Kemudian, Gergen Gergen 1997 juga menyatakan bahwa meskipun self narrative dimiliki dan dibuat secara individual, namun
sebenarnya proses pembentukan self narrative pada setiap individu juga banyak dipengaruhi oleh sosialnya atau relasi antara individu dengan
orang lain. Kendati demikian, apabila individu menemukan dan menyadari bahwa self narrative yang selama ini ia konstruksi tidak sesuai
dengan penilaian serta narrative dari orang lain ataupun bertentangan dengan dirinya, maka ia memiliki pilihan untuk bernegosiasi dengan
orang lain atau sosialnya dan menentukan sikap tertentu. Hal ini dapat terjadi karena individu lah yang
menjadi “penentu” dan memiliki andil besar dalam menentukan berbagai pengalaman yang akan menjadi bagian
dari self narrative-nya. Negosiasi yang dilakukan individu dengan sosialnya akan membawanya pada stability narrative yaitu cerita diri yang
stabil; atau progressive narrative yaitu cerita diri yang semakin baik; atau regressive narrative yaitu cerita diri yang lebih buruk.
D. Labeling pada Remaja Pertengahan
1
Deskripsi Labeling pada Remaja Pertengahan
Pada saat memasuki usia remaja, sebagian besar remaja memiliki kebutuhan untuk melepaskan diri dan ketergantungannya pada orang tua
Papalia, 2012. Hal tersebut diperkuat dengan pendapat dari Batubara 2010 yang menyatakan bahwa remaja pertengahan sering mengeluhkan
bahwa orang tua terlalu ikut campur dalapsychom kehidupannya, sehingga
mereka mulai mempunyai keinginan untuk lepas dari orang tua dan menjadi kurang maupun tidak menghargai pendapat orang tua.
Di sisi lain, Santrock 1995 mengungkapkan bahwa dorongan maupun tuntutan remaja akan otonomi, pemberian kepercayaan, dan
tanggung jawab dari orang tua seringkali membingungkan serta membuat orang tua marah. Pada saat anaknya menuntut untuk diberikan otonomi,
kepercayaan, dan tanggung jawab, orang tua memiliki kecenderungan untuk melihat anaknya mencoba melepaskan diri dari “genggaman”
mereka. Pada akhirnya hal tersebut akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan keadaan emosional yang memanas di kedua belah
pihak. Kemudian biasanya orang tua dan remaja memiliki kecenderungan untuk saling mencaci maki, mengancam, dan melakukan apa saja untuk
memperoleh kendali. Selanjutnya, Erikson dalam Santrock, 2012 mengungkapkan
bahwa remaja harus menghadapi tahap perkembangan maupun tugas utamanya, yaitu tahap identitas versus kebingungan identitas identity vs
identity confusion. Menurut Erikson dalam Papalia, 2008, di masa ini remaja akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan terkait siapakah
dirinya, bagaimanakah dirinya, apa keunikannya, apa tujuan yang akan diraihnya, dan bagaimana peran-peran sosialnya di dalam keluarga,
masyarakat, serta kehidupan beragama. Erikson 1989 juga menyatakan bahwa sebagian besar remaja akan mengalami suatu krisis identitas ketika
menjalani proses pencarian identitasnya. Pada saat mengalami krisis
identitas, remaja akan mencoba-coba segala peran, berbagai identitas, gaya hidup, dan ideologi baru baik itu positif serta negatif untuk selanjutnya
memilih dan menentukan yang paling sesuai untuk dirinya. Bisono 2009 menyatakan bahwa dalam melewati proses pencarian
identitasnya, seorang remaja sangat membutuhkan peran dan pendampingan orang tua serta para dewasa lain yang sifatnya “parental”
secara terus menerus sampai tuntas. Kendati demikian, tampaknya masyarakat dan orang dewasa, khususnya para orang tua dari para remaja
kurang dapat memahami perubahan remaja sebagai fase mencoba-coba atau bagian dari transisi masa kanak-kanak ke dewasa. Sebagian besar
orang tua justru merasa bingung ketika harus menghadapi berbagai perubahan yang terjadi pada anaknya Santrock, 2003. Kebingungan
tersebut membuat orang tua cenderung sering mengeluhkan perubahan sikap anaknya yang berujung pada labeling atau pemberian penilaian
berupa kata-kata atau label negatif. Pada saat anaknya menginjak usia remaja, banyak orang tua melihat anaknya yang sebelumnya bersikap
manis dan taat berubah menjadi seorang yang pembangkang, tidak menurut jika dinasihati, sering keluyuran, senang mengunci diri di kamar,
pemarah, mudah ngambek, dan sering berkata kasar Bisono, 2009. Labeling akan membawa dampak negatif yang lebih besar pada
individu ketika orang yang memberikan label negatif adalah orang tuanya sendiri, sehingga individu akan lebih rentan untuk terlibat dalam suatu
pelanggaran Hagan Palloni, dalam Matsueda, 1992. Sebagai contoh
apabila orang tua memberi label nakal pada anak, label tersebut lambat laun akan berpengaruh pada citra diri anak, maka pada akhirnya anak
tersebut akan beranggapan bahwa ia adalah anak nakal dan ia akan berperilaku selayaknya anak nakal. Hal tersebut dapat terjadi karena
seorang anak biasanya akan merespon pemberian label negatif dari orang tuanya dengan menunjukkan perilaku menyimpang seperti yang
dilekatkan padanya Tannenbaum, dalam Matsueda, 1992. Selain itu, penilaian negatif yang secara berulang didapatkan anak dari orang tuanya
lambat laun akan mengarah pada pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut Matsueda, 1992. Matsueda juga menyatakan bahwa label negatif yang
dilekatkan pada
seorang anak
akan mengarahkannya
pada ketidakberdayaan, kerugian, dan kemalangan.
2 Skema 1. Labeling pada Remaja Pertengahan
Remaja Pertengahan
Mencoba identitas
atau peran
baru yang
sifatnya negatif
Fase Pencarian
Identitas. Konflik
dengan orang tua
terkait otonomi,
kebebasan, dan
kepercayaan . Meningkatnya
frekuensi perilaku
kenakalan remaja
dan antisosial.
Perubahan terkait
perkembangan fisik, kognitif,
emosi, sosial,
dan moral.
Diberi label negatif oleh significant others.
E. Pertanyaan Penelitian