74 Berdasarkan hasil analisis evaluasi kelembagaan, dihasilkan bahwa
masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dalam memanfaatkan sumberdaya hutan telah memperhatikan keberlanjutan dari sumberdaya hutan tersebut. Hal ini dapat
dilihat dari aturan yang melarang memanfaatkan kayu rasamala. Rasamala atau Altingia excelsa
merupakan tanaman yang tumbuh di hutan rimba sampai pada ketinggian 1700 mdpl meter diatas permukaan laut dan dapat tumbuh hingga
mencapai tinggi 45 meter
10
. Ciri yang dapat dikenali dari rasamala adalah memiliki kayu yang berwarna kuning keras dan padat serta batang dan dahannya
dapat mengeluarkan banyak getah. Informasi dari adat Kasepuhan Cibedug tidak menyebutkan alasan kenapa
tidak boleh memanfaatkan rasamala dan hanya mengatakan bahwa itu sudah aturan dari nenek moyang sejak dahulu. Sedikit sulit untuk mengetahui seberapa
besar fungsi rasamala di dalam hutan karena tumbuhan ini banyak dimanfaatkan baik secara komersil melalui kayunya ataupun sebagai tanaman obat Priyanti et
al , 2011 dan daunnya yang masih muda dapat dijadikan lalapan Hidayat dan
Fijridiyanto, 2002. Alasan yang mungkin dapat menjadikan rasamala penting yaitu karena rasamala merupakan salah satu tumbuhan yang dapat membentuk
sebuah vegetasi hutan yang berguna bagi manusia terutama dalam menyerap air, mencegah erosi dan menghasilkan udara segar dan menjadi sebuah potensi
keindahan untuk vegetasi hutan tersebut.
6.3. Analisis Sistem Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Masyarakat Adat
Kasepuhan Cibedug
Keberadaan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak berdasarkan hasil wawancara dengan
10
http:www.plantamor.comindex.php Diakses pada 24 April 2012
75 pihak kasepuhan sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang
11
. Dalam kasepuhan sendiri terdapat beberapa kearifan lokal dan tradisi yang dijalankan oleh
masyarakat adat kasepuhan terutama terkait dengan pemanfaatan sumberdaya hutan yang berada didalam wilayah kasepuhan. Berdasarkan informasi keberadaan
dan aturan pemanfaatan sumberdaya hutan oleh masyarakat kasepuhan dilakukan analisis untuk menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
Instrumen perundang-undangan yang digunakan untuk melihat kesesuaian
kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Cibedug antara lain : 1.
Aspek masyarakat adat beserta hak-hak yang didapat a.
Peraturan Menteri Permen Agraria No 5 Tahun 1999 pasal 1 ayat 3, pasal
2 ayat 2
b.
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 pasal 67 ayat 1.
2.
Aspek pemanfaatan kawasan hutan
a.
Peraturan Pemerintah No 28 Tahun 2011 pasal 35
b.
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 pasal 24, 37 dan 50 ayat 3
c.
Undang-Undang No 5 Tahun 1990 pasal 27 dan 33.
3.
Aspek pemanfaatan sumberdaya hutan
a.
Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 Pasal 19
b.
Peraturan Menteri Kehutanan No 56 Tahun 2006 pasal 5 ayat 4
c.
Undang-Undang No 5 Tahun 1990 pasal 26 dan pasal 31 ayat 1
d.
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 pasal 50 ayat 3.
4.
Aspek hukuman atau sanksi
a.
Peraturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999 pasal 2 ayat 2
11
Asbaji, wawancara 08-07-2011, di Cibedug
76 b.
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 pasal 74 ayat 1, pasal 75 ayat 3 serta
pasal 78 ayat 1.
Pemaparan lebih jelas mengenai analisis kesesuaian kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dengan peraturan perundang-undangan ditampilkan pada
Tabel 11. Tabel 11. Analisis Kesesuaian Sistem Pemanfaatan SDH Kasepuhan Cibedug
No Aspek Analisis
Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan
Cibedug Analisis
Kesesuaian 1
Pengertian Masyarakat Adat
dan Hak Pemanfaatan
SDH Permen Agraria No 5 Tahun
1999 Pasal 1 ayat 3
Masyarakat hukum
adat adalah
sekelompok orang
yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga
bersama suatu persekutuan hukum
karena kesamaan
tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan
Masyarakat adat Kasepuhan Cibedug
memiliki kearifan
lokal berupa aturan-aturan yang yang diwariskan secara turun-
temurun dan memiliki sejarah keturunan yang berasal dari
daerah Sajra Sesuai
Pasal 2 ayat 2 Hak ulayat masyarakat hukum
adat dianggap masih ada apabila :
a. Terdapat sekelompok orang
yang masih merasa terikat oleh
tatanan hukum
adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan
hukum tertentu,
yang mengakui dan menerapkan
ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari a.
