Jojobo empowerment and the implication on economic production achievment
PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO
DAN PERANNYA DALAM MEMENUHI
KEBUTUHAN EKONOMI PRODUKTIF
(Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara)
ALDI BASIR
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
(2)
(3)
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul “Pemberdayaan kelembagaan jojobo dengan perannya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi produktif (Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara)”, adalah karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir thesis ini.
Bogor, Maret 2012
Aldi Basir I353080121
(4)
(5)
ABSTRACT
ALDI BASIR. JOJOBO EMPOWERMENT AND THE IMPLICATION ON ECONOMIC PRODUCTION ACHIEVMENT “Case Study on Land diary Farm on Jailolo District Halmahera Barat Regency Maluku Utara Province”. Jojobo is a social value which is growth in a community to manage of pattern and spirit of social views based on togetherness, humanities, care among to the others, truths, justice and rightness, by kinship and relationship among communities or communal members in Maluku Utara Province, Jailolo District, Halmahera Barat Regency. The result have a conclusion that Jojobo values in dry land farmer community had lower of community participation in Jojobo institutional, make a
weakness of relationship on kinship, lower of social insurance, lower of humanity senses on solidarity binding, have low families tolerance and trust on kinship relations. Besides that, the Jojobo institutional also could be exist, whereas that showed by economic institutional of Jojobo have an ability to fulfill of daily life
achievement of dry land farmer, because supported by community participate. The socio-economic institutional, need values on community to make an institutional strength. The effectiveness factor of institutional, should have a social justice perspective for morality binding which have an embedded on dry land farmer community in Jailolo Selatan, Halmahera Regency.
Key words: Jojobo, social values, economic institutional, strengthen factor, social
(6)
(7)
RINGKASAN
Aldi Basir. Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo dan Perannya Dalam Memenuhi
Kebutuhan Ekonomi Produktif “Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara”. Dengan bimbingan; Titik Sumarti dan Fredian Tonny Nasdian.
Kelembagaan Jojobo merupakan konstruksi sosial yang diterima dan
disepakati oleh komunitas-komunitas petani perladangan yang tergantung pada nilai dan kekuatan luar desa seperti pasar dan industri perkotaan yang bersifat ekonomi dan individualis. Ukuran yang digunakan tidak lagi hanya menyangkut kelestarian dan kebersamaan saja, namun dipengaruhi pula oleh eksploitasi dan sukses finansial yang menyebabkan masyarakat desanya rapuh terhadap faktor yang berada di luar pengendaliannya. Beberapa wilayah Kecamatan Jailolo Selatan, masyarakatnya masih memiliki sifat dan naluri untuk berpartisipasi dalam membentuk lembaga seperti kelompok tani, paguyuban, dan terutama Jojobo
sebagai lembaga tradisional setempat. Keberadaan kelembagaan Jojobo dapat diberdayakan dan dimanfaatkan sebagai asset pembangunan karena memiliki inti budaya lokal yang menjiwainya.
Jojobo dikalangan komunitas petani perladangan sudah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari tradisi yang telah dilakukan pada jaman dahulu.
Jojobo dianggap mampu menciptakan nilai hubungan silahtuhrahmi kekeluargaan
antar sesama warga dengan baik. Faktor yang menyebabkan komunitas petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat masih melakukan tradisi Jojobo, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan adanya
hubungan emosional yang tinggi dalam hal saling mendukung dan membantu satu sama lain. Implikasi ini menunjukkan bahwa keterjaminan kehidupan sosial masyarakat bagi kaum petani peladangan di Kecamatan Jailolo Selatan yang selama ini masih eksis dan hidup di pedesaan akibat meningkatnya sistem ekonomi moral yang sebenarnya.
Hal ini memperlihatkan penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas
ekonomi pada komunitas petani perladangan dilakukan untuk saling membantu memenuhi kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan. Nilai luhur yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo
berupa terciptanya hubungan kekeluargaan dan kekerabatan di dalam komunitas petani peladangan. Hal ini terefleksikan dalam pemenuhan faktor produksi, distribusi dan konsumsi. Oleh karena itu keberadaan kelembagaan Jojobo
diharapkan menjadikan sarana dalam penerapan budaya lokal sebagai suatu upaya terutama pemenuhan kebutuhan ekonomi produksi dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan.
Penelitian ini beranjak dari sebuah hipotesis bahwa pemberdayaan masyarakat desa melalui keberadaan kelembagaan sosial yaitu kelembagaan
Jojobo sebagai basis kelembagaan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan. Pentingnya peranserta dan pemberdayaan kelembagaan masyarakat di bidang sosial ekonomi, berupa penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan
di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, diharapkan mampu memenuhi kebutuhan ekonomi produktif dan ekonomi keluarga pada komunitas petani
(8)
perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat. Oleh karena itu kelembagaan Jojobo ini diharapkan mampu berperan dalam mengembangkan solidaritas kerjasama antar warga masyarakat desa di Maluku Utara.
Jojobo merupakan suatu modal sosial yang mengatur pola dan semangat
hidup yang didasarkan pada kebersamaan, kemanusiaan, keperdulian, kejujuran, keadilan dan kebenaran atas dasar semangat persaudaraan dan kekerabatan diantara anggota komunitas atau kelompok masyarakat di Provinsi Maluku Utara pada umumnya dan pada khususnya masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas komunitas petani perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan, Kabupaten Halmahera Barat sudah mulai memudar yang terlihat dari berkurangnya partisipasi masyarakat dalam membentuk kelembagaan Jojobo, serta berkurangnya nilai silahtuhrahmi kekeluargaan atau kekerabatan yang kuat antar sesama warga, kurangnya jaminan kehidupan sosial bermasyarakat yang hanya mengandalkan kelembagaan Jojobo, kurangnya rasa saling tolong menolong (gotong royong) antar warga dalam membentuk kerjasama dan solidaritas, toleransi kekeluargaan dan nilai kejujuran.
Disamping mengalami pergeseran, berdasar hasil kajian di lapangan bahwa kelembagaan sosial ekonomi Jojobo juga masih eksis, terlihat mampu memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan karena didukung adanya peran serta masyarakat dalam meningkatkan efektivitas pemenuhan setiap kebutuhan komunitas masyarakat petani perladangan. Upaya penguatan kelembagaan sosial ekonomi dalam memenuhi kebutuhan komunitas petani perladangan dilakukan dengan mempertahankan keberadaannya dalam bentuk penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan tersebut. Kelembagaan
Jojobo dibentuk dengan syarat diberlakukannya suatu keadilan sosial pada aturan ikatan moral yang dapat senantiasa menjunjung tinggi rasa keadilan dengan didukung oleh nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo, sehingga
mampu memperkuat peran Jojobo dalam memberdayakan masyarakat komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat.
Kata Kunci:Jojobo, nilai sosial, kelembagaan ekonomi, faktor penguat, keadilan sosial, Jailolo, Halmahera Barat.
(9)
© Hak Cipta milik IPB Tahun 2012.
Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.
(10)
(11)
PERMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO DAN
PERANNYA DALAM MEMENUHI KEBUTUHAN
EKONOMI PRODUKTIF
(Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan
Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara)
ALDI BASIR
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Mayor Sosiologi Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
(12)
Terima Kasih Kepada Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS. Penguji Luar Komisi, atas masukan, kritikan dan inspirasinya.
(13)
Judul Tesis : Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo dan Perannya Dalam Memenuhi Kebutuhan Ekonomi Produktif (Studi Kasus Komunitas Petani Perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara)
Nama : Aldi Basir
NRP : I353080121
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Titik Sumarti, MS. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS. Ketua Anggota
Diketahui:
Koordinator Program Studi Mayor Dekan Sekolah Pascasarjana Sosiologi Pedesaan
Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc.Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.
(14)
(15)
PRAKATA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, nikmat dan hidayahnya. Shalawat serta Salam terhaturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW, Saya bersyukur sedalam-dalamnya kepada Allah SWT, karena mendapat kesempatan belajar di Pascasarjana IPB, hingga akhirnya mampu menyesaikan tangung jawab akademik ini.
Dengan segala tulus, dalam kesempatan yang mulia ini, saya ingin mengucapakan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada dosen pembimbing, para dosen di Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman seangkatan SPD 2008, para sahabat dan keluarga baik langsung maupun tidak yang memberikan spirit penyelesaian tesis ini, mereka adalah;
1. Dr. Ir. Titik Sumarti, MS, dan Ir. Ferdian Tonny Nasdian, MS, Selaku pembimbing tesis. Keduanya memiliki peran besar bagi penulis dan proses penyesaian tesis ini.
2. Dr. Ir. Arya Hadi Darmawan, Msc, Agr, selaku Ketua Program Studi Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus Kinseng, selaku wakil Program Srtudi, yang selalu memberi motivasi dan mendukung penyesaian studi para mahasiswa.
3. Dr. Ir. Djuara P Lubis, MS selaku dosen Penguji Luar komisi. Terima kasiha atas masukan, kritikan dan Motivasinya.
4. Dosen-dosen dilingkungan Sosiologi Pedesaan; Prof .Dr. Endriatmo Soetarto, Dr, Arif Satria, Ir. Said Rusli, Dr. Lala Kolopaking MS, Dr. Soeryo Adi Wibowo, Dr. Nurmala K. Panjaitan, MS.DEA, Dr. Ekawati S., Dr. Ir. Saharudin, M.Si, Dr. Ir Ivanovich Agusta, Dr. Satyawan Sunito, Ir. Melani A. Sunito, M.Sc, Dra Winati Wigna MDS., Moch. Sohibuddin, M.Si, Prof. Dr. Hariadi Kartodiharjo, dan Dr. Andreas Dwi Santoso, Ir. Nuraini W. Prasodjo M.Si. Terima kasih atas dukungan dan doanya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.
5. Sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan ankatan 2008, Eko Cahyono, M.Si, Dian Ekowati, M.Si, Usep Setiawan, M.Si, Nendah Kurnisari, M.Si, Fafor A. Bacin M.Si, Nurul Hayat, Gentini,
6. Staff administrasi yang telah membantu memperlancar kegiatan akademik: Ibu Anggra Irene Bondar, Ibu Hetty, Ibu Susi, beserta staff Departemen Sains dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia.
7. Keluarga Besar Sajogyo Institute (SAINS), Prof. Sajogyo, Dr. Ir. Gunawan Wiradi, Prof. M.P. Tjondronegoro, terima kasih atas keteladanan hidup dan inspirasinya.
8. Tesis ini dipersembahkan untuk orang tuaku; Bapak (Almarhum) Basir Sabana dan Ibu Sarawang Haji Abdul Haji, Semoga Allah SWT
(16)
melimpahkan keberkahan hidup mereka di dunia dan akhirat, Amin. Tak lupa pula terima kasih untuk kakak tercinta, Idrus, Jalia, Alwia, Ridwan dan Almarhum Sunarti. Sahabatku Mas Rinto Andhi Suncoko, No Haji Saleh Idayanti Lethulur, Feny Kiat, Moch Yusri Hamid, Yusran Halik, Masita Salam, Hendra Akhari, Ahmad Nuhuyan, Rian, Dimas, Azar, Ganjar, Putu Idra, Sulistiono, Mas Zaenal Mutaqin, Bang Adi, Andika, Andhika K, Fajar, Pembaruan Siregar, Adiz, Flandrianto, Oci, Rumondang, Abu Bakar Ibrahim, Bang Efan, Oji, Ucup, Mas Bambang, Oni, Zulfadli, Winter Nuhuyan, Erna Talib, Ika Wahyuni Tomagola, Dwi Wahyuni Tomagola, Fadli Guret, serta teman yang tidak disebutkan namanya. Terima kasih atas dukungan dan doa mereka telah memudahkan penyesaian tesis ini.
