Studi fenomenologi : makna pengalaman remaja pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others.

(1)

STUDI FENOMENOLOGI: MAKNA PENGALAMAN REMAJA PERTENGAHAN YANG DIBERI LABEL NEGATIF OLEH

SIGNIFICANT OTHERS

Filia Neri Sondra Puspita

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah apa makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan analisis fenomenologi interpretatif (AFI) sebagai metode analisis data penelitian. Informan dalam penelitian ini merupakan siswa/i dari beberapa sekolah menengah atas (SMA) yang berada di Yogyakarta yang berusia sekitar 15-18 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner dan melakukan wawancara semi terstruktur kepada para informan penelitian. Validitas hasil penelitian didapatkan dengan melakukan member checking, triangulasi data, dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang kaya, padat, serta rinci tentang hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para informan memaknai pengalamannya terkait pemberian label negatif dari significant others sebagai hal positif, yaitu sebagai bahan untuk menginstrospeksi dan memperbaiki diri. Kendati demikian, informan mengalami dan merasakan berbagai dampak negatif akibat label negatif yang mereka sandang, sehingga sebagian besar informan menganggap pengalamannya terkait pemberian label negatif dari significant otherssebagai pengalaman yang tidak atau kurang menyenangkan.


(2)

PHENOMENOLOGY STUDY: THE MEANING OF EXPERIENCE OF MIDDLE-AGED ADOLESCENTS WITH NEGATIVE LABELS FROM

THEIR SIGNIFICANT OTHERS

Filia Neri Sondra Puspita

ABSTRACT

The objective of this research is to find out the meaning of the experience of middle-aged adolescents whose been given negative labels from/by their significant others. Thus, the research question proposed is “what is the meaning of that experience of middle-aged adolescents whose been given negative labels from/by their significant others?”. The type of this research is a qualitative research whichuses the interpretative phenomenology analysis (IPA) as a tool to analyze the data that researcher has collected. Data were collected through questionnaires and semi-structured interviews from research subjects who are students from some of highschools in Yogyakarta. Research subjects are middle-aged adolescents, which are between the ages of 15-18 years old. The validity of this research was obtained by doing member checkings, data triangulations, and providing a rich and detailed description of the research results. Results show that the subjects have a less enjoyable/unenjoyable experience about the negative labels that have been given to them by their significant others. It is because the subjects feel and experience various negative effects caused by the negative labels that the subjects have had. On the contrary, most of the subjects view and interpret their experiences as a chance for introspection and a way to fix themselves.

Keywords: meaning of experience, middle-aged adolescents, negative labels, significant others


(3)

STUDI FENOMENOLOGI: MAKNA PENGALAMAN REMAJA PERTENGAHAN YANG DIBERI LABEL NEGATIF OLEH

SIGNIFICANT OTHERS

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh : Filia Neri Sondra Puspita

109114032

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

ii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“SEGALA SESUATU YANG DIJUMPAI TANGANMU UNTUK DIKERJAKAN, KERJAKANLAH ITU DENGAN SEKUAT TENAGA”

(PENGKHOTBAH 9 : 10)

“TETAPI KAMU INI, KUATKANLAH HATIMU, JANGAN LEMAH

SEMANGATMU, KARENA ADA UPAH BAGI USAHAMU”

(2 TAWARIKH 15:7)

WHEN YOU WANT SOMETHING,


(5)

iii

(PAULO COELHO)

Hasil karya ini kupersembahkan kepada keluargaku, papa dan mama yang begitu luar biasa,

saudara dan saudari-saudariku, Dhanu, Chelsy, Shira, dan Joana,

serta untuk orang-orang yang mengasihiku, Hendrik dan para sahabatku.

Terimakasih untuk cinta yang tak terhingga, dukungan, dan doa yang selalu kalian berikan.


(6)

iv

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN

“SEGALA SESUATU YANG DIJUMPAI TANGANMU UNTUK DIKERJAKAN, KERJAKANLAH ITU DENGAN SEKUAT TENAGA”

(PENGKHOTBAH 9 : 10)

“TETAPI KAMU INI, KUATKANLAH HATIMU, JANGAN LEMAH

SEMANGATMU, KARENA ADA UPAH BAGI USAHAMU”

(2 TAWARIKH 15:7)

WHEN YOU WANT SOMETHING,

ALL THE UNIVERSE CONSPIRES IN HELPING YOU TO ACHIEVE IT (PAULO COELHO)


(7)

v

Hasil karya ini kupersembahkan kepada keluargaku, papa dan mama yang begitu luar biasa,

saudara dan saudari-saudariku, Dhanu, Chelsy, Shira, dan Joana,

serta untuk orang-orang yang mengasihiku, Hendrik dan para sahabatku.

Terimakasih untuk cinta yang tak terhingga, dukungan, dan doa yang selalu kalian berikan.


(8)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 28 November 2014 Peneliti,


(9)

vii

STUDI FENOMENOLOGI: MAKNA PENGALAMAN REMAJA PERTENGAHAN YANG DIBERI LABEL NEGATIF OLEH

SIGNIFICANT OTHERS

Filia Neri Sondra Puspita

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah apa makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others.

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif yang menggunakan analisis fenomenologi interpretatif (AFI) sebagai metode analisis data penelitian. Informan dalam penelitian ini merupakan siswa/i dari beberapa sekolah menengah atas (SMA) yang berada di Yogyakarta yang berusia sekitar 15-18 tahun. Pengambilan data dilakukan dengan membagikan kuesioner dan melakukan wawancara semi terstruktur kepada para informan penelitian. Validitas hasil penelitian didapatkan dengan melakukan member checking, triangulasi data, dan menyediakan deskripsi-deskripsi yang kaya, padat, serta rinci tentang hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa para informan memaknai pengalamannya terkait pemberian label negatif dari significant others sebagai hal positif, yaitu sebagai bahan untuk menginstrospeksi dan memperbaiki diri. Kendati demikian, informan mengalami dan merasakan berbagai dampak negatif akibat label negatif yang mereka sandang, sehingga sebagian besar informan menganggap pengalamannya terkait pemberian label negatif dari

significant others sebagai pengalaman yang tidak atau kurang menyenangkan.


(10)

viii

PHENOMENOLOGY STUDY: THE MEANING OF EXPERIENCE OF MIDDLE-AGED ADOLESCENTS WITH NEGATIVE LABELS FROM

THEIR SIGNIFICANT OTHERS

Filia Neri Sondra Puspita

ABSTRACT

The objective of this research is to find out the meaning of the experience of middle-aged adolescents whose been given negative labels from/by their significant others. Thus, the research question proposed is “what is the meaning of that experience of middle-aged adolescents whose been given negative labels from/by their significant others?”. The type of this research is a qualitative research which uses the interpretative phenomenology analysis (IPA) as a tool to analyze the data that researcher has collected. Data were collected through questionnaires and semi-structured interviews from research subjects who are students from some of highschools in Yogyakarta. Research subjects are middle-aged adolescents, which are between the ages of 15-18 years old. The validity of this research was obtained by doing member checkings, data triangulations, and providing a rich and detailed description of the research results. Results show that the subjects have a less enjoyable/unenjoyable experience about the negative labels that have been given to them by their significant others. It is because the subjects feel and experience various negative effects caused by the negative labels that the subjects have had. On the contrary, most of the subjects view and interpret their experiences as a chance for introspection and a way to fix themselves.