Masyarakat Kasepuhan
Cibedug dalam kehidupan sehari-hari diatur dengan
aturan-aturan adat
dari leluhur mereka terutama
dalam pemanfaatan
kawasan hutan.
Aturan- aturan
tersebut terbagi
dalam aturan pembagian ruang adat, aturan batasan
dalam pemanfaatan
sumberdaya hutan
dan aturan sanksi bagi yang
melanggar aturan.
Kasepuhan Cibedug juga memiliki
struktur kelembagaan
adat yang
dipimpin oleh
seorang Kepala Adat. Kepala adat
Kasepuhan Cibedug dalam menjalankan
sistem kelembagaannya
dibantu oleh baris kolot, jaro dan
mandor Sesuai
77
Tabel 11. lanjutan
No Aspek Analisis
Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan
Cibedug Analisis
Kesesuaian b.
Terdapat tanah ulayat tertentu
yang menjadi
lingkungan hidup
para warga persekutuan hukum
tersebut dan tempatnya mengambil
keperluan hidupnya sehari-hari
Kawasan Kasepuhan Cibedug secara administratif terletak di
Desa Citorek Barat, Lebak. Kawasan Kasepuhan Cibedug
juga terletak di dalam kawasan Taman
Nasional Gunung
Halimun Salak sebagai tempat masyarakat kasepuhan dalam
memenuhi kebutuhan sehari- hari.
Sesuai
UU No 41 Tahun 1999 Pasal 67 ayat 1 point a dan
b Masyarakat
hukum adat
sepanjang menurut
kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak
: a.
Melakukan pemungutan hasil
hutan untuk
pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari
masyarakat adat
yang bersangkutan
Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug adalah salah satu
Masyarakat Kasepuhan Adat Banten Kidul dan kawasan
Kasepuhan Cibedug berada di dalam kawasan TNGHS. Selain
menjadi tempat
tinggal, kawasan
TNGHS juga
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari
masyarakat adat Kasepuhan Cibedug
yaitu dengan
memanfaatkan hasil hutan kayu dan non kayu.
Sesuai
b. Melakukan
kegiatan pengelolaan
hutan berdasarkan hukum adat
yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan undang-undang.
Pada pasal ini juga melihat pasal-pasal
pada poin
2 dibawah
2 Pemanfaatan
Kawasan Hutan PP No 28 Tahun 2011 pasal
35 ayat 1 point f dan ayat 2 Taman
Nasional dapat
dimanfaatkan untuk kegiatan f. pemanfaatan tradisional oleh
masyarakat setempat Ayat 2
Pemanfaatan tradisional
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat berupa kegiatan
pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional,
serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak
dilindungi Masyarakat
Kasepuhan Cibedug memanfaatkan hasil
hutan berupa kayu dan non kayu seperti buah-buahan, jasa
lingkungan dan bambu. Dalam aturan adat pemanfaatan kayu,
masyarakat hanya
diperbolehkan memanfaatkan
selain dari jenis Rasamala. Pemanfaatan kayu ini juga
diatur dalam aturan adat yaitu hanya
boleh dimanfaatkan
sebanyak sekali dalam setahun. Tidak
Sesuai
78
Tabel 11. lanjutan
No Aspek Analisis
Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan
Cibedug Analisis
Kesesuaian UU No 41 Tahun 1999
Pasal 24 Pemanfaatan kawasan hutan
dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada
hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada
taman nasional Ruang adat yang dimanfaatkan
masyarakat Cibedug
untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari yaitu pada Lahan Garapan
yang terdiri
dari sawah, huma dan kebun. Lalu
kawasan Kasepuhan Cibedug berada
di dalam kawasan
TNGHS yaitu
pada zona
tradisional BTNGHS 2007. Sesuai
Pasal 37 ayat 1 Pemanfaatan
hutan adat
dilakukan oleh masyarakat hukum
adat yang
bersangkutan, sesuai dengan fungsinya
Masyarakat membagi kawasan adatnya
menjadi beberapa
bagian, antara lain : Leuweung diperuntukkan untuk wilayah
hutan yang memilki fungsi sebagai fungsi perlindungan
serta cadangan warga untuk jangka waktu ke depan. Reuma
adalah lahan bekas garapan warga
yang ditinggalkan.
Lahan Garapan adalah lahan yang digunakan untuk kegiatan
pertanian dan Lembur atau pemukiman.
