Upaya Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo

67

BAB VI PEMBERDAYAAN KELEMBAGAAN

JOJOBO

6.1 Upaya Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo

Peran serta masyarakat dalam meningkat efektivitas dalam memenuhi setiap kebutuhan dalam suatu komunitas masyarakat, maka sebenarnya upaya pemberdayaan masyarakat telah dijalankan. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan produktifitas melalui pengembangan sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan penguatan kelembagaan serta perbaikan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial. Upaya ini memerlukan adanya kerjasama yang sinergis dari berbagai kekuatan yang ada. Upaya penguatan kelembagaan sosial ekonomi yang berada dalam suatu komunitas masyarakat dapat dilakukan dengan usaha-usaha mempertahankan keberadaannya dalam bentuk penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan tersebut. Penguatan kelembagaan sosial ekonomi ini telah dilakukan pula oleh sebagian kelompok masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan dengan berbagai upaya termasuk penguatan nilai-nilai yang terkandung dalam kelembagaan Jojobo. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mempertahankan Jojobo oleh sebagian komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dilakukan dengan cara sering melakukan silatuhrahmi antar warga dan selalu memberikan dukungan dan bantuan satu sama lain. 11 Masih adanya kelembagaan sosial ekonomi pedesaan Jojobo mampu memberikan kekuatan bagi petani perladangan posisi tawar yang tinggi. Kelembagaan Jojobo dalam hal ini memberikan jawaban atas permasalahan pemenuhan kebutuhan komunitas petani perladangan yang membutuhkan bantuan satu sama lain. Penguatan posisi tawar petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu kebutuhan yang sangat mendesak dan mutlak diperlukan terutama bagi komunitas petani perladangan, agar mereka mampu secara berkelanjutan dalam melaksanakan kegiatan usahataninya dan juga dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidupnya. 11 Hasil wawancara dengan Bpk Abu Bakar, petani di kecamatan Jailolo Selatan, 10 Agustus 2011. 68 Diantara usaha untuk tetap mempertahankan dan penguatan nilai-nilai kelembagaan Jojobo dilakukan dengan usaha yang dilakukan adalah sifat gotong royong dan toleransi tetap di pertahankan, saling mendukung antara warga dalam usahanya dengan melihat kondisi yang ada di Jailolo Selatan sebagian besar mata pencariannya adalah nelayan dan bertani. Dari hasil nelayan dan petani dibuat satu kesepakatan sebagian keuntungan harus disisipkan sesuai dengan besaran jumlah yang telah disepakati dan dimasukan dalam bentuk Jojobo. 12 Pengembangan masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan melalui kelembagaan Jojobo merupakan suatu upaya pemberdayaan terencana yang dilakukan secara sadar dan sungguh-sungguh melalui usaha bersama petani untuk memperbaiki keragaman sistem perekonomian pada komunitas masyarakat petani perladangan. Arah pemberdayaan petani perladangan akan disesuaikan dengan kesepakatan yang telah dirumuskan bersama. Dengan partisipasi yang tinggi terhadap kelembagaan Jojobo, diharapkan rasa ikut memiliki dari masyarakat atas semua kegiatan kelembagaan Jojobo yang dilaksanakan akan juga tinggi. Petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan, jika kegiatan usaha pertaniannya dilakukan secara individu, maka akan terus berada di pihak yang lemah karena petani perladangan yang dilakukan secara individu akan mengelola usaha tani dengan luas garapan kecil dan terpencar serta kepemilikan modal yang rendah. Sehingga, perlu memperhatikan penguatan kelembagaan Jojobo karena dengan berkelompok maka petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan tersebut akan lebih kuat, baik dari segi kelembagaannya maupun permodalannya. Kelembagaan petani di desa umumnya tidak berjalan dengan baik ini disebabkan Zuraida dan Rizal, 1993; Agustian, dkk, 2003; Syahyuti, 2003; Purwanto, dkk, 2007 karena beberapa hal: Pertama, Kelompok tani pada umumnya dibentuk berdasarkan kepentingan teknis untuk memudahkan pengkoordinasian apabila ada kegiatan atau program pemerintah, sehingga lebih bersifat orientasi program, dan kurang menjamin kemandirian kelompok dan keberlanjutan kelompok. Kedua, Partisipasi dan kekompakan anggota kelompok dalam kegiatan kelompok masih relatif rendah, ini tercermin dari tingkat 12 Hasil wawancara dengan Ibu Maria Yahya, tokoh masyarakat di Jailolo Selatan, 20 september 2011. 69 kehadiran anggota dalam pertemuan kelompok rendah hanya mencapai 50. Ketiga , Pengelolaan kegiatan produktif anggota kelompok bersifat individu. Kelompok sebagai forum kegiatan bersama belum mampu menjadi wadah pemersatu kegiatan anggota dan pengikat kebutuhan anggota secara bersama, sehingga kegiatan produktif individu lebih menonjol. Kegiatan atau usaha produktif anggota kelompok dihadapkan pada masalah kesulitan permodalan, ketidakstabilan harga dan jalur pemasaran yang terbatas. Keempat, Pembentukan dan pengembangan kelembagaan tidak menggunakan basis sosial capital setempat dengan prinsip kemandirian lokal, yang dicapai melalui prinsip keotonomian dan pemberdayaan. Kelima, Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan konsep cetak biru blue print approach yang seragam. Introduksi kelembagaan dari luar kurang memperhatikan struktur dan jaringan