Keywords: meaning of experience, middle-aged adolescents, negative labels, significant others


(11)

ix

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Nama : Filia Neri Sondra Puspita

Nomor Mahasiswa : 109114032

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

“Studi Fenomenologi: Makna Pengalaman Remaja Usia Pertengah yang Diberi Label Negatif oleh Significant Others

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan Demikian saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai peneliti.

Demikian pertanyaan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Yogyakarta, 28 November 2014 Yang menyatakan,


(12)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kritus, atas berkat dan kasih-Nya yang tak pernah berkesudahan peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Proses penyelesaian skripsi ini, membuat peneliti mengalami berbagai pengalaman suka dan duka serta berbagai pelajaran berharga yang pada akhirnya dapat membuat peneliti semakin berkembang. Sebagai pribadi yang belum terampil dalam melakukan penelitian, peneliti menerima banyak dukungan dan bimbingan, baik secara moral ataupun material yang begitu berharga dari significant others penulis. Oleh karena itu, dengan segala hormat peneliti ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Tarsisius Priyo Widiyanto, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

2. Ibu Ratri Sunar Astuti, selaku Kaprodi Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

3. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari, selaku dosen pembimbing skripsi, yang senantiasa sabar dalam memberikan bantuan atas segala kesulitan dan kebingungan yang dihadapi penulis.

4. Bapak Y.B. Cahya Widiyanto dan Ibu Debri Pristinella, selaku dosen penguji skripsi. Terimakasih atas saran serta kritik yang membangun guna penyempurnaan skripsi ini.

5. Ibu Passchedona Henrietta Puji Dwi Astuti Dian Sabbati, selaku dosen pembimbing akademik, yang senantiasa memotivasi kami, para anak bimbingan akademiknya untuk segera lulus.

6. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, yang memberikan berbagai pengalaman berharga selama 4 tahun ini.

7. Seluruh anggota keluarga, papa dan mama yang tak pernah lelah memberikan dukungan moral-material dan doa yang senantiasa menguatkan, serta saudara dan saudari-saudari peneliti yang selalu memotivasi dengan bertanya mengenai selesainya skripsi ini.


(13)

xi

8. Ignatius Hendrik Andika Wahyu Setiawan, yang selalu bersedia memberikan waktu dan tenaga untuk mendampingi peneliti selama proses pembuatan skripsi serta teman bertukar pikiran dan penghilang kegalauan yang baik. 9. Para informan penelitian. Terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesediaan

dan keterbukaan kalian untuk menceritakan pengalaman yang berharga, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 10.Wanda, Patrick, Eva, dan Tyo yang bersedia membantu peneliti untuk

membagikan kuesioner penelitian kepada teman-teman di sekolahnya. Terima kasih, kalian begitu berjasa!

11.Para sahabat road to S.Psi : Astrid, Tari, Anin, Sheilla, Rosari, dan Rika atas kebersamaan, cerita, canda-tawa, dukungan, dan bantuan nyata dalam berbagai bentuk selama perkuliahan.

12.Para sahabat yang juga tidak kalah penting : Ayu, Hana, Ezra, dan Titok, yang senantiasa menyediakan telinga untuk mendengarkan keluhan dari peneliti. Terima kasih untuk doa dan motivasinya.

13.Teman-teman seperjuangan yang tergabung dalam group Pendekar Scriptsweet. Selamat melanjutkan perjuangan kalian wahai para pendekar! 14.Pimpinan Humas, karyawan, dan seluruh staf Humas Universitas Sanata

Dhrama. Terimakasih atas kesempatan, pengalaman, dan kebersamaan di dalam dan di luar Sanata Dharma yang begitu mengesan.

Akhir kata, peneliti menyadari bahwa skripsi yang dibuat masih banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, peneliti bersedia membuka diri untuk menerima saran dan kritik yang membangun demi kesempurnaan karya ini.

Yogyakarta, 28 November 2014 Peneliti,


(14)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR SKEMA ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan Penelitian ... 7

D. Manfaat Penelitian ... 7

1. Praktis ... 7

2. Teoritis ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Labeling 1. Definisi Labeling ... 9

2. Teori Labeling ... 10

3. Dampak Labeling ... 13

B. Remaja 1. Definisi Remaja ... 16


(15)

xiii

3. Remaja dan Keluarga ... 24

C. Teori Self Narrative... 27

D. Labeling pada Remaja Pertengahan 1. Deskripsi Labeling pada Remaja Pertengahan ... 28

2. Skema Labeling pada Remaja Pertengahan ... 31

E. Pertanyaan Penelitian ... 32

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 33

A. Jenis Penelitian ... 33

B. Fokus Penelitian ... 33

C. Informan Penelitian 1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian ... 33

2. Prosedur Mendapatkan Informan Penelitian ... 34

D. Metode Pengumpulan Data ... 35

E. Metode Analisis Data ... 37

F. Verifikasi Penelitian ... 39

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 40

A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan 1. Pencarian dan Seleksi Informan Penelitian ... 40

2. Pengambilan Data ...41

B. Profil Informan Penelitian ... 42

1. Informan 1 a) Deskripsi ... 43

b) Pengalaman Terkait Label Negatif... 44

c) Pelaksanaan Wawancara ... 46

d) Analisis ... 46

2. Informan 2 a) Deskripsi ... 53

b) Pengalaman Terkait Label Negatif... 54

c) Pelaksanaan Wawancara ... 55


(16)

xiv

3. Informan 3

a) Deskripsi ... 62

b) Pengalaman Terkait Label Negatif... 63

c) Pelaksanaan Wawancara ... 65

d) Analisis ... 65

4. Informan 4 a) Deskripsi ... 72

b) Pengalaman Terkait Label Negatif... 73

c) Pelaksanaan Wawancara ... 75

d) Analisis ... 76

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 86

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Kelemahan Penelitian... ... 103

C. Saran ... 104

1) Bagi Pihak Keluarga ... 104

2) Bagi Pihak Sekolah ... 104

3) Bagi Peneliti Lain ... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 106


(17)

xv

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Labeling pada Remaja Pertengahan ... 31 Skema 2 Nomotetik Seluruh Informan ... 97


(18)

xvi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Panduan Pertanyaan Wawancara...36