Sesuai
Pasal 37 ayat 2 Pemanfaatan hutan adat yang
berfungsi lindung
dan konservasi dapat dilakukan
sepanjang tidak mengganggu fungsinya
Ruang adat
Kasepuhan Cibedug
yang mempunyai
fungsi lindung dan konservasi terdapat
pada ruang
adat leuweung kolot
dan leweung titipan
. Sesuai
UU No 5 Tahun 1990 Pasal 27
Pemanfaatan kondisi
lingkungan kawasan
pelestarian alam dilakukan dengan
tetap menjaga
kelestarian fungsi kawasan Masyarakat Cibedug memenuhi
kebutuhan hidupnya melalui pertanian. Dalam melaksanakan
kegiatan ini
membutuhkan lahan dan untuk menyediakan
lahan ini masyarakat membuka kawasan hutan yang ada di
dalam kawasan TNGHS Tidak
sesuai
Pasal 33 Setiap
orang dilarang
melakukan kegiatan
yang dapat
mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan
zona inti taman nasional Kegiatan masyarakat Cibedug
baik untuk
menetap dan
memenuhi kebuthan
hidup dilakukan di dalam kawasan
TNGHS. Kawasan Kasepuhan Cibedug ditetapkan sebagai
zona tradisional
BTNGHS 2007.
Sesuai
79
Tabel 11. lanjutan
No Aspek Analisis
Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan
Cibedug Analisis
Kesesuaian UU No 41 Tahun 1999
Pasal 50 ayat 3 point e Setiap
orang dilarang
menebang pohon
atau memanen atau
memungut hasil hutan di dalam hutan
tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang
Dalam menyediakan ruang adat seperti pemukiman dan lahan
garapan masyarakat
melakukannya dengan
menebang pohon.
Kegiatan menebang pohon ini tidak
mempunyai izin hanya didasari pada petunjuk dari leluhur.
Tidak Sesuai
3 Pemanfaatan
Hasil Hutan PP No 6 Tahun 2007
Pasal 19 Dalam
setiap kegiatan
pemanfaatan hutan
yang dilakukan
wajib disertai
dengan izin
pemanfaatan hutan
Dalam memanfaatkan
hasil hutan
kayu, masyarakat
kasepuhan tidak memiliki izin. Masyarakat kasepuhan hanya
diterapkan aturan adat yaitu kayu yang dimanfaatkan tidak
boleh dari jenis Rasamala dan dalam
memanfaatkan kayu
tersebut hanya diperbolehkan sekali dalam setahun.
Tidak Sesuai
UU No 41 Tahun 1999 Pasal 50 ayat 3 point h
Setiap orang
dilarang mengangkut, menguasai, atau
memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi bersama-
sama dengan surat keterangan sahnya hasil hutan.
Dalam memanfaatkan
hasil hutan baik kayu maupun non
kayu, masyarakat
Cibedug tidak dilengkapi surat sah
memanfaatkan hasil
hutan. yang mereka terapkan dalam
aturan adat adalah dengan tradisi minta “izin” dengan
membakar panglay dan tenjo sebelum
masuk ke
dalam hutan.
Tidak Sesuai
Permenhut No 56 Tahun 2006 pasal 5 ayat 4 point a
Kriteria zona
tradisional meliputi
a. adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non
kayu tertentu yang telah dimanfaatkan
secara tradisional oleh masyarakat
setempat guna
memenuhi kebutuhan hidupnya
Masyarakat Cibedug dalam memenuhi kebutuhan hidupnya
selain dari
pertanian juga
memanfaatkan hasil hutan baik kayu dan non kayu. Hasil hutan
non kayu yang dimanfaatkan yaitu
buah-buahan limus,
kupa , duren, bambu dan aliran
sungai. Sesuai
UU No 5 Tahun 1990 Pasal 26
Pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya dilakukan
melalui kegiatan : a.
Pemanfaatan kondisi
lingkungan kawasan
pelestarian alam Dalam
wilayah Kasepuhan
Cibedug terdapat peninggalan budaya berupa Situs Cibedug.
Situs ini digunakan masyarakat untuk ritual sebelum memasuki
kawasan leuweung titipan dan tidak jarang juga menarik orang
dari luar Cibedug untuk datang melihat.
Sesuai
80
Tabel 11. lanjutan
No Aspek Analisis
Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan
Cibedug Analisis
Kesesuaian b.
pemanfaatan jenis
tumbuhan dan satwa liar Masyarakat
Kasepuhan Cibedug
memanfaatkan tumbuhan baik berupa kayu
pohon maupun buah-buahan. Untuk kayu yang dimanfaatkan
adalah diluar dari jenis kayu Rasamala yaitu puspa dan ki
huru. Dalam pemanfaatan kayu ini masyarakat tidak melakukan
penebangan secara langsung. Masyarakat
menggunakan kayu-kayu yang telah tumbang
untuk dimanfaatkan
selanjutnya. Jenis buah-buahan yang dimanfaatkan masyarakat
diantaranya limus, kupa, duren. Sesuai
Pasal 31 ayat 1 Di dalam taman nasional,
taman hutan raya dan taman wisata alam dapat dilakukan
kegiatan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan,
pendidikan,
menunjang budidaya, budaya dan wisata
alam. Masyarakat
Kasepuhan Cibedug memiliki pesan dari
leluhur mereka yaitu ngajaga turunan
anu Kidul
yang memiliki
arti menjaga
keturunan masyarakat
adat kasepuhan yang ada di Banten
Kidul. Melalui
pesan ini
masyarakat Kasepuhan
Cibedug melaksanakan aturan- aturan adat yang ditetapkan
oleh leluhur mereka sebagai bentuk implementasi warisan
tradisi
dan budaya
yang diturunkan dari leluhur mereka.