9. Persembahan khusus untuk masyarakat Kecamatan Jailolo Selatan; Moch Sarif Ali, Mafud, Farid, Terima Kasih untuk pembelajaran dan persaudraanya.
Secara khusus, penyelesaian penulisan tesis ini adalah berkat doa dan dukungan Sahabatku tercinta Herny DS, Djafar dan Ibu Diana E. Cahyono atas bantuannya.
Semoga Allah SWT, selalau melimpahkan Hidayah, Magfirah dan keberkahan (rizki, kesehatan umur, ilmu) kepada kita semua, sehinggs kita mampu menjadi hambanya yang berkualitas. Amin
Bogor, Maret 2012
(17)
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Orimakurunga (Halmahera Selatan) pada tanggal 06 Agustus 1980s dan merupakan anak bungsu dari pasangan Ayahanda Haji Basir Sabana dan ibunda tercinta Sarawan Haji Abdul Haji.
Lulus dari Sekolah Dasar Negeri Orimakurunga pada tahun 1994, Sekolah Menegah Pertama Orimakurunga pada tahun 1997 dan penulis melanjutkan pada asekolah Menegah Umum Negeri 1Soa-sio dan tamat pada tahun 2000
Pendidikan Sarjana penulis tempuh pada tahun 2002 di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara dan lulus pada tahun 2007, pada tahun 2007 penulis diterima sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Pemda Kabupaten Halmahera Barat Provinsi Maluku Utara. Pada bulan September 2008 penulis melanjutkan pendidikan di Program Magister Sains Institut Pertanian Bogor pada Program Studi Sosiologi Pedesaan (SPD).
(18)
(19)
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI .………. i
DAFTAR TABEL .……… iii
DAFTAR GAMBAR .……… iv
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………...……….. 1
1.2 Perumusan Masalah ………...……….. 4
1.3 Tujuan Penelitian... 5
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Jojobo ...……….……….. 7
2.2 Konsep Kelembagaan ………...………... 9
2.3 Konsep Pemberdayaan ………....………... 14
2.4 Pemberdayaan Kelembagaan …..………. 19
2.5 Ekologi Komunitas Petani Perladangan ..…………...……... 20
2.6 Kerangka Pemikiran ……….. 25
2.7 Hipotesis Pengarah ………... 29
III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Pendekatan Penelitian ..……….………... 31
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ..………...………... 31
3.3 Metode Penentuan Subyek dan Informan ..……….. 32
3.4 Metode Pengumpulan Data ………... 33
3.5 Metode Pengolahan Data ………. 35
IV PROFIL KOMUNITAS PETANI PERLADANGAN 4.1 Kondisi Geografis ..……….………... 39
4.2 Kondisi Demografi …………...……….... 42
4.3 Kondisi Ekonomi ... 46
4.4 Kondisi Budaya ……… 50
4.5 Ikhtisar ………. 53
V PENERAPAN NILAI-NILAI JOJOBO 5.1 Nilai-Nilai Jojobo ..……….. 55
(20)
ii
5.3 Ikhtisar ………...……….... 64
VI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO
6.1 Upaya Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo ..………. 67
6.2 Dampak Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo Pada
Pemenuhan Kebutuhan Sosial Ekonomi Produktif ………….. 71
6.3 Ikhtisar ………. 78
VII DAMPAK PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN JOJOBO 7.1 Kelembagaan Jojobo Sebagai Wadah Pemenuhan Kebutuhan 81
7.2. Solidaritas dalam Kelembagaan Jojobo ...………. 83 7.3. Ikhtisar ………....………. 90
VIII SINTESIS 93 IX KESIMPULAN DAN SARAN 9.1 Kesimpulan ..……… 99
9.2 Saran ………...……….. 100
9.2.1 Saran pada Aspek Teoritis ………...……... 100
9.2.2 Saran pada Aspek Praktis ………... 100
DAFTAR PUSTAKA .……… 103
(21)
iii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.1 Daftar Nara Sumber/ Informan Utama ………. 32 Tabel 3.2 Penentuan Responden (Subjek dan Informan) ……….. 34 Tabel 4.1 Luas Wilayah Daratan Kabupaten Halmahera Barat ... 40 Tabel 4.2 Jumlah Kecamatan, Desa dan Nama Ibu Kota Kecamatan di
Kabupaten Halmahera Barat ... 42 Tabel 4.3 Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten
Halmahera Barat Tahun 2007 ………... 43 Tabel 4.4 Jumlah Penduduk Perdesaan di Kecamatan Jailolo Selatan di
kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 ………... 43 Tabel 4.5 Penduduk yang Berusia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis
Kegiatan Utama dan Jenis Kelamin di Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 ………... 44 Tabel 4.6 Proyeksi Penduduk Usia 7-12 Tahun Menurut Kecamatan di
Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2007 ………. 45 Tabel 4.7 Jumlah Guru Menurut Sekolah dan Kecamatan di Kabupaten
Halmahera Barat Tahun 2007 ………... 46 Tabel 4.8 Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun
2007 ... 50 Tabel 4.9 Usaha Industri di Kabupaten Halmahera Barat Sampai Tahun
2007 ... 50
(22)
(23)
iv
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Peta Wilayah Kabupaten Halmahera Barat ... 39 Gambar 2 Topografi Wilayah Kabupaten Halmahera Barat ... 40
(24)
(25)
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kehidupan masyarakat Provinsi Maluku Utara dipengaruhi oleh kondisi wilayah yang terdiri dari laut dan kepulauan, perbukitan dan hutan-hutan tropis. Desa-desa di Maluku Utara umumnya (kurang lebih 85 persen) terletak di pesisir pantai dan sebagian besar lainnya berada di pulau-pulau kecil. Oleh sebab itu, pola kehidupan seperti menangkap ikan, berburu, bercocok tanaman dan berdagang masih sangat mewarnai dinamika kehidupan sosial-ekonomi masyarakat di Maluku Utara (sekitar 79 persen). Kondisi daerah kepulauan di Provinsi Maluku Utara yang menyebar ini mendorong masyarakatnya tumbuh dan berkembang dengan segala keragaman budayanya. Berdasarkan catatan di Maluku Utara terdapat 28 sub etnis dengan 29 bahasa lokal (Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Maluku Utara, 2010).
Semboyan masyarakat Maluku Utara yang dijadikan motto pemerintah Provinsi Maluku Utara, yakni “Marimoi Ngone Futura Masidika Ngone Foruru” (Bersatu Kita Teguh Bercerai Kita Runtuh), merupakan ajakan ke arah solidaritas dan partisipasi masyarakat yang didukung oleh ikatan kekerabatan, pertalian darah dan keturunan sesama anggota keluarga. Ikatan yang sangat erat dan familiar ini telah menumbuhkan harmonisasi dan interaksi sosial yang sangat kuat. Interaksi sosial antar komunitas didasarkan pada hubungan kekeluargaan dan pertimbangan kultural. Potensi kultural ini merupakan modal pembangunan yang paling berharga untuk dikembangkan.
Jojobo merupakan warisan leluhur di Maluku Utara berupa kelembagaan
sosial ekonomi masyarakat lokal yang merupakan sebuah kebiasaan secara turun temurun dalam kerangka hidup yang saling tolong menolong, dan di sisi lain
jojobo menjadi disementasi sosial atau perekat sosial untuk mencairkan serta
merajut segala bentuk pertentangan dalam komunitas masyarakat agar tercipta selalu rasa solidaritas dan kerjasama antar warga masyarakat di Maluku Utara.
(26)
2
Jojobo sebagai sebuah kelembagaan merupakan suatu himpunan atau tatanan
norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dan menjadi nilai kebersamaan dalam mencapai tujuan secara kolektif. Pada sisi lain, kelembagaan jojobo juga
mengatur mekanisme dan pertukaran (resiprositas) kegiatan sosial ekonomi masyarakat. Resiprositas dalam arti harfiah adalah timbal balik, dalam antropologi ekonomi kegiatan resiprositas berarti pertukaran barang dan jasa yang kira-kira sama nilainya antara dua pihak. Resiprositas juga menunjuk pada gerakan diantara kelompok-kelompok simetris yang saling berhubungan (Polanyi, 1957). Artinya dalam aktivitas jojobo tentu mempunyai kecenderungan saling tukar kebaikan
dalam anggota komunitas dalam masyarakat itu sendiri.
Prakteknya kelembagaan jojobo dilakukan tidak terlalu mengikat dan memberatkan para anggota jojobo seperti halnya dalam bentuk penerapan jojobo,
diantaranya lebih cenderung tradisonal dalam pengelolaannya, Sebab di dalam kelembagaan jojobo terdapat nilai dan unsur kultur lokal yang menjadi ruh dasarnya. Sementara kelembagaan lokal lainya lebih pada orientasi “saving” dana jangka pendek yang umumnya tidak terkait langsung dengan budaya lokal.
Dengan kata lain dalam jojobo model pengelolaan lebih mengedepankan nilai-nilai sosial kultural daripada pranata sosial yang formal dan kaku. Orang yang dipercayakan untuk memegang kendali kelompok jojobo harus orang yang
dituakan. Orang yang memegang kendali ini harus memenuhi kriteria baik secara sosial ataupun budaya masyarakat setempat. Semua keputusan yang diambil dalam aktivitas jojobo diputuskan berdasarkan kesepakatan bersama yang pada
akhirnya melahirkan keputusan melalui asas musyawarah.
Pola pembagian atau realisasi akhir dalam aktivitas jojobo dilakukan
berdasarkan prioritas dalam pemenuhan kebutuhan anggota jojobo, sehingga
dalam penerapan jojobo itu sendiri tidak terjadi kesalahpahaman dalam
pelaksanaannya. Kalaupun terjadi kesalahpahaman dalam pelaksanaannya dapat lebih mudah teratasi, karena jojobo memiliki azas kekerabatan dan persaudaraan.
Perilaku yang terlihat dari keberadaan kelembagaan jojobo dilakukan dalam
memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan produktif bagi anggota komunitas
(27)
3 Perubahan sosial yang disebabkan proses modernisasi dan industrialisasi yang masuk ke desa-desa dapat mempengaruhi nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat termasuk nilai sosial jojobo. Dampak yang ditimbulkan terhadap
kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal mengakibatkan tata nilai dan kelembagaan tradisional seperti jojobo yang tumbuh dan berkembang di kalangan
masyarakat lokal menjadi hilang. Hilanganya nilai-nilai sosial yang berkembang dalam masyarakat lokal, berimplikasi buruk terhadap berbagai aspek baik sosial maupun ekonomi di pedesaan, karena nilai-nilai sosial ini merupakan suatu kekuatan atau modal sosial dalam mengatur alokasi pemanfaatan alam secara adil dan langgeng serta dapat menangani kendala sosial maupun ekonomi termasuk stabilitas keamanan (Mansur, 1999).