Tabel 2 Ringkasan Identitas dan Deskripsi Singkat Seluruh Informan...43

Tabel 3.1 Pelaksanaan Wawancara Informan 1...46

Tabel 3.2 Pelaksanaan Wawancara Informan 2...55

Tabel 3.3 Pelaksanaan Wawancara Informan 3...65

Tabel 3.4 Pelaksanaan Wawancara Informan 4...75


(19)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Formulir Permohonan Ijin Penelitian ... 111

Lampiran 2 Kuesioner Penelitian ... 112

Lampiran 3 Verbatim Wawancara Informan 1 ... 115

Lampiran 4 Daftar Tema Utama Informan 1 ... 136

Lampiran 5 Verbatim Wawancara Informan 2 ... 140

Lampiran 6 Daftar Tema Utama Informan 2 ... 159

Lampiran 7 Verbatim Wawancara Informan 3 ... 162

Lampiran 8 Daftar Tema Utama Informan 3 ... 182

Lampiran 9 Verbatim Wawancara Informan 4 ... 186

Lampiran 10 Daftar Tema Utama Informan 4 ... 207

Lampiran 11 Hasil Triangulasi Data Informan 1 ... 213

Lampiran 12 Hasil Triangulasi Data 1 Informan 2 ... 215

Lampiran 13 Hasil Triangulasi Data 2 Informan 2 ... 217

Lampiran 14 Hasil Triangulasi Data 1 Informan 3 ... 219

Lampiran 15 Hasil Triangulasi Data 2 Informan 3 ... 222

Lampiran 16 Hasil Triangulasi Data 1 Informan 4 ... 224


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini para remaja tampaknya menghadapi bahaya dan godaan yang lebih banyak serta kompleks daripada remaja generasi sebelumnya (Feldman & Elliot, et al, dalam Santrock, 2003). Hal tersebut terjadi karena remaja saat ini sering dikaitkan dengan berbagai perilaku menyimpang. Masyarakat maupun orang dewasa sering menganggap remaja sebagai

golongan masyarakat yang “aneh” karena menganut kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianggap berbeda serta terkadang bertentangan dengan yang dianut oleh orang dewasa, terutama orang tuanya (Soekanto, 1989).

Ada begitu banyak stereotip negatif tentang remaja yang sering muncul di masyarakat. Masyarakat maupun orang dewasa sering menggambarkan remaja sebagai individu yang bermasalah, kurang hormat terhadap orang lain, mementingkan diri sendiri, dan suka berpetualang (Santrock, 2003). Di sisi lain, berkembangnya stereotip negatif tentang remaja juga disebabkan oleh kehadiran media yang sering menampilkan berita sensasional tentang remaja. Selama ini media sering menggambarkan remaja sebagai pemberontak, penentang, mudah terlibat dalam kenakalan, dan mementingkan dirinya sendiri (Condry, et al, dalam Santrock, 2003). Di samping itu, sebagian besar orang tua dari para remaja juga memberikan penilaian negatif pada berbagai perubahan dari anak remajanya. Pada saat


(21)

anaknya menginjak usia remaja, banyak orang tua melihat anaknya yang sebelumnya bersikap manis dan taat berubah menjadi seorang yang pembangkang, tidak menurut jika dinasihati, sering keluyuran, boros, malas belajar, senang mengunci diri di kamar, pemarah, mudah ngambek, serta sering berkata kasar (Bisono, 2009).

Berbagai stereotip atau penilaian negatif yang diberikan masyarakat, khususnya para orang tua kepada remaja dapat terjadi karena mereka kurang dapat memahami perubahan remaja sebagai fase mencoba-coba atau bagian dari transisi masa kanak-kanak ke dewasa. Sebagian besar orang tua justru merasa bingung ketika harus menghadapi berbagai perubahan tingkah laku dan suasana hati yang terjadi pada anaknya (Santrock, 2003). Kebingungan tersebut membuat orang tua cenderung sering mengeluhkan perubahan sikap anaknya yang berujung pada pemberian label negatif. Pemberian stereotip atau penilaian negatif atas berbagai perubahan tingkah laku maupun sikap dan suasana hati yang dialami remaja disebut labeling. Beberapa contoh label negatif yang sering diberikan pada remaja seperti pemalas, pemarah, nakal, tidak punya moral, tidak patuh, pembangkang, dan sebagainya.

Herlina (2007) mendefinisikan labeling sebagai penggambaran sifat seseorang pada hal-hal yang berhubungan dengan perilakunya berupa label atau cap tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, orang yang dapat memberikan label adalah orang yang mengenal atau mengetahui dengan baik perilaku orang yang diberi label, yaitu significant others dari individu.


(22)

Stuart dan Sudeen (dalam Istiqomah, 2012) mendefinisikan significant others sebagai orang yang dekat dan secara nyata penting bagi individu, sehingga dapat memberikan pengaruh bagi individu tersebut, seperti orang tua, saudara, pacar, guru, atau teman. Sebagai contoh, ketika seorang anak sering bangun siang maka orang tua akan memberikan label pemalas kepada anak tersebut atau apabila seorang siswa melanggar peraturan sekolah maka para guru akan menyebut siswa tersebut sebagai siswa yang nakal. Menurut Gessang (dalam Mulyati, 2010), label yang diberikan pada individu menjadi suatu ciri khas pada individu tersebut, sehingga lambat laun significant others individu yang diberi label memiliki kecenderungan untuk mengulang

dan memanggil individu dengan label tersebut.

Menurut Rachmawati (2011) pengalaman mendapatkan label tertentu, terutama label negatif memicu pemikiran dari para remaja bahwa dirinya ditolak. Pemikiran tersebut kemudian akan disertai dengan sikap penolakan yang sesungguhnya. Seorang remaja yang diberi label akan cenderung berperilaku seperti apa yang dilabelkan dan “terkurung” dalam label yang diberikan kepadanya. Berbagai label negatif yang diterima oleh seorang remaja menyebabkan remaja tersebut memiliki citra diri yang negatif dan cenderung menjerumuskan diri pada apa yang dilabelkan kepadanya, sehingga citra diri yang sebenarnya menjadi hilang. Dampak lain yang muncul dari labeling pada remaja adalah munculnya rasa rendah diri, merasa tidak berguna, merasa tidak mampu, dan pesimis (Rafif, dalam Rachmawati, 2011). Di samping itu, labeling ternyata juga membawa


(23)

dampak negatif pada aspek psikologis individu, seperti sulit mengendalikan emosi, cepat sedih dan marah, mudah putus asa, serta memiliki kecenderungan untuk melawan dan memberontak pada orang lain (Hurlock, dalam Rachmawati, 2011).

