Ancaman Strategi Pengembangan Usaha Kecil Menengah Alas Kaki Di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor,

23 Tabel 5 Direktori UKM-AK Ciomas No Nama Desa Jumlah Unit Usaha Jumlah Tenaga Kerja 1 Parakan 286 1319 2 Mekarjaya 169 867 3 Sukamakmur 132 1080 4 Pagelaran 110 887 5 Sukaharja 64 335 6 Kota Batu 59 345 7 Ciomas 40 376 8 Ciapus 33 235 9 Ciomas Rahayu 5 145 10 Padasuka 2 25 11 Laladon 1 3 Total 901 5617 Sumber: Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Bogor, 2014 Berdasarkan Tabel 5 terlihat bahwa Desa Parakan merupakan Desa yang paling banyak terdapat UKM-AK, diikuti oleh Desa Mekarjaya dan Desa Sukamakmur. Sebagai ilustrasi, sistem Permodalan yang berlaku pada UKM-AK di daerah Ciomas sebagian besar adalah sistem bon putih, yaitu sistem kerjasama produksi antara pihak pengusaha AK sebagai produsen dan pihak pemberi order Grosir sebagai konsumen. Sistem bon putih ini mampu memenuhi kekurangan pengusaha UKM-AK di daerah Ciomas dalam hal permodalan dan bahan baku. UKM-AK pada umumnya menghasilkan AK dari bahan imitasi. Sebelumnya, UKM-AK ini menghasilkan AK kulit, tetapi karena tingginya permintaan terhadap bahan imitasi yang lebih lunak, maka UKM-AK di Kecamatan Ciomas lebih banyak menggunakan bahan imitasi. AK yang dihasilkan bermacam-macam ukurannya, mulai dari yang kecil sampai yang besar untuk pria dan wanita. Sejak beberapa tahun terakhir ini sepatu dan sandal wanita merupakan produk yang paling banyak diminati dan paling banyak permintaannya, karena sesuai dengan perkembangan mode. Pada saat menjelang lebaran dan natal seluruh bengkel sibuk menerima pesanan AK dari konsumen Grosir dan biasanya pekerjaan dapat berlangsung dari pagi sampai larut malam, sedangkan bila tidak sedang ramai pekerjaan berlangsung dari pukul 08.00 sampai 16.00 petang. Di musim- musim sepi, usaha AK mengurangi tenaga kerjanya dan buruh-buruh mencari pekerjaan lain di sekitar daerah Ciomas. Sistem upah yang berlaku didasarkan pada sistem borongan, dimana buruh dibayar berdasarkan jumlah AK yang dihasilkan per kodi. Upah buruh bervariasi berdasarkan tingkat kesulitan pembuatan AK. Para pengusaha UKM-AK di daerah Ciomas sebagian besar tidak memiliki sistem pencatatan dan pembukuan yang jelas, sehingga mereka tidak tahu secara pasti apakah memperoleh untung atau mengalami kerugian Kerajinan AK di Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor umumnya menghasilkan sepatu dan sandal dengan semua ukuran baik untuk pria maupun untuk wanita. Bahan baku yang digunakan untuk membuat sepatu 24 dan sandal adalah kulit imitasi serta bahan lain yang digunakan, yaitu lapis AC, lateks, sol, tamsin, spon, hak, lem, tekson, dus, pengeras, benang, dll. Bahan-bahan ini diperoleh dari toko bahan di Kota Bogor. Bagi pengusaha yang memiliki modal cukup, maka bahan baku dapat diperoleh sesuai dengan harga pasar, sedangkan pengusaha yang lemah dalam hal permodalan, maka bahan baku diperoleh dengan modal kepercayaan dan kesepakatan dengan pihak Grosir, dengan sistem hubungan sub kontrak komersial atau sering disebut ”bon putih”. Selain sistem bon putih pembelian bahan baku juga biasa diberikan dengan sistem giro dengan tempo waktu satu bulan sampai dengan dua bulan, namun dengan menggunakan kedua sistem ini pengusaha AK akan sangat banyak memperoleh charge dan harga yang berlaku bukan lagi harga pasar. Dengan kedua sistem ini pengusaha diminta untuk memproduksi AK sesuai dengan model atau tipe yang ditentukan oleh pihak grosir. Modal awal untuk mendapatkan bahan baku diberikan oleh pihak grosir berupa selembar bon putih atau selembar giro dengan capidentitas grosir untuk dibelanjakan pada toko bahan yang telah ditentukan, dengan jumlah pesanan untuk satu minggu. Pemberian bon putih atau giro ini dihitung sebagai uang muka dari total pembayaran, yaitu sekitar 50 sampai 60. Selanjutnya pengusaha akan memproduksi di bengkel miliknya dengan melibatkan tenaga kerja. Pada saat pengiriman barang, pihak grosir akan memberikan sejumlah uang untuk membayar tenaga kerja, dengan memperhitungkan modal awal yang telah diambil melalui bon putih atau giro, sisanya dibayar dengan menggunakan giro berjangka waktu satu atau dua bulan yang dapat ditukarkan dengan uang tetapi dengan potongan tertentu. Karakteristik UKM-AK Ciomas 1. Identitas Pelaku Usaha Sebagian besar 93 pelaku usaha alas kaki di Ciomas adalah laki- laki. Menurut pihak UPT hal tersebut terjadi karena para pelaku usaha condong mewariskan keahlian usahanya pada anak laki-lakinya. Pihak UPT: “disini mayoritas pelaku usahanya laki-laki, mungkin karena sudah faktor turun temurun, yang dulu orang tuanya pengarajin sandal atau sepatu mewariskan keahliannya itu pada anak laki- lakinya” 25 Gambar 7 Grafik Identitas pelaku usaha alas kaki Secara umum, industri alas kaki di wilayah Bogor dijalankan oleh berbagai kalangan umur, dengan persentase terbesar terdapat pada dua kisaran umur. Usaha alas kaki telah dijadikan usaha pokok oleh sebagian besar pengrajin lama, terbukti 43 pengrajin berusia lebih dari 40 sampai 50 tahun. Namun, persentase pelaku usaha yang berusia produktif juga tidak kalah besarnya 40 dengan kisaran usia antara 30 sampai 40 tahun. Pelaku usaha yang berusia produktif bisa merupakan anak pengrajin lama yang kini berusia lanjut atau merupakan mantan pekerja di bengkel-bengkel alas kaki, tempat dimana menimba pengalaman dan ilmu membuat alas kaki.

2. Karakteristik Pelaku Usaha

Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar 48 pelaku usaha alas kaki di Ciomas lulusan SDMI. Rendahnya tingkat pendidikan pelaku usaha yang rata-rata hanya lulusan SDMI, disumbang cukup besar oleh pengrajin lama. Pengrajin lama sebagian besar tidak berusaha untuk menempuh pendidikan formal yang lebih tinggi. Mindset ini terbentuk turun temurun kepada generasi berikutnya. Secara umum, mayoritas pelaku usaha alas kaki 85 merupakan kalangan yang tamat sekolah, mulai dari tamat pada jenjang pendidikan SDMI, SMPMTs, SMASMKMA, dan Perguruan Tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa semakin menyadari arti pentingnya pendidikan sebagai penunjang usahanya. Para pelaku usaha alas kaki yang ada di wilayah Ciomas, sebagian besar 47 merupakan mantan buruh di bengkel-bengkel sepatusandal, sehingga sudah memiliki skill di bidang pembuatan alas kaki. Dengan bermodalkan pengalaman yang dimiliki dan keyakinan bahwa usaha alas kaki berpotensi menguntungkan, telah membuat beralih mendirikan usaha alas kaki secara mandiri. Di sisi lain, potensi usaha alas kaki telah jauh disadari oleh beberapa pelaku usaha, dimana 45 pelaku usaha alas kaki menjadikan usahanya sebagai pekerjaan pertama dan utama baginya. Hal tersebut sesuai dengan data yang diperoleh, dimana 82 pelaku usaha alas kaki telah 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Lak i- lak i 28 Pe re m p u an 2 30 2 30 -40 12 40 -50 13 50 -60 2 60 1 T d k ta m a t 4 SD 14 SM P 8 SM A 3 PT 1 Jenis Kelamin Umur Tahun Tingkat pendidikan Identitas pelaku usaha alas kaki Persentase 26 meninggalkan pekerjaan sebelumnya dan fokus menjalani usaha alas kaki yang didirikan. Mengingat sebagian besar pelaku usaha merupakan mantan buruh di bengkel-bengkel sepatusandal, maka mayoritas darinya sudah berpengalaman dalam memahami berbagai proses produksi usaha alas kaki. Hal ini menyebabkan rendahnya keikutsertaan para pelaku usaha alas kaki dalam mengikuti kursus 6. Jika dikelompokkan berdasarkan kontinuitasnya, pelaku usaha alas kaki terbagi menjadi dua kategori, pelaku usaha tetap dan pelaku usaha musiman. Menjelang tiga bulan sebelum bulan puasa sampai Idul Adha, pelaku usaha alas kaki musiman marak bermunculan. Pihak UPT mengatakan bahwa persentase pelaku usaha alas kaki musiman berkisar 10 dari total populasi yang ada. Hambatan dalam menjalankan usaha alas kaki ini adalah dalam hal permodalan dan pemasaran produk. Meski para pelaku usaha alas kaki sering menghadapi kesulitan dalam menjalankan usahanya, namun keyakinan terhadap potensi menguntungkan pada usaha ini membuat mayoritas mengatakan jarang 39 bahkan tidak pernah 26 berkeinginan untuk pindah dari usaha ini. Salah satu upaya untuk mengembangkan usaha adalah mengamati usaha sejenis pada wilayah berbeda. Frekuensi keluar daerah dalam menjalankan usaha, akan berdampak pada sudut pandang dan pengetahuan dalam berbisnis. Dengan mengamati bisnis serupa di luar daerah, dengan melakukan benchmarking pada usahanya. Tapi, hal ini tidak terjadi pada pelaku usaha alas kaki di Ciomas, karena sebagian besar 79 mengaku tidak pernah keluar daerah dalam menjalankan usahanya. Selain karena keterbatasan modal dan lama usaha yang dijalankan, juga dipicu oleh pola pikir pelaku usaha alas kaki Ciomas yang masih berorientasi jangka pendek, yaitu hanya pada pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari. Permasalahan terkait frekuensi keluar daerah, sebenarnya telah difasilitasi oleh pemerintah, khususnya pihak UPT yang sering mengadakan berbagai pelatihan di luar wilayah Bogor. Namun, hal tersebut bergantung pada minat dan partisipasi para pelaku usaha itu sendiri.

3. Karakteristik Usaha

Berdasarkan hasil pengumpulan data di lapangan, diketahui bahwa mayoritas pelaku usaha menjalankan usahanya sudah lebih dari 10 tahun 52. Adapula yang menjalankan usahanya lebih dari 20 tahun, bahkan mencapai 30 tahun. Meskipun jumlah pelaku usaha yang lama usahanya mencapai 30 tahun ini tidak banyak. Hal ini menunjukkan karakteristik usaha warisan terlihat pada penelitian ini. Jenis usaha pada industri alas kaki di wilayah Ciomas tergolong pada IK, yaitu 43. Hal ini sesuai dengan rataan jumlah pekerja yang dimiliki pelaku usaha sekitar 5 orang pekerja, dengan waktu kerja 8 sampai 12 jam kerja per hari. Meski demikian, jenis usaha yang termasuk pada industri rumah tangga ini cukup banyak di wilayah Ciomas, yaitu 57. Mayoritas industri alas kaki di wilayah Ciomas memiliki omset rataan 100 sampai 250 kodi per bulan dengan persentase 52. Meski demikian, industri alas kaki yang memiliki omset rataan kurang dari 100 kodi per bulannya cukup besar, yaitu 44. Mengenai omset rataan per bulan Rp, hampir sebagian dari 27 pelaku usaha tidak mengetahui secara pasti besarnya omsetnya. Penggunaan giro berjangka 1 sampai 2 bulan serta potongan charge dalam sistem bon putih, merupakan salah satu penyebab pelaku usaha tidak mengetahui secara pasti besarnya omset dalam jumlah rupiah. Setelah dilakukan interpolasi data, maka diketahui sebagian besar memiliki omset rataan lebih dari Rp10 sampai 30 juta per bulannya 38. Meski demikian, pelaku usaha yang beromset kurang dari Rp10 000 000 per bulannya juga cukup banyak 36. Namun demikian, industri kecil alas kaki di wilayah Ciomas memiliki peluang untuk berkembang menjadi lebih besar. Hal ini ditunjukkan oleh kemampuan 20 pelaku usaha yang memiliki omset rataan lebih lebih dari Rp30 sampai 60 juta per bulan dan 6 mencapai omset rataan lebih dari Rp60 sampai 100 juta per bulannya. Jenis usaha yang masih tergolong pada IK, membuat usaha alas kaki di wilayah Bogor memiliki keterbatasan dalam hal sumber daya. Mayoritas pelaku usaha alas kaki di wilayah Bogor merasa kurang memadai dalam hal alat produksi 60, modal 51 dan SDM 64. Dalam hal alat produksi, hasil observasi menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha masih menggunakan alat-alat produksi manual, sehingga hal ini akan berdampak pada mutu dan kuantitas produksinya. Hal ini sebenarnya dapat diatasi dengan memanfaatkan keberadaan UPT, yang notabene berfungsi sebagai workshop untuk melayani pengrajin-pengrajin yang tidak memiliki peralatan memadai. Di lain hal, kepemilikan modal yang kurang memadai jelas terlihat dari banyaknya pelaku usaha yang menggunakan modal dari pihak grosir, meski posisi tawarnya menjadi lemah. Berdasarkan hasil interview, masalah lain yang terjadi adalah keterbatasan SDM, dimana hal ini terlihat dari beberapa jumlah order yang tidak terpenuhi akibat kekurangan tenaga kerja. Biasanya pada saat puncak peak season dengan order melimpah, para pelaku usaha sering mengalami kesulitan dalam mendapatkan tenaga kerja yang memadai, para tenaga kerja lebih memilih untuk bekerja di bengkel- bengkel kerja yang lebih besar dengan upah lebih besar. Usaha alas kaki memiliki posisi berbeda-beda bagi para pelakunya. Ada yang menjadikan usaha ini sebagai tambahan pendapatan keluarga, dan menempatkannya sebagai sumber utama pendapatan keluarga. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa, usaha alas kaki ini sangat menjadi sumber utama pendapatan keluarganya 70. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar pelaku usaha alas kaki, yaitu 87 darinya tidak memiliki usaha lain atau usaha sampingan. Usaha alas kaki di wilayah Bogor juga merupakan tumpuan hidup bagi mayoritas pelakunya, mayoritas pelaku usaha 66 menyatakan bahwa sekitar 76 sampai 100 kebutuhan keluarga, terpenuhi melalui pendapatan dari usaha alas kaki.