Masyarakat lokal senantiasa mengembangkan pola-pola institusi yang bersifat fungsional sebagai respon terhadap kondisi ketidakpastian dan kerentanan yang mereka hadapi. Institusi-institusi jaminan sosial yang bersifat lokal dan tradisional ini memuat berbagai model mekanisme yang mewajibkan individu, kelompok dan komunitas memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Di dalamnya juga ada mekanisme pengembangan model-model saling membantu demi kesejahteraan bersama sebagai kelompok sosial (Von Benda, 2000). Hal ini memperlihatkan bahwa semua hubungan, lembaga dan keyakinan yang sudah terbentuk secara sosial dalam jojobo menjalankan fungsi
tertentu sebagai jaminan dari segi sosial, ekonomis dan psikologis bagi seseorang. Permasalahan di Maluku Utara terlihat dari pergeseran nilai-nilai, norma, kebiasaan, tata kelakuan, sikap, semangat kerja serta paradigma masyarakat dalam penerapan jojobo. Perubahan yang terjadi, terlihat dari kecenderungan masyarakat
dalam melaksanakan aktifitas sehari-hari sebagian besar telah meninggalkan semangat jojobo dikarenakan adanya peran keberadaan teknologi, nilai uang dan
lain sebagainya.
Modernisasi menganggap bahwa orang-orang yang bekerja di sektor ekonomi subsisten pedesaan mendapat jaminan sosial memadai dari sistem dukungan tradisional yang ada (Von Benda, 2000). Hal ini menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat dapat diperoleh dari dukungan sistem tradisional berupa kelembagaan jojobo yang mampu memenuhi kebutuhan ekonomi
(28)
4
produktif dan ekonomi keluarga khususnya pada komunitas petani peladangan. Persoalan lain dalam proses pemberdayaan masyarakat tingkat lokal tidak menempatkan keberadaan kelembagaan jojobo sebagai sarana penting dalam
pemberdayaan masyarakatnya yang terlihat dari tidak adanya legitimasi formal keberadaan kelembagaan jojobo oleh pemerintah. Bahkan keberadaan
kelembagaan jojobo tidak didukung oleh pemerintah sebagai stakeholders utama
pembangunan, sehingga mengesampingkan keberadaan kelembagaan jojobo.
Di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat, terdapat kelembagaan jojobo yang masih eksis dan dimanfaatkan oleh komunitas dalam
pemenuhan kebutuhan sosial ekonomi, tidak hanya sebatas untuk pemenuhan ekonomi dan sosial saja, akan tetapi kelembagaan jojobo juga menunjukkan kearah yang meluas, tidak hanya berlaku dalam hubungan kekerabatan, namun juga berpengaruh dalam antar komunitas lokal lainnya.
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimana pemberdayaan kelembagaan jojobo dan perannya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi produktif pada petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat Maluku Utara, dalam kaitannya dengan nilai sosial ekonomi yang berlaku dalam masyarakat lokal, dapat dipahami dengan mengkaji:
(1). Bagaimana bentuk penerapan nilai-nilai jojobo dalam aktivitas ekonomi
produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat?
(2). Bagaimana upaya pemberdayaan kelembagaan jojobo dan dampaknya
dalam memenuhi kebutuhan ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat?
(3). Bagaimana dampak kelembagaan jojobo terhadap solidaritas kerjasama
antar warga masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonominya?
(29)
5
1.3Tujuan Penelitian
Dengan mengajukan beberapa pokok persoalan penelitian diatas maka studi ini bertujuan untuk:
(1). Mengkaji bentuk penerapan nilai-nilai jojobo dalam aktivitas ekonomi
produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat.
(2). Menganalisis dan menguraikan pemberdayaan kelembagaan jojobo
berserta dampaknya dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat.
(3). Menganalisis dampak kelembagaan jojobo terhadap solidaritas dan kerjasama antar warga masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonominya.
(30)
(31)
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Jojobo
Jojobo berasal dari bahasa Ternate berarti “usaha yang dilakukan secara
bersama untuk kepentingan bersama dalam suatu komunitas untuk pemenuhan kebutuhan hidup yang memiliki nilai-nilai solidaritas seperti baku tolong, atau baku bantu baik secara ekonomi maupun sosial”. Jojobo juga mengandung
pemaknaan filosofis sebagai pegangan dan nilai-nilai sosial yang menerangkan tentang pola kehidupan dan hubungan antar manusia dengan sesamanya maupun dengan alam semesta. Dalam hubungannya manusia dengan sesamanya, mengisyaratkan manusia sebagai hamba Tuhan (Allah), yang harus saling mencintai dan saling mengasihi, sebagaimana Allah mencintai hambah-Nya. Dalam praktek kehidupan sosial kemasyarakatan pada komunitas masyarakat di Maluku Utara umumnya, dan masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan pada khususnya memiliki nilai-nilai filosofis yang disebut “dorabololo” yang dimasukan dalam semangat jojobo seperti halnya “Modet Makatono” atau “Mo Te Futuwae”, yang mempunyai arti “mari kita saling membantu, atau menyatukan hati” seperti biji pala dan fulinya. Ilustrasi dari “dolabolo” tersebut dapat
memberikan gambaran bahwa jojobo merupakan sebuah nilai-nilai kesepakatan
yang menyatukan setiap komunitas yang ada pada masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan untuk saling menolong atau membantu dalam bingkai saling mengasihi dan mencintai. Dengan demikian jojobo dapat dikatakan merupakan
konsep nilai atau perilaku yang berpola dalam masyarakat (Safar, 2008).
Jojobo dalam konteks kelembagaan, merupakan nilai-nilai sosial yang
mengatur pola dan semangat hidup yang didasarkan pada kepercayaan, keterbukaan, saling peduli, saling menghargai, dan saling menolong diantara anggota komunitas masyarakat di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat pada khususnya dan Maluku Utara pada umumnya. Jojobo juga merupakan
warisan leluhur masyarakat di Maluku Utara yang dilembagakan sehingga telah menjadi sebuah kebiasaan dalam kerangka hidup saling tolong menolong, dan di sisi lain sebagai disementasi sosial atau perekat sosial untuk mencairkan serta
(32)
8
merajut segala bentuk pertentangan dalam komunitas masyarakat agar tercipta selalu rasa solidaritas. Pemaknaan kata jojobo berbeda dengan kelembagaan sosial
lainnya, karena dalam pemaknaan dan prakteknya jojobo memiliki 2 (dua) perekat
nilai yaitu, nilai ekonomi dan nilai sosial.
Jojobo menunjukan pada aktivitas atau implementasi dari nilai-nila sosial
dalam hal ekonomis yang kegunaannya untuk mengatur kebutuhan hidup dalam suatu komunitas, seperti dalam komunitas keluarga yang memiliki hubungan darah dan kekerabatan serta dapat berkembang jauh lebih besar pada komunitas yang memiliki kesamaan budaya atau cultur. Kegiatan jojobo dilakukan sebagai
upaya untuk mengatasi permasalahan dalam anggota komunitas untuk mengatasi kesulitan ekonomi secara bersama. Jojobo sebagai sebuah nilai-nilai sosial, merupakan suatu ide yang telah turun-temurun dianggap efektif dan penting oleh anggota komunitas masyarakat di Maluku Utara. Misalnya nilai harmonisasi, tolong menolong, kerjasama dan lainnya merupakan contoh nilai kekerabatan yang sangat umum dikenal dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian jojobo
adalah salah satu dari nilai sosial yang diyakini dan masih dilestarikan masyarakat Jailolo Selatan hingga kini.
Beragam perspektif sosiologis batasan pengertian nilai sosial dapat diuraikan sebagai berikut: pandangan C. Kluckhon, menjelaskan nilai sosial
adalah ukuran-ukuran yang dipakai untuk mengatasi kemauan pada saat dan situasi tertentu. Menurut Woods, nilai sosial merupakan petunjuk-petunjuk umum
yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Bagi A.W.Green, nilai sosial adalah kesadaran yang secara relatif
berlangsung disertai emosi terhadap obyek. Sedangkan, menurut menurut Kimball Young, nilai sosial adalah asumsi abstrak dan sering tidak disadari tentang apa
yang benar dan apa yang penting. Dan masih banyak pengertian lain terkait dengan nilai sosial, misalnya Alvin L. Bertrand yang memandang bahwa Nilai adalah suatu kesadaran yang disertai emosi yang relatif lama hilangnya terhadap suatu objek, gagasan, atau orang. Dan Robin Williams, nilai sosial adalah hal yang menyangkut kesejahteraan bersama melalui konsensus yang efektif di antara mereka, sehingga nilai-nilai sosial dijunjung tinggi oleh banyak orang. Sedangkan
(33)
9 menurut Koentjaraningrat (1968) suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia (Alfin, 2011).
2.2 Konsep Kelembagaan
Secara normatif istilah social-institution (kelembagaan sosial) memiliki
beberapa arti. Merujuk pada Koentjaraningrat (1968) selaras dengan makna pranata sosial yang berarti “suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas-aktivitas untuk memenuhi kompleks-kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat”. Menurut Polak (1966)
kelembagaan sosial berarti “suatu kompleks atau sistem peraturan-peraturan dan adat istiadat yang mempertahankan nilai-nilai yang penting”. Dengan makna makna yang lebih luas, kelembagaan sosial menurut Bertrand (1974) berarti: 1) “himpunan norma-norma segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat” yang wujud kongkritnya adalah berupa asosiasi (association). 2) “tata abstraksi yang lebih tinggi dari grup, organisasi, dan sistem sosial lainnya”.
Dilihat dari fungsinya kelembagaan sosial setidaknya memiliki empat hal; 1) Memberi pedoman berperilaku kepada individu atau masyarakat; 2) Menjaga keutuhan; 3) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial (social control); 4) Memenuhi kebutuhan pokok manusia atau masyarakat.
Sedangkan ciri-cirinya menurut Soekanto, (1990), memiliki enam ciri; 1) Merupakan pengorganisasian pola pemikiran yang terwujud melalui aktivitas masyarakat & hasil-hasilnya; 2) Memiliki kekekalan tertentu, 3) Mempunyai satu atau lebih tujuan tertentu; 4) Mempunyai lambang-lambang yang secara simbolik menggambarkan tujuan; 5) Mempunyai alat untuk mencapai tujuan tertentu; 6) Mempunyai tradisi tertulis atau tidak tertulis.
Sedangkan tipe-tipe kelembagaan sosial menurut Gillin dan Gillin (1954) sebagimana dikutip oleh Koentjaraningrat, juga oleh Soerjono Soekanto adalah sebagai berikut: a) Lembaga sosial berdasarkan perkembangannya, b) Lembaga sosial berdasarkan nilai/kepentingan yang diterima masyarakat, c) Lembaga sosial berdasarkan penerimaan masyarakat, d). Lembaga sosial berdasarkan faktor penyebarannya. e) Lembaga sosial berdasarkan fungsinya.