Hal serupa dengan Rachmawati juga diungkapkan oleh Osterholm (dalam Thomson, 2012) yang mengungkapkan bahwa pemberian label negatif pada individu memiliki efek destruktif pada individu yang diberi label. Label negatif yang diberikan pada individu akan mengarahkan individu pada perilaku yang menyimpang karena label negatif yang diterima secara tidak langsung dan tidak disadari memaksanya untuk masuk dalam peran tersebut, sehingga pada akhirnya individu akan menampilkan perilaku menyimpang sesuai dengan yang dilabelkan padanya. Di samping itu, pemberian label negatif juga membuat individu yang dilabel merasa menderita karena interaksi sosial dan perlakuan orang di sekitarnya menjadi berubah.

Labeling akan membawa dampak negatif yang lebih besar pada individu ketika orang yang memberikan label negatif adalah orang tuanya sendiri. Hal tersebut terjadi karena orang tua merupakan significant others yang paling berpengaruh bagi kehidupan individu, sehingga individu tersebut akan lebih rentan untuk terlibat dalam suatu pelanggaran (Hagan & Palloni, dalam Matsueda, 1992). Sebagai contoh apabila orang tua memberi label nakal pada anak, label tersebut lambat laun akan berpengaruh pada citra diri anak, maka pada akhirnya anak tersebut akan beranggapan bahwa


(24)

ia adalah anak nakal dan ia akan berperilaku selayaknya anak nakal. Hal tersebut dapat terjadi karena seorang anak biasanya akan merespon pemberian label negatif dari orang tuanya dengan menunjukkan perilaku menyimpang seperti yang dilekatkan padanya (Tannenbaum, dalam Matsueda, 1992). Selain itu, penilaian negatif yang secara berulang didapatkan anak dari orang tuanya lambat laun akan mengarah pada pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut (Matsueda, 1992). Matsueda juga menyatakan bahwa label negatif yang dilekatkan pada seorang anak akan mengarahkannya pada ketidakberdayaan, kerugian, dan kemalangan.

Labeling merupakan suatu hal yang sering dan mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin labeling telah menjadi bagian dari pola komunikasi sehari-hari bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Setiap individu, entah dengan sengaja atau tidak kemungkinan pernah mendapat label negatif dari orang lain, atau justru individu tersebutlah yang pernah memberikan label negatif pada orang lain. Selain membawa banyak dampak negatif, labeling tampaknya juga membuat orang yang diberi label negatif mendapat pengalaman sulit dan tidak menyenangkan dalam menjalani kehidupan atau kesehariannya serta interaksi sosialnya. Akan tetapi, tampaknya sebagian orang melihat fenomena labeling sebagai hal yang biasa. Hal inilah yang kemudian menjadi suatu keprihatinan bagi peneliti.

Hasil penelitian Mulyati (2010) mengenai hubungan labeling dengan prestasi belajar siswa di SMA Muhammadiyah Gubug Purwodadi


(25)

menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara labeling dan prestasi belajar siswa. Pemberian label negatif berkorelasi positif dengan penurunan prestasi belajar pada para siswa. Hasil penelitian lain mengenai hubungan antara labeling dengan konsep diri remaja di SMA Negeri 1 Geyer Purwodadi juga menunjukkan adanya korelasi positif antara labeling dan konsep diri. Akan tetapi, meskipun jumlah remaja yang mendapat label negatif cukup banyak, namun hanya beberapa remaja yang memiliki konsep diri negatif, sedangkan remaja lainnya tetap memiliki konsep diri positif (Rosiana, 2011). Di sisi lain, meskipun sebelumnya telah dipaparkan mengenai berbagai dampak negatif dari labeling, namun hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa pemberian label tidak membawa dampak negatif bagi remaja (Rachmawati, 2011). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa SMP Islam Raudlatul Falah Bermi Pati tidak terlalu mempedulikan label yang diberikan oleh teman-temannya. Sebagian besar siswa justru mengganggap label yang diberikan oleh temannya sebagai suatu candaan ataupun panggilan kesayangan.

Adanya hasil yang berbeda atas dampak labeling semakin mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai labeling, khususnya mengenai makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others. Di samping itu, penelitian ini dirasa penting karena label yang diberikan oleh significant others pada remaja akan menentukan bagaimana kelak ia memandang dan menilai dirinya serta menentukan baik atau buruknya perilaku remaja pada masa


(26)

yang akan datang. Informan penelitian merupakan remaja usia 15-18 tahun yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di wilayah Yogyakarta. Metode utama pengumpulan data yang akan dipakai adalah wawancara semi terstruktur.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Apa makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan oleh peneliti adalah untuk mengetahui makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian terbagi menjadi dua macam, yaitu manfaat praktis dan manfaat teoritis.

1. Manfaat praktis :

a) Bagi significant other (orang tua dan guru atau pihak sekolah) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan bagi significant other (orang tua dan guru atau pihak sekolah) supaya mereka dapat lebih mengerti dan memahami


(27)

pengalaman remaja usia pertengahan yang mendapat label negatif dari significant others, sehingga diharapkan mereka dapat menentukan sikap, cara, serta pola pendampingan yang sesuai untuk menghadapi para remaja.

b) Bagi informan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan bagi remaja usia pertengahan yang mendapat label negatif dari significant others supaya mereka dapat lebih mengerti dan memahami pengalamannya tersebut secara utuh serta menyeluruh, sehingga diharapkan mereka tahu cara yang tepat untuk menyikapi pengalamannya.

c) Bagi peneliti lain

Mengingat bahwa hasil penelitian mengenai labeling masih jarang atau sangat sedikit di Indonesia, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan dan acuan bagi peneliti yang tertarik untuk meneliti topik yang berkaitan dengan labeling.

2. Manfaat teoritis :

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumber pengetahuan dan sumbangan ilmiah yang berarti dalam ilmu psikologi, khususnya dalam bidang psikologi perkembangan serta psikologi pendidikan. Dimana hal ini terkait dengan makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others.


(28)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Labeling

1. Definisi Labeling

Herlina (2007) mendefinisikan labeling sebagai penggambaran sifat seseorang dalam hal-hal yang berhubungan dengan perilaku berupa label tertentu. Menurut A Handbook for The Study of Mental Health, label adalah sebuah definisi yang ketika diberikan kepada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut dan menjelaskan bagaimanakah orang tersebut. Gove (dalam Thomson, 2012) menggambarkan labeling sebagai suatu penamaan negatif yang dilekatkan pada tindakan maupun atribut dari orang yang menyimpang. Sedangkan, Smith dan Luckasson (dalam Thomson, 2012) mendefinisikan labeling sebagai cara untuk mengidentifikasi individu berdasarkan suatu kategori yang sudah ditetapkan.

