Ekologi Komunitas Petani perladangan

20 kesehatan, keuangan serta lembaga-lembaga pemenuh kebutuhan hidup lainnya. 5 Power over resources. Kekuasaan atas sumber daya, kemampuan memobilisasi sumber daya formal dan informal serta kemasyarakatan dalam memenuhi kebutuhan hidup. 6 Power over economic activity. Kekuasaan atas aktivitas ekonomi kemampuan memanfaatkan dan mengelola mekanisme produksi, distribusi serta pertukaran barang dan jasa. 7 Power over reproduction. Kekuasaan atas reproduksi, kemampuan dalam kaitannya dengan proses reproduksi dalam arti luas seperti pendidikan, sosialisasi, nilai dan prilaku bahkan kelahiran dan perawatan anak. Dalam pengetian ini maka pemberdayaan dan penguatan masyarakat beserta kelembagaan yang dimilikinya dapat diartikan sebagai tujuan dan proses sekaligus. Sebagai tujuan, pemberdayaan adalah suatu keadaan yang ingin dicapai, yakni masyarakat yang memiliki kekuatan atau kekuasaan dan keberdayaan yang mengarah pada kemandirian sesuai dengan tipe- tipe kekuasaan yang disebutkan sebelumnya. Dengan demikian maksud dan tujuan Pemberdayaan Kelembagaan Sosial Masyarakat adalah: 1 Untuk mewujudkan partisipasi sosial masyarakat melalui perorangan, lembaga-lembaga sosial masyarakat serta dunia usaha dalam melaksanakan usaha-usaha kesejahteraan sosial. 2 Mendelegasikan sebagian tugas kepada institusi sosial di daerah dalam menyusun rencana, melaksanakan dan mengendalikan pemberdayaan potensi dan sumber kesejahteraan sosial secara terukur dan akuntabel di daerahnya masing-masing. 3 Meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia, organisasi dan manajemen mitra-mitra kerja untuk mewujudkan pelayanan sosial yang profesional.

2.5 Ekologi Komunitas Petani perladangan

Maluku Utara memiliki ekosistem yang agak berbeda dengan pulau-pulau lain, seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi dan pulau-pulau lain di Indonesia. Aneka ciri-ciri fisik-geografis dan biologi curah hujan, kelembaban, kesuburan tanah, kerapatan vegetasi, topografi, struktur ruang, dan lain-lain berinteraksi sedemikian rupa dengan ciri-ciri sosial budaya penduduk, etnisitas, pola penempatan, kepercayaan, dan lain-lain dalam kurun waktu lama sehingga membentuk suatu sistem ekologi kebudayaan perladangan yang berbeda yaitu 21 sistem JICA dan Bappenas, 1998. Perspektif ini menggariskan norma-norma yang dapat menjawab pertanyaan mengenai ciri-ciri ekologi kebudayaan Maluku Utara. Daerah pantai umumnya tanah gambut dan hutan rendah, sementara daerah hulu berupa hutan hujan tropis. Struktur tanah di Maluku Utara memiliki pegunungan vulkanik yang secara berkala menyemburkan hara dan mineral ke dataran rendah . Formasi umum alivium, yakni berupa endapan sungai dan rawa, bersumber dari kwarsa, kerikil, dan bongkahan batu malihan, granit, dan kwarsa. Endapan aluvium rawa terutama terdiri dari lumpur hitam sampai keabu-abuan, tanah liat yang mengandung limonit dan di beberapa tempat lumpur pasir dan tanah liat mengandung lignit. Aluvium yang lebih tua terdiri dari kerikil dan bongkah batuan malihan dan granit, agak mengeras, terletak 40-50 meter di atas permukaan sungai sekarang. Ketebalan aluvium 5-10 meter dan terdapat sisa-sisa tanaman dan tumbuhan Miring, dkk. 1989. Pola perkampungan tertata dalam jarak yang saling berjauhan mengikuti alur DAS, dengan populasi relatif kecil, adakalanya hanya belasan kepala keluarga, tidak pernah berkembang melebihi daya dukung tanah Riwut, 1993. Jarak fisik dan geografis yang saling berjauhan membatasi interaksi sosial yang intensif antar kampung dan antar anak kampung. Kampung pada umumnya berjauhan satu sama lain, terpencar jauh. Letak rumah terpencar-pencar dan banyak ditemukan rumah betang. Kampung besar mempunyai beberapa anak kampung yang terpencil lebih jauh lagi ke pedalaman, yaitu di gunung, di lembah, di tepi sungai, di hutan-hutan dan pesisir laut. Untuk anak kampung yang di sungai-sungai ada yang jaraknya sampai 20-30 km dengan kampung besarnya, demikian pula untuk kampung yang