(34)
10
Berdasarkan penerimaan masyarakat, kelembagaan sosial terbagi dua; 1)
Approved Institutions adalah bentuk lembaga sosial yang diterima secara umum
oleh masyarakat. Misalnya, adanya lembaga peradilan yang berfungsi untuk mengurangi dan mengadili para pelaku penyimpangan sosial. 2) Unsanctioned institutions adalah bentuk lembaga sosial yang secara umum ditolak oleh
masyarakat. Misalnya berbagai perilaku penyimpangan, seperti adanya pusat perjudian yang akan memberikan dampak negative terhadap pelaku dan masyarakat sekitarnya.
Faktor penyebaran dan jangkauannya kelembagan sosial terdiri dari beberapa hal,yaitu; 1) General Institutions adalah bentuk lembaga sosial yang diketahui dan dipahami masyarakat secara umum. Misalnya keberadaan agama sebagai pedoman hidup manusia maka dibentuklah lembaga agama. 2) Restricted Institutions adalah bentuk lembaga sosial yang hanya dipahami oleh anggota kelompok tertentu. Misalnya pelaksanaan ajaran agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Kong Hu Cu, atau berbagai aliran kepercayaan lainnya, yang pelaksanaan ajaran agama itu hanya dipahami oleh pemeluk ajaran agama yang bersangkutan.Contohnya Kewajiban sholat lima waktu bagi umat Islam dan beribadah ke gereja bagi umat Kristen.
Sedangkan proses perkembangan kelembagaan sosial meliputi; 1) lahirnya peraturan dan norma-norma baru (proses strukturalisasi dan inkulturasi); 2) terjadi dimana-mana dan terus menerus dalam masyarakat; 3) proses pengaturan dan pembinaan pola-pola prosedur (tata cara) diserta beragam sanksi dalam masyarakat. Dari proses mengenal kemudian mengakui, menghargai, mentaati, menerima dan internalisasi. Sedangkan tingkat internalisasi “dinilai” berdasarkan kuat atau lemahnya ikatan yang dimiliki oleh norma tersebut.
Dalam pengertian lain, disebutkan bahwa proses pertumbuhan lembaga sosial terjadi melalui dua cara yaitu: 1) secara tidak terncana, 2) secara terencana. Secara tidak terencana maksudnya adalah institusi itu lahir secara bertahap dalam kehidupan masyarakat, biasanya hal ini terjadi ketika masyarakat dihadapkan pada masalah atau hal-hal yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan hidup yang sangat penting. Contohnya adalah dalam kehidupan ekonomi, dimasa lalu, untuk memperoleh suatu barang orang menggunakan sistem barter, namun karena
(35)
11 dianggap sudah tidak efisien dan menyulitkan, maka dibuatlah uang sebagai alat pembayaran yang diakui masyarakat, hingga muncul lembaga ekonomi seperti bank dan sebagainya. Dan secara terencana maksudnya adalah institusi muncul melalui suatu proses perncanaan yang matang yang diatur oleh seseorang atau kelompok orang yang memiliki kekuasaan dan wewenang. Contohnya lembaga transmigrasi yang dibuat oleh pemerintah sebagai cara untuk mengatasi permasalahan kepadatan penduduk. Singkat kata bahwa proses terbentuknya lembaga sosial berawal dari individu yang saling membutuhkan. Saling membutuhkan ini berjalan dengan baik kemudian timbul aturan yang disebut norma kemasyarakatan. Norma kemasyarakatan dapat berjalan baik apabila terbentuk lembaga sosial.
Dengan batasan pengertian di atas dapat dijelaskan bagimana muncul beragam kelembagaan sosial yang pernah ada hingga sekarang, umumnya di desa telah ada seperangkat lembaga-lembaga yang muncul dan timbul dari inisiatif masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidup yang harus di penuhinya. Lembaga-lembaga lokal ini masih sangat bersifat tradisional dengan berbagai kekurangan-kekurangan yang ada dari segi organisasi atau kelembagaan modern. Padahal di sisi lain pemerintah sebagai stakeholder dari program pembangunan sangat memerlukan lembaga yang sangat mampu untuk menjadi wadah atau saluran pembangunan bahkan sarana paling tepat untuk percepatan pembangunan pedesaan.
Berpijak dari realita semacam inilah maka pemerintahpun mengeluarkan kebijakan mengenai perlunya pembentukan lembaga kemasyarakatan modern dalam rangka pelaksanaan pembangunan di pedesaan dengan pertimbangan bahwa lembaga masyarakat modern yang dibuat pemerintah yang memang dirancang secara khusus untuk kegiatan pembangunan akan memberikan peluang besar guna keberhasilan pembangunan itu sendiri dari pada pemerintah menggunakan lembaga pemasyarakatan yang sudah ada yang umumnya bercorak kultural, agamis dan tradisional.
Kelembagaan umumnya banyak dibahas dalam sosiologi, antropologi, hukum dan politik, organisasi dan manajemen, psikologi maupun ilmu lingkungan yang kemudian berkembang dalam ilmu ekonomi karena kini mulai banyak ahli
(36)
12
ekonomi yang mulai berkesimpulan bahwa kegagalan pembangunan ekonomi umumnya karena kegagalan kelembagaan. Dalam bidang sosiologi, kelembagaan banyak ditekankan pada norma, tingkah laku, dan adat istiadat.
Terdapat beberapa definisi kelembagaan yang disampaikan oleh ahli dari berbagai bidang mengenai pengertian lembaga yaitu: 1) Aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggotanya untuk membantu dengan harapan di mana setiap orang dapat bekerja sama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang diinginkan (Ruttan dan Hayami, 1984). 2). Suatu himpunan atau tatanan norma-norma dan tingkah laku yang bisa berlaku dalam suatu periode tertentu untuk melayani tujuan kolektif yang akan menjadi nilai bersama, institusi ditekankan pada norma-norma perilaku, nilai budaya dan adat istiadat (Uphoff, 1986). 3) Aturan rambu-rambu sebagai panduan yang dipakai oleh para anggota suatu kelompok masyarakat untuk mengatur hubungan yang saling mengikat atau saling tergantung satu sama lain (Ostrom, 1985).
Umumnya definisi lembaga mencakup konsep pola perilaku sosial yang sudah mengakar dan berlangsung terus menerus atau berulang. Dalam hal ini sangat penting diperhatikan bahwa perilaku sosial tidak membatasi lembaga pada peraturan yang mengatur perilaku tersebut atau mewajibkan orang atau organisasi untuk harus berpikir positif ke arah norma-norma yang menjelaskan perilakunya tetapi juga pemahaman akan lembaga ini memusatkan perhatian pada pengertian tata cara orang berperilaku atau bertindak sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang berlaku.
Kemampuan dalam mengenali sebuah kelembagaan, membedakan sifat dasar kelembagaan satu dengan yang lainnya, dan melihat relasi antar kelembagaan; dibutuhkan suatu alat menganalisisnya untuk melihat sejauhmana kelembagaan itu masih eksis atau memudar. Alat analisis kelembagaan menurut Sayuti (2003) mengintroduksikan satu konsep bahwa sisi internal sebuah kelembagaan dapat dibagi menjadi 2 (dua) aspek, yaitu aspek kelembagaan (nilai, norma, aturan, etika dan lainnya), dan aspek keorganisasian (struktur, peran, wewenang, otoritas, keanggotaan dan lainnya).
(37)
13 Sebagian besar literatur menunjukkan perbedaan antara “kelembagaan” dengan “organisasi”. Setidaknya ada empat bentuk cara membedakan yang terlihat sebagai berikut; 1) Kelembagaan cenderung tradisional, sedangkan organisasi cenderung modern. Pembedaan atas tradisional dan modern ini sejalan dengan pembedaan yang diajukan oleh Horton dan Hunt (1993): “... institution do not have members, they have followers”. 2) Kelembagaan terbentuk dari
masyarakat itu sendiri sedangkan organisasi datang dari atas. Cara pembedaan ini relatif mirip dengan pembedaan di atas, namun ini tidak dalam konteks tradisional-modern, namun bawah-atas. Pendapat ini digunakan misalnya oleh Tjondronegoro (1990): “... lembaga semakin mencirikan lapisan bawah dan lemah, dan organisasi mencirikan lapisan tengah dengan orientasi ke atas dan kota” 3) Kelembagaan dan organisasi berada dalam satu kontinum, artinya, organisasi adalah kelembagaan yang belum melembaga. Menurut Uphoff (1986), tujuan akhir adalah organisasi yang melembaga, atau kelembagaan yang memiliki aspek organisasi. Jadi, mereka hanya berbeda dalam tingkat penerimaan di masyarakat saja. Organisasi dipandangnya hanyalah sebagai sesuatu yang akan dilembagakan. Pendapat ini sedikit banyak juga berasal dari Harrison dan Huntington (2000) yang menyatakan: “Organization and procedures vary in their degree of institutionalization... Institutionalization is the process by which organizations and procedures acquire value and stability”. 4) Organisasi
merupakan bagian dan kelembagaan. Dalam konteks ini, organisasi merupakan organ dalam suatu kelembagaan. Keberadaan organisasi menjadi elemen teknis penting yang menjamin beroperasinya kelembagaan. Kalangan ahli ekonomi kelembagaan menggunakan batasan seperti ini pula. Jika ditelusuri perkembangan dalam khazanah ilmu sosiologi, pada awalnya istilah ‘institution‘ dan
‘organization’ cenderung tidak dibedakan dan bahkan adakalanya digunakan
secara bolak balik’. Lalu, semenjak tahun 1950-an, mulai tampak pembedaan yang semakin tegas, bahwa “kelembagaan” dan “keorganisasian” berbeda. Artinya, terjadi perubahan dan pengertian yang “luas dan baur” menjadi “sempit dan tegas”.
Kelembagaan jojobo merupakan norma-norma dan tingkah laku yang biasa berlaku dan menjadi nilai kebersamaan dalam mencapai tujuan secara kolektif.
(38)
14
Aktivitas kelembagaan jojobo mempunyai kecenderungan saling tukar kebaikan
dalam anggota komunitas dalam masyarakat itu sendiri. Secara menyeluruh kelembagaan jojobo ini ditujukan dalam kaitannya dengan nilai sosial ekonomi
yang berlaku dalam masyarakat lokal, yang memerlukan dukungan bagi semua pihak untuk meletakkan kelembagaan jojobo sebagai suatu proses pemberdayaan
masyarakat desa dalam konteks mengatur pola dan semangat hidup yang didasarkan pada keperdulian, kebersamaan, kejujuran, kebenaran dan kepercayaan antara kelompok anggota masyarakat dalam rangka proses keberlangsungan pembangunan di Maluku Utara.
Masyarakat lokal senantiasa mengembangkan pola-pola institusi yang bersifat fungsional sebagai respon terhadap kondisi ketidakpastian dan kerentanan yang mereka hadapi. Institusi-institusi jaminan sosial yang bersifat lokal dan tradisional ini memuat berbagai model mekanisme yang mewajibkan individu, kelompok dan komunitas memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Di dalamnya juga ada mekanisme pengembangan model-model saling membantu demi kesejahteraan bersama sebagai kelompok sosial (Von Benda, 2000). Hal ini memperlihatkan bahwa semua hubungan, lembaga dan keyakinan yang sudah terbentuk secara sosial dalam jojobo menjalankan fungsi tertentu sebagai jaminan dari segi sosial, ekonomis dan psikologis bagi seseorang.
2.3 Konsep Pemberdayaan
Pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain memberdayakan adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Dalam konsep pemberdayaan, menurut Prijono dan Pranarka (1996), manusia adalah subyek dari dirinya sendiri. Proses pemberdayaan yang menekankan pada proses memberikan kemampuan kepada masyarakat agar menjadi berdaya, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa pemberdayaan harus ditujukan pada kelompok atau lapisan masyarakat yang tertinggal.
(39)
15 Menurut Sumodiningrat (1999), bahwa pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk memandirikan masyarakat lewat perwujudan potensi kemampuan yang mereka miliki. Adapun pemberdayaan masyarakat senantiasa menyangkut dua kelompok yang saling terkait, yaitu masyarakat sebagai pihak yang diberdayakan dan pihak yang menaruh kepedulian sebagai pihak yang memberdayakan. Mubyarto (1998) menekankan bahwa terkait erat dengan pemberdayaan rakyat, dalam proses pemberdayaan masyarakat diarahkan pada pengembangan sumberdaya manusia (di pedesaan), penciptaan peluang berusaha yang sesuai dengan keinginan masyarakat serta kelembagaan-kelembagaan yang dimiliki. Masyarakat menentukan jenis usaha, kondisi wilayah yang pada gilirannya dapat menciptakan lembaga dan sistem pelayanan dari, oleh dan untuk masyarakat setempat. Upaya pemberdayaan masyarakat ini kemudian ditujukan dalam pemberdayaan rakyat yang dapat diperoleh melalui penguatan kelembagaan-kelembagaan lokal yang dimiliki.
Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat yang bersangkutan. Suatu masyarakat yang sebagian besar anggotanya sehat fisik dan mental, terdidik dan kuat, tentunya memiliki keberdayaan yang tinggi. Keberdayaan masyarakat merupakan unsur dasar yang memungkinkan suatu masyarakat bertahan, dan dalam pengertian yang dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan. Keberdayaan masyarakat itu sendiri menjadi sumber dari apa yang di dalam wawasan politik disebut sebagai ketahanan nasional. Artinya bahwa apabila masyarakat memiliki kemampuan ekonomi yang tinggi, maka hal tersebut merupakan bagian dari ketahanan ekonomi nasional.
Kerangka inilah upaya memberdayakan masyarakat pertama-tama dimulai dengan menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang termasuk penguatan kelembagaan-kelembagaan lokal yang dimiliki. Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya, bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya, karena kalau demikian akan punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu sendiri, dengan mendorong memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya
(40)
16
untuk mengembangkannya kelembagaan yang dimiliki. Selanjutnya, upaya tersebut diikuti dengan memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri. Dalam konteks ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana yang kondusif. Perkuatan kelembagaan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses kepada berbagai peluang
(opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya
(Kartasasmita, 1996).
Pemberdayaan yang dikemukakan Dwijowijoto (2006) dan Roesmidi (2008) menempatkannya bukan pada sebuah proses instan, melainkan suatu proses yang bertahap. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan yaitu 1) penyadaran, 2) pengkapasitasan dan 3) pendayaan. Tahap-tahap terjadinya pemberdayaan melalui proses-proses tersebut yaitu: Pertama, Penyadaran. Pada tahap ini target hendak didayakan diberi pencerahan dalam bentuk diberi penyadaran bahwa mereka mempunyai hak untuk mempunyai sesuatu misalnya target kelompok masyarakat miskin dan mereka bisa menjadi berada itu didahului jika mereka mempunyai kapasitas untuk keluar dari kemiskinan. Program tahapan ini memberi pengetahuan. Diberdayakan dalam proses pemberdayaan itu dimulai dari dalam diri sendiri dan orang luar. Kedua, pengkapasitasan (capasity building). Pada tahap ini dilakukan melalui pembangunan kemampuan untuk
membuat mereka cakap melalui suatu training, latihan, workshop, seminar, atau
simulasi. Dilakukan dalam bentuk restrukturisasi organisasi, suatu kelompok dengan memanajemen yaitu: a) pengkapasitasan pertama menyiapkan medium buat organisasi. b) pengkapasitasan kedua take it for granted (jadi dengan
sendirinya). Ketiga, Pemberdayaan. Pemberdayaan pada tahapan ini memberikan
daya melalui diberikannya otoritas kekuasaan, peluang sesuai kecakapan yang dimiliki. Intinya dalam proses pemberian daya atau kekuasaan diberikan sesuai dengan kecakapan penerimaan.
Pemberdayaan masyarakat sebagai sebuah strategi, sekarang telah banyak diterima, bahkan telah berkembang dalam berbagai literatur di dunia barat. Namun, upaya mewujudkannya dalam praktik pembangunan tidak selalu berjalan mulus. Banyak pemikir dan praktisi yang belum memahami dan mungkin tidak
(41)
17 meyakini bahwa konsep pemberdayaan merupakan alternatif pemecahan terhadap dilema-dilema pembangunan yang dihadapi. Mereka yang berpegang pada teori-teori pembangunan model lama juga tidak mudah untuk menyesuaikan diri dengan pandangan-pandangan dan tuntutan-tuntutan keadilan. Mereka yang tidak nyaman terhadap konsep partisipasi dan demokrasi dalam pembangunan tidak akan merasa tentram dengan konsep pemberdayaan ini. Lebih lanjut, disadari pula adanya berbagai bias terhadap pemberdayaan masyarakat sebagai suatu paradigma baru pembangunan.
Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people-centered, participatory, empowering, and sustainable” (Chambers, 1995 dalam Kartasasmita, 1996). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net), yang pemikirannya belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap konsep-konsep pertumbuhan dimasa yang lalu. Konsep ini berkembang dari upaya banyak ahli dan praktisi untuk mencari apa yang antara lain oleh Friedmann (1992) disebut alternative development, yang menghendaki “inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenerational equity”.
Konsep pemberdayaan tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena seperti dikatakan oleh Brown (1995), keduanya tidak harus diasumsikan sebagai “incompatible or anti-thetical”. Konsep ini mencoba
melepaskan diri dari perangkap “zero-sum game” dan “trade off”. Ia bertitik tolak
dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan dan yang akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu, seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (1995), “the pattern of growth is just as important as the rate of growth”. Yang dicari adalah seperti dikatakan
Ranis, “the right kind of growth”, yakni bukan yang vertikal menghasilkan
“trickle-down”, seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat horizontal (horizontal flows), yakni “broadly based, employment intensive, and not compartmentalized” (Ranis, 1995).
(42)
18
Pertumbuhan dihasilkan bukan hanya dengan biaya lebih kecil, tetapi dengan devisa yang lebih kecil pula (Brown, 1995). Hal terakhir ini besar artinya bagi negara-negara berkembang yang mengalami kelangkaan devisa dan lemah posisi neraca pembayarannya. Lahirnya konsep pemberdayaan sebagai antitesa terhadap model pembangunan yang kurang memihak pada rakyat mayoritas. Konsep ini dibangun dari kerangka logik sebagai berikut : (1) bahwa proses pemusatan kekuasaan terbangun dari pemusatan kekuasaan faktor produksi; (2) pemusatan kekuasaan faktor produksi akan melahirkan masyarakat pekerja dan masyarakat pengusaha pinggiran; (3) kekuasaan akan membangun bangunan atas atau sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan sistem ideologi yang manipulatif untuk memperkuat legitimasi; dan (4) pelaksanaan sistem pengetahuan, sistem politik, sistem hukum dan ideologi secara sistematik akan menciptakan dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat berdaya dan masyarakat tunadaya Akhirnya yang terjadi ialah dikotomi, yaitu masyarakat yang berkuasa dan manusia yang dikuasai. Untuk membebaskan situasi menguasai dan dikuasai, maka harus dilakukan pembebasan melalui proses pemberdayaan bagi yang lemah (empowerment of the powerless). (Prijono dan Pranarka, 1996).
Proses tahapan pemberdayaan sejalan dengan terminologi pemberdayaan itu sendiri atau yang dikenal dengan istilah empowerment yang berawal dari kata
daya (power). Daya dalam arti kekuatan yang berasal dari dalam tetapi dapat
diperkuat dengan unsur-unsur penguatan yang diserap dari luar. Ia merupakan sebuah konsep untuk memotong lingkaran setan yang menghubungkan power
dengan pembagian kesejahteraan. Keterbelakangan dan kemiskinan yang muncul dalam proses pembangunan disebabkan oleh ketidakseimbangan dalam pemilikan atau akses pada sumber-sumber power. Proses historis yang panjang
menyebabkan terjadinya power dispowerment, yakni peniadaan power pada
sebagian besar masyarakat, akibatnya masyarakat tidak memiliki akses yang memadai terhadap akses produktif yang umumnya dikuasai oleh mereka yang memiliki power. Pada gilirannya keterbelakangan secara ekonomi menyebabkan
mereka makin jauh dari kekuasaan. Begitulah lingkaran setan itu berputar terus. Oleh karena itu, pemberdayaan bertujuan dua arah. Pertama, melepaskan
(43)
19 belenggu kemiskinan, dan keterbelakangan. Kedua, memperkuat posisi lapisan masyarakat dalam struktur ekonomi dan kekuasaan. (Prijono dan Pranarka, 1996)
2.4 Pemberdayaan Kelembagaan
Pada dasarnya terdapat beragam makna tentang pemberdayaan kelembagaan, namun keseluruhan pegertian tersebut mengacu pada makna dasar dari pemberdayaan itu sendiri yang berarti “Memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan kepada warga untuk meningkatkan kemampuan merka dalam menentukan masa depannya sendiri dan berpartisipasi dalam dan mempengaruhi kehidupan dari masyarakatnya” ( Ife, 1995: 182). Dapat dikatakan juga bahwa pemberdayaan adalah “Perluasan aset-aset dan kemampuan-kemampuan masyarakat miskin dalam menegosiasikan dengan mempengaruhi, mengontrol, serta mengendalikan tanggung jawab lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya” ( Narayan et al, 2002:11). Pemberdayaan juga berarti kemampuan individu dan komunitas untuk mengontrol lingkungannya dengan menciptkan kemampuan menganalisis masalah mereka, mengidentifikasi sebab-sebabnya, menetapkan prioritas, dan memperoleh pengetahuan baru secara mandiri (conscientization) ( Freire, 1972: 13).