Sementara itu, Narwoko dan Suyanto (2006) menjelaskan labeling sebagai pemberian julukan atau cap pada individu dan atau tindakannya. Menurut Gessang (dalam Mulyati, 2010) labeling merupakan suatu identitas yang diberikan pada seseorang maupun kelompok berdasarkan atribut atau ciri sosial yang dimiliki, dimana identitas tersebut bersifat membedakan seseorang maupun kelompok satu dengan yang lainnya. Atribut atau ciri yang diberikan dapat berasal dari ciri fisik yang menonjol,


(29)

penyakit menetap yang diderita, karakter atau sifat, orientasi seksual, ciri kolektif ras, etnik, dan golongan.

Berdasarkan beberapa definisi mengenai labeling, maka dapat disimpulkan bahwa labeling merupakan pemberian sebutan, label, cap, ataupun julukan kepada individu berdasarkan ciri atau karakteristik khusus yang melekat seperti fisik, sifat atau karakter, perilaku, dan sebagainya guna memberikan suatu ciri khusus yang membedakan individu satu dengan yang lainnya.

2. Teori Labeling

Teori labeling menekankan pada pentingnya melihat penyimpangan dari sudut pandang individu yang diberi label negatif. Pada saat individu melakukan perilaku menyimpang, maka individu tersebut akan mendapat label negatif. Apabila label negatif secara terus menerus dilekatkan pada individu, maka ia akan terbiasa dengan label tersebut dan cenderung berperilaku sesuai dengan label yang dilekatkan padanya (Thomson, 2012).

Turner (dalam Rachmawati, 2010) menyatakan bahwa teori labeling memiliki dua proposisi yang berbeda. Pada proporsi pertama, perilaku menyimpang tidak dilihat sebagai suatu perlawanan terhadap norma, tetapi merupakan respon terhadap label negatif yang secara terus menerus dilekatkan pada individu. Respon dari individu yang diberi label negatif terhadap reaksi sosial dan perlakuan orang di sekitarnya justru akan


(30)

menghasilkan penyimpangan sekunder atau penyimpangan yang cenderung berulang. Selanjutnya, individu yang mendapat label negatif akan membentuk citra diri atau definisi diri (self-image or self definition) sebagai seseorang yang menyimpang pula. Pada proposisi kedua, label negatif yang dilekatkan pada individu akan menghasilkan maupun memperkuat penyimpangan itu sendiri.

Edwin Lemert (1950) membagi teori labeling ke dalam dua konsep penting, yaitu primary devience dan secondary devience. Primary devience adalah suatu penyimpangan yang bersifat sementara, sehingga individu yang melakukan penyimpangan biasanya masih dapat diterima oleh kelompok sosialnya, sebab penyimpangan terhadap norma-norma umum yang ada di masyarakat tidak berlangsung secara terus-menerus. Sedangkan, secondary devience adalah penyimpangan yang sering dilakukan oleh individu, sehingga menimbulkan akibat yang cukup parah dan membuat orang lain merasa terganggu. Secondary devience juga berkaitan dengan proses dimana individu yang melakukan penyimpangan

dianggap sebagai “orang asing” atau “orang luar” dari suatu masyarakat akibat adanya label negatif pada individu tersebut.

Selain dua konsep di atas, menurut Kai T. Erikson (dalam Rosiana, 2011) terdapat dua konsep lain dalam teori labeling, yaitu :

1) Master Status

Teori labeling memiliki label dominan yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut master status. Konsep tersebut


(31)

mengandung makna bahwa suatu label yang dilekatkan pada individu biasanya akan dilihat sebagai karakteristik yang lebih menonjol dibandingkan karakteristik lain pada individu yang bersangkutan.

Bagi beberapa orang, label yang diberikan orang lain pada individu akan membuat mereka berpikiran dan memandang dirinya seperti apa yang dilabelkan kepadanya. Hal tersebut jelas akan membuat individu yang diberi label menjadi “terkungkung” pada apa yang dilabelkan. Pada akhirnya, label tersebut justru akan membuat individu yang diberi label berperilaku sesuai dengan apa yang dilabelkan padanya.

Dampak negatif lainnya yang mungkin timbul dari pemberian label pada individu adalah adanya keengganan dari orang-orang sekitarnya seperti keluarga atau teman untuk berinteraksi dengan individu tersebut. Dengan kata lain, individu yang diberi label sebagai orang yang menyimpang akan mendapat berbagai konsekuensi negatif dan bahkan mungkin saja mereka tidak akan diterima oleh lingkungan sosialnya.

2) Deviant Career

Konsep deviant career mengacu pada perilaku individu yang menjadi sesuai dengan apa yang dilabelkan kepadanya. Pada tahap ini, individu yang diberi label berperilaku sama persis dengan apa yang dilabelkan kepadanya.


(32)

3. Dampak Labeling

Dann (1997) menyatakan bahwa apabila individu sudah diberi label negatif, maka label tersebut akan sangat sulit atau bahkan tidak mungkin untuk dihilangkan. Menurut Thoits (dalam Herlina, 2007), individu yang diberi label negatif dan diperlakukan sebagai orang yang menyimpang oleh masyarakat pada akhirnya benar-benar akan menjadi orang yang menyimpang. Osterholm (dalam Thomson, 2012) mengungkapkan bahwa pemberian label negatif pada individu memiliki efek destruktif pada individu yang diberi label. Label negatif yang diberikan pada individu akan mengarahkan individu pada perilaku yang menyimpang karena label negatif yang diterima secara tidak langsung dan tidak sengaja memaksanya untuk masuk dalam peran yang menyimpang. Hal tersebut dapat terjadi karena individu yang diberi label negatif pada akhirnya akan menampilkan perilaku menyimpang sesuai dengan yang dilabelkan padanya. Pemberian label negatif juga membuat individu yang dilabel merasa terbeban karena interaksi sosial dan perlakuan orang di sekitarnya menjadi berubah. Sebagian besar orang-orang yang berada di sekitar individu yang diberi label seperti keluarga maupun teman biasanya akan menunjukkan suatu keengganan untuk berinteraksi dengan individu tersebut.

Di samping itu, labeling ternyata juga membawa dampak negatif pada aspek psikologis individu, seperti sulit mengendalikan emosi, cepat sedih dan marah, mudah putus asa, serta memiliki kecenderungan untuk melawan dan memberontak pada orang lain (Hurlock, dalam Rachmawati,


(33)

2011). Goffman (dalam Scheff, 2010) juga menyatakan bahwa pemberian label negatif dapat menyebabkan individu tersebut merasa malu dan seperti mendapat suatu penghinaan. Kuther (dalam Scheff, 2010) mengamati bahwa pemberian label negatif pada individu mengesankan bahwa individu tersebut menyandang status negatif pula dalam masyarakat. Hal tersebut dapat terjadi karena pada saat individu diberi label negatif oleh masyarakat, berbagai hal negatif akan melekat pada individu tersebut. Di samping itu, individu yang diberi label akan diperlakukan oleh significant others sesuai dengan label yang melekat pada dirinya. Hal tersebut kemudian dapat menyebabkan individu yang diberi label negatif menjadi depresi, memiliki harga diri yang rendah, konsep diri yang negatif, menarik diri dari dunia sosial, dan enggan untuk meminta bantuan pada orang lain (Corrigan, et al, dalam Moses, 2009).

Labeling akan membawa dampak negatif yang lebih besar pada individu ketika orang yang memberikan label negatif adalah orang tuanya sendiri, sehingga individu akan lebih rentan untuk terlibat dalam suatu pelanggaran (Hagan & Palloni, dalam Matsueda, 1992). Sebagai contoh apabila orang tua memberi label nakal pada anak, label tersebut lambat laun akan berpengaruh pada konsep diri anak, maka pada akhirnya anak tersebut akan beranggapan bahwa ia adalah anak nakal dan ia akan berperilaku selayaknya anak nakal. Hal tersebut dapat terjadi karena seorang anak biasanya akan merespon pemberian label negatif dari orang tuanya dengan menunjukkan perilaku menyimpang seperti yang dilekatkan padanya


(34)

(Tannenbaum, dalam Matsueda, 1992). Selain itu, penilaian maupun label negatif yang secara berulang didapatkan anak dari orang tuanya lambat laun akan mengarah pada pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut (Matsueda, 1992). Matsueda juga menyatakan bahwa label negatif yang dilekatkan pada seorang anak akan mengarahkannya pada ketidakberdayaan, kerugian, dan kemalangan. Di sisi lain, Saputro (dalam Mulyati, 2010) pun menyatakan bahwa label negatif yang melekat pada remaja akan menyebabkan remaja tersebut tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang labil serta tidak memiliki rasa percaya diri.

Berdasarkan beberapa penjelasan mengenai dampak negatif yang muncul dari labeling, dapat disimpulkan bahwa pemberian label negatif akan memberikan efek destruktif yang besar bagi individu. Efek destruktif yang nyata dialami oleh individu atas pemberian label negatif kepadanya meliputi kesulitan untuk mengendalikan emosi, merasa cepat sedih dan marah, mudah putus asa, memiliki kecenderungan untuk melawan serta memberontak pada orang lain, merasa terbebani, terhina, tidak berdaya, malang, rugi, malu, depresi, tidak percaya diri, labil, memiliki harga diri rendah, konsep diri negatif, menarik diri dari dunia sosial, dan enggan meminta bantuan pada orang lain. Di sisi lain, significant others individu yang diberi label negatif juga akan menunjukkan keengganan untuk berinteraksi dengan individu atau bahkan mungkin saja lingkungan sosialnya tidak akan menerimanya.


(35)

B. Remaja

1. Definisi Remaja

Masa remaja (adolescence) diartikan sebagai masa perkembangan yang merupakan transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional (Santrock, 2003). Secara psikologis, masa remaja seseorang berlangsung pada usia 12 sampai 21 tahun. Remaja dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu remaja awal dengan batasan usia 12-15 tahun, remaja tengah dengan batasan usia 15-18 tahun, dan remaja akhir dari usia 18-21 tahun (Monks, 2002). Masa remaja awal merupakan masa sekolah menegah pertama dan sebagian besar mencakup perubahan pubertas. Remaja yang berada pada masa remaja tengah dan akhir cenderung memiliki minat yang sama pada karir, relasi dengan lawan jenis, dan eksplorasi identitas.

Di sisi lain, WHO memberikan definisi tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Remaja diartikan sebagai suatu masa dimana (a) individu untuk pertama kalinya berkembang ke arah kematangan seksual; (b) individu mengalami perkembangan psikologi dan pola identifikasi dari kanak-kanak menjadi dewasa; (c) terjadinya peralihan ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh menjadi relatif lebih mandiri (Muangman, dalam Sarwono, 1994).


(36)

2. Karakteristik Perkembangan Remaja

Yusuf (2010) menyatakan bahwa remaja memiliki karakteristik perkembangan yang meliputi :

a) Perkembangan Fisik

Pada saat masa remaja sebagian besar individu akan mengalami masa pubertas. Pubertas merupakan masa dimana terjadi pertumbuhan fisik yang sangat pesat yang melibatkan perubahan hormonal dan bentuk tubuh yang berlangsung selama masa remaja awal. Pada masa pubertas, proporsional bagian-bagian tubuh tertentu akan mencapai kematangan yang lebih cepat jika dibandingkan dengan bagian-bagian yang lain. Pada saat individu memasuki masa remaja akhir, proporsi tubuh individu mencapai proporsi tubuh orang dewasa dalam semua bagiannya. Di sisi lain, proses pertumbuhan dan perkembangan otak pada remaja mencapai kesempurnaan atau kematangan yang dimulai dari rentang usia 12 hingga 20 tahun. Pada usia 16 tahun, berat otak remaja bahkan sudah sama dengan orang dewasa.

Selain pertumbuhan dan perkembangan fisik serta otak, pada saat yang sama remaja juga mengalami perkembangan seksual yang ditandai dengan munculnya karakteristik seks primer dan sekunder. Karakteristik seks primer adalah organ yang dibutuhkan untuk reproduksi. Pada wanita, organ reproduksi yang berkembang adalah ovarium, tuba falopi, uterus, dan vagina.


(37)

Sedangkan pada pria, organ reproduksi yang berkembang adalah testis, penis, skrotum, gelembung sprema, dan kelenjar prostat. Karakteristik seks sekunder adalah sinyal fisiologis kematangan seksual yang tidak mencakup organ seks. Pada wanita biasanya ditandai dengan menarche atau menstruasi pertama, tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan dan ketiak, bertambah besarnya payudara serta pinggul, dan kulit menjadi lebih berminyak serta berjerawat. Sedangkan pada pria biasanya ditandai dengan spermache atau ejakulasi pertama, tumbuhnya bulu di sekitar kemaluan dan ketiak, perubahan suara, tumbuhnya kumis serta jakun, bahu melebar, dan kulit menjadi lebih kasar, berminyak, serta berjerawat.

b) Perkembangan Kognitif

Pada masa remaja, sistem saraf yang berfungsi untuk memproses informasi berkembang secara cepat. Di samping itu, pada masa ini juga terjadi reorganisasi lingkaran saraf lobe frontal yang berfungsi sebagai kegiatan kognitif tingkat tinggi yang meliputi kemampuan merumuskan perencanaan strategis maupun dalam pengambilan keputusan. Perkembangan lobe frontal ini sangat berpengaruh pada kemampuan intelektual remaja. Di sisi lain, dilihat dari perkembangan kognitif Piaget, pada umumnya remaja sudah mencapai tahap operasional formal. Secara mental remaja sudah mampu berpikir logis tentang berbagai gagasan


(38)

yang abstrak. Oleh karena itu, dalam memecahkan masalah remaja mulai mampu bersifat hipotesis dan abstrak serta sistematis dan ilmiah daripada berpikir konkret. Keating (dalam Adam & Gullota, 1983) merumuskan lima hal pokok yang berkaitan dengan perkembangan berpikir operasional formal pada remaja, yaitu sebagai berikut :

1) Cara berpikir remaja berkaitan erat dengan dunia kemungkinan (world of possibilities). Remaja sudah mampu menggunakan abstraksi-abstraksi dan dapat membedakan antara yang nyata serta konkret dengan yang abstrak dan mungkin.

2) Melalui kemampuannya untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan menalar secara ilmiah.

3) Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan membuat perencanaan dan mengeksplorasi berbagai kemungkinan untuk mencapainya.

4) Remaja menyadari adanya aktivitas kognitif dan mekanisme yang membuat proses kognitif menjadi efisien atau tidak serta menghabiskan waktunya untuk mempertimbangkan pengaturan kognitif internal tentang bagaimana serta apa yang harus dipikirkannya. Oleh karena itu, introspeksi diri menjadi bagian dari kehidupannya sehari-hari dari para remaja.


(39)

5) Berpikir operasional formal memungkinkan terbukanya topik-topik baru dan perluasan pemikiran. Aspek pemikiran remaja menjadi semakin luas, yang meliputi aspek agama, keadilan, moralitas, serta identitas.

c) Perkembangan Emosi

Masa remaja merupakan puncak emosionalitas, yaitu taraf perkembangan emosi yang paling tinggi. Pada masa ini akan berkembang emosi maupun perasaan-perasaan dan dorongan-dorongan baru yang belum pernah dialami sebelumnya, seperti perasaan cinta, rindu, dan keinginan untuk berkenalan lebih intim dengan lawan jenis yang dipengaruhi oleh pertumbuhan fisik remaja, terutama organ-organ seksualnya.

Pada usia remaja awal, perkembangan emosi ditunjukkan dengan munculnya sifat sensitif dan reaktif yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa maupun situasi sosial. Selain itu, emosi remaja awal juga bersifat negatif dan temperamental seperti mudah tersinggung, mudah marah, mudah sedih, maupun murung. Sedangkan, remaja akhir cenderung sudah mampu mengendalikan emosinya.

Salah satu tugas perkembangan yang dirasa sangat sulit bagi remaja adalah mencapai kematangan emosional. Proses pencapaian kematangan emosional remaja sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama keluarga


(40)

dan teman sebaya. Apabila remaja berada di lingkungan yang diwarnai oleh hubungan yang hamornis, saling percaya, saling menghargai, dan penuh tanggung jawab, maka remaja cenderung dapat mencari kematangan emosionalnya. Remaja yang memiliki kematangan emosional ditandai dengan adanya (1) adekuasi emosi seperti cinta kasih, simpati, senang menolong orang lain, ramah, dan mampu menghormati maupun menghargai orang lain serta (2) pengendalian emosi seperti tidak mudah tersinggung, tidak agresif, bersikap optimis dan tidak mudah putus asa, serta dapat menghadapi situasi frustasi secara wajar.

Sebaliknya, apabila remaja kurang dipersiapkan untuk memahami peran-perannya dan kurang mendapat perhatian serta kasih sayang dari orang tua maupun pengakuan dari teman sebayanya, maka mereka cenderung akan mengalami kecemasan, perasaan tertekan maupun ketidaknyamanan emosional. Dalam menghadapi kecemasan, perasaan tertekan, maupun ketidaknyamanan emosionalnya remaja akan merespon dengan menampilkan perilaku yang maladjusment.

Perilaku tersebut kemudian akan muncul dalam dua bentuk. Pertama adalah perilaku agresif seperti senang mengganggu, berkelahi, melawan, dan keras kepala. Kedua adalah perilaku yang cenderung melarikan diri dari kenyataan yang dilakukan


(41)

dengan melamun, menjadi pendiam, senang menyendiri, dan mengkonsumsi minuman keras atau obat-obatan terlarang. d) Perkembangan Sosial

Masa remaja merupakan saat dimana identitas diri berkembang. Perkembangan identitas diri merupakan tugas perkembangan utama yang harus dilalui remaja yang nantinya akan memberikan dasar bagi masa dewasa. Perkembangan identitas diri juga dapat dikatakan sebagai aspek utama bagi kepribadian yang sehat yang merefleksikan kesadaran diri, kemampuan mengidentifikasi orang lain, dan mempelajari tujuan-tujuan agar dapat berpartisipasi dalam budaya dan lingkungannya. Pada tahap ini, remaja akan berusaha untuk menjadi orang dewasa yang unik dengan pemahaman diri yang utuh dan memiliki pemahaman terkait dengan peran serta nilai yang ada dalam masyarakat.

Menurut Erikson, dalam fase pencarian identitas diri remaja akan bereksperimen dengan sejumlah peran dan identitas baru yang mereka ambil dari kebudayaan sekitarnya. Tidak jarang pada saat itulah para remaja akan menghadapi suatu krisis dan menemukan berbagai peran serta identitas yang bertentangan dengan dirinya. Remaja yang berhasil menghadapi krisis dan mengatasi peran serta identitas yang saling bertentangan akan muncul dengan kepribadian baru yang menarik dan diterima oleh


(42)

lingkungannya. Selain itu, keberhasilan remaja dalam menghadapi krisis identitasnya juga akan membawan remaja pada penemuan suatu identitas mengenai dirinya. Sementara itu, remaja yang gagal menghadapi krisis identitas akan mengalami apa yang oleh Erikson disebut sebagai kebingungan identitas (identity confusion).

Di samping itu, social cognition atau kemampuan untuk memahami orang lain mulai berkembang pada masa remaja. Remaja mampu memahami orang lain sebagai individu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat, nilai-nilai hidup maupun perasaannya. Pemahaman inilah yang pada akhirnya mendorong remaja untuk menjalin hubungan sosial yang lebih akrab dengan orang lain, terutama teman sebaya, baik dalam menjalin persahabatan maupun percintaan.