kelembagaan lokal yang telah ada, serta kekhasan ekonomi, sosial, dan politik yang berjalan. Keenam , Pembentukan dan pengembangan kelembagaan berdasarkan pendekatan yang top down, menyebabkan tidak tumbuhnya partisipasi masyarakat. Ketujuh, Kelembagaan-kelembagaan yang dibangun terbatas hanya untuk memperkuat ikatan horizontal, bukan ikatan vertikal. Anggota suatu kelembagaan terdiri atas orang-orang dengan jenis aktivitas yang sama. Tujuannya agar terjalin kerjasama yang pada tahap selanjutnya diharapkan daya tawar mereka meningkat. Untuk ikatan vertikal diserahkan kepada mekanisme pasar, dimana otoritas pemerintah sulit menjangkaunya. Kedelapan, Meskipun kelembagaan sudah dibentuk, namun pembinaan yang dijalankan cenderung individual, yaitu hanya kepada pengurus. Pembinaan kepada kontaktani memang lebih murah, namun pendekatan ini tidak mengajarkan bagaimana meningkatkan kinerja kelompok misalnya, karena tidak ada sosial learning approach. Kesebilan, Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari pengembangan aspek kulturalnya. Struktural organisasi dibangun lebih dahulu, namun tidak diikuti oleh pengembangan aspek kulturalnya. Sikap berorganisasi belum tumbuh pada diri pengurus dan anggotanya, meskipun wadahnya sudah tersedia. Kondisi komunitas masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan relatif sama dengan kondisi petani perladangan pada umumnya. Namun keberadaan kelembagaan Jojobo dapat mengatasi permasalahan-permasalahan 70 yang dialami oleh petani perladangan yang menerapkan kelembagaan Jojobo. Permasalahan yang dihadapi petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan pada umumnya adalah lemah dalam hal permodalan. Akibatnya tingkat penggunaan saprodi rendah, inefisien skala usaha karena umumnya berlahan sempit, dan karena terdesak masalah keuangan posisi tawar ketika panen lemah. Selain itu produk yang dihasilkan petani perladangan relatif berkualitas rendah, karena umumnya budaya petani perladangan di pedesaan dalam melakukan praktek pertanian masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan keluarga subsisten, dan belum berorientasi pasar. Selain masalah internal petani perladangan tersebut, ketersediaan faktor pendukung seperti infrastruktur, lembaga ekonomi pedesaan, intensitas penyuluhan, dan kebijakan pemerintah sangat diperlukan, guna mendorong usahatani dan meningkatkan akses petani terhadap pasar Saragih, 2002. Pemberdayaan masyarakat petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat dapat dilakukan dengan adanya aktivitas kelembagaan Jojobo. Peran serta masyarakat yang meningkat efektivitasnya, sebenarnya merupakan upaya pemberdayaan masyarakat yang telah dijalankan. Upaya pemberdayaan masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan efisiensi dan produktifitas melalui pengembangan sumberdaya manusia, penguasaan teknologi dan penguatan kelembagaan serta perbaikan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial. Sehingga penguatan keberadaan kelembagaan Jojobo dapat dilakukan dengan dukungan upaya yang memerlukan adanya kerjasama yang sinergis dari berbagai kekuatan pembangunan yang ada. Tipe masyarakat komunal merupakan ciri yang universal ketika ketergantungan antar penduduk tinggi, dan campur tangan pihak luar rendah sekali. Salah satu cirinya adalah pemilik sumberdaya secara bersama dan disdistribusi manfaatnya juga bersama-sama. Pada tatanan masyarakat komunal yang sehat, setiap pengambilan keputusan yang penting dilakukan melalui musyawarah dengan menjunjung tinggi kebersamaan solidaritas. Pada masa sebelum campur tangan pemerintah secara intensif, yaitu lebih tegasnya lagi kira- kira masa sebelum “era pembangunan”, maka kelembagaan yang hidup di masyarakat pedesaan umumnya merupakan kelembagaan yang dibangun sendiri 71 oleh masyarakat sepeti halnya kelembagaan Jojobo. Mereka sendiri yang memutuskan untuk membentuk kelembagaan yang dibutuhkan mencakup didalamnya bentuk atau strukturnya, mekanismenya pemilihan anggotanya, pola kepemimpinannya, aturan main rule of the game serta sangsi-sangsinya. Kelembagaan Jojobo memiliki kriteria dalam pemilihan anggotanya. Faktor- faktor yang menentukan calon peserta dalam kelembagaan Jojobo pada komunitas petani perladangan di Kecamatan Jailolo Selatan Halmahera Barat, diantaranya adalah 1 Harus mempunyai ikatan hubungan keluarga, 2 Dapat dipercaya dan mampu mengikuti aturan-aturan yang telah disepakati bersama. 3 Mempunyai usaha dan pekerja keras. Selain itu peserta kelembagaan Jojobo diharuskan memiliki ikatan keluarga atau kekerabatan, memiliki penghasilan, dan harus patuh pada aturan-aturan yang telah disepakati bersama. Faktor yang menentukan untuk menjadi calon anggota Jojobo adalah 1 Harus adanya usaha sendiri, 2 Termasuk dalam komunitas dalam keluarga, 3 Harus patuh pada aturan-aturan yang telah disepakati dalam Jojobo. 13 Penjelasan di atas memperlihatkan bahwa hal yang berkaitan dengan aturan- aturan yang telah disepakati bersama ini merupakan norma yang berlaku dalam penyelenggaraan kelembagaan Jojobo. Setiap orang yang terlibat di dalam kelembagaan Jojobo diikat oleh suatu pola nilai dan norma sebagai pedoman bersikap dan berperilaku, yang dimantapkan kemudian dengan adanya struktur yang baku. Struktur merupakan visualisasi dari siapa orang yang terlibat dan posisionalnya

6.2 Dampak Pemberdayaan Kelembagaan Jojobo pada Pemenuhan