Menurut Ife (1995:61-64), pemberdayaan termasuk di dalamnya penguatan kelembagaan masyarakat mesti memuat dua pengertian kunci yakni kekuasaan dan kelompok lemah. Kekuasaan di sini diartikan bukan hanya menyangkut kekuatan politik namun mempunyai arti luas yang merupakan penguasaan masyarakat atas: 1) Power over personal choices and life chances. Kekuasaan atas pilihan-pilhan personal dan kesempatan-kesempatan hidup, kemampuan dalam membuat keputusan-keputusan mengenai pilihan hidup, tempat tinggal dan pekerjaan dan sebagainya. 2) Power over the definition of need. Kekuasaan atas pendefinisian kebutuhan, kemampuan menentukan kebutuhan selaras dengan aspirasi dan keinginan. 3) Power over ideas. Kekuasaan atas ide atau gagasan,
kemampuan mengekspersikan dan menyumbang gagasan dalam interaksi, forum dan diskusi secara bebas dan tanpa tekanan. 4) Power over institutions. Kekuasaan
atas lembaga-lembaga, kemampuan menjangkau, menggunakan dan mempengaruhi lembaga-lembaga masyarakat seperti; lembaga pendidikan,
(44)
20
kesehatan, keuangan serta lembaga-lembaga pemenuh kebutuhan hidup lainnya. 5) Power over resources. Kekuasaan atas sumber daya, kemampuan memobilisasi
sumber daya formal dan informal serta kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan hidup. 6) Power over economic activity. Kekuasaan atas aktivitas
ekonomi kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang dan jasa. 7) Power over reproduction.
Kekuasaan atas reproduksi, kemampuan dalam kaitannya dengan proses reproduksi dalam arti luas seperti pendidikan, sosialisasi, nilai dan prilaku bahkan kelahiran dan perawatan anak. Dalam pengetian ini maka pemberdayaan dan penguatan masyarakat beserta kelembagaan yang dimilikinya dapat diartikan sebagai tujuan dan proses sekaligus. Sebagai tujuan, pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat yang memiliki kekuatan atau kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada kemandirian sesuai dengan tipe-tipe kekuasaan yang disebutkan sebelumnya.
Dengan demikian maksud dan tujuan Pemberdayaan Kelembagaan Sosial Masyarakat adalah: 1) Untuk mewujudkan partisipasi sosial masyarakat melalui perorangan, lembaga-lembaga sosial masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan sosial. 2) Mendelegasikan sebagian tugas kepada institusi sosial di daerah dalam menyusun rencana, melaksanakan dan mengendalikan pemberdayaan potensi dan sumber kesejahteraan sosial secara terukur dan akuntabel di daerahnya masing-masing. 3) Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, organisasi dan manajemen mitra-mitra kerja untuk mewujudkan pelayanan sosial yang profesional.
2.5 Ekologi Komunitas Petani perladangan
Maluku Utara memiliki ekosistem yang agak berbeda dengan pulau-pulau lain, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau lain di Indonesia. Aneka ciri-ciri fisik-geografis dan biologi (curah hujan, kelembaban, kesuburan tanah, kerapatan vegetasi, topografi, struktur ruang, dan lain-lain) berinteraksi sedemikian rupa dengan ciri-ciri sosial budaya (penduduk, etnisitas, pola penempatan, kepercayaan, dan lain-lain) dalam kurun waktu lama sehingga membentuk suatu sistem ekologi kebudayaan perladangan yang berbeda yaitu
(45)
21 sistem (JICA dan Bappenas, 1998). Perspektif ini menggariskan norma-norma yang dapat menjawab pertanyaan mengenai ciri-ciri ekologi kebudayaan Maluku Utara.
Daerah pantai umumnya tanah gambut dan hutan rendah, sementara daerah hulu berupa hutan hujan tropis. Struktur tanah di Maluku Utara memiliki pegunungan vulkanik yang secara berkala menyemburkan hara dan mineral ke dataran rendah. Formasi umum alivium, yakni berupa endapan sungai dan rawa, bersumber dari kwarsa, kerikil, dan bongkahan batu malihan, granit, dan kwarsa. Endapan aluvium rawa terutama terdiri dari lumpur hitam sampai keabu-abuan, tanah liat yang mengandung limonit dan di beberapa tempat lumpur pasir dan tanah liat mengandung lignit. Aluvium yang lebih tua terdiri dari kerikil dan bongkah batuan malihan dan granit, agak mengeras, terletak 40-50 meter di atas permukaan sungai sekarang. Ketebalan aluvium 5-10 meter dan terdapat sisa-sisa tanaman dan tumbuhan (Miring, dkk. 1989).
Pola perkampungan tertata dalam jarak yang saling berjauhan mengikuti alur DAS, dengan populasi relatif kecil, adakalanya hanya belasan kepala keluarga, tidak pernah berkembang melebihi daya dukung tanah (Riwut, 1993). Jarak fisik dan geografis yang saling berjauhan membatasi interaksi sosial yang intensif antar kampung dan antar anak kampung. Kampung pada umumnya berjauhan satu sama lain, terpencar jauh. Letak rumah terpencar-pencar dan banyak ditemukan rumah betang. Kampung besar mempunyai beberapa anak kampung yang terpencil lebih jauh lagi ke pedalaman, yaitu di gunung, di lembah, di tepi sungai, di hutan-hutan dan pesisir laut. Untuk anak kampung yang di sungai-sungai ada yang jaraknya sampai 20-30 km dengan kampung besarnya, demikian pula untuk kampung yang terletak di hutan-hutan jaraknya sekitar 5-10 km dari kampung besarnya. Tidak jarang satu kampung terdiri dari tiga sampat lima kampung yang letaknya berjauhan (Riwut, 1993).
Ciri positif perladangan dari segi ekologi lebih berintegrasi ke dalam struktur umum ekosistem alami, sebelum perladangan itu direncanakan, dan jika sungguh-sungguh adaptif lebih baik mempertahankan struktur itu daripada menciptakan dan melanjutkan ekosistem yang disusun menurut garis-garis baru dan dinamik-dinamik baru. Setiap bentuk pertanian merupakan usaha mengubah
(46)
22
ekosistem tertentu sehingga manusia dapat menaikkan arus energi ke manusia. Persawahan mencapai hal itu dengan cara mengolah kembali alam sekitar, sementara perladangan dengan cara meniru alam sekitar. Perladangan memilik ciri sistemik dengan meniru hutan tropis sebagai tingkat umum yang dicapainya.
Ekosistem Maluku Utara didiami beragam suku bangsa dimana mayoritas adalah Suku-suku lokal. Masyarakatnya sebagian besar tinggal di pesisir pantai dan berkembang kebudayaan, alat-alat, dan bahasa yang berbeda di masing-masing tempat. Komunitas yang ada di Maluku Utara terdapat 28 sub etnis dan 29 bahasa. Meski terdapat pengelompokan sub etnis dan perbedaan bahasa, namun masing-masing etnis tetap menghargai satu sama lain. Itu sebab, identitas masyarakat Maluku Utara dianggap relatif tinggi jika dibandingkan dengan suku-suku pendatang, misalnya dibanding Bugis, Manado, atau Jawa. Lebih dari itu, Maluku Utara memiliki kesatuan orientasi sosial, ekonomi, dan budaya antar daerah dan propinsi lain.
Secara historis, Maluku Utara menerima migran dan beragam suku bangsa, seperti Melayu, Bugis, Jawa dan luar Maluku Utara. Migrasi yang terus-menerus baik secara spontan maupun lewat program (transmigrasi) menciptakan sebuah masyarakat yang kompleks. Perbedaan tingkahlaku, keperibadian, dan orientasi nilai budaya sering tertumpangi oleh kepentingan ekonomi politik, menimbulkan ketidakstabilan sosial.
Beragam dimensi kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, religi, dan politiknya semakin kehilangan fungsi koordinasinya terhadap pola dan arah perkembangan. Day (1996) mencatat perubahan dalam kepemimpinan, kelembagaan, dan organisasi-organisasi pertanian. Ekonomi uang menggantikan subsistensi dan ekonomi kelembagaan. Pengaruh paren (pengetua adat)
terdegradasi, dan digantikan oleh bentuk kepemimpinan baru (agama, pemerintah, ekonomi). Kelembagaan jojobo (gotong-royong) dan organisasi-organisasi bekerja
dengan cara-cara baru. Kelembagaan jojobo yang berhubungan dengan tata guna
agraria kehilangan fungsi. Pola tinggal menetap yang terpencar memberi jalan yang mudah bagi pengaruh-pengaruh luar menerobos masuk ke dalam komunitas.
Perkembangan zaman memaksa komunitas-komunitas di Maluku Utara kembali hubungan mereka dengan alam. Pemusatan fasilitas umum seperti
(47)
23 pendidikan dan kesehatan misalnya, mendorong perubahan pola tinggal menetap berhubungan dengan pendidikan bagi anak-anak mereka. Mereka mendekati tepi pantai atau kota-kota kecil dimana pembangunan dan modernitas terpusat. Ekonomi perladangan menciut dengan memutus sebagian mata rantai siklus perladangan. Intensifikasi relatif atas lahan menurunkan tingkat kesuburan, lebih jauh menurunkan produktifitas.
Budaya politik nasional (sentralisme, otoritarianisme) menghadang evolusi sosiobudaya pada masyarakat perladangan di Maluku Utara, oleh perencanaan pengembangan pertanian yang lebih didasari “politik panglima” (Dove, 1980). Sekalipun elementer, dan mencakup bagian terluas dari sistem ekologi di Indonesia, pengetahuan tentang ekologi perladangan sangat kurang, dan jika tersedia perladangan biasanya diungkapkan secara negatif, antara lain karena dianggap tidak ada hubungan dengan pertumbuhan usaha pedesaan dan sangat sedikit produksi yang mempunyai arti bagi perdagangan (Geertz, 1975).”Sistem pertanian perladangan lebih sering disalahmengerti (Mubyarto. 1989) dengan kesan-kesan yang bias budaya sawah-sentris (Dove, 1988). Jarang sekali dipertimbangkan sistem perladangan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat peladang (Ukur, 1992). Dalam hal industrialisasi di sektor kehutanan, segi-segi ekonomi dan kelestarian lingkungan hutan lebih ditonjolkan ketimbang manusia dan kebudayaannya (Gunawan dkk., 1998). Hak-hak asal usul (ulayat) dikesampingkan sambil memberi jalan bagi pemodal mengeksploitasi sumber-sumber alam yang tersedia di lingkungan hutan dan alam. Ketika isu-su lingkungan hidup mengemuka, para peladang selalu menjadi pihak yang hampir selalu dipersalahkan (Djuweng, 1998).
Ekonomi perladangan mempunyai ciri-ciri yang khas dengan peluang lebih terbuka bagi perkembangan tanaman perdagangan seperti kelapa, lada, pala, kopi, dan cengkeh, yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Tetapi perkembangan ekonomi perladangan terjerat dalam jebakan sistem ekonomi dualistik yang sering tidak dimengerti. Karena itu pemindahan penduduk ke Maluku Utara melalui program-program kependudukan seperti transmigrasi mendasari berkembangnya isu-isu pemindahan kemiskinan (Mubyarto, 1992).
(48)
24
Pemerintah nasional berkeinginan mengubah pola perladangan menjadi pola kehidupan yang sesuai dengan pola pertanian yang dikenal oleh pemerintah pusat; pemerintah berkepentingan menghalangi penggarapan tanah hutan tropik di dalam sistem perladangan. Sistem perladangan berhasil baik dan sesuai dengan pertimbangan mengenai lingkungan, sebaliknya pemerintah salah paham dan percaya sistem perladangan merupakan pendayagunaan yang membahayakan lingkungan, yang merupakan alasan utama bagi pelaksanaan program pengendalian perladangan (Dove, 1988).
Harapan bagi pendayagunaan yang lebih intensif atas hutan tropika juga dipakai sebagai dasar program pengendalian lingkungan. Intensifikasi tanah memang diperlukan oleh kepentingan negara yang menghadapi masalah pertumbuhan dan ketidakmerataan penduduk. Dalam sistem perladangan, peningkatan per unit area berbeda dengan peningkatan per unit tenaga. Yang pertama cenderung dinilai sangat tinggi dalam sistem pertanian intensif, di mana tanah sudah menjadi langka, tenaga semakin langka, dan permodalan sudah ditingkatkan;yang terakhir selalu lebih penting bagi sifat-sistem yang ekstensif dimana tanah masih banyak sedangkan tenaga kerja yang sedikit. Karena sistem yang terakhir ini lebih menghemat tenaga kerja sedangkan yang pertama lebih menghemat tanah,yang terakhir ini dapat menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi per unit tenaga kerja meskipun menghasilkan produktifitas yang lebih rendah per unit tanah. Akibatnya rata-rata peladang menggunakan alasan ekonomis dengan perhitungan-perhitungan yang paling tepat untuk menolak ajakan pemerintah mengembangkan sistem perladangan ekstensif diubah menjadi sistem perladangan intensif (Dove, 1988).
Perubahan lingkungan hidup fisik, perubahan dalam jumlah serta komposisi penduduk, dan perubahan dalam cara-cara berproduksi (teknologi) merupakan faktor penting yang mendorong perubahan sosial budaya. Perubahan sosial budaya ini akan semakin tajam apabila perubahan faktor ekologi terjadi karena tekanan-tekanan luar (external pressure) yang tidak dapat ditolerir oleh
masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ekologi yang diterima dan kemudian terintegrasi ke dalam suatu sistem sosial budaya akan merupakan suatu inovasi, apabila unsur-unsur perubahan itu berperan sebagai faktor dinamik dalam
(49)
25 kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya yang terjadi adalah penolakan apabila perubahan-perubahan bertentangan dengan pola budaya yang sudah ada atau dianggap akan mengakibatkan perubahan yang mendasar, baik yang berkenaan dengan pandangan hidup atau nilai-nilai budaya atau struktur sosial yang ada. Dengan demikian, perubahan itu tidak akan berfungsi sebagai faktor dinamis, melainkan sebagai faktor yang mendorong terjadinya perusakan atau peruntuhan diri. Perusakan-diri antara lain ditandai oleh terjadinya kerancuan dan kekacauan sosial yang pada akhirnya dapat membawa masyarakat itu kehilangan etos dan identitas diri (Pelly, 1991).
2.6 Kerangka Pemikiran
Pendekatan modernization Theory merupakan kebijakan pemerintah sebagai upaya mengeluarkan masyarakat pedesaan dari keterbelakangan sosial ekonomi di perkenalkan sebagai nilai-nilai modern seperti halnya teknologi keahlian dan modal. Industrialisasi, ekspansi modal yang merupakan bagian dari modernisasi adalah merupakan salah satu faktor pendorong yang akan mentransformasikan secara cepat tertinggal, atau ketertinggalan tradisi dalam suatu komunitas pedesaan. Nilai-nilai modernisasi yang didukung oleh program kebijakan pemerintah membawa perubahan terhadap memudarnya kelembagaan lokal di pedesaan sebagai nilai sosial masyarakatnya.
Kehidupan masyarakat pedesaan di Indonesia umumnya memiliki kelembagaan-kelembagaan lokal yang dibutuhkan dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial ekonomi dan upaya untuk mengatasi beratnya suatu pekerjaan. Kehidupan masyarakat pedesaan sebelum modernisasi tampak dari menguatnya kelembagaan-kelembagaan lokal yang mempunyai peran strategis sebagai norma-norma yang mengatur tentang pola dan semangat hidup yang berlandaskan gotong royong atau kerja sama, kebersamaan dalam usaha pemenuhan dan menyelesaikan masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapinya.
Kelembagaan merupakan tatanan norma-norma dan tingkah laku yang berlaku untuk mencapai tujuan kolektif yang dijadikan nilai bersama. Aturan di dalam suatu kelompok masyarakat atau organisasi yang memfasilitasi koordinasi antar anggota untuk membantunya dengan harapan di mana setiap orang dapat
(50)
26
bekerjasama atau berhubungan satu dengan yang lain untuk mencapai tujuan bersama yang di inginkan (Ruttan dan Hayami, 1984). Kelembagaan lokal ini memperlihatkan bahwa adanya distribusi dalam bentuk kerjasama dalam suatu kelompok masyarakat. Polanyi membagi kegiatan distribusi dalam 3 (tiga) bentuk, yaitu: 1) resiprositas, 2) redistribusi, dan 3) pertukaran pasar.
1. Resiprositas dalam arti harfiah adalah timbal balik, dalam antropologi ekonomi kegiatan resiprositas berarti pertukaran barang dan jasa yang kira-kira sama nilainya antara dua pihak. Resiprositas dibagi menjadi 3 (tiga) bentuk, yaitu: (a). Resiprositas umum: kegiatan tukar menukar barang dan jasa, dimana pemberi maupun penerima tidak menentukan secara spesifik nilai barang atau waktu penyerahannya: contoh kegiatan ekonomi yang bersifat altruis dimana hanya berorientasi pada kesejahteraan orang banyak. Seperti yang terjadi di kalangan suku-suku pribumi Australia, saat mendapatkan hewan buruan, daging hewan tersebut dibagi-bagikan kepada keluarga terdekat, namun bagian yang tidak enak seperti limpa atau darah ditahan untuk pemburu. (b). Resiprositas berimbang kegiatan tukar menukar barang dan jasa dimana pemberi maupun penerima menentukan dengan pasti nilai barang yang terlibat dan waktu penyerahannya. (c). Resiprositas negatif: Kegiatan tukar menukar barang dan jasa dimana salah satu pihak ingin mengambil keuntungan dari pihak lain dengan cara apapun. Contoh: dalam budaya Indian Navajo menipu pada waktu barter dengan orang asing secara moral dapat diterima.
2. Redistribusi: bentuk kegiatan ekonomi dimana barang-barang masuk dalam satu tempat pusat kemudian didistribusikan lagi. Contoh: pajak di Indonesia dan beberapa negara lain. Masyarakat diwajibkan membayar pajak pada pemerintah, setelah uang hasil pajak terkumpul maka pemerintah akan membagikan lagi ke rakyat dalam bentuk pembangunan fasilitas-fasilitas umum yang lebih memadai, atau contoh di Amerika Serikat dimana pajak yang terkumpul dipakai untuk mendanai perusahaan international asal Amerika yang hampir bangkrut. Ketiga, Barter: adalah kegiatan tukar-menukar barang yang digolongkan dalam salah satu bentuk resiprositas negatif, karena di dalamnya tidak ada bentuk resiprositas umum atau
(51)
27 berimbang murni. Dalam barter terdapat penilaian relatif pada suatu barang yang akan dipertukarkan, dimana barang langka yang dihasilkan oleh suatu kelompok dipertukarkan dengan barang yang dihasilkan oleh kelompok lain.
Ketidakpastian dan kerentanan merupakan masalah yang dihadapi oleh setiap orang sepanjang hidupnya. Setiap orang dan kelompok masyarakat memiliki persepsi dan cara sendiri tentang bagaimana ketidakpastian dan kerentanan hidup harus ditangani dan dipecahkan. Setiap orang atau masyarakat senantiasa sedang menjalankan dan terus menerus mengembangkan mekanisme atau sistem-sistem sosial untuk mengatasi ketidakpastian dan kerentanan itu melalui hubungan-hubungan yang dibangun, lembaga-lembaga, dan keyakinan-keyakinan budaya tertentu.
Semua hubungan, lembaga dan keyakinan yang sudah terbentuk secara sosial itu menjalankan fungsi tertentu sebagai jaminan dari segi sosial, ekonomis, dan psikologis bagi seseorang. Itu berarti bahwa setiap orang dan masyarakat senantiasa memiliki suatu sistem jaminan sosial tertentu. Jika dilihat dengan cara demikian, jaminan sosial tidak saja menjadi persoalan budaya, sosial, ekonomi, hukum, dan politik yang sangat penting, tetapi juga merupakan aspek yang tak terpisahkan dari kompleksitas perubahan masyarakat yang dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakatnya (Von Benda, 2000).
Penelitian berkaitan dengan jojobo sebagai suatu lembaga sosial ekonomi
masyarakat petani perladangan di Maluku Utara, berdasarkan kerangka penelitian dipergunakan konsep perbedayaan ekonomi melalui penguatan kelembagaan lokal, yaitu sebagai berikut :
1. Kelembagaan sosial berkaitan dengan nilai bersama yang mengatur perilaku individu dalam suatu masyarakat atau kelompok. Kelembagaan lokal memiliki norma informal bersifat instan yang mengembangkan kerjasama dua orang atau lebih. Norma merupakan modal sosial yang dapat disusun dari norma resiprositas antar manusia. Norma sosial ini menentukan perilaku bersama dalam suatu kelompok individu sebagai prinsip keadilan yang mengarahkan perilaku tidak mementingkan diri sendiri. (Polanyi, 1957).
(52)
28
2. Pemenuhan kebutuhan dalam komunitas merupakan sistem dari saluran komunikasi (system of communication channel) untuk melindungi dan
mengembangkan hubungan interpersonal. Redistribusi ini merupakan gerakan appropriasi yang bergerak ke arah pusat kemudian dari pusat didistribusikan kembali ke bawah (Polanyi, 1957), dalam kaitannya pemenuhan kebutuhan komunitas diarahkan pada keberadaan kelembagaan lokal yang mampu meredistrubsi kemampuan yang dimiliki komunitas masyarakat yang kemudian didistribusikan kembali kepada para anggota komunitas masyarakat.
3. Solidaritas sosial merupakan penyediaan arahan bagi terbentuknya kerjasama dan koordinasi sosial dari semua aktivitas sehingga setiap individu dapat hidup bersama dan berinteraksi dengan lainnya. Kelembagaan sosial yang bersifat lokal dan tradisional memuat berbagai model mekanisme yang mewajibkan individu, kelompok dan komunitas memberi bantuan kepada orang lain yang membutuhkan. Di dalamnya terdapat mekanisme pengembangan model-model saling membantu demi kesejahteraan bersama sebagai kelompok sosial (Von Benda, 2000).
Pemberdayaan masyarakat menyangkut kelompok masyarakat sebagai pemberdayaan kelembagaan jojobo bertumpu pada nilai-nilai jojobo dengan
berbasis nilai akan dapat memenuhi kebutuhan sosial ekonomi. Jojobo sebagai
kelembagaan merupakan wadah dalam kelompok masyarakat yang memfasilitasi koordinasi kerjasama dalam mencapai kesejahteraan bersama. Jojobo sebagai
kelembagaan sosial ekonomi berkaitan dengan kebersamaan yang ditampilkan dalam bentuk perilaku dalam menetapkan suatu keputusan berdasarkan kesepakatan bersama. Jojobo sebagai alat pemenuhan kebutuhan dalam
kelembagaan sosial merupakan alat komunikasi dalam mempertahankan dan mengembangkan kekuatan komunitas dalam mencapai tujuan bersama yaitu pemenuhan kebutuhan para anggotanya.
Kelembagaan jojobo dapat menjadi alat untuk mengukur solidaritas sosial
dan juga dapat menjadi instrumen interaksi antar komunitas dalam bekerjasama untuk memperoleh keuntungan bersama. Dengan kata lain, jojobo juga merupakan disementasi sosial yang dapat merekatkan kepentingan sosial bersama antar
(53)
29 individu dan kelompok-kelompok yang terdapat di dalam masyarakat di kecamatan Jailolo Selatan, Halmahera Barat. Artinya, tinggi rendahnya solidaritas sosial, resiprositas sosial dan ikatan-ikatan sosial lainnya dalam masyarakat dapat dilihat dalam tebal-tipisnya semanagat jojobo dijalankan oleh masyarakat.
2.7 Hipotesis Pengarah
Berdasarkan yang telah di uraikan dalam latar belakang dan perumusan masalah, tujuan penelitian maka disusun hipotesis yang merupakan arahan bagi pengembangan metode pnelitian dan analisis data. Hipotesis penelitian yang di maksud berkaitan dengan keberadaan kelembagaan sosial Jojobo sebagai modal sosial komunitas petani perladangan merupakan wadah dalam memfasilitasi koordinasi kerjasama dalam mencapai kesejahteraan bersama, maka ditetapkan hipotesis pengarah yaitu:
(1). Pemberdayaan kelembagaan jojobo yang bertumpu pada nilai-nilai jojobo
akan berdampak memenuhi kebutuhan sosial ekonomi komunitas petani perladangan;
(2). Pemberdayaan kelembagaan jojobo akan dapat memperkuat solidaritas
yang ada.
(54)
30
(55)
31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menerapkan pendekatan studi kualitatif yang dipandang relevan karena bertujuan memahami fenomena aktivitas keberadaan kelembagaan sosial ekonomi petani peladang di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat merupakan studi kasus yang diteliti dalam penelitian ini. Penggunaan metode kualitatif dilakukan untuk mengungkapkan berbagai fenomena sosial ekonomi berupa penerapan modal sosial lokal yaitu keberadaannya kelembagaan sosial ekonomi pada komunitas masyarakat lokal dalam melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakatnya.
Penelitian kualitatif yang dilakukan dalam penelitian ini yakni untuk menggambarkan, menggali secara mendetail dan menjabarkan realitas aktivitas petani peladangan dalam suatu komunitas masyarakat lokal, serta bekerjanya
Jojobo sebagai kelembagaan sosial ekonomi di Maluku Utara khususnya pada studi komunitas petani peladang di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dengan menggunakan data deskriptif berupa hasil pengambilan data di lapangan yang menghasilkan dalam bentuk kata-kata baik tertulis maupun lisan dan perilaku dari narasumber yang diteliti. Sumber data dalam penelitian ini yakni masyarakat desa di Maluku Utara, di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat yang terlibat langsung dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat dengan menggali data dan informasi sebanyak-banyaknya agar dapat membantu peneliti dalam melakukan analisis dalam penelitian ini.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian yang difokuskan pada kelembagaan jojobo sebagai kelembagaan
ekonomi dalam aktivitas petani peladang yang berada di lokasi Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat Propinsi Maluku Utara. Keberadaan lembaga sosial ekonomi Jojobo sebagai nilai sosial lokal dan sebagai kelembagaan ekonomi masyarakat dimiliki oleh komunitas petani peladang yang merupakan masyarakat setempat di Kecamatan Jailolo Selatan. Penelitian ini mempergunakan
(56)
32
waktu selama 3 (tiga) bulan mulai dari kegiatan persiapan penelitian, penyusunan pengajuan penelitian, pengumpulan data dan pelaporan hasil penelitian.
3.3 Metode Penentuan Subjek dan Informan
Penelitian ini menggunakan penentuan responden secara non probability sampling dengan menerapkan metode snowball sampling. Metode ini merupakan
prosedur penentuan responden berdasarkan informasi yang diperoleh dari responden sebelumnya (Arikunto, 1995). Teknik Snowball Sampling yang dipilih dalam menentukan subjek yakni dengan menentukan beberapa responden awal, yang kemudian akan terus berlangsung hingga memperoleh informasi dari subjek satu dengan yang lain mempunyai kesamaan sehingga tidak ada data yang baru. sedangkan, penentuan informan penelitian menggunakan metode purposive sampling yakni menentukan informan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang mendalam terhadap permasalahan yang diteliti, dan dapat memberikan informasi yang valid.
Subjek dalam penelitian ini dipergunakan unsur masyarakat yang terdiri dari Ketua Adat, ketua Masyarakat dan Pelaku Jojobo. Adapun informan yang dipilih yaitu unsur pemerintah daerah berjumlah 2 orang yaitu Kepala BPMD (Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa), dan Kepala Bidang Pemerintahan Desa.
1. Tabel 3.1 Daftar Nara Sumber/ Informan Utama
No. Nara
Sumber/Informan
Posisi Jabatan/Profesi
Data dan Informasi Pokok
1. Bapak MB dan F Kepala Badan dan Kepala Bidang 1. Gambaran umum wilayah penelitian
2. Program-program Pemerintah dan partisipasi Warga
3. Mekanisme aktivitas Kelembagaan
2. Bapak MHA, SKK, B,M J, J, MS, D. Ibu AA
Ketua/Tokoh Masyarakat 1. Sejarah komunitas. 2. Partisipasi masyarakat 3. Bentuk-bentuk Solidaritas 3. BHA, HM, DHY, A S, I,
Bu SHR, SM Ketua Adat 1. Nilai-nilai sosial
Jojobo
2. Interaksi Antar Individu dalam komunitas Jojobo
3. Kekuatan sosial dalam Jojobo
4. Bapak BHA, AA, H S, SH, A, SY, HAHA, W, S, M, NHS, YHH, F, M, Y, IHB, S, I. Ibu Muna M, MY, SY. N, H, N, AHB, M
Peladang/Pelaku Jojobo Usaha dan bekerja berladang, mencari hasil hutan, berdagang dan berasosialisasi pada kegiatan Jojobo
(57)
33
3.4 Metode Pengumpulan Data
Dalam pelaksanaan penelitian ini untuk memperoleh data penelitian maka peneliti menggunakan tiga cara dalam pengumpulan data yakni, dengan cara pengamatan langsung, wawancara mendalam (indepth interview) dan studi literature/dokumentasi.
1. Pengamatan langsung. Dengan metode ini peneliti hendak melihat fakta-fakta lapangan secara langsung, terutama dalam mendalami persoalan bagimana penerapan penghayatan nilai-nilai Jojobo dalam masyarakat. Dengan cara ini peneliti hendak menangkap perlilaku, sikap dan manifestasi lain dari nilai Jojobo dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
2. Wawancara Mendalam (indepth interview). Dengan metode ini peneliti hendak mendalami beberapa tema dan topik khusus dengan orang-orang yang termasuk sebgai key informan yang telah dipilih berdasarkan prinsip-prinsip trianggulasi
agar di hasilkan data yang spesifik dan menyeluruh dalam satu topik tertentu, khususnya untuk menjawab rumusan masalah utama penelitian. Dalam melakukan wawancara mendalam kepada tokoh dan informan kunci di lapangan, digunakan dan mengacu pada panduan wawancara yangtelah dipersiapkan menurut tema atau topik kajian.
3. Studi literatur dan dokmentasi. Dengan metode ini peneliti berusaha menelusuri dan mendalami beragam referensi (buku, jurnal, artikel, dsb), hasli penelitian sebelumnya, serta dokumen-dokumen tertulis baik melalui dinas-dinas pemerintah yang terkait maupun dokumen-dokumen yang dimiliki oleh masyarakat sendiri, yang berhubungan dan mendukung tema kajian. Dengan demikian, peneliti dapat memiliki data sekunder dan informasi awal yang luas guna mendalami di lapangan.
(58)
34
Berikut ditampilkan tabel teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 3.2 Penentuan Responden (Subjek dan Informan)
No Tujuan
Penelitian Data
Sumber Data
Teknik Pengumpulan
Data 1 Mengkaji bentuk
penerapan nilai-nilai Jojobo dalam aktivitas ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat
1. Gambaran umum
wilayah penelitian 2. Karakteristik
demografi
3. Mekanisme aktivitas kelembagaan ekonomi Jojobo 4. Ragam bentuk
aktivitas kelembagaan ekonomi Jojobo
1. Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat 2. Pemerintah Kabupaten Halmahera Barat 3.Ketua adat, tokoh
masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian 4.Ketua adat, tokoh
masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian
1.Data Sekunder 2.Data Sekunder 3.Observasi dan
Wawancara mendalam 4.Wawancara
mendalam
2 Menganalisis upaya pemberdayaan kelembagaan Jojobo dan dampaknya dalam memenuhi kebutuhan ekonomi produktif komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat
1. Nilai-nilai sosial ekonomi dalam kelembagaan Jojobo 2. Interaksi antar
anggota komunitas dalam kelembagaan Jojobo
3. Kekuatan sosial ekonomi dalam kelembagaan Jojobo
1.Ketua adat, dan
tokoh masyarakat di lokasi penelitian 2.Ketua adat, tokoh
masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian 3.Ketua adat, tokoh
masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian 4.Ketua adat, tokoh
masyarakat dan pelaku Jojobo di lokasi penelitian 1.Wawancara mendalam 2.Wawancara mendalam 3.Wawancara mendalam 4.Wawancara mendalam 5.Wawancara mendalam
3 Menganalisis dampak kelembagaan Jojobo bagi solidaritas kerjasama antar warga masyarakat desa dalam memenuhi kebutuhan sosial ekonominya.
1. Penerapan unsur-unsur saling membantu pada aktivitas kelembagaan Jojobo
2 Partisipasi masyarakat dalam kelembagaan Jojobo
3. Bentuk solidaritas dalam penerapan aktivitas ekonomi kelembagaan Jojobo
1.Ketua adat, tokoh masyarakat, pelaku Jojobo, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), 2.Ketua adat, tokoh
masyarakat, pelaku Jojobo, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD), 3.Ketua adat, tokoh
masyarakat, pelaku Jojobo, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD),
1.Hasil Analisis dan Wawancara mendalam 2.Hasil Analisis
dan Wawancara mendalam 3.Hasil Analisis
dan Wawancara mendalam
(1)
Gambar
Pusat Kebudayaan Maluku Utara
Gambar
(2)
Gambar
Penanaman bersama antara anggota Komunitas Jojobo
Gambar
(3)
Gambar
Hasil Pertanian Petani Perladangan di kec. Jailolo Selatan
Gambar
(4)
Gambar
(5)
(6)
Gambar