatu modelnya dengan melakukan validasi atas perilaku yang dihasilkan oleh suatu struktur model. Data validasi disajikan pada Tabel 54 dan Gambar 66. Hasil uji validasi berdasarkan jumlah penduduk menunjukkan bahwa, AME menyimpang 5,3 untuk pertambahan penduduk dari data aktual. Batas penyimpangan kedua variabel tersebut pada parameter AME adalah 10, yang menunjukkan bahwa model ini mampu mensimulasikan perubahan-perubahan yang terjadi secara aktual di lapangan. Tabel 54 Data validasi model pengembangan rusunawa ramah lingkungan berdasarkan perkembangan jumlah penduduk Time Jumlah Penduduk Jiwa Jumlah Penduduk Eksisting Jiwa AME 2006 713.960,00 713.960,00 0,00 2007 763.223,24 724.315,00 5,37 2008 815.885,64 892.469,00 8,58 2009 872.181,75 932.892,00 6,51 2010 932.362,29 992.095,00 6,02 169 0 6 0 7 0 8 0 9 6 0 0 . 0 0 0 7 0 0 . 0 0 0 8 0 0 . 0 0 0 9 0 0 . 0 0 0 1 . 0 0 0 . 0 0 0 Ju m la h Pe n d u d u k Ek s ist in g Ju m la h Pe n d u d u k Ta hun J u m la h P e n d u d u k ji w a Gambar 66 Perbandingan jumlah penduduk aktual dan simulasi di Kota Batam. Gambar 67 AME jumlah penduduk di Kota Batam.

4.8 Model Konseptual Kebijakan Pengembangan Rusunawa Melalui

Konstruksi Ramah Lingkungan Pengembangan rusunawa ramah lingkungan memerlukan kebijakan yang kokoh, operasional dan mengikat semua pihak terkait. Selain itu, pada tataran operasional pengembangan rusunawa ramah lingkungan melibatkan banyak pihak terkait dan memerlukan pendanaan yang relatif besar, sehingga harus dilakukan secara terencana dalam jangka waktu cukup panjang dan berkesinambungan. 2006 2007 2008 2009 2010 3 6 AME P r o s e n K e s a la h a n 170 Semua hal tersebut bisa dipecahkan secara sistematis dan terpadu melalui sebuah model kebijakan konseptual yang dibangun berdasarkan kajian yang telah dilakukan sebelumnya. Model konseptual pengembangan rusunawa ramah lingkungan menunjukkan perlunya landasan kebijakan yang kokoh dan mudah dilaksanakan operasional oleh berbagai pihak terkait. Model ini juga menggambarkan hubungan antar aktor dalam menyukseskan tercapainya tujuan pengembangan rusunawa ramah lingkungan di Kota Batam. Optimalisasi pencapaian tujuan ini akan tercapai jika semua pihak terkait bisa berkoordinasi dan berkomitmen untuk melaksanakan pengembangan rusunawa ramah lingkungan di Batam secara sistematis dan terintegrasi. Pemerintah pusat, melalui Kementerian PU dan Perumahan Rakyat menjadi aktor pendorong utama yang harus bisa bermitra dengan para pihak lainnya, terutama Pemerintah Kota Batam melalui Dinas PU, pelaku usaha dan para praktisi di bidang pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Semua pihak yang terkait harus bersama-sama mengatasi kendala yang ada di lapangan, terutama sosialisasi pentingnya pengembangan rusunawa ramah lingkungan melalui konstruksi bangunan hijau. Hal ini diharapkan akan mendorong peningkatan kualitas sumber daya manusia SDM dan pemahaman pentingnya pengembangan rusunawa ramah lingkungan. Proses prioritas lain yang harus ditempuh guna mengoptimalkan pencapaian tujuan rusunawa ramah lingkungan antara lain adalah peningkatan teknologi dan peralatan yang bisa menghindari terjadinya gagal konstruksi dan dampak ikutan lainnya. Selain aktor dan proses pengembangan, model konseptual juga menekankan pentingnya alur pendanaan dan pembagian wewenang antar aktor. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektifitas dan efisiensi pengembangan rusunawa melalui konstruksi ramah lingkungan.

4.8.1 Pendekatan Kebijakan

Kebijakan pengembangan rusunawa ramah lingkungan selain memenuhi aspek teknis, juga harus memenuhi prinsip-prinsip green building dalam kerangka pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan bisa diwujudkan dalam bentuk sistem manajemen lingkungan SML yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan