The Response of Smallholder Private Forest Bussines Actors About The Origin Certificate of Wood (Case Studies in Jugalajaya Village, Jasinga District, Bogor Regency, West Java).

(1)

RESPON PELAKU USAHA HUTAN RAKYAT

TERHADAP KEBIJAKAN

SURAT KETERANGAN ASAL USUL KAYU

(Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga,

Kabupaten Bogor)

IKHSAN ARIEF RIFA’I

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(2)

RINGKASAN

IKHSAN ARIEF RIFA’I. Respon Pelaku Usaha Hutan Rakyat Terhadap Kebijakan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor). Dibimbing oleh BRAMASTO NUGROHO.

Dalam rangka mendorong bergeraknya sektor kehutanan dengan dukungan ekonomi rakyat, diperlukan pengakuan, perlindungan dan tertib peredaran hasil hutan dari hutan hak atau lahan masyarakat atau kebun masyarakat oleh Kementerian Kehutanan RI mengenai Tata Usaha Kayu Rakyat yang diterbitkan melalui dokumen berupa Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU). SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang setara dengan Kepala Desa/Lurah di wilayah dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut dan bertujuan untuk memudahkan masyarakat dalam pengangkutan hasil hutan yang berasal dari hutan rakyat. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006, Nomor P.62/Menhut-II/2006 dan Nomor P.33/Menhut-II/2007.

Penelitian ini dilaksanakan di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor pada Bulan Mei – Juni 2011. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif. Data yang dikumpulkan berupa data primer yang terdiri dari data responden, proses adopsi implementasi kebijakan SKAU, respon masyarakat atau petani serta stakeholders

terkait terhadap implementasi kebijakan SKAU, dan permasalahan dalam pelaksanaan SKAU. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi umum fisik daerah penelitian dan potensi hutan rakyat.

Penilaian proses adopsi menggunakan teori Rogers dan Shoemaker (1971) yang menyebutkan bahwa proses-proses adopsi terdiri dari 5 tahap, yaitu : tahap sadar, tahap minat, tahap evaluasi, tahap percobaan, dan tahap adopsi. Sedangkan penilaian respon mengunakan teori Sajogyo dan Pudjiwati (2002) yang menyebutkan bahwa respon terbagi menjadi 3 macam yaitu : respon positif, respon negatif, dan respon netral. Respon yang ditunjukkan oleh petani terhadap SKAU adalah negatif, karena dari kelima tahapan adopsi, hanya tahap sadar, tahap minat, dan tahap evaluasi saja yang dilakukan oleh petani, sedangkan tahap percobaan dan tahap adopsi tidak dilakukan karena sistem penjualan kayu melalui tengkulak. Respon tengkulak/pengusaha kayu dan Pejabat Desa terhadap SKAU adalah netral, karena kelima tahapan adopsi dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan isi Peraturan tentang SKAU. Sedangkan Respon Pejabat Dinas Kehutanan terhadap SKAU adalah positif, karena kelima tahapan adopsi dilaksanakan dan sesuai dengan isi Peraturan tentang SKAU. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan SKAU diantaranya : dokumen SKAU yang digunakan, sistem penjualan kayu di hutan rakyat, jenis kayu yang diangkut, serta kurangnya sosialisasi dan pengawasan dari Pejabat Dinas Kehutanan.


(3)

SUMMARY

IKHSAN ARIEF RIFA’I. The Response of Smallholder Private Forest Bussines Actors About The Origin Certificate of Wood (Case Studies in Jugalajaya Village, Jasinga District, Bogor Regency, West Java). Under supervision of BRAMASTO NUGROHO.

In framework to support the movement of forestry sector with economic support of people are needed the recognition, protection and the orderly distribution of forest products from smallholder private forest by the Ministry of Forestry concerning the People's Wood Administration issued through the document of The Origin Certificate of Wood (SKAU). SKAU published by the Village Head or an equivalent officer of the Village Head in areas where the timber will be transported and aims to facilitate the public in transporting the forest products. This refers to the Minister of Forestry Regulation No. P.51/Menhut-II/2006, Number P.62/Menhut-II/2006 and Number P.33/Menhut-II/2007.

The research was conducted in Jugalajaya Village, Jasinga District, Bogor Regency on May-June 2011. The method that used in this study is descriptive-qualitative. Data that was collected is primary data that consists of respondent data, the adoption process of SKAU policy implementation, public or peasants response and relevant stakeholders on the SKAU implementation policies, and problems in SKAU implementation. Secondary data that collected were general physical condition of research areas and the potential of smallholder private forest.

The assessment of adoption process uses the theory of Rogers and Shoemaker (1971) which states that the adoption process consists of five stages: awareness stage, interest stage, evaluation stage, trial stage, and adoption stage. While the assessment of response uses the theory of Sajogyo and Pudjiwati (2002) which states that the response is divided into three kinds: positive response, negative response, and neutral response. The response shown by farmers on SKAU is negative, because from the five stages of adoption, only the awareness stage, interest stage, and evaluation stage was performed by farmers, while the trial stage and adoption stage not performed because the system of timber sales is through middlemen. The responses of middlemen/wood businesses and village officials to SKAU is neutral, because the five stages of adoption executed but not in accordance with the contents SKAU regulations. While the response of the forest department officials on SKAU were positive, because the five stages of adoption performed. Constraints faced in the implementation of SKAU: the SKAU documents itself, the wood sales system on smallholder private forest, the species of wood that being transported, and lack of socialization and supervision by the forest service officials.

Keywords: business actors, smallholder private forest, policy, SKAU, response


(4)

SURAT KETERANGAN ASAL USUL KAYU

(Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga,

Kabupaten Bogor)

IKHSAN ARIEF RIFA’I

E14062327

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011


(5)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi berjudul Respon Pelaku Usaha Hutan Rakyat Terhadap Kebijakan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor) adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011 Penulis


(6)

Judul Skripsi : Respon Pelaku Usaha Hutan Rakyat Terhadap Kebijakan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor)

Nama : Ikhsan Arief Rifa‟i

NIM : E14062327

Menyetujui: Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS NIP. 19581104 198703 1 005

Mengetahui:

Ketua Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001


(7)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada penelitian ini penulis mengambil judul Respon Pelaku Usaha Hutan Rakyat Terhadap Kebijakan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor). Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan selama 2 bulan, yaitu Bulan Mei - Juni 2011.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis dan juga kepada berbagai pihak yang telah bekerja sama mendorong dan membantu penulis hingga terselesaikannya penelitian ini. Penulis menyadari berbagai keterbatasan dalam penulisan Skripsi ini, namun demikian penulis berharap Skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2011


(8)

Penulis dilahirkan di Serang pada tanggal 22 Januari 1989 sebagai anak kedua dari sembilan bersaudara pasangan Bapak Ahmad Gubay Alhakim dan Ibu Winarti. Jenjang pendidikan formal yang telah dilalui penulis antara lain SD Negeri Kukun pada tahun 1994-2000, SLTP Negeri 1 Cikande pada tahun 2000-2003 dan SMU Negeri 1 Kibin pada tahun 2003-2006. Pada tahun 2006 penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan menjalani program Tingkat Persiapan Bersama (TPB) selama satu tahun. Setelah itu penulis memilih Program Studi Manajemen Hutan, Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB dengan minor Agroforestri.

Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif pada sejumlah organisasi kemahasiswaan diantaranya sebagai Ketua Asrama mahasiswa IPB “Sylvasari” tahun 2010, ketua Departemen Syiar DKM Ibaadurrahmaan, Fakultas Kehutanan IPB tahun 2008-2009, Ketua pelaksana Suksesi Himpunan Mahasiswa Profesi

Forest Management Student Club (FMSC) tahun 2009, Staf bidang Politik Ekonomi Sosial Kehutanan (Poleksoshut) Himpro FMSC tahun 2007-2008, Kepanitiaan Pelatihan Lebah Madu pada rangkaian kegiatan Pekan Ilmiah Kehutanan Nasional IV tahun 2008, ketua PSDM Organisasi Mahasiswa Daerah (OMDA) Keluarga Mahasiswa Banten. Penulis juga aktif sebagai panitia dan peserta seminar baik tingkat lokal maupun nasional. Selain itu, penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada bulan Juli 2008 di Baturaden dan Cilacap. Kemudian pada bulan Juli-Agustus 2009 penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Gunung Walat dan KPH Cianjur Perum Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten. Penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang di PT Sylvia Ery Timber (SET), Kalimantan Timur pada bulan Juni-Agustus 2010.

Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Respon Pelaku Usaha Hutan Rakyat Terhadap Kebijakan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor) dibimbing oleh Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS.


(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kepada Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul Respon Pelaku Usaha Hutan Rakyat Terhadap Kebijakan Surat Keterangan Asal Usul Kayu (Studi Kasus di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor). Sholawat serta salam senantiasa tercurah bagi Nabi Muhammad SAW, sebagai Rasul Allah yang telah membawa rahmat bagi seluruh alam.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada kedua orang tua tercinta (Bapak Ahmad Gubay Alhakim dan Ibu Winarti), Kakak dan Adik-adik tersayang

yang senantiasa memberikan do‟a, kasih sayang, dukungan, kesabaran dan

pengorbananya. Semoga Allah SWT membalas dengan surga-Nya. Pada kesempatan ini penulis juga mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS yang telah memberikan bimbingan, arahan, bantuan dan masukan selama penelitian hingga penulisan Skripsi ini selesai.

2. Dr. Ir. Trisna Priadi, M.Eng.Sc selaku dosen penguji dari Departemen Hasil Hutan dalam ujian komprehensif.

3. Ir. Muhdin, MSc.F.Trop selaku Ketua Sidang dalam ujian komprehensif. 4. Seluruh Dosen Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan pelajaran

dan ilmu yang bermanfaat selama penulis menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor.

5. Dr. Ir. Iman Santoso selaku Dirjen Bina Usaha Kehutanan pada Kementerian Kehutanan, yang telah memberikan bantuan, baik moril maupun materi.

6. Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor. 7. Kepala Desa Jugalajaya beserta Stafnya.

8. Saudara-saudara seatap seperjuangan di Asrama Sylvasari

9. Teman-teman mahasiswa seperjuangan di Fakultas Kehutanan IPB

10.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis dalam penyelesaian Skripsi ini.


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...ii

DAFTAR TABEL ...iv

DAFTAR GAMBAR ...v

DAFTAR LAMPIRAN ...vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Tujuan Penelitian ...2

1.3. Manfaat Penelitian ...2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Hutan Rakyat ...3

2.1.1. Definisi dan Batasan Hutan Rakyat...3

2.1.2. Pelaku Pengusahaan Hutan Rakyat ...3

2.1.3. Potensi Hutan Rakyat ...4

2.2. Penatausahaan Hasil Hutan ...5

2.3. Surat Keterangan Asal Usul Kayu ...6

2.4. Kebijakan Publik ...6

2.5. Respon ...7

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Kerangka Penelitian ...9

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ...10

3.3. Alat dan Bahan Penelitian ...10

3.4. Strategi Penelitian ...11

3.5. Metode Penentuan Responden ...11

3.6. Metode Pengumpulan Data ...11

3.7. Metode Analisis Data ...13

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1. Kondisi Geografis ...14

4.2. Topografi dan Iklim ...14


(11)

iii

4.4. Kependudukan ...15

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Surat Keterangan Asal Usul Kayu di Desa Jugalajaya ...18

5.2. Tata Cara Penerbitan Blanko SKAU ...19

5.3. Kesesuaian Peraturan Dengan Pelaksanaan di Desa Jugalajaya ...20

5.4. Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Jugalajaya ...22

5.4.1. Kelompok Tani Hutan ...22

5.4.2. Potensi Hutan Rakyat ...23

5.4.3. Pemasaran Hasil Hutan Rakyat ...24

5.5. Respon Masing-Masing Stakeholders Terhadap SKAU ...26

5.5.1. Respon Petani Hutan Rakyat Terhadap SKAU...26

5.5.2. Respon Tengkulak/pengusaha Hutan Rakyat Terhadap SKAU .27 5.5.3. Respon Pejabat Desa Terhadap SKAU ...29

5.5.4. Respon Pejabat Dinas Kehutanan Terhadap SKAU ...30

5.6. Kendala Pelaksanaan SKAU ...31

5.6.1. Dokumen SKAU ...31

5.6.2. Sistem Penjualan Kayu Hutan Rakyat ...31

5.6.3. Jenis Kayu Angkutan ...32

5.6.4. Sosialisasi dan Pengawasan Dinas Kehutanan ...33

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ...34

6.2. Saran ...34

DAFTAR PUSTAKA ...35


(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Tahapan dalam proses pembuatan kebijakan ...7

2. Jenis data yang dikumpulkan ...12

3. Jenis-jenis penggunaan lahan di Desa Jugalajaya ...15

4. Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Jugalajaya ...16

5. Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Jugalajaya ...16

6. Jenis mata pencaharian masyarakat di Desa Jugalajaya ...17

7. Kesesuaian Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007 dengan pelaksanaan di Desa Jugalajaya ...21

8. Kegiatan OMOT di KTH Mandiri ...23

9. Respon petani terhadap SKAU ...26

10. Respon tengkulak/pengusaha terhadap SKAU ...28

11. Respon Pejabat Desa terhadap SKAU ...29


(13)

v

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Kerangka pemikiran penelitian ...10

2. Alur penerbitan dokumen SKAU ...19

3. Tata cara penerbitan dokumen SKAU di lapangan...20

4. Kondisi tegakan dan potensi hutan rakyat di Desa Jugalajaya ...24


(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Panduan wawancara ...38

2. Rekapitulasi hasil wawancara ...42

3. Permenhut No: P.51/Menhut-II/2006 ...45

4. Permenhut No: P.62/Menhut-II/2006 ...49

5. Permenhut No: P.33/Menhut-II/2007 ...51

6. Dokumen SKAU Provinsi ...56


(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perkembangan hutan rakyat memberikan suatu harapan bagi pemenuhan bahan baku kayu. Hasil kayu dari hutan rakyat mampu memberikan kontribusi bagi penurunan defisit kebutuhan kayu yang sedang dihadapi oleh dunia kehutanan saat ini. Kondisi tersebut mendorong pengembangan hutan rakyat agar kebutuhan kayu dapat terpenuhi. Peningkatan penggunaan bahan baku dari hutan rakyat terlihat dari data BRIK (Badan Revitalisasi Industri Kehutanan) tahun 2004-2006 dimana persentase ekspor produk kayu olahan yang menggunakan bahan baku dari hutan rakyat berkisar antara 38-40%, berarti hampir separuh dari volume ekspor produk kehutanan telah menggunakan bahan baku dari sumber-sumber alternatif (BRIK 2007).

Dalam rangka mendorong bergeraknya sektor Kehutanan dengan dukungan ekonomi rakyat, perlu pengakuan, perlindungan dan tertib peredaran hasil hutan dari hutan milik/rakyat dengan Peraturan Menteri. Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak. SKAU adalah surat keterangan yang menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat. Peraturan tersebut telah diubah menjadi Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007. Perubahan Peraturan Menteri Kehutanan ini dimaksudkan untuk mendorong bergeraknya sektor kehutanan dengan dukungan ekonomi rakyat sehingga perlu pengakuan, perlindungan, kemudahan, dan tertib peredaran hasil hutan rakyat atau kayu dari lahan masyarakat.

Dengan diberlakukannya kebijakan SKAU, sangatlah wajar jika mendapatkan respon dari pelaku usaha hutan rakyat. Bagaimanakah respon pelaku usaha hutan rakyat terhadap kebijakan SKAU tersebut? Apakah pelaku usaha hutan rakyat menerima (respon positif) atau menolak (respon negatif) kebijakan SKAU tersebut atau memang respon netral saja yang diberikan oleh pelaku usaha


(16)

hutan rakyat? Untuk mengetahui implementasi penerapan Peraturan tentang SKAU, maka perlu dilakukan penelitian tentang respon pelaku usaha hutan rakyat terhadap kebijakan SKAU. Dalam hal ini pelaku hutan rakyat yang terdapat di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor.

1.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji respon masyarakat atau petani serta stakeholders terkait terhadap implementasi kebijakan SKAU melalui proses adopsi.

2. Mengetahui permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan SKAU.

1.3. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Memberikan informasi mengenai respon pelaku usaha hutan rakyat terhadap implementasi kebijakan SKAU sehingga dapat dijadikan bahan evaluasi bagi pelaksanaan kebijakan SKAU di hutan rakyat.

2. Memberikan informasi mengenai proses adopsi dan kendala pelaksanaan implementasi kebijakan SKAU yang dapat dijadikan bahan acuan bagi dinas kehutanan dan stakeholders yang terkait.

3. Mendapatkan pengetahuan tentang respon dan adopsi kebijakan oleh pelaku usaha hutan rakyat dengan menggunakan teori Respon yang dikembangkan oleh Sajogyo dan Pudjiwati (2002) dan teori Proses Adopsi yang dikembangkan oleh Rogers dan Shoemaker (1971).


(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Hutan Rakyat

2.1.1. Definisi dan Batasan Hutan Rakyat

Hutan menurut Undang-undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan diartikan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan yang berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Status hutan menurut Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 dibagi menjadi dua, yaitu hutan negara dan hutan hak. Definisi hutan hak menurut undang-undang tersebut adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Mengacu pada definisi tersebut maka berdasarkan statusnya, hutan rakyat termasuk dalam hutan hak. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan di dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.26/Menhut-II/2005 tentang pedoman pemanfaatan hutan hak, bahwa hutan hak identik dengan hutan rakyat yang berupa lahan milik atau lahan yang memiliki sertifikat ijin penggunaan lahan.

Hardjanto (2000) menegaskan bahwa hutan rakyat merupakan hutan yang dimiliki oleh masyarakat yang dinyatakan oleh kepemilikan lahan, karenanya hutan rakyat juga disebut hutan milik. Lebih lanjut Hardjanto (2000) mengatakan bahwa hutan rakyat di Jawa pada umumnya hanya sedikit yang memenuhi luasan sesuai dengan definisi hutan, dimana minimal harus 0,25 hektar. Hal tersebut disebabkan karena rata-rata pemilikan lahan di Jawa sangat sempit.

2.1.2. Pelaku Pengusahaan Hutan Rakyat

Pelaku usaha hutan rakyat dibedakan menjadi dua yaitu petani dan bukan petani hutan rakyat. Petani yang dimaksud di sini menurut Hardjanto (2000) khususnya adalah para petani pemilik lahan seperti kebun, talun, ladang dan istilah lain sejenisnya. Petani lahan basah umumnya tidak termasuk dalam petani hutan rakyat. Sementara itu yang dimaksud bukan petani pada konteks ini, adalah pihak-pihak lain yang terkait dengan usaha hutan rakyat pada masa panen dan pasca panen, mulai dari para penebang pohon, tengkulak/bandar pembeli pohon, penyedia jasa angkutan dan industri pengolah kayu rakyat.


(18)

Sementara itu, Suharjito (2000) mengatakan bahwa para petani hutan rakyat di Jawa telah menghubungkan dirinya dengan pelaku-pelaku lain dalam suatu jaringan yang telah melibatkan banyak pelaku itulah yang kemudian mengikat (ikatan saling ketergantungan) para pelaku (termasuk petani) untuk terus membudidayakan hutan rakyat. Jaringan usaha tersebut dapat memberikan dampak positif terutama karena sebagian besar hutan rakyat di Jawa dibudidayakan pada lahan yang sempit.

Hardjanto (2000) mengemukakan bahwa terdapat beberapa ciri pengusahaan hutan rakyat yaitu :

1. Usaha hutan rakyat dilakukan oleh petani, tengkulak dan industri dimana petani umumnya masih memiliki posisi tawar yang rendah.

2. Petani belum dapat melakukan usaha hutan rakyat menurut prinsip usaha dan prinsip kelestarian yang baik.

3. Bentuk hutan rakyat sebagian besar berupa budidaya campuran, yang diusahakan dengan cara-cara sederhana.

4. Pendapatan dari hutan rakyat bagi petani masih diposisikan sebagai pendapatan sampingan dan bersifat insidental dengan kisaran tidak lebih dari 10% dari pendapatan total.

2.1.3. Potensi Hutan Rakyat

Potensi hutan rakyat dapat diketahui melalui pengukuran luas lahan, volume kayu dan jumlah pohon baik dari jenis yang dominan maupun dari jenis yang tidak dominan. Data mengenai hutan rakyat belum banyak tersedia karena hutan rakyat berada pada hutan milik, tidak terpusat pada areal tertentu dan diusahakan pada skala kecil. Hutan rakyat di Indonesia mempunyai potensi besar, baik dari segi populasi pohon maupun jumlah rumah tangga yang mengusahakannya, yang ternyata mampu menyediakan bahan baku industri kehutanan. Perkiraan potensi dan luas hutan rakyat yang dihimpun dari kantor-kantor dinas yang menangani kehutanan diseluruh Indonesia mencapai 39.416.557 m3 dengan luas 1.568.415,64 ha, oleh Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa potensi hutan rakyat mencapai 39.564.003 m3 dengan luas 1.560.229 ha. Jumlah pohon yang ada mencapai 226.080.019, dengan jumlah pohon siap tebang sebanyak 78.485.993 batang (Darusman dan Hardjanto 2006).


(19)

5

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini produksi dari hutan alam dan hutan tanaman tidak mampu memenuhi semua kebutuhan kayu dalam negeri. Di tengah kondisi seperti itu, kehadiran hutan rakyat memberikan suatu harapan. Prabowo (2000) mengatakan bahwa kayu dari hutan rakyat merupakan pemasok utama kebutuhan kayu lokal dewasa ini. Bukti bahwa hutan rakyat atau hutan hak mulai meningkat peranannya terlihat dari produk-produk kayu yaitu : Bayur, Durian, Jabon, Karet, Kemiri, Sengon, Suren, Sungkai, dan sebagainya yang mulai banyak diminati oleh pasar (BRIK 2007). Selanjutnya BRIK (2007) mengungkapkan bahwa produk plywood telah menggunakan bahan baku, yaitu : Sengon, Durian, Jabon, Bayur, sebagai core, juga untuk finger joint laminating board, barecore, engineering doors, dan packaging boxes. Selain itu kayu Mahoni, Jati, Karet, dan Kelapa banyak digunakan untuk flooring, furniture, dan

housing component.

2.2. Penatausahaan Hasil Hutan

Penatausahaan hasil hutan didefinisikan sebagai kegiatan-kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan/peredaran dan penimbunan, pengolahan dan pelaporan. Kebijakan terhadap penatausahaan hasil hutan diatur dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.55/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.63/Menhut-II/2006 untuk Hutan Negara, dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.62/Menhut-II/2006 untuk Hutan Hak. Implementasi kebijakan tersebut telah efektif berlaku sejak 1 Januari 2007.

Pada Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan pasal 117 ayat (1) dinyatakan bahwa dalam rangka melindungi hak-hak negara atas hasil hutan dan kelestarian hutan, dilakukan pengendalian dan pemasaran hasil hutan melalui penatausahaan hasil hutan. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa dalam upaya menjaga hak-hak negara atas hasil hutan dan terjaganya kelestarian hutan, maka harus ada penatausahaan hasil hutan. Penatausahaan hasil hutan dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan di bidang kehutanan, sehingga penatausahaan hasil hutan


(20)

berjalan dengan tertib dan lancar agar kelestarian hutan, pendapatan negara dan pemanfaatan hasil hutan yang optimal dapat dicapai.

2.3. Surat Keterangan Asal Usul Kayu

Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. P.33/Menhut-II/2007 adalah surat keterangan yang menyatakan sahnya pengangkutan, penguasaan atau kepemilikan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak atau lahan masyarakat.

Pejabat penerbit SKAU adalah Kepala Desa/Lurah atau pejabat yang setara, yang ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota. Ketentuan Penerbitan SKAU adalah sebagai berikut : 1. Dalam menerbitkan SKAU, Kepala Desa wajib melakukan pemeriksaan atas kebenaran asal usul hasil hutan kayu dan kepemilikannya yaitu dengan mengecek dan memastikan bahwa hasil hutan kayu tersebut berasal dari lokasi yang benar yang dibuktikan dengan adanya alas titel/hak atas tanah.

2. Sebelum menerbitkan SKAU, Kepala Desa melakukan pengukuran atas kayu yang akan diangkut, dan dalam pelaksanaannya dapat menunjuk salah satu aparatnya.

3. Kepala Desa bertanggung jawab atas kebenaran penggunaan SKAU.

2.4. Kebijakan Publik

Kebijakan publik menurut Dunn (2003) adalah pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor pemerintah. Proses analisis kebijakan adalah serangkaian aktivitas intelektual

yang dilakukan di dalam proses kegiatan yang pada dasarnya bersifat politis. Aktivitas politis tersebut dijelaskan sebagai proses pembuatan kebijakan dan divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, dan penilaian kebijakan. Adapun tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan dapat dilihat pada Tabel 1. Analisis kebijakan dapat menghasilkan informasi yang relevan dengan kebijakan pada satu, beberapa


(21)

7

atau seluruh tahap dari proses pembuatan kebijakan, tergantung pada tipe masalah yang dihadapi klien yang dibantunya.

Tabel 1. Tahapan dalam proses pembuatan kebijakan

FASE KARAKTERISTIK ILUSTRASI

PENYUSUNAN AGENDA

Para pejabat yang dipilih dan diangkat menempatkan masalah pada agenda publik. Banyak masalah tidak disentuh sama sekali, sementara lainnya ditunda untuk waktu lama.

Legislator negara dan kosponsornya menyiapkan rancangan undang-undang

mengirimkan ke Komisi

Kesehatan dan Kesejahteraan untuk dipelajari dan disetujui. Rancangan berhenti di komite dan tidak terpilih.

FORMULASI KEBIJAKAN

Para pejabat merumuskan alternatif kebijakan untuk mengatasi masalah. Alternatif kebijakan melihat perlunya membuat perintah eksekutif, keputusan peradilan, dan tindakan legislatif.

Peradilan Negara Bagian mempertimbangkan pelarangan penggunaan tes kemampuan standar seperti SAT dengan alasan bahwa tes tersebut cenderung bias terhadap perempuan dan minoritas. ADOPSI

KEBIJAKAN

Alternatif kebijakan yang diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsesus diantara direktur lembaga, atau keputusan peradilan.

Dalam keputusan Mahkamah Agung pada kasus Roe. V. Wade

tercapai keputusan mayoritas bahwa wanita mempunyai hak untuk mengakhiri kehamilan melalui aborsi.

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Kebijakan yang telah diambil dilaksanakan oleh unit-unit

administrasi yang

memobilisasikan sumberdaya finansial dan manusia.

Bagian Keuangan Kota

mengangkat pegawai untuk mendukung peraturan baru tentang penarikan pajak kepada rumah sakit yang tidak lagi memiliki status pengecualian pajak

PENILAIAN KEBIJAKAN

Unit-unit pemeriksaan dan akuntasi dalam pemerintahan menentukan apakah badan-badan eksekutif legislatif, dan peradilan memenuhi persyaratan

undang-undang dalam

pembuatan kebijakan dan pencapaian tujuan.

Kantor akuntasi publik memantau program-program kesejahteraan sosial seperti bantuan untuk keluarga dengan anak tanggungan (AFDC) untuk menentukan luasnya penyimpangan/korupsi.

2.5. Respon

Respon dalam arti umum mengandung pengertian jawaban atau reaksi terhadap sesuatu (Agusta 1998 dirujuk dalam Rojat 2001). Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2002), respons berarti tanggapan; reaksi; jawaban. Respon individu terhadap sesuatu dapat diberikan dalam bentuk ucapan, isyarat, atau tingkah laku yang terobservasi, hal ini tergantung dari kemampuan yang


(22)

memberikan respon (Newcomb et al 1981 dalam Rojat 2001). Respon yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap penerimaan suatu proyek/kegiatan berbeda-beda. Pebedaan respon yang ditunjukkan masyarakat terhadap kegiatan tersebut dapat dilihat dari tahapan yang disebut proses adopsi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) proses-proses adopsi tersebut terdiri dari 5 tahap, yaitu :

1. Awareness stage (Tahap sadar) : Individu belajar dari keberadaan ide baru tetapi kekurangan informasi tentang ide baru tersebut.

2. Interest stage (Tahap minat) : Individu mengembangkan minat dalam inovasi dan mencari informasi tambahan tentang inovasi tersebut.

3. Evaluation stage (Tahap evaluasi) : Individu mengaplikasikan ide baru di dalam kehidupannya dan mengantisipasi situasi yang akan datang dan memutuskan apakah mencobanya atau tidak.

4. Trial stage (Tahap percobaan) : Individu menerapkan ide baru tersebut dalam skala kecil untuk menentukan kegunaannya dalam situasi sendiri. 5. Adoption stage (Tahap adopsi) : Individu menggunakan ide baru secara

terus menerus (kontinu) pada skala yang penuh.

Perbedaan respon terhadap perubahan yang ditunjukkan oleh masyarakat yang terlibat dalam program ada 3 macam yaitu (Sajogyo dan Pudjiwati 2002) :

1. Respon positif : Terjadi jika orang-orang dalam masyarakat setempat, yakni para penerima suatu unsur baru, terdorong ikut serta mengambil bagian dalam seluruh perencanaan dan pemenuhan proyek tersebut.

2. Pengaruh negatif : Terjadi jika unsur pembaharu tidak berhasil membuat rakyat setempat ikut serta baik dalam perencanaan maupun dalam pemenuhannya.

3. Respon netral : Terjadi jika pengikutsertaan rakyat setempat tidak relevan dengan hasil rencana tersebut.


(23)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Penelitian

Kementerian Kehutanan telah mengeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007 tentang perubahan kedua atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 tentang penggunaan Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak. Implementasi penerapan kebijakan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.33/Menhut-II/2007 di Desa Jugalajaya, melibatkan 4 pelaku kegiatan yaitu : petani hutan rakyat, tengkulak/pengusaha kayu hutan rakyat, Kepala Desa, dan Dinas Kehutanan setempat. Untuk mengetahui respon dari ke-4 pelaku kegiatan terhadap kebijakan SKAU tersebut, maka perlu dilakukan penelitian tentang respon pelaku usaha hutan rakyat terhadap implementasi kebijakan SKAU.

Respon yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap penerimaan suatu proyek/kegiatan berbeda-beda. Pebedaan respon yang ditunjukkan masyarakat terhadap kegiatan tersebut dapat dilihat dari tahapan yang disebut proses adopsi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) proses-proses adopsi tersebut terdiri dari 5 tahap, yaitu: awareness stage (tahap sadar), interest stage (tahap minat),

evaluation stage (tahap evaluasi), trial stage (tahap percobaan), dan adoption stage (tahap adopsi).

Peraturan mengenai SKAU terealisasi dengan baik jika dalam implementasinya pelaku usaha hutan rakyat memberikan respon positif. Respon positif terjadi jika individu dalam masyarakat tersebut terdorong untuk ikut serta mengambil bagian dalam seluruh perencanaan dan pemenuhan program (dalam hal ini ke-5 proses adopsi dilakukan sesuai dengan peraturan). Respon netral terjadi jika pengikutsertaan masyarakat tidak relevan dengan hasil rencana kebijakan SKAU (dalam hal ini ke-5 tahapan adopsi dilakukan, tetapi tidak sesuai dengan peraturan). Respon negatif terjadi jika unsur pembaharuan tidak berhasil membuat masyarakat tersebut ikut serta, baik dalam perencanaan maupun dalam pemenuhan program (dalam hal ini tahapan adopsi ke-4 dan ke-5 tidak dilakukan). Secara skematis, kerangka penelitian digambarkan pada Gambar 1 berikut ini :


(24)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian.

3.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama 2 bulan, yaitu : Bulan Mei - Juni tahun 2011. Penelitian dilakukan di Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor.

3.3. Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, alat rekam, alat tulis, dan konsep pertanyaan untuk wawancara. Bahan yang digunakan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil wawancara langsung dengan informan kunci. Data sekunder berupa kondisi umum fisik daerah penelitian dan potensi hutan rakyat (luas hutan rakyat dan jenis tegakan).

Pelaku Kegiatan : 1. Petani Hutan Rakyat 2. Tengkulak/Pengusaha 3. Kepala Desa

4. Dinas Kehutanan

Implementasi

Permenhut (SKAU)

NEGATIF POSITIF

5 tahapan adopsi dilakukan sesuai dengan Peraturan

RESPON

(Sajogyo & Pudjiwati 2002) 5 Tahap Adopsi (Rogers & Shoemaker 1971) 1) Tahap Sadar 2) Tahap Minat 3) Tahap Evaluasi 4) Tahap Percobaan 5) Tahap Adopsi

NETRAL

Kriteria :

1) Mengetahui SKAU

2) Ada inovasi dan punya informasi mengenai SKAU

3) Mulai mempertimbangkan untuk menggunakan SKAU atau tidak 4) SKAU mulai digunakan

5) SKAU digunakan secara kontinu

Tahapan adopsi ke-4 dan ke-5 tidak dilakukan

5 tahapan adopsi dilakukan, tetapi tidak sesuai dengan Peraturan


(25)

11

3.4. Strategi Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif, yaitu suatu pendekatan yang biasanya digunakan untuk mengamati gejala sosial dan memfokuskan diri pada suatu kejadian (events) dan proses interaksi (interactive processes). Penelitian kualitatif disebut verstehen

(pemahaman mendalam) karena mempertanyakan makna suatu objek secara mendalam dan tuntas (Irawan 2006). Focus kejadian yang diamati adalah sebuah produk kebijakan berupa SK Menhut No. P.33/2007 dan sekaligus proses interaksinya dalam hal ini adalah bagaimana respon pelaku usaha hutan rakyat dan para pihak terkait (stakeholders) terhadap implementasi kebijakan SKAU.

3.5. Metode Penentuan Responden

Metode yang digunakan dalam menentukan responden adalah Purpossive Sampling Method. Jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 45 responden. Adapun kriteria yang digunakan dalam penentuan responden yaitu mereka yang diduga memiliki pengetahuan tentang Permenhut tersebut dan pihak yang di-anggap terlibat dalam penggunaan SKAU. Rincian responden yang diwawancarai meliputi 5 orang pejabat dinas kehutanan, 5 orang pejabat desa, 5 orang tengkulak/pengusaha kayu hutan rakyat, dan 30 orang petani hutan rakyat. Adapun pemilihan responden yang akan diwawancarai adalah sebagai berikut :

1. Petani hutan rakyat : Sebagai pemilik kayu hutan rakyat/pemohon SKAU. 2. Tengkulak : Sebagai pembeli kayu yang berasal dari hutan

rakyat/pemohon SKAU.

3. Pengusaha/sawmill : Sebagai tempat menampung dan

menyimpan/mengolah kayu hutan rakyat/pemohon SKAU.

4. Kepala Desa/Lurah/Pejabat Setara : Sebagai pejabat penerbit SKAU. 5. Dinas Kehutanan : Sebagai pihak yang mengeluarkan petunjuk teknis

(Juknis) dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan/mengatur ketersediaan blanko SKAU.

3.6. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan yaitu berupa data primer dan data sekunder. Data primer meliputi data responden, proses adopsi implementasi kebijakan SKAU,


(26)

respon masyarakat atau petani serta stakeholders terkait terhadap implementasi kebijakan SKAU, dan permasalahan dalam pelaksanaan SKAU. Data sekunder yang dikumpulkan adalah kondisi umum fisik daerah penelitian dan potensi hutan rakyat. Data primer dikumpulkan dengan teknik wawancara dan pengamatan (observasi) secara langsung di lokasi penelitian. Data sekunder dikumpulkan dengan teknik mencatat data yang sudah ada di kantor kehutanan, perpustakaan ataupun instansi terkait. Adapun data yang dikumpulkan dalam penelitian ini selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini:

Tabel 2 Jenis data yang dikumpulkan

No. Variabel Indikator Metode

Pengumpulan

Sumber Data Primer

1. Respon masyarakat atau petani serta

stakeholders terkait terhadap

implementasi kebijakan SKAU

Adanya informasi mengenai proses tahapan adopsi terhadap kebijakan SKAU 5 Tahapan Adopsi :

1. Tahap Sadar : Pelaku

Hutan Rakyat (HR) mengetahui SKAU

2. Tahap Minat :

Ada inovasi dan punya informasi mengenai SKAU

3. Tahap Evaluasi : Mulai

mempertimbangkan untuk menggunakan SKAU atau tidak

4. Tahap Percobaan :

SKAU mulai digunakan

5. Tahap Adopsi : SKAU

digunakan dan diterapkan secara kontinu.

Respon Pelaku Usaha :

Positif : 5 tahapan adopsi

dilakukan sesuai dengan Peraturan tentang SKAU.

Netral : 5 tahapan adopsi

dilakukan, tetapi tidak sesuai dengan Peraturan tentang SKAU.

Negatif : Tahapan adopsi

ke-4 dan ke-5 tidak dilakukan.

Wawancara dan Observasi lapang

Responden

2. Permasalahan dalam pelaksanaan SKAU

Adanya informasi mengenai kendala dalam pelaksanaan SKAU

Wawancara dan Observasi lapang


(27)

13

Tabel 2 (lanjutan)

No. Variabel Indikator Metode

Pengumpulan

Sumber Data Sekunder

1. Kondisi Umum fisik Daerah Penelitian

Terdapat data mengenai Letak dan luas wilayah, topografi dan iklim, pola penggunaan lahan, kependudukan

Studi literatur dan Observasi lapang

Kantor desa/ Kecamatan

2. Potensi Hutan Rakyat

Adanya data mengenai luas hutan rakyat, potensi tegakan, realisasi kayu bulat

Studi literatur Kantor desa/ Kecamatan & Dinas Kehutanan

Argumentasi penetapan kriteria respon pelaku usaha hutan Rakyat :

1. Positif : tahapan adopsi dilakukan sesuai dengan Peraturan, artinya pelaksanaan SKAU di lokasi penelitian sesuai dengan ketentuan atau tata cara yang tercantum pada Peraturan tentang SKAU.

2. Netral : tahapan adopsi dilakukan, tetapi tidak sesuai dengan Peraturan, artinya SKAU dilaksanakan di lokasi penelitian, tetapi tidak sesuai dengan ketentuan atau tata cara yang tercantum pada Peraturan tentang SKAU.

3. Negatif : tahapan adopsi ke-4 dan ke-5 tidak dilakukan, artinya pelaku usaha mungkin saja melakukan tahapan adopsi ke-1 sampai ke-3 atau mungkin saja tidak juga melakukan, tetapi untuk tahapan adopsi ke-4 dan ke-5 tidak sama sekali dilaksanakan.

3.7. Metode Analisis Data

Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif. Penelitian ini tidak menguji hipotesa, melainkan hanya mendeskripsikan informasi faktual. Adapun cara yang dilakukan yaitu dengan mengkaji isi Permenhut tentang SKAU kemudian membandingkan isi Permenhut tersebut dengan hasil wawancara dan observasi di lapangan.


(28)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Kondisi Geografis

Desa Jugalajaya merupakan salah satu desa dari 16 (enam belas) desa yang berada pada wilayah Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat dengan ketinggian di atas permukaan laut 207 mdpl. Desa Jugalajaya terletak di 06052„ 42,5“ LS dan 106041„ 42,8” BT dengan luas wilayah sebesar 1.159 ha.

Adapun batas-batas Desa Jugalajaya adalah, sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pamagerasri

2. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Pangradin

3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Sukajaya (Cileuksa) 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Curug dan Desa Wirajaya

Desa Jugalajaya terbagi kedalam tiga wilayah administratif, yaitu : 1. Dusun sebanyak 2 dusun

2. Rukun Warga (RW) sebanyak 5 RW 3. Rukun Tetangga (RT) sebanyak 26 RT

4.2. Topografi dan Iklim

Hutan Rakyat di Desa Jugalajaya seluas 741 Ha, terletak pada ketinggian 207 mdpl dengan jenis tanah pada umumnya dominan podsolik merah kuning pada lahan kering dengan persentase 80% dan sisanya merupakan jenis tanah aluverial yang terdapat pada lahan basah (sawah). Tanah podsolik merah kuning merupakan tanah yang mengalami penimbunan liat di horizon bawah, bersifat masam, kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Kawasan Hutan Rakyat Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga memiliki iklim tipe B 1 (Oldemand). Suhu rata-rata tiap bulan sebesar 260 C dengan suhu terendah 21,80 C dan suhu tertinggi sebesar 30,40 C, kelembaban udara sebesar 70% dengan curah hujan rata-rata setiap tahun sekitar 3.000-4.000 mm dengan curah hujan terbesar pada Bulan Desember. Musim hujan umumnya dimulai pada Bulan September. Pada Bulan Januari hujan mulai berkurang ke tingkat paling rendah dari Bulan Juni hingga Bulan Agustus Kecamatan Jasinga (2007) memiliki curah hujan sebesar 1.561,3 mm/tahun dengan 125 hari hujan dalam satu tahun.


(29)

15

4.3 Pola Penggunaan Lahan

Lahan di wilayah Desa Jugalajaya sebagian besar didominasi oleh perkebunan seperti kebun campuran sengon dengan tanaman lain serta kebun monokultur karet atau sengon dan sisanya persawahan dengan jenis tingkat kelerengan datar, landai dan curam. Tingkat kelerengan yang datar dan landai ditanami dengan jenis tanaman pertanian dan kebun campuran seperti padi, sengon, dan karet. Sedangkan untuk tingkat kelerengan yang curam digunakan untuk tanaman kopi. Penggunaan lahan di Desa Jugalajaya didominasi oleh hutan rakyat, yaitu sebesar 63,93% dari luas wilayahnya. Untuk lebih jelasnya mengenai jenis tata guna lahan yang ada di Desa Jugalajaya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis-jenis penggunaan lahan di Desa Jugalajaya

No Tata Guna Lahan Luas (ha) Persentase (%)

1 Hutan Rakyat 741 63,93

2 Hutan Negara 51 4,40

3 Perkebunan Rakyat 126 10,87

4 Perkebunan Negara 125 10,79

5 Tanah Sawah 114 9,84

6 Tanah Perusahaan Swasta 2 0,17

Total 1.159 100,00

Sumber : Data Monografi Desa Jugalajaya (2011)

4.4. Kependudukan

Masyarakat Desa Jugalajaya penduduknya menganut agama Islam. Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga memiliki jumlah penduduk 5.128 jiwa yang terdiri dari laki-laki sebanyak 2.667 jiwa dan perempuan sebanyak 2.459 jiwa, dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 1.413 KK. Desa Jugalajaya memiliki kepadatan penduduk sebanyak 500 jiwa/Km2 yang penyebarannya tidak merata. Sebaran penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Jugalajaya yang tertinggi yaitu pada kelompok umur 7 – 12 tahun sebesar 24,83% dan yang terendah pada kelompok umur >60 tahun sebesar 2,83%. Untuk lebih jelasnya mengenai data kependudukan di Desa Jugalajaya dapat dilihat pada Tabel 4.


(30)

Tabel 4 Jumlah penduduk berdasarkan kelompok umur di Desa Jugalajaya No Kelompok Umur

(Tahun)

Jumlah Penduduk (Jiwa) Jumlah (Jiwa)

Persentase (%) Laki-Laki Perempuan

1 0 – 4 347 325 672 13,11

2 5 – 6 183 161 344 6,71

3 7 – 12 644 629 1273 24,83

4 13 - 15 253 237 490 9,56

5 16 - 18 194 178 372 7,26

6 19 - 25 255 226 481 9,38

7 26 - 35 213 197 410 8,00

8 36 - 45 218 197 415 8,10

9 46 - 50 137 119 256 4,99

10 51 - 60 145 123 268 5,23

11 > 60 78 67 145 2,83

Jumlah 2.667 2.461 5.128 100,00

Sumber : Data Monografi Desa Jugalajaya (2010)

Sedangkan untuk bidang pendidikan, masyarakat Desa Jugalajaya masih rendah, sebagian besar pendidikan masyarakat hanya sampai sekolah dasar (SD). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Jugalajaya

No Jenis Tingkat Pendidikan Jumlah (Jiwa) Persentase (%)

1 Belum sekolah 162 10,63

2 Tidak Tamat Sekolah Dasar 225 14,76

3 Tamat SD/Sederajat 525 34,45

4 Tamat SLTP/sederajat 136 8,92

5 Tamat SLTA/Sederajat 242 15,88

6 Tamat Akademi/Sederajat 12 0,79

7 Tamat Perguruan Tinggi 3 0,20

8 Buta Huruf 219 14,37

Jumlah 1.524 100,00


(31)

17

Mata pencaharian di Desa Jugalajaya didominasi oleh petani sebesar 67,45% dan sisanya bermata pencaharian sebagi buruh, pedagang, wiraswasta, PNS, pensiunan dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Jenis mata pencaharian masyarakat di Desa Jugalajaya

No Jenis Mata Pencaharian Utama Jumlah (KK) Persentase (%) 1 Petani

- Petani pemilik Tanah 318 22,51

- Petani Penggarap Tanah 129 9,13

- Buruh Tani 302 21,37

2 Pertukangan 61 4,32

3 Buruh Kebun 204 14,44

4 Pedagang 35 2,48

5 Pengemudi/jasa 110 7,78

6 Pegawai Negeri sipil 16 1,13

7 TNI/POLRI 0 0,00

8 Pensiunan 10 0,71

9 Industri Kecil 10 0,71

10 Lain-lain 218 15,43

Jumlah 1.413 100,00


(32)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Surat Keterangan Asal Usul Kayu di Desa Jugalajaya

Dalam rangka mendorong bergeraknya sektor kehutanan dengan dukungan ekonomi rakyat, diperlukan pengakuan, perlindungan dan tertib peredaran hasil hutan dari hutan hak atau lahan masyarakat atau kebun masyarakat oleh Kementerian Kehutanan RI mengenai Tata Usaha Kayu Rakyat, untuk itu diterbitkan dokumen berupa Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) yang pada dasarnya untuk memudahkan masyarakat saat menjual kayunya, karena jika sesuai dengan peraturan, masyarakat akan lebih mudah dan dilindungi privatisasinya dalam memiliki, mengangkut dan memperniagakan kayu rakyat. Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) adalah surat keterangan sahnya hasil hutan yang digunakan untuk dokumen pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak. Hutan hak dapat dibuktikan dengan alas titel atau hak atas tanah berupa : sertifikat hak milik, Letter C, dan girik untuk tanah milik, serta sertifikat untuk Hak Guna Usaha dan Hak Pakai.

SKAU diterbitkan oleh kepala desa/lurah atau pejabat yang setara dengan kepala desa/lurah di wilayah dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut. pejabat penerbit SKAU ditetapkan oleh bupati/walikota berdasarkan usulan kepala dinas kehutanan kabupaten/kota. Keadaan di Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, menunjukkan bahwa SKAU dikeluarkan oleh kepala desa yang ditunjuk oleh Bupati Kabupaten Bogor berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pertanian Dan Kehutanan Kabupaten Bogor Nomor 522/530 SK-Kehut tentang penetapan pejabat penerbit Surat Keterangan Asal Usul Kayu (SKAU) kayu di Kabupaten Bogor. Setiap calon pejabat penerbit SKAU wajib mengikuti pelatihan tentang penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak/rakyat yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Saat dilakukan survey ke beberapa desa, ternyata tidak semua pejabat penerbit SKAU adalah kepala desa misalnya Desa Wangunjaya Kecamatan Leuwisadeng Kabupaten Bogor pejabat penerbit SKAU adalah sekretaris desa yang telah mengikuti pelatihan dan terdaftar sebagai pejabat penerbit SKAU dengan No Reg


(33)

19

30/1101/SKAU/Spn/KB/KO. Hal ini terjadi, dikarenakan kepala desa yang berkaitan tidak dapat mengikuti pelatihan pada waktu yang telah ditentukan, sehingga kepala desa menyerahkan mandat kepada sekretaris desa.

5.2. Tata Cara Penerbitan Blanko SKAU

Menurut Pejabat Dinas Kehutanan Kabupaten Bogor, tata cara untuk mendapatkan izin pemanfaatan kayu di tanah milik menyaratkan fotokopi bukti kepemilikan hak atas tanah, jenis tegakan, jumlah dan potensi tegakan. Sebelum menerbitkan SKAU, Kepala Desa wajib melakukan pemeriksaan atas kebenaran asal usul kayu dan kepemilikannya serta melakukan pengujian dan pengukuran untuk mengetahui jenis dan volume kayu. Kemudian dibuat Daftar Hasil Hutan (DHH) sesuai dengan hasil pengukuran tersebut, selanjutnya diterbitkan SKAU.

Tata cara alur penerbitan dokumen SKAU dan pelaporan diatur lebih lanjut oleh masing-masing kepala dinas provinsi dengan mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.33/Menhut-II/2007 (Pasal 9, ayat 4). Untuk lebih jelas mengenai tata cara penerbitan dokumen SKAU dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Alur penerbitan dokumen SKAU (Dephut 2011).

Adapun tata cara penerbitan SKAU menurut pejabat desa, yaitu pemohon/pengusaha hanya membawa daftar kayu bulat/kayu olahan saja dan SKAU langsung dapat segera diterbitkan tanpa dilakukannya pemeriksaan

Hutan Hak

Kades/Lurah (Penerbit SKAU) Permohonan

SKAU Pemilik Hutan Hak

Cek Lokasi & Bukti Kepemilikan

Pengangkutan Kayu Dokumen SKAU Terbitkan Dokumen SKAU

Tidak Lengkap /Tidak Sah

Pengukuran & Penetapan Jenis Lengkap dan Sah


(34)

kebenaran lokasi dan volume kayu yang akan diangkut. Beberapa pejabat penerbit SKAU mengatakan bahwa hal ini terjadi karena kendala waktu dan lokasi yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya pemeriksaan. Pemohon/pengusaha mengatakan bahwa setiap izin penerbitan SKAU dikenakan administrasi sebesar Rp. 30.000 untuk sekali penerbitan. Hal ini dikarenakan mengacu pada Peraturan Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor Nomor 01 Tahun 2010 tentang anggaran pendapatan dan belanja desa tahun anggaran 2010. Waktu yang dibutuhkan untuk mengurus penerbitan blanko SKAU tersebut kurang lebih 20 menit. Alur penerbitan SKAU di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Tata cara penerbitan dokumen SKAU di lapangan.

5.3. Kesesuaian Peraturan Dengan Pelaksanaan di Desa Jugalajaya

Penerapan penerbitan dokumen SKAU di lapangan tidak sesuai dengan tata cara yang sudah ditetapkan. Berdasarkan hasil wawancara dengan pejabat penerbit SKAU, kegiatan cek lokasi dan bukti kepemilikan, serta pengukuran dan penetapan jenis tidak dilakukan. Hal ini terjadi karena alasan kendala waktu yang tidak memungkinkan untuk dilakukannya kegiatan tersebut. Pada kenyataannya, pejabat penerbit tidak melakukan pemeriksaan dan pengukuran bukan karena kendala waktu, tetapi karena tidak adanya biaya yang diberikan sehingga mereka tidak berinisiatif untuk melakukan kegiatan tersebut.

Penjelasan lebih lanjut mengenai kesesuaian peraturan dengan pelaksanaan di lapangan dapat dilihat pada Tabel 7.

Penerbitan SKAU Pemohon/pemilik kayu

membawa daftar kayu bulat/olahan

Pengesahan Oleh Kepala Desa (Penerbit SKAU)

Pengangkutan kayu Administrasi


(35)

21

Tabel 7 Kesesuaian peraturan dengan pelaksanaan di Desa Jugalajaya

Aspek Kajian Ketentuan Permenhut Fakta di Lapangan

Permenhut No.P.51/2006 Pasal 6 Ayat (1)

Dalam penerbitan SKAU, Kepala

Desa wajib melakukan

pemeriksaan atas kebenaran asal usul hasil hutan kayu dan kepemilikannya yaitu dengan mengecek dan memastikan bahwa hasil hutan kayu tersebut berasal dari lokasi yang benar yang dibuktikan dengan adanya alas titel/hak atas tanah sebagaimana dimaksud Pasal 2.

Kegiatan cek lokasi, bukti kepemilikan, dan penetapan jenis tidak dilakukan karena tidak adanya biaya untuk kegiatan tersebut.

Permenhut No.P.51/2006 Pasal 6 Ayat (2)

Sebelum menerbitkan SKAU, Kepala Desa melakukan pengukuran atas kayu yang akan

diangkut, dan dalam

pelaksanaannya dapat menunjuk salah satu aparatnya.

Kegiatan pengukuran tidak dilakukan, karena tidak adanya biaya untuk kegiatan tersebut.

Permenhut No.P.51/2006 Pasal 7 Ayat (1)

Penerbitan SKAU dilakukan dengan menggunakan blanko SKAU sesuai dengan format yang telah ditetapkan.

Blanko SKAU tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan, desa membuat blanko SKAU sendiri karena dengan menggunakan blanko SKAU desa, lebih simpel dan tanpa harus adanya laporan ke dinas kehutanan. Permenhut

No.P.51/2006 Pasal 9 Ayat (1)

Kepala Desa setiap bulannya wajib melaporkan penerbitan SKAU kepada Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

Kepala Desa tidak melaporkan penerbitan SKAU, karena desa tidak menggunakan blanko SKAU provinsi.

Permenhut No.P.33/2007 Pasal 4 Ayat (2)

Jenis-jenis kayu bulat atau kayu

olahan rakyat yang

pengangkutannya menggunakan

dokumen SKAU adalah

sebagaimana yang tercantum dalam lampiran Peraturan ini.

Jenis kayu rakyat yang pengangkutannya menggunakan dokumen SKAU tidak sesuai dengan yang tercantum dalam Peraturan, misalnya: jenis kayu yang dalam pengangkutannya hanya cukup dengan menggunakan nota yang diterbitkan penjual seperti kayu afrika, nangka, mangga, kecapi, kelapa, pulai gading, kemang, bambu, jengkol, dan kapuk pada kenyataannya di lapangan tetap dimasukkan ke dalam dokumen SKAU.

Permenhut No.P.33/2007 Pasal 5 Ayat (1)

SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut.

Masih ditemukan SKAU yang diterbitkan oleh kepala desa yang bukan desa dimana kayu tersebut berasal.

Blanko dokumen SKAU di Desa Jugalajaya tidak sesuai dengan blanko dokumen SKAU yang diterbitkan oleh Dinas Kehutanan Provinsi. Alasan pejabat desa menggunakan blanko SKAU desa adalah karena akses desa yang jauh dengan dinas kehutanan kabupaten, sehingga pejabat desa enggan untuk meminta blanko SKAU dari dinas kehutanan. Selain akses desa yang jauh ke kota, jaringan komunikasi agak sulit sehingga desa membuat blanko SKAU sendiri. Pada


(36)

kenyataannya, pejabat desa membuat blanko SKAU sendiri karena dengan menggunakan blanko SKAU desa, lebih simpel dan tanpa harus adanya laporan ke dinas kehutanan. Dalam Permenhut Nomor P.33/Menhut-II/2007 Pasal 4 ayat (2) menyatakan bahwa jenis-jenis kayu bulat atau kayu olahan rakyat yang pengangkutannya menggunakan dokumen SKAU ada 21 jenis, tetapi pada kenyataanya di lapangan, jenis kayu yang pengangkutannya menggunakan dokumen SKAU menjadi tidak sesuai. Hal ini dikarenakan dokumen SKAU yang diterbitkan oleh desa, berbeda dengan dokumen SKAU dari dinas kehutanan provinsi. Selain itu, dalam Permenhut Nomor P.33/Menhut-II/2007 Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut. Namun, kenyataan yang ditemukan di lapangan, tidak jarang SKAU diterbitkan oleh kepala desa yang bukan desa dimana kayu tersebut berasal. Hal ini biasanya terjadi bila blanko SKAU di desa bersangkutan sudah habis dan kepala desa sedang berhalangan, sehingga untuk penerbitan SKAU dilimpahkan pada kepala desa lain. Selain itu tengkulak juga biasanya ketika dalam pengangkutan kayu yang akan diangkut belum memenuhi target muatan, tengkulak tidak mengurus SKAU di desa tersebut, dan melanjutkan pembelian kayu di desa lainnya dan ketika target muatan telah tercapai, maka barulah tengkulak mengurus SKAU. Dampak dari permasalahan tersebut yaitu, data dan informasi mengenai produksi kayu rakyat dan potensi kayu rakyat dari desa dimana SKAU tersebut diterbitkan menjadi tidak relevan.

5.4. Pengelolaan Hutan Rakyat di Desa Jugalajaya 5.4.1. Kelompok Tani Hutan

Kelompok Tani Hutan (KTH) di Desa Jugalajaya, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat terbentuk atas keinginan masyarakat untuk memperbaiki kehidupan ekonomi melalui usaha tani. Keadaan ini didukung dengan potensi hutan rakyat di Desa Jugalajaya yang mayoritas petaninya menanam kayu sengon dan karet. Hutan Rakyat di Desa Jugalajaya dikelola oleh KTH Mandiri yang berdiri sejak tahun 2007. KTH Mandiri terdiri dari 50 orang anggota. KTH Mandiri mendapatkan kepercayaan dari Balai Pengelolaan Das Citarum Ciliwung untuk melaksanakan program Penanaman One Man One Tree


(37)

23

(OMOT) pada tahun 2009 (Anonim 2009). Dari kegiatan tersebut, KTH Mandiri mendapatkan bantuan bibit. Adapun jenis bibit yang diberikan, beserta jumlahnya dapat dilihat pada tabel 8.

Tabel 8 Kegiatan OMOTdi KTH Mandiri

No Jenis Bibit Jumlah Bibit

1 Sengon (Paraserianthes falcataria) 2.500

2 Durian (Durio zibetinus) 15

3 Manggis (Gacinia mangostana) 15

4 Suren (Toona sureni) 500

Jumlah 3.030

Sumber: Data OMOT BPDas Citarum Ciliwung (2009)

Banyak hal yang melatarbelakangi terbentuknya kelompok tani. Menurut Sentot (2010) secara garis besar latar belakang atau dasar berdirinya kelompok tani dapat dikelompokkan dalam dua golongan. Pertama, kelompok yang berdiri karena ada dorongan dari luar, baik karena ada program bantuan atau proyek. Kedua, kelompok tani yang terbentuk karena dorongan dari dalam, yaitu masyarakat atau petani itu sendiri. Usia atau lama berdirinya kelompok tidak menjamin tercapainya peningkatan kelas kelompok. Sebaliknya, kelompok yang didirikan dari bawah atau inisiatif masyarakat sendiri dapat menjadi modal dasar bagi berkembangnya kelompok secara lebih baik.

5.4.2. Potensi Hutan Rakyat

Potensi hasil hutan di lahan yang dibudidayakan petani hutan rakyat adalah hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu. Hasil hutan bukan kayu berupa getah karet, tanaman buah, dan palawija. Jenis tanaman palawija yang ditanam adalah Singkong (Manihot utilissima) dan Kacang Tanah (Arachis hypogea). Jenis tanaman buah yang ditanam, yaitu : Manggis (Garcinia mangostana), Durian (Durio zibetinus), Nangka (Artocarpus heterophyllus), Petai (Parkia speciosa), Kopi (Coffea arabica), Mentimun (Cucumis sativus), dan Pisang (Musa paradisiaca). Pola tanam yang digunakan adalah sistem tumpangsari. Jenis tanaman kayu yang dibudidayakan, yaitu : Sengon (Paraserianthes falcataria), Kayu Karet (Hevea brasiliensis), Mangium (Acacia mangium), Afrika (Maeopsis emanii), dan Jabon (Anthocephalus cadamba). Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan dapat diketahui bahwa


(38)

jenis tanaman yang selalu ada/ditanam di lahan hutan rakyat adalah jenis Sengon dan Karet yang selalu ditanam oleh masyarakat secara bersamaan (tumpangsari). Adapun kondisi tegakan dan potensi hutan rakyat di desa jugalajaya dapat dilihat pada Gambar 4 berikut ini :

Gambar 4 Kondisi tegakan dan potensi hutan rakyat di Desa Jugalajaya.

Menurut hasil penelitian Andi (2010) tujuan masyarakat menanam sengon dan karet secara bersamaan pada lahan miliknya yaitu ketika pohon sengon dipanen pada umur 5 tahun, maka pada tahun berikutnya pohon karet sudah dapat disadap dan langsung dapat menghasilkan pendapatan setiap harinya sampai masa produktifnya habis (25 tahun), sehingga pendapatan masyarakat akan terus-menerus (kontinyu/diperoleh). Begitu halnya dengan lahan yang ditumpangsarikan dengan tanaman pertanian, sambil menunggu masa panen sengon atau kayu karet, maka setiap tahun masyarakat juga mendapatkan penghasilan.

5.4.3. Pemasaran Hasil Hutan Rakyat

Hasil hutan kayu dari hutan rakyat di Desa Jugalajaya dipasarkan ke wilayah Kecamatan Jasinga, Kecamatan Cigudeg dan bahkan sampai ke Provinsi Banten. Menurut salah satu anggota Kelompok Tani Mandiri menjelaskan bahwa pemasaran hasil hutan kayu dari hutan rakyat di Desa Jugalajaya relatif mudah, karena para pembeli (tengkulak) kayu yang langsung datang ke kelompok tani dan bertemu dengan pemilik kayu. Pembeli ada yang berasal dari Desa Jugalajaya sendiri ataupun dari luar Desa Jugalajaya. Penentuan harga pun berada di musyawarah antara pembeli dan pemilik pohon. Berdasarkan hasil wawancara dengan pembeli kayu/tengkulak menjelaskan bahwa sistem jual beli yang biasa


(39)

25

dilaksanakan di hutan rakyat adalah pembeli yang menebang dan menentukan pohon yang memenuhi kriteria dengan diawasi pemilik pohon. Tengkulak melakukan transaksi jual beli dengan petani dengan sistem borongan per hamparan. Dalam sekali panen, biasanya jumlah kayu yang dapat diangkut mencapai 4-5 truk dengan kapasitas 4-5 m3/truk untuk ukuran kayu berdiameter > 18 cm dan 3 m3/truk untuk diameter < 18 cm. Waktu rata-rata yang diperlukan dalam satu kali panen untuk luasan tertentu adalah selama 2 hari dengan produktivitas mencapai 2 truk/hari. Jumlah pekerja yang dibutuhkan tergantung letak lokasi dan jumlah pohon pada luasan areal yang akan ditebang. Untuk lokasi penebangan yang dekat dengan akses jalan, jumlah pekerja yang diperlukan untuk menyarad kayu adalah 6-7 orang dengan upah sebesar Rp 35.000/hari/orang, sedangkan untuk lokasi penebangan yang jauh dari akses jalan bisa mencapai 12 orang dengan upah sebesar Rp 40.000/hari/orang. Dalam kegiatan penebangan biasanya dibutuhkan 2 orang penebang pohon (chainsawman) dengan upah sebesar Rp 100.000/hari/orang.

Dari hasil wawancara dengan industri penggergajian (sawmill), hasil produk kayu olahan yang dihasilkan dari log kayu sengon berupa papan, balok, kaso dan reng dengan ukuran-ukuran tertentu. Produk kayu yang dihasilkan dari satu log kayu sengon dengan ukuran diameter > 20 cm adalah balok (10 cm x 10 cm x 3 m), papan (3 cm x 20 cm x 3 m), kaso (4 cm x 6 cm x 3 m) dan reng (2 cm x 5 cm x 3 m). Adapun produk olahan kayu hutan rakyat, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 5.

Papan Kaso


(40)

5.5. Respon Masing-Masing Pelaku Usaha Terhadap SKAU

Respon merupakan reaksi atau jawaban yang diberikan terhadap sesuatu. Respon yang diberikan dapat berbentuk ucapan maupun tindakan. Respon yang ditunjukkan oleh masyarakat terhadap penerimaan suatu proyek/kegiatan berbeda-beda. Pebedaan respon yang ditunjukkan masyarakat terhadap kegiatan tersebut dapat dilihat dari tahapan yang disebut proses adopsi. Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) proses-proses adopsi tersebut terdiri dari 5 tahap, yaitu : awareness stage (tahap sadar), interest stage (tahap minat), evaluation stage

(tahap evaluasi), trial stage (tahap percobaan), dan adoption stage (tahap adopsi). Berdasarkan pengamatan di lapangan, pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan SKAU secara langsung terdiri dari empat pelaku usaha, yaitu pejabat dinas kehutanan, pejabat desa, petani, dan tengkulak/pengusaha. Pejabat dinas merupakan pihak yang mengeluarkan petunjuk teknis (Juknis) dalam pelaksanaan penatausahaan hasil hutan dan mengatur ketersediaan blanko SKAU, pejabat desa merupakan pejabat penerbit SKAU, sedangkan petani, tengkulak dan pengusaha merupakan pihak yang mengajukan permohonan blanko SKAU. Data hasil wawancara tentang respon responden terhadap SKAU disajikan berikut ini :

5.5.1. Respon Petani Hutan Rakyat Terhadap SKAU

Petani hutan rakyat yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 30 orang. Petani di Desa Jugalajaya mengetahui keberadaan SKAU dengan informasi yang diperoleh dari : informasi dari kelompok tani (33,33%), informasi dari pejabat desa (23,33%), atau informasi dari tengkulak (43,33%). Pemahaman petani terhadap SKAU hanya sebatas fungsi SKAU sebagai dokumen pengangkutan hasil hutan dari hutan hak. Data hasil wawancara tentang respon petani hutan rakyat terhadap SKAU disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Respon petani terhadap SKAU No Tahapan

Adopsi

Pernyataan Jawaban Jumlah %

1 Sadar Mengetahui

SKAU

a. informasi dari kelompok tani b. informasi dari Pejabat Desa c. informasi dari tengkulak

10 7 13 33,33 23,33 43,33

2 Minat Mengetahui

informasi tentang SKAU

a. mengetahui tata cara penerbitan SKAU b.mengetahui jenis kayu yang

menggunakan blanko SKAU c. tidak mau tahu mengenai SKAU

3 7 20 10 23,33 66,67


(41)

27

Tabel 9 (lanjutan) No Tahapan

Adopsi

Pernyataan Jawaban Jumlah %

3 Evaluasi Mulai

mempertimbang kan untuk menggunakan SKAU

SKAU penting untuk dokumen angkutan karena kewajiban

30 100

4 Percobaan Mencoba menggunakan SKAU

tidak mencoba menggunakan SKAU, karena petani ingin simpel dengan cara menjual kayu ke tengkulak.

30 100

5 Adopsi Menggunakan

SKAU pada periode berikutnya

tidak pernah menggunakan SKAU, karena sistem penjualan kayu melalui tengkulak.

30 100

Sumber : Data Primer Hasil Penelitian (2011)

Dari tabel di atas, dapat diketahui bahwa petani hutan rakyat di Desa Jugalajaya hanya 3 orang yang mengetahui tata cara penerbitan dokumen SKAU (10%). Menurut ketua kelompok tani, hal ini terjadi karena kurangnya sosialisasi baik dari dinas pertanian dan kehutanan maupun dari pejabat desa setempat. Petani menganggap SKAU penting (100%) hanya sebatas kewajiban untuk dokumen dalam pengangkutan kayu agar tidak ditilang oleh polisi dan dinas perhubungan. Dari kelima tahapan adopsi, hanya tahap sadar, tahap minat, dan tahap evaluasi saja yang dilakukan oleh petani, sedangkan tahap percobaan dan tahap adopsi tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan sistem penjualan kayu di hutan rakyat biasanya melalui tengkulak, jadi tengkulaklah yang selama ini mengurus dokumen SKAU. Maka dapat dikatakan bahwa respon petani terhadap SKAU adalah negatif.

5.5.2. Respon Tengkulak/Pengusaha Hutan Rakyat Terhadap SKAU

Tengkulak/Pengusaha hutan rakyat yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 5 orang. Semua Tengkulak/Pengusaha yang diwawancarai mengetahui SKAU. Tidak jauh berbeda dengan petani hutan rakyat, pemahaman tengkulak/pengusaha terhadap SKAU sama saja, yaitu hanya sebatas fungsi SKAU sebagai dokumen pengangkutan hasil hutan dari hutan hak. Tengkulak/Pengusaha mengetahui keberadaan SKAU dengan sumber informasi, yaitu : informasi dari pejabat desa (20%), informasi dari rekanan sesama tengkulak/pengusaha (40%), atau informasi dari Pejabat Dinas Kehutanan (40%).


(42)

Data hasil wawancara tentang respon tengkulak/pengusaha terhadap SKAU disajikan pada Tabel 10 sebagai berikut.

Tabel 10 Respon tengkulak/pengusaha terhadap SKAU No Tahapan

Adopsi

Pernyataan Jawaban Jumlah %

1 Sadar Mengetahui

SKAU

a.informasi dari Pejabat Desa

b.informasi dari rekanan sesama tengkulak/pengusaha

c.informasi dari Pejabat Dinas Kehutanan 1 2 2 20 40 40

2 Minat Mengetahui

informasi tentang SKAU

tahu tata cara penerbitan SKAU dan mengetahui jenis kayu yang menggunakan SKAU

5 100

3 Evaluasi Mulai

mempertimbang kan untuk menggunakan SKAU

SKAU penting untuk dokumen angkutan karena kewajiban

5 100

4 Percobaan Mencoba menggunakan SKAU

menggunakan blanko SKAU desa untuk pengangkutan kayu

5 100

5 Adopsi Menggunakan

SKAU pada periode berikutnya

menggunakan blanko SKAU Desa dalam setiap kegiatan pengangkutan kayu

5 100

Sumber : Data Primer Hasil Penelitian (2011)

Tengkulak/pengusaha mengetahui tata cara penerbitan SKAU dan mengetahui jenis kayu yang menggunakan SKAU (100%). Tetapi pengetahuan mereka hanya sebatas mengetahui tata cara penerbitan blanko SKAU format desa (Lampiran 7). Menurut salah satu tengkulak/pengusaha kayu, setiap kali mengurus blanko SKAU dikenakan biaya administrasi sebesar Rp. 30.000. Tengkulak/pengusaha menganggap SKAU penting untuk dokumen angkutan karena kewajiban (100%), karena selain untuk dokumen pengangkutan kayu, SKAU juga digunakan sebagai syarat untuk mengurus dokumen angkutan berikutnya setelah kayu bulat dari hutan rakyat diolah, yaitu Faktur Angkut Kayu Olahan (FA-KO). Tengkulak/pengusaha selama ini menggunakan SKAU untuk pengangkutan kayu (100%), tetapi blanko SKAU yang selama ini mereka gunakan adalah blanko SKAU dari desa (Lampiran 7). Seharusnya blanko SKAU diterbitkan oleh dinas propinsi (Lampiran 6). Hal ini terjadi karena kurangnya pengawasan serta sanksi dari dinas kehutanan setempat dalam pelaksanaan SKAU


(43)

29

di lapangan. Respon tengkulak/pengusaha dengan adanya SKAU adalah netral, karena kelima tahapan adopsi dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan isi Peraturan tentang SKAU.

5.5.3. Respon Pejabat Desa Terhadap SKAU

Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, mulai menerbitkan SKAU pada tahun 2009. Pejabat penerbit SKAU adalah kepala desa yang ditetapkan oleh Bupati Bogor. Setelah sebelumnya mengikuti pelatihan tentang penatausahaan hasil hutan yang berasal dari hutan hak/rakyat yang diadakan oleh Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. Pejabat desa yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 5 orang. Data hasil wawancara tentang respon pejabat desa terhadap SKAU disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11 Respon pejabat desa terhadap SKAU No Tahapan

Adopsi

Pernyataan Jawaban Jumlah %

1 Sadar Mengetahui

SKAU

a.informasi dari Kepala Desa

b.informasi dari Pejabat Dinas Kehutanan

2 3

40 60

2 Minat Mengetahui

informasi tentang SKAU

a.mengetahui jenis kayu yang menggunakan blanko SKAU

b.mengetahui tata cara penerbitan SKAU 2 3

40 60 3 Evaluasi Mulai

mempertimbang kan untuk menggunakan SKAU

SKAU penting untuk dokumen angkutan agar tertib aturan

5 100

4 Percobaan Mencoba menerapkan SKAU

mencoba menerbitkan blanko SKAU Desa

5 100

5 Adopsi Menerapkan

SKAU pada periode berikutnya

menerbitkan blanko SKAU Desa secara kontinu

5 100

Sumber : Data Primer Hasil Penelitian (2011)

Pejabat desa yang diwawancarai mengetahui SKAU dengan sumber informasi, yaitu : informasi dari Kepala Desa (40%) atau informasi dari Pejabat Dinas Kehutanan (60%). Pejabat Desa menganggap SKAU penting untuk dokumen angkutan agar tertib aturan (100%) tetapi pada pelaksanaanya Desa Jugalajaya menggunakan blanko SKAU desa untuk pengangkutan kayu, bukan blanko SKAU dari Dinas Kehutanan provinsi karena dengan menggunakan blanko SKAU desa, lebih simpel dan tanpa harus adanya laporan ke Dinas


(44)

Kehutanan. Dari kelima tahapan adopsi diatas, maka dapat dikatakan bahwa respon pejabat desa terhadap SKAU adalah netral, karena kelima tahapan adopsi dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan isi Peraturan tentang SKAU.

5.5.4. Respon Pejabat Dinas Kehutanan Terhadap SKAU

Pejabat dinas kehutanan yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah 5 orang. Pejabat dinas yang diwawancarai yaitu : pejabat Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bogor dan UPT Dinas Pertanian dan Kehutanan Kecamatan Leuwiliang. Data hasil wawancara tentang respon pejabat dinas kehutanan terhadap SKAU disajikan pada Tabel 12 sebagai berikut.

Tabel 12 Respon pejabat Dinas Kehutanan terhadap SKAU No Tahapan

Adopsi

Pernyataan Jawaban Jumlah %

1 Sadar Mengetahui

SKAU

Permenhut No. P.33/2007 5 100

2 Minat Mengetahui

informasi tentang SKAU

a. tahu tata cara penerbitan SKAU b.mengetahui jenis kayu yang menggunakan blanko SKAU c. mengetahui tujuan SKAU

3 1 1 60 20 20 3 Evaluasi Mulai

mempertimbang kan untuk menggunakan SKAU

SKAU penting untuk dokumen angkutan dan tertib aturan

5 100

4 Percobaan Mencoba menerapkan SKAU

Mencoba menyalurkan SKAU 5 100

5 Adopsi Menerapkan

SKAU pada periode berikutnya

Meyalurkan blanko SKAU secara kontinu 5 100

Sumber : Data Primer Hasil Penelitian (2011)

Pejabat dinas yang diwawancarai semuanya mengetahui SKAU dengan informasi yang diperoleh dari Permenhut No P.33/2007 (100%). Pejabat dinas juga mengetahui SKAU beserta tata cara penerbitannya. Hal ini dapat ditunjukkan dari pengetahuan mereka tentang isi Permenhut tersebut. Menurut salah satu pejabat dinas, tujuan Permenhut tersebut adalah untuk penertiban peredaran kayu yang berasal dari hutan hak. Selain itu, tujuan Permenhut tersebut adalah sebagai pedoman dalam peredaran hasil hutan di hutan hak. Dari hasil wawancara, pejabat dinas menyalurkan dokumen SKAU ke desa-desa melalui UPT Dinas Pertanian dan Kehutanan setempat jika ada permohonan dari pejabat desa. Dari kelima


(45)

31

tahapan adopsi diatas, maka dapat dikatakan bahwa respon pejabat Dinas Kehutanan terhadap SKAU adalah positif, karena kelima tahapan adopsi dilaksanakan dan sesuai dengan isi Permenhut Nomor P.33/2007 tentang SKAU.

5.6. Kendala Pelaksanaan SKAU

Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) untuk pengangkutan hasil hutan kayu yang berasal dari hutan hak telah berlaku sejak dikeluarkannya Permenhut No.P.51/Menhut-II/2006 dan berlaku efektif sejak tanggal 18 Oktober 2006. Di Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga Kabupaten Bogor, SKAU mulai berlaku sejak tahun 2009, setelah ditetapkannya pejabat penerbit SKAU oleh Bupati Bogor. Dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kendala yang dihadapi. Adapun kendala yang ditemukan dilapangan diantaranya adalah sebagai berikut :

5.6.1. Dokumen SKAU

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, SKAU tidak berjalan dengan baik sebagaimana mestinya. Hal ini dikarenakan terdapat blanko SKAU yang dikeluarkan oleh desa (Lampiran 7) sehingga blanko SKAU dari Dinas Kehutanan Provinsi tidak digunakan. Alasan pejabat desa menggunakan blanko SKAU desa adalah karena akses desa yang jauh dengan Dinas Kehutanan Kabupaten, sehingga pegawai desa tidak bersedia untuk meminta blanko SKAU dari Dinas Kehutanan. Selain akses desa yang jauh ke kota, jaringan komunikasi relatif sulit, sehingga desa membuat blanko SKAU sendiri. Pada kenyataannya, pejabat desa membuat blanko SKAU sendiri karena dengan menggunakan blanko SKAU desa, lebih simpel dan tanpa harus adanya laporan ke Dinas Kehutanan. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapangan, penggunaan blanko SKAU desa (lampiran 7) selama ini tidak menjadi masalah dalam kegiatan pengangkutan.

5.6.2. Sistem Penjualan Kayu Hutan Rakyat

Pada sub bab pemasaran hasil hutan, telah dijelaskan bahwa sistem pemasaran kayu hutan rakyat di Desa Jugalajaya adalah petani menjual kayu melalui tengkulak. Oleh karena itu seharusnya tengkulak ketika mengangkut kayu dari hutan rakyat, harus mengurus SKAU di desa asal kayu tersebut. Akan tetapi biasanya ketika kayu yang diangkut belum memenuhi target muatan, tengkulak tidak mengurus SKAU di desa tersebut, dan melanjutkan pembelian kayu di desa


(1)

Lampiran 5 (Lanjutan)

3. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut :

Pasal 4

(1) Surat Keterangan Asal Usul (SKAU) digunakan untuk pengangkutan kayu bulat rakyat dan kayu olahan rakyat yang diangkut langsung dari hutan hak atau lahan masyarakat.

(2) Jenis-jenis kayu bulat rakyat atau kayu olahan rakyat yang pengangkutannya menggunakan dokumen SKAU adalah sebagaimana yang tercantum dalam lampiran Peraturan ini. (3) Pengangkutan lanjutan kayu bulat rakyat/kayu olahan rakyat menggunakan Nota yang

diterbitkan oleh pemilik kayu dengan mencantumkan nomor SKAU asal.

4. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut:

Pasal 5

(1) SKAU diterbitkan oleh Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut dimana hasil hutan kayu tersebut akan diangkut.

(2) Pejabat penerbit SKAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Bupati/Walikota berdasarkan usulan Kepala Dinas Kabupaten/Kota.

(3) Dalam hal Kepala Desa/Lurah atau pejabat setara/pejabat lain di desa tersebut berhalangan, Kepala Dinas Kabupaten/Kota menetapkan Pejabat penerbit SKAU.

5. Ketentuan Pasal 9 ayat (4) diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut:

Pasal 9

(4) Mekanisme pendistribusian blanko SKAU dan pelaporan diatur lebih lanjut oleh masing-masing Kepala Dinas Provinsi dengan mengacu pada Peraturan ini.

6. Ketentuan Pasal 10 diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut:

Pasal 10

Kayu olahan produk industri primer hasil hutan kayu yang bahan bakunya berasal dari hutan hak dan atau lahan rakyat, pengangkutannya dari industri tersebut menggunakan Faktur Angkutan Ka-yu Olahan (FAKO) atas nama industri yang bersangkutan sebagaimana telah diatur dalam Peratur-an Menteri.

7. Diantara Pasal 10 dan Pasal 11 disisipkan tiga Pasal baru, yaitu Pasal 10a, 10b, dan 10c, yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 10.a

(1) Jenis-jenis kayu Cempedak, Dadap, Duku, Jambu, Jengkol, Kelapa, Kecapi, Kenari, Mangga, Manggis, Melinjo, Nangka, Rambutan, Randu, Sawit, Sawo, Sukun, Trembesi, Waru tidak menggunakan dokumen SKAU maupun SKSKB cap “KR”, tetapi cukup menggunakan Nota yang diterbitkan penjual.

(2) Nota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa kwitansi Penjualan bermeterai cukup yang umum berlaku di masyarakat.

Pasal 10.b

Hasil hutan kayu dari pohon yang tumbuh secara alami dalam kawasan hutan yang berubah status menjadi bukan kawasan hutan (APL dan atau KBNK), tetap dikenakan PSDH/DR.

Pasal 10.c

Kayu rakyat yang tumbuh secara alami pada lahan hak atau lahan masyarakat tidak dikenakan PSDH/DR.

8. Ketentuan Pasal 11 ayat (2) diubah sehingga berbunyi menjadi sebagai berikut :

(2) Pengangkutan kayu rakyat di luar jenis-jenis yang menggunakan SKAU sebagaimana di-maksud pada Lampiran dan Nota sebagaimana didi-maksud Pasal 10a Peraturan ini, meng-gunakan SKSKB cap „KR”.


(2)

Lampiran 5 (Lanjutan)

Pasal II

(1) Ketentuan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.51/Menhut-II/2006 jo. Nomor P.62/Menhut-II/2006 tetap berlaku sepanjang tidak diubah dan tidak bertentangan dengan Peraturan ini.

(2) Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : JAKARTA Salinan sesuai dengan aslinya Pada tanggal :24 Agustus 2007

Kepala Biro Hukum dan Organisasi MENTERI KEHUTANAN,

ttd

SUPARNO, SH.

NIP. 080068472 H. M.S. KABAN

Salinan : Peraturan ini disampaikan kepada Yth. : 1. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian; 2. Menteri Dalam Negeri;

3. Menteri Perhubungan; 4. Jaksa Agung;

5. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 6. Pejabat Eselon I lingkup Departemen Kehutanan; 7. Direksi Perum Perhutani;

8. Gubernur Provinsi seluruh Indonesia; 9. Kepala Kepolisian Daerah seluruh Indonesia 10. Bupati/Walikota seluruh Indonesia;

11. Kepala Pusat Pengendalian Pembangunan Kehutanan Regional I s.d. IV;

12. Kepala Dinas Provinsi yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Kehutanan di seluruh Indonesia;

13. Kepala Dinas Kabupaten/Kota yang diserahi tugas dan tanggung jawab di bidang Kehutanan di seluruh Indonesia;


(3)

Lampiran 5 (Lanjutan)

Lampiran : Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.33/Menhut-II/2007

Tanggal : 24 Agustus 2007

DAFTAR JENIS-JENIS KAYU BULAT RAKYAT ATAU KAYU OLAHAN RAKYAT YANG PENGANGKUTANNYA MENGGUNAKAN SURAT KETERANGAN ASAL USUL

(SKAU)

No. Nama Perdagangan Nama Botani Keterangan 1. Akasia Acasia sp Kelompok akasia 2. Asam Kandis Celebium dulce

3. Bayur Pterospermum javanicum Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera Barat

4. Durian Durio zibethinus

5. Ingul/Suren Toona sureni

6. Jabon/Samama Anthocephalus sp

7. Jati Tectona grandis Tidak berlaku untuk Provinsi Banten,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, DIY, Sulawesi Tenggara, NTT dan NTB 8. Jati Putih Gmelina arborea

9. Karet Hevea braziliensis

10. Ketapang Terminalia catappa

11. Kulit Manis Cinamomum sp

12. Mahoni Swietenia sp Tidak berlaku untuk Provinsi Banten,

Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,

DIY, NTT dan NTB 13. Makadamia Makadamia ternifolia

14. Medang Litsea sp Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera Barat

15. Mindi Azadirachta indica

16. Kemiri Aleurites mollucana sp Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera Utara

17. Petai Parkia javanica

18. Puspa Schima sp

19. Sengon Paraserianthes falcataria

20. Sungkai Peronema canescens

21. Terap/Tarok Arthocarpus elasticus Hanya berlaku untuk Provinsi Sumatera Barat

Salinan sesuai dengan aslinya MENTERI KEHUTANAN, Kepala Biro Hukum dan Organisasi

Ttd,

SUPARNO, SH.


(4)

Lampiran 6 Dokumen SKAU Provinsi

PEMERINTAH PROVINSI JAWA BARAT

D I N A S K E H U T A N A N

No. Seri : Kab. /Kota :

SURAT KETERANGAN ASAL USUL (SKAU)

( KHUSUS UNTUK PENGANGKUTAN HASIL HUTAN KAYU YANG BERASAL DARI HUTAN HAK / RAKYAT )

Berlaku selama …. hari, dari tanggal ………. s/d ……… Desa / Kelurahan : ………..

Kecamatan : ……….. Kabupaten / Kota : ………..

ASAL KAYU TUJUAN PENGANGKUTAN

Bukti Kepemilikan : ……….. Nama Penerima : ……….. Nomor : ……….. Alamat Penerima : ……….. Nama Pemilik : ……….. ……….. Alamat Pemilik : ……….. ………..

……….. ……….. Tempat Muat : ……….. ………..

……….. Jenis Alat Angkut : ………..

No Jenis Kayu Jumlah Batang Volume (m3/SM)

Keterangan

1 2 3 4 5

JUMLAH

Catatan : - Kolom 3, diisi khusus untuk sortimen kayu bulat/kayu olahan masyarakat.

- Kolom 4, diisi sesuai dengan satuan ukuran yang digunakan ( meter kubik atau stapel meter ).

- Bukti kepemilikan diisi : SHM/Girik/Leter C/HGU/Hak Pakai.

- Dalam hal SKAU digunakan untuk pengangkutan lanjutan, maka Bukti Kepemilikan diisi No. Seri SKAU asal.

………,……….

Penerbit,

Kepala Desa / Lurah


(5)

Lampiran 7 Dokumen SKAU Desa Jugalajaya

PEMERINTAH KABUPATEN BOGOR

KECAMATAN JASINGA

KANTOR KEPALA DESA JUGALAJAYA

SURAT KETERANGAN ASAL USUL (SKAU)

Nomor : 522.21 / / / 2011 A. Hasil Hutan Rakyat Berasal dari :

Nama : ……… Tempat/Tgl lahir : ……… Alamat : ………

: ……… B. Di Angkut ke :

Nama Perusahaan : ……… Alamat Tujuan : ………

: ……… Nomor Polisi : ………

Berdasarkan permohonan dari Pemilik Hasil Hutan Rakyat yang berasal dari Desa Jugalajaya Kecamatan Jasinga. Jenis dan Bentuk serta tujuan pengangkutan Hasil Hutan sebagai mana tersebut di bawah ini :

No Jenis Hutan Rakyat Jumlah Volume (M3) Keterangan 1 Albazia (Jengjeng)

2 Afrika (manii) 3 Durian 4 Nangka

5 Mangga (Kaweni) 6 Kecapi

7 Kemiri 8 Karet 9 Kelapa 10 Petai (Pete)

11 Pulai Gading (Lame) 12 Binglu (Kemang) 13 Bambu

14 Jering (Jengkol) 15 Randu (Kapuk) 16 A.Portis Rakyat Jumlah Dengan Huruf Dengan Angka

Kami mohon kepada pihak UPTD peredaran Hasil Pertanian Dan Kehutanan Wilayah Bogor Barat untuk mengadakan pengecekan / pemeriksaan lebih detail terhadap hasil hutan dengan rincian sebagaimana tersebut di atas.

Demikian surat keterangan ini kami berikan kepadanya, agar dipergunakan seperlunya.

Jugalajaya, ………2011 Kepala Desa Jugalajaya


(6)