Sesuai
4 Sanksi
Permen Agraria No 5 Tahun 1999
Pasal 2 ayat 2 point c Hak
ulayat masyarakat
hukum adat dianggap masih ada apabila :
b. Terdapat tatanan hukum
adat mengenai pengurusan, penguasaan
dan penggunaan tanah ulayat
yang berlaku dan ditaati oleh
para warga
persekutuan hukum tersebut Dalam Kasepuhan Cibedug
juga terdapat kearifan lokal yang mengawasi masyarakat
dalam melaksanakan aturan- aturan
adat. Pengawasan
dilakukan oleh
tokoh masyarakat
Kasepuhan Cibedug dengan dibantu oleh
mandor .
Untuk tingkatan
pelanggaran dibagi menjadi tingkatan yaitu ringan, sedang
dan berat
dan humuman
diputuskan oleh Kepala Adat. Sesuai
UU No 41 Tahun 1999 Pasal 74 ayat 1
Penyelesaian sengketa
kehutanan dapat ditempuh melalui pengadilan atau di
luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela para
pihak yang bersengketa Masyarakat
Kasepuhan Cibedug menggunakan cara
rembugan untuk menentukan
menyelesaikan masalah yang tejadi
di kasepuhan
termasukmenentukan hukuman. Sesuai
81
Tabel 11. lanjutan
No Aspek Analisis
Peraturan Perundangan Kearifan Lokal Kasepuhan
Cibedug Analisis
Kesesuaian Pasal 75 ayat 3
Dalam penyelesaian sengketa kehutanan di luar pengadilan
dapat digunakan jasa pihak ketiga yang ditunjuk oleh para
pihak dan atau pendampingan organisasi
nonpemerintah untuk membantu penyelesaian
sengketa kehutanan. Kasepuhan
Cibedug dalam
menyelesaikan masalah
pelanggaran aturan adat turut melibatkan
pihak TNGHS
terutama terkait pelanggaran terhadap
pemanfaatan sumberdaya hutan. Hal ini
didasari pada letak kasepuhan yang berada di dalam wilayah
TNGHS dan TNGHS adalah pengelola kawasan hutan yang
Kasepuhan Cibedug tempati. Sesuai
Pasal 78 ayat 1 Barang siapa dengan sengaja
melanggar ketentuan,
diancam dengan
pidana penjara lama 10 sepuluh
tahun dan
denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 lima milyar rupiah
Penetapan sanksi di Kasepuhan Cibedug tidak didasari tingkat
kesalahan yang
dilakukan apakah ringan, sedang dan
berat. Pelanggaran
ringan sanksi yang dikenakan adalah
teguran. Pelanggaran sedang diberikan teguan kembali dan
diperingatkan, pelanggaran
berat sanksi yang diberikan adalah
dikeluarkan dari
kasepuhan dan dicabut semua hak dan kewajibannya sebagai
masyarakat adat. Tidak
Sesuai
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian, pada aspek pengertian masyarakat adat dan hak pemanfaatan sumberdaya hutan dihasilkan bahwa keberadaan
masyarakat adat Kasepuhan Cibedug sesuai dengan perundang-undangan. Peraturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999 pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa
masyarakat adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya dan karena kesamaan tempat tinggal dan kesamaan keturunan.
Masyarakat Kasepuhan Cibedug memiliki kearifan lokal yang mengikat dalam kehidupan sehari-hari mereka. Kearifan lokal yang diterapkan antara lain yaitu
aturan dalam pembagian ruang adat, aturan batasan dalam pemanfaatan sumberdaya hutan, aturan akses dalam pemanfaatan sumberdaya hutan serta
82 aturan sanksi dan hukuman. Dengan sesuainya kearifan lokal Kasepuhan Cibedug
dengan Peraturan Menteri Agraria No 5 Tahun 1999 pasal 1 ayat 3 maka mempunyai hak untuk memanfaatkan sumberdaya hutan. Undang-Undang No 41
tahun 1999 pasal 67 ayat 1 point b disebutkan masyarakat adat berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan
tidak bertentangan dengan undang-undang. Pada aturan pembagian adat kawasan hutan leuweung, Kasepuhan Cibedug membaginya menjadi tiga yaitu leuweung
titipan, leuweung tutupan dan leuweung cadangan. Pembagian ini menyerupai
dalam pengelolaan taman nasional berdasarkan Permenhut No 56 tahun 2006 yaitu zona inti, zona rimba dan zona pemanfaatan.
Aspek analisis selanjutnya adalah mengenai pemanfaatan kawasan hutan yang berada di TNGHS oleh masyarakat adat Kasepuhan Cibedug. Pada Undang-
Undang No 41 tahun 1999 pasal 24 disebutkan pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona
inti dan zona rimba taman nasional. Jika dipadukan dengan kegiatan kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat Kasepuhan Cibedug maka terdapat
kesesuaian. Kegiatan kearifan lokal Kasepuhan Cibedug semua dilakukan di zona tradisional Dephut, 2007. Penentuan kawasan Kasepuhan Cibedug sebagai zona
tradisional dalam TNGHS didasarkan pada kriteria yang disebutkan pada Permenhut No 56 tahun 2007 pasal 5 ayat 4. Kriteria zona tradisional meliputi
adanya potensi dan kondisi sumberdaya alam hayati non kayu tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna memenuhi
kebutuhan hidupnya. Masyarakat Kasepuhan Cibedug memanfaatkan SDA hayati
83 non kayu berupa bambu, buah-buahan limus, kupa, duren serta jasa lingkungan
berupa aliran sungai. Bentuk kearifan lokal pemanfaatan kawasan hutan yang dilakukan
masyarakat Kasepuhan Cibedug juga terdapat yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang No 5 tahun 1990 pasal 27 disebutkan
pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dilakukan dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan. Masyarakat Kasepuhan Cibedug memenuhi
kebutuhan hidup melalui pertanian dan untuk menyediakan lahan sawah atau kebun, masyarakat menebang pohon yang ada di hutan dan mengubahnya menjadi
lahan pertanian. Cara yang dilakukan masyarakat kasepuhan ini tidak mendukung kelestarian dari fungsi kawasan taman nasional. Selain itu, kegiatan pemanfaatan
yang dapat dilakukan di dalam taman nasional sesuai dengan PP No 28 pasal 35 adalah pemanfaatan tradisional oleh masyarakat setempat yaitu berupa
kegiatan
pemungutan hasil hutan bukan kayu, budidaya tradisional, serta perburuan tradisional terbatas untuk jenis yang tidak dilindungi. Selain memang
memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, masyarakat Kasepuhan Cibedug juga memanfaatkan kayu. Kayu yang dimanfaatkan berasal dari jenis selain Rasamala
antara lain yaitu puspa dan ki huru. Hal ini menjadi salah satu gambaran lagi bahwa kearifan lokal Kasepuhan Cibedug dalam pemanfaatan kawasan hutan
tidak sesuai dengan perundang-undangan. Dalam pemanfaatan sumberdaya hutan terdapat ketidaksesuaian antara
kearifan lokal masyarakat adat Kasepuhan Cibedug dengan salah satu instrumen Perundang-undangan yaitu PP No 6 tahun 2007 pasal 19. Peraturan pemerintah ini
menyebutkan dalam setiap kegiatan pemanfaatan hutan yang dilakukan wajib
84 disertai dengan izin pemanfaatan hutan namun dalam memanfaatkan sumberdaya
hutan baik kayu maupun non kayu masyarakat Kasepuhan Cibedug tidak memiliki izin resmi untuk melakukan pemanfaatan. Kesesuaian kearifan lokal masyarakat
adat Kasepuhan Cibedug terlihat pada UU No 5 Tahun 1990 Pasal 31 ayat 1. Dalam pasal ini disebutkan bahwa kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Taman
Nasional yaitu untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya dan wisata alam. Keberadaan masyarakat Cibedug
di kawasan TNGHS adalah untuk melaksanakan amanat dari leluhur mereka yaitu ngajaga turunan anu Kidul
yang memiliki arti menjaga keturunan masyarakat adat kasepuhan yang ada di Banten Kidul
.
Kearifan lokal yang dilakukan masyarakat adat Kasepuhan Cibedug di dalam kawasan TNGHS adalah bentuk
implementasi pewarisan tradisi yang telah diturunkan secara turun temurun dan juga sesuai dengan bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam
UU No 5 Tahun 1990 Pasal 31 ayat 1.
Aspek terakhir yang dianalisis adalah mengenai sanksi yang diterapkan dalam kearifan lokal Kasepuhan Cibedug. Pada Permen Agraria No 5 tahun 1990
pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa masyarakat adat masih ada apabila terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah
ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Hal ini sesuai dengan kearifan lokal yang diberlakukan Kasepuhan Cibedug. Dalam
kearifan lokal Kasepuhan Cibedug terdapat aturan untuk mengawasi masyarakat kasepuhan dalam memanfaatkan kawasan atau suberdaya hutan. Pengawasan ini
dilakukan oleh tokoh masyarakat dibantu dengan mandor Kasepuhan Cibedug. Dalam pemberian sanksi terdapat tiga tingkatan sanksi yang diberlakukan, mulai
85 dari tingkatan ringan, sedang dan berat. Pada tingkatan ringan sanksi yang
diberikan berupa teguran dan jika melakukan kesalahan lagi maka akan diberikan teguran kembali serta diperingatkan. Jika sudah diberi perigatan maka tingkat
kesalahan yang dilakukan sudah mencapai tingkatan sedang dan sanksi pada tingkatan berat adalah dikeluarkan dari kasepuhan serta dicabut hak dan
kewajibannya sebagai masyarakat adat. Bentuk sanksi hukuman yang diberlakukan di Kasepuhan Cibedug merupakan ketentuan yang disepakati dari
Kasepuhan Cibedug bukan hukuman pidana. Pada Pasal 78 ayat 1 disebutkan barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan melakukan kegiatan yang
menimbulkan kerusakan hutan, diancam dengan pidana penjara lama 10 sepuluh tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 lima milyar rupiah. Hal ini
menjadikan aturan sanksi di Kasepuhan Cibedug tidak sesuai dengan perundang- undangan.
Berdasarkan hasil analisis kesesuaian dari 18 pasal dalam 6 peraturan perundang-undangan dihasilkan 12 pasal perundang-undangan telah sesuai dengan
kearifan lokal dan 6 pasal perundang-undangan yang tidak sesuai dengan kearifan lokal. Walaupun kearifan lokal Kasepuhan Cibedug banyak mengalami
kesesuaian dengan peraturan perundang-undangan yang ada tetapi tidak bisa disimpulkan bahwa kearifan lokal yang diterapkan dalam bentuk pemanfaatan
sunberdaya hutan tidak menimbulkan ancaman terhadap sumberdaya hutan TNGHS. Hal ini disebabkan karena pada pasal yang tidak sesuai dengan kearifan
lokal tersebut bila tetap dilakukan dapat mengancam kondisi dari kawasan hutan TNGHS terutama sumberdaya hutan yang ada didalamnya. Ketidaksesuaian
tersebut antara lain kegiatan membuka lahan yang digunakan untuk pertanian di
86 dalam kawasan hutan taman nasional dan pemanfaatan sumberdaya hutan baik
kayu atau non kayu yang tidak memiliki izin. Informasi tambahan yang didapat saat pengambilan data menyebutkan
bahwa Kasepuhan Cibedug belum mempunyai surat keputusan resmi dari pemerintah daerah setempat mengenai keberadaan dari Kasepuhan Cibedug. Hasil
wawancara menyebutkan penyebab dari tidak turunnya peraturan daerah mengenai keberadaan kasepuhan adalah dari SK Menteri Kehutanan No.
175Kpts-II2003 mengenai perluasan TNGHS
12
. Wilayah Kasepuhan Cibedug sebelum masuk kawasan taman nasional merupakan wilayah Perum Perhutani
yang merupakan kawasan hutan produsi terbatas dan hutan lindung. Perubahan status kawasan ini menyebabkan terjadinya perubahan dari kawasan hutan yang
bisa dimanfaatkan secara langsung menjadi sebuah kawasan konservasi yang memiliki pemanfaatan bersifat terbatas.
Usaha-usaha pun dilakukan dari pihak kasepuhan sampai ke tingkat Bupati tetapi tetap sampai sekarang surat keputusan belum bisa diturunkan. Dalam
analisis kesesuaian disebutkan bahwa kegiatan masyarakat Kasepuhan Cibedug dilakukan pada zona tradisional TNGHS bukan di dalam zona inti seperti hasil
penelitian Aprianto 2008. Penetapan kawasan Kasepuhan Cibedug sebagai zona tradisional telah sesuai dengan Permenhut No 56 tahun 2006 yang berbunyi zona
tradisional adalah bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan dan
mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. Dengan penetapan kawasan Kasepuhan Cibedug sebagai zona tradisional di TNGHS bukan berarti
12
Asmadi, wawancara 11-07-2011, di Citorek
87 Kasepuhan Cibedug telah diakui legal sebagai masyarakat hukum adat. Undang-
Undang No 41 tahun 1999 pada pasal 67 ayat 2 disebutkan bahwa pengukuhan keberadaan masyarakat hukum adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah sehingga
dapat dikatakan keberadaan Kasepuhan Cibedug beserta kegiatan pemanfaatan kawasan dan sumberdaya hutan yang dilakukan adalah ilegal dan masyarakat
Kasepuhan Cibedug dikeluarkan dari kawasan taman nasional. Bila dilakukan penutupan wilayah Kasepuhan Cibedug serta pemindahan seluruh masyarakat ke
tempat yang lain bukan alternatif cara yang tepat dikarenakan dalam proses tersebut membutuhkan jumlah biaya yang cukup besar dan sumberdaya yang tidak
sedikit
13
. Cara tersebut juga dapat menimbulkan potensi konflik antara TNGHS dan
masyarakat Kasepuhan sehingga langkah yang ditempuh oleh taman nasional adalah menetapkan kawasan Kasepuhan Cibedug sebagai zona tradisional.