Sedangkan dalam persahabatan, remaja akan memilih teman yang memiliki kualitas psikologis maupun karakteristik yang relatif sama dengan dirinya, baik menyangkut minat, sikap, nilai, dan kepribadian. Pada masa ini pula berkembanglah sikap konformitas atau kecenderungan untuk mengikuti opini, pendapat, nilai, kebiasaan, dan kegemaran maupun keinginan orang lain, terutama teman sebayanya. Perkembangan sikap konformitas dalam diri remaja dapat menyebabkan dampak positif dan negatif. Apabila kelompok teman sebaya yang diikuti


(43)

maupun dijadikan contoh oleh remaja menampilkan sikap dan perilaku yang secara moral maupun agama dapat dipertanggungjawabkan, maka kemungkinan besar remaja tersebut mampu menampilkan pribadi yang baik. Sebaliknya, apabila kelompok teman sebayanya menampilkan sikap dan perilaku maladjusment atau melecehkan nilai-nilai moral, maka akan sangat mungkin apabila remaja akan menampilkan perilaku yang sama seperti kelompoknya.

e) Perkembangan Moral

Jika dibandingkan dengan usia anak-anak, tingkat moralitas remaja sudah lebih matang. Para remaja sudah mengenal tentang nilai-nilai moral maupun konsep-konsep moralitas, seperti kejujuran, keadilan, kesopanan, dan kedisiplinan. Pada masa ini, dalam diri remaja muncul dorongan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dinilai baik oleh orang lain. Dalam tahap ini, remaja berperilaku baik bukan hanya untuk memenuhi kepuasan fisiknya, namun untuk memenuhi kepuasan psikologisnya yang berupa rasa puas dengan adanya penerimaan dan penilaian positif dari orang lain terkait dengan perbuatannya.

3. Remaja dan Keluarga

Waktu selama 15 hingga 20 tahun dimana seorang remaja mengalami interaksi sosial secara intensif di dalam keluarga merupakan


(44)

waktu dan proses yang panjang serta penting. Hal tersebut dapat terjadi karena baik atau buruknya interaksi sosial dan berbagai proses perkembangan yang dialami remaja di dalam keluarganya, akan menentukan baik atau buruknya perkembangan remaja di masa-masa berikutnya. Kekuatan dan kelemahan remaja banyak bersumber dari kekuatan serta kelemahan dari keluarganya sendiri (Surakhmad, 1980).

Selanjutnya, berbagai pertumbuhan dan perkembangan remaja dalam hal fisik, emosi, intelektual, sosial, dan sebagainya serta perubahan perilaku dari para remaja ditanggapi dan dinilai secara berbeda oleh orang tua. Apabila tanggapan dan penilaian orang tua baik dan positif serta penuh pengertian dan dukungan, maka meskipun proses pertumbuhan dan perkembangan yang dialami remaja terkadang sulit dan harus menghadapi banyak masalah ataupun hambatan, namun para remaja akan dapat melewatinya dengan baik. Akan tetapi, apabila para remaja sudah merasa tidak dipahami, tidak didukung, tidak disayangi, dan merasa kecewa dengan tanggapan dan penilaian negatif orang tua terhadapnya, maka mereka cenderung akan bersikap kurang peduli, cuek atau acuh, dan menentang orang tuanya (Riberu, 1985).

Di sisi lain, Surakhmad (1980) juga menyatakan bahwa banyak remaja beranggapan bahwa orang tua tidak cukup mampu memahami persoalan-persoalan dan kebutuhan-kebutuhan mereka, sehingga timbul kekecewaan dan ketidakpuasan dari para remaja terhadap orang tuanya.


(45)

Perasaan kecewa dan ketidakpuasan tersebut kemudian dimanifestasikan oleh para remaja dalam bentuk perilaku maupun perbuatan yang negatif.

Pada dasarnya, sepanjang tahun-tahun masa remaja, konflik dengan orang tua menjadi hal yang paling sering dialami remaja, terutama pada masa awal remaja dan mencapai puncaknya pada masa pertengahan remaja. Selain itu, pada masa remaja pertengahan terjadi pula peningkatan kenakalan remaja dan perilaku antisosial (Papalia, 2012). Konflik remaja dan orang tua sebagian besar berkaitan dengan kasus otonomi dan kebebasan. Di saat remaja ingin mendapatkan kebebasan berperilaku dan memutuskan apa yang terbaik untuknya namun bertemu dengan pandangan yang berbeda dari orang tuanya, maka hal tersebut kemudian akan menimbulkan konflik di kedua belah pihak (Yusuf, 2010).

Banyak orang tua melihat anak remajanya berubah dari patuh menjadi tidak patuh, melawan, dan menentang standar orang tuanya. Kemudian orang tua juga seringkali memberikan penilaian dengan kata-kata negatif berupa cemoohan atau ejekan yang menonjolkan kelemahan maupun kesalahan yang diperbuat anak remajanya. Padahal sebenarnya jika para remaja mulai banyak mengalami perubahan bahkan melakukan

penyimpangan, pada dasarnya mereka sedang melakukan “uji tesis diri”

terhadap semua hal di sekitarnya, mereka mampu mengahadapinya sendiri atau masih membutuhkan bantuan orang lain (Bisono, 2009).


(46)

C. Teori Self Narrative

Teori self narrative adalah teori mengenai cerita diri individu yang dikonstruksi berdasarkan pengalaman hidupnya (Gergen & Gergen, 1997). Dalam membentuk self narrative, individu berperan aktif dan

bertindak sebagai “penentu” dari cerita dirinya. Self narrative individu berisi mengenai berbagai pengalaman yang dirasa penting serta relevan bagi hidup individu yang terjadi selama rentang waktu tertentu. Oleh karena itu, individu memiliki kecenderungan untuk mengkaitkan suatu pengalaman dengan pengalaman lain dalam hidupnya dan melihat pengalaman-pengalaman tersebut sebagai hal yang saling berkaitan (Cohler & Kohli, dalam Gergen & Gergen, 1997).

Di sisi lain, Gergen & Gergen (1997) menyatakan bahwa dalam proses pembentukan self narrative individu ternyata tidak hanya bertugas untuk mengkonstruksi berbagai pengalaman hidupnya, namun individu juga mampu merekonstruksi berbagai pengalaman hidupnya. Hal ini dapat terjadi karena teori self narrative berasumsi bahwa individu memiliki kapasitas dan kemampuan untuk memahami berbagai pengalamannya. Proses rekonstruksi self narrative individu terjadi setelah individu mampu mengolah dan merefleksikan berbagai pengalaman hidupnya sebagai suatu hal yang utuh serta saling berkaitan, sehingga selanjutnya ia lebih mampu memahami pengalamannya dan mengerti bagaimana ia harus bertindak dalam menghadapi pengalamannya tersebut.


(47)

Kemudian, Gergen & Gergen (1997) juga menyatakan bahwa meskipun self narrative dimiliki dan dibuat secara individual, namun sebenarnya proses pembentukan self narrative pada setiap individu juga banyak dipengaruhi oleh sosialnya atau relasi antara individu dengan orang lain. Kendati demikian, apabila individu menemukan dan menyadari bahwa self narrative yang selama ini ia konstruksi tidak sesuai dengan penilaian serta narrative dari orang lain ataupun bertentangan dengan dirinya, maka ia memiliki pilihan untuk bernegosiasi dengan orang lain atau sosialnya dan menentukan sikap tertentu. Hal ini dapat terjadi karena individu lah yang menjadi “penentu” dan memiliki andil besar dalam menentukan berbagai pengalaman yang akan menjadi bagian dari self narrative-nