2.3.2. Gejala Klinis
Preeklampsia digolongkan menjadi preeklampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai berikut: Prawirohardjo, 2010
- Tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah ini tidak menurun meskipun ibu hamil sudah
dirawat di rumah sakit dan sudah menjalani tirah baring - Proteinuria lebih 5g24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif
- Oliguria, yaitu produksi urin kurang dari 500cc24 jam - Kenaikan kadar kratinin plasma
- Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan pandangan kabur
- Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen akibat teregangnya kapsula glisson
- Edema paru-paru dan sianosis - Hemolisis mikroangiopatik
- Trombositopenia berat 100.000 selmm³ atau penurunan trombosit dengan cepat
- Gangguan fungsi hepar kerusakan hepatoselular : peningkatan kadar alanin dan aspartat aminotransferase
- Pertumbuhan janin intrauterin yang terhambat - Sindrom HELLP hemolysis, elevated liver enzymes and low platelet
2.3.3. Penatalaksanaan
Pengelolaan preeklamsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang, pengobatan hipertensi, penggelolaan cairan, pelayanan suportif terhadap penyulit
organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan, antara lain : Prawirohardjo, 2010
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi kiri. Perawatan yang
penting pada preeklampsia berat adalah pengelolaan cairan karena penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk
Universitas Sumatera Utara
terjadinya edema paru dan oliguria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya
edema paru dan oliguria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, dan penurunan gradien tekanan onkotik koloidpulmonary
capillary wedge pressure. Oleh karena itu, monitoring input cairan melalui oral ataupun infus dan output cairan melalui urin menjadi
sangat penting, artinya harus dilakukan pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi
tanda-tanda edema paru, segera dilakukan tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a 5 ringer-dekstrose atau cairan garam faali
jumlah tetesan 125 ccjam atau b infus dekstrose 5 yang tiap liternya diselingi dengan infus ringer laktat 60-125 ccjam 500 cc . Dipasang
foley catheter untuk mengukur pengeluaran urin. Oliguria terjadi bila produksi urin 30 ccjam dalam 2-3 jam atau 500 cc24 jam. Diberikan
antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang, dapat menghindari aspirasi asam lambung yang sangat asam. Diet yang
cukup protein, rendah karbohidrat, lemak, dan garam.
Pemberian obat anti kejang Obat anti kejang diantaranya adalah MgSO
4
magnesium sulfat. Obat ini banyak digunakan di Indonesia sebagai obat anti kejang. Kemudian
contoh obat anti kejang lain yaitu diazepam dan fenitoin. Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru,
payah jantung kongestif, atau anasarka. Diuretikum yang dipakai adalah furosemid. Pemberian diuretikum dapat merugikan yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi utero-plasenta, meningkatkan hemokonsentrasi, menimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan
berat janin. Pemberian antihipertensi
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Indonesia adalah nifedipin, dosis awal 10-20 mg, diulangi setelah 30 menit bila perlu. Dosis
maksimum 120 mg per 24 jam. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual
Universitas Sumatera Utara
karena efek vasodilatasi sangat cepat sehingga hanya boleh diberikan peroral.
2.3.4. Komplikasi