Langkah ini dinilai merupakan langkah yang paling realistis oleh taman nasional mengingat jumlah masyarakat yang berada di Kasepuhan Cibedug terbilang tidak
sedikit. Hasil analisis kesesuaian juga menyebutkan bahwa dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan baik kayu maupun non kayu yang dilakukan oleh
masyarakat Kasepuhan Cibedug dilakukan tanpa disertai izin pemanfaatan sumberdaya hutan. Selain itu, Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2011 pasal 35
juga disebutkan bentuk kegiatan pemanfaatan tradisional di dalam taman nasional yaitu dapat berupa pemungutan hasil hutan bukan kayu.
13
Joni, wawancara 12-07-2011, di Citorek
88 Sumber : Dephut 2007
Gambar 12. Peta Zonasi Kawasan TNGHS.
Dalam melakukan pemanfaatan masyarakat Kasepuhan Cibedug hanya terikat aturan batasan yaitu untuk memanfaatkan sumberdaya hutan berupa kayu
tidak boleh kayu dari jenis Rasamala dan hanya boleh dilakukan selama sekali dalam setahun. Sebelum memasuki kawasan hutan untuk melakukan
memanfaatkan sumberdaya hutan, masyarakat kasepuhan harus melakukan ritual minta “izin” dengan membakar panglay dan tenjo terlebih dahulu baru boleh
masuk ke dalam hutan. Dapat disimpulkan bahwa kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan Kasepuhan Cibedug tidak sesuai dengan
perundang-undangan terutama PP No 28 tahun 2011 pasal 35 karena masyarakat Kasepuhan Cibedug juga memanfaatkan kayu untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Taman nasional memang tidak bisa menutup mata dengan fenomena
kehidupan yang dijalani di masyarakat kasepuhan yang sangat bergantung dengan
Lokasi Kasepuhan Cibedug
89 kondisi sumberdaya hutan yang ada di dalam kawasan. Atas dasar ini maka
TNGHS menerapkan kebijakan berupa toleransi terhadap masyarakat Kasepuhan Cibedug dalam memanfaatkan sumberdaya hutan terutama kayu. Toleransi
tersebut adalah jika masyarakat Kasepuhan Cibedug memanfaatkan kayu yang ada di wilayah kasepuhan juga masuk kedalam taman nasional diperbolehkan dengan
catatan bahwa kayu yang diambil tidak melebihi dari jumlah kayu yang dibutuhkan, hanya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan tidak untuk
komersial. Berdasarkan informasi dari pihak resort taman nasional untuk kayu yang
dimanfaatkan oleh masyarakat Kasepuhan Cibedug hanya kayu-kayu yang sudah tumbang. Kayu yang berasal dari pohon yang tumbang tersebut bila digunakan
bisa untuk satu atau dua rumah
14
. Namun, kondisi masyarakat yang terus berkembang serta bertambah populasinya lalu dengan laju arus modernitas yang
telah sampai pelosok desa yang sekalipun berada di dalam hutan membuat kebutuhan yang ingin dipenuhi semakin meningkat. Ditambah dengan potensi
kayu alam yang bernilai ekonomis tinggi, didukung dengan banyaknya permintaan terhadap kayu alam, desakan kebutuhan ekonomi yang terus
meningkat serta adanya oknum-oknum tertentu di luar kasepuhan yang mempengaruhi masyarakat untuk menyelewengkan peraturan kasepuhan
15
menjadi beberapa potesi ancaman yang dapat mengganggu kondisi sumberdaya di dalam kawasan taman nasional.
Informasi dari pihak resort taman nasional menyebutkan laporan penyelewengan di dalam kawasan taman nasional yang dilakukan oleh masyarakat
14
Joni, wawancara 12-07-2011, di Citorek
15
Sutisna, wawancara 09-07-2011, di Citorek
90 Kasepuhan Cibedug belum ada. Terakhir pada tahun 2009 terjadi pencurian kayu
di wilayah Cibedug tetapi pelakunya berasal dari luar wilayah Cibedug dan pelaku di vonis 18 bulan penjara
16
. Walau belum ditemukan penyelewengan yang dilakukan masyarakat Kasepuhan Cibedug bukan berarti ancaman terhadap hutan
TNGHS tidak ada. Desakan ekonomi serta adanya oknum-oknum di luar kasepuhan yang mempengaruhi masyarakat untuk menyelewengkan peraturan
kasepuhan seperti yang telah disebutkan sebelumnya menjadi faktor penyebab kawasan hutan TNGHS masih belum aman terutama dari pencurian kayu.