terletak di hutan-hutan jaraknya sekitar 5-10 km dari kampung besarnya. Tidak jarang satu kampung terdiri dari tiga sampat lima kampung yang letaknya berjauhan Riwut, 1993. Ciri positif perladangan dari segi ekologi lebih berintegrasi ke dalam struktur umum ekosistem alami, sebelum perladangan itu direncanakan, dan jika sungguh-sungguh adaptif lebih baik mempertahankan struktur itu daripada menciptakan dan melanjutkan ekosistem yang disusun menurut garis-garis baru dan dinamik-dinamik baru. Setiap bentuk pertanian merupakan usaha mengubah 22 ekosistem tertentu sehingga manusia dapat menaikkan arus energi ke manusia. Persawahan mencapai hal itu dengan cara mengolah kembali alam sekitar, sementara perladangan dengan cara meniru alam sekitar. Perladangan memilik ciri sistemik dengan meniru hutan tropis sebagai tingkat umum yang dicapainya. Ekosistem Maluku Utara didiami beragam suku bangsa dimana mayoritas adalah Suku-suku lokal. Masyarakatnya sebagian besar tinggal di pesisir pantai dan berkembang kebudayaan, alat-alat, dan bahasa yang berbeda di masing- masing tempat. Komunitas yang ada di Maluku Utara terdapat 28 sub etnis dan 29 bahasa. Meski terdapat pengelompokan sub etnis dan perbedaan bahasa, namun masing-masing etnis tetap menghargai satu sama lain. Itu sebab, identitas masyarakat Maluku Utara dianggap relatif tinggi jika dibandingkan dengan suku- suku pendatang, misalnya dibanding Bugis, Manado, atau Jawa. Lebih dari itu, Maluku Utara memiliki kesatuan orientasi sosial, ekonomi, dan budaya antar daerah dan propinsi lain. Secara historis, Maluku Utara menerima migran dan beragam suku bangsa, seperti Melayu, Bugis, Jawa dan luar Maluku Utara. Migrasi yang terus-menerus baik secara spontan maupun lewat program transmigrasi menciptakan sebuah masyarakat yang kompleks. Perbedaan tingkahlaku, keperibadian, dan orientasi nilai budaya sering tertumpangi oleh kepentingan ekonomi politik, menimbulkan ketidakstabilan sosial. Beragam dimensi kelembagaan sosial, ekonomi, budaya, religi, dan politiknya semakin kehilangan fungsi koordinasinya terhadap pola dan arah perkembangan. Day 1996 mencatat perubahan dalam kepemimpinan, kelembagaan, dan organisasi-organisasi pertanian. Ekonomi uang menggantikan subsistensi dan ekonomi kelembagaan. Pengaruh paren pengetua adat terdegradasi, dan digantikan oleh bentuk kepemimpinan baru agama, pemerintah, ekonomi. Kelembagaan jojobo gotong-royong dan organisasi-organisasi bekerja dengan cara-cara baru. Kelembagaan jojobo yang berhubungan dengan tata guna agraria kehilangan fungsi. Pola tinggal menetap yang terpencar memberi jalan yang mudah bagi pengaruh-pengaruh luar menerobos masuk ke dalam komunitas. Perkembangan zaman memaksa komunitas-komunitas di Maluku Utara kembali hubungan mereka dengan alam. Pemusatan fasilitas umum seperti 23 pendidikan dan kesehatan misalnya, mendorong perubahan pola tinggal menetap berhubungan dengan pendidikan bagi anak-anak mereka. Mereka mendekati tepi pantai atau kota-kota kecil dimana pembangunan dan modernitas terpusat. Ekonomi perladangan menciut dengan memutus sebagian mata rantai siklus perladangan. Intensifikasi relatif atas lahan menurunkan tingkat kesuburan, lebih jauh menurunkan produktifitas. Budaya politik nasional sentralisme, otoritarianisme menghadang evolusi sosiobudaya pada masyarakat perladangan di Maluku Utara, oleh perencanaan pengembangan pertanian yang lebih didasari “politik panglima” Dove, 1980. Sekalipun elementer, dan mencakup bagian terluas dari sistem ekologi di Indonesia, pengetahuan tentang ekologi perladangan sangat kurang, dan jika tersedia perladangan biasanya diungkapkan secara negatif, antara lain karena dianggap tidak ada hubungan dengan pertumbuhan usaha pedesaan dan sangat sedikit produksi yang mempunyai arti bagi perdagangan Geertz, 1975.”Sistem pertanian perladangan lebih sering disalahmengerti Mubyarto. 1989 dengan kesan-kesan yang bias budaya sawah-sentris Dove, 1988. Jarang sekali dipertimbangkan sistem perladangan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat peladang Ukur, 1992. Dalam hal industrialisasi di sektor kehutanan, segi-segi ekonomi dan kelestarian lingkungan hutan lebih ditonjolkan ketimbang manusia dan kebudayaannya Gunawan dkk., 1998. Hak-hak asal usul ulayat dikesampingkan sambil memberi jalan bagi pemodal mengeksploitasi sumber- sumber alam yang tersedia di lingkungan hutan dan alam. Ketika isu-su lingkungan hidup mengemuka, para peladang selalu menjadi pihak yang hampir selalu dipersalahkan Djuweng, 1998. Ekonomi perladangan mempunyai ciri-ciri yang khas dengan peluang lebih terbuka bagi perkembangan tanaman perdagangan seperti kelapa, lada, pala, kopi, dan cengkeh, yang tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Tetapi perkembangan ekonomi perladangan terjerat dalam jebakan sistem ekonomi dualistik yang sering tidak dimengerti. Karena itu pemindahan penduduk ke Maluku Utara melalui program-program kependudukan seperti transmigrasi mendasari berkembangnya isu-isu pemindahan kemiskinan Mubyarto, 1992. 24 Pemerintah nasional berkeinginan mengubah pola perladangan menjadi pola kehidupan yang sesuai dengan pola pertanian yang dikenal oleh pemerintah pusat; pemerintah berkepentingan menghalangi penggarapan tanah hutan tropik di dalam sistem perladangan. Sistem perladangan berhasil baik dan sesuai dengan pertimbangan mengenai lingkungan, sebaliknya pemerintah salah paham dan percaya sistem perladangan merupakan pendayagunaan yang membahayakan lingkungan, yang merupakan alasan utama bagi pelaksanaan program pengendalian perladangan Dove, 1988. Harapan bagi pendayagunaan yang lebih intensif atas hutan tropika juga dipakai sebagai dasar program pengendalian lingkungan. Intensifikasi tanah memang diperlukan oleh kepentingan negara yang menghadapi masalah pertumbuhan dan ketidakmerataan penduduk. Dalam sistem perladangan, peningkatan per unit area berbeda dengan peningkatan per unit tenaga. Yang pertama cenderung dinilai sangat tinggi dalam sistem pertanian intensif, di mana tanah sudah menjadi langka, tenaga semakin langka, dan permodalan sudah ditingkatkan;yang terakhir selalu lebih penting bagi sifat-sistem yang ekstensif dimana tanah masih banyak sedangkan tenaga kerja yang sedikit. Karena sistem yang terakhir ini lebih menghemat tenaga kerja sedangkan yang pertama lebih menghemat tanah,yang terakhir ini dapat menghasilkan produktifitas yang lebih tinggi per unit tenaga kerja meskipun menghasilkan produktifitas yang lebih rendah per unit tanah. Akibatnya rata-rata peladang menggunakan alasan ekonomis dengan perhitungan-perhitungan yang paling tepat untuk menolak ajakan pemerintah mengembangkan sistem perladangan ekstensif diubah menjadi sistem perladangan intensif Dove, 1988. Perubahan lingkungan hidup fisik, perubahan dalam jumlah serta komposisi penduduk, dan perubahan dalam cara-cara berproduksi teknologi merupakan faktor penting yang mendorong perubahan sosial budaya. Perubahan sosial budaya ini akan semakin tajam apabila perubahan faktor ekologi terjadi karena tekanan-tekanan luar external pressure yang tidak dapat ditolerir oleh masyarakat yang bersangkutan. Perubahan-perubahan ekologi yang diterima dan kemudian terintegrasi ke dalam suatu sistem sosial budaya akan merupakan suatu inovasi, apabila unsur-unsur perubahan itu berperan sebagai faktor dinamik dalam 25 kehidupan masyarakat yang bersangkutan. Sebaliknya yang terjadi adalah penolakan apabila perubahan-perubahan bertentangan dengan pola budaya yang sudah ada atau dianggap akan mengakibatkan perubahan yang mendasar, baik yang berkenaan dengan pandangan hidup atau nilai-nilai budaya atau struktur sosial yang ada. Dengan demikian, perubahan itu tidak akan berfungsi sebagai faktor dinamis, melainkan sebagai faktor yang mendorong terjadinya perusakan atau peruntuhan diri. Perusakan-diri antara lain ditandai oleh terjadinya kerancuan dan kekacauan sosial yang pada akhirnya dapat membawa masyarakat itu kehilangan etos dan identitas diri Pelly, 1991.

2.6 Kerangka Pemikiran