Pada gambar 18 terlihat bahwa letak Kasepuhan Cibedug yang berada pada zona tradisional bersebelahan dengan zona rimba. Zona rimba TNGHS yang
bersebelahan dengan kawasan Kasepuhan Cibedug masih memiliki tegakan hutan yang relatif masih bagus menjadi ancaman karena masih banyak menyimpan
potensi kayu alam yang apabila dijual memilki nilai ekonomis yang tinggi. Hal ini disebabkan masih banyaknya permintaan akan kayu alam untuk digunakan untuk
keperluan konsumsi misalnya untuk membangun rumah dan sebagainya. Desakan ekonomi yang disebabkan hanya mengandalkan panen sekali dalam setahun lalu
pemanfaatan kayu yang hanya digunakan untuk keperluan bangunan dan tidak boleh dikomersilkan bisa menjadi pemicu terjadinya peyelewengan aturan.
Pengaruh modernisasi dari luar berupa mempunyai alat komunikasi seperti handphone
juga menyebabkan kebutuhan masyarakat semakin meningkat. Alat komunikasi tersebut menggunakan pulsa untuk digunakan. Kebutuhan untuk
membeli pulsa bila hanya mengandalkan panen pertanian yang hanya sekali dalam setahun tidak akan mencukupi.
15
Joni, wawancara 12-07-2011, di Citorek
91 Wilayah Kasepuhan Cibedug yang seluas 2104,403 Ha memang hanya
menempati 1,85 dari total kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Pemanfaatan ruang adat sebagai lahan garapan dan pemukiman hanya sebesar
0,24 dan 0,02 dari luas kawasan TNGHS. Kondisi seperti ini bisa diinterpretasikan bahwa keberadaan masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan
kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan tidak membahayakan bagi kawasan taman nasional. Terutama ditambah lagi dengan kegiatan
pemanfaatan sumberdaya hutan tersebut hanya digunakan hanya memenuhi kebutuhan sehari-hari dan tidak diperjualbelikan.
Akan tetapi, dengn adanya ketidaksesuaian pada peraturan perundangan, pengaruh modernisasi yang menyebabkan kebutuhan meningkat dapat menjadi
alasan terbantahkannya interpretasi mengenai keberadaan masyarakat Kasepuhan Cibedug tidak membahayakan bagi kawasan taman nasional. Lalu dapat
disimpulkan keberadaan masyarakat Kasepuhan Cibedug dengan kegiatan pemanfaatan sumberdaya hutan yang dilakukan masih menimbulkan ancaman
terhadap TNGHS menjadi tetap ada.
Tabel 12. Persentase Ruang Adat Kasepuhan Cibedug
No Ruang Adat Kasepuhan Cibedug
Luas Ha Persentase dari Luas Kawasan
TNGHS
1 Leuweung Kolot
251,650 0,22
2 Leuweung Titipan
474,330 0,41
3 Leuweung Cadangan
1.099,220 0,96
4 Lahan Garapan
275,785 0,24
5 KampungLembur
3,418 0,02
Total 2.104,403
1,85
Masih banyaknya potensi ancaman terhadap kawasan dan sumberdaya hutan Taman Nasional Gunung Halimun Salak maka diperlukan sebuah alternatif
pengelolaan untuk kawasan hutan TNGHS. Alternatif pengelolaan yang akan dijalankan dapat melibatkan kedua pihak yaitu TNGHS sebagai pengelola resmi
92 dari kawasan hutan TNGHS dan Kasepuhan Cibedug sebagai masyarakat hukum
adat yang mendiami kawasan TNGHS sejak turun temurun. Alternatif pengelolaan yang dijalankan oleh kedua pihak diharapkan tidak akan mengurangi
hak dan kewajiban kedua pihak sehingga dari alternatif pengelolaan tersebut keberadaan kawasan hutan beserta sumberdaya hutan yang ada di dalamnya tetap
dapat dipertahankan dan dimanfaatkan secara lestari.
a b
Gambar 13. Kejadian Pencurian Kayu di Wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak. a Kepala Resort TNGHS Memeriksa Kayu
Telah ditebang, b Sisa Potongan Kayu yang Tergeletak di Pinggir Jalan
6.4. Ko-Manajemen Sebagai Alternatif Pengelolaan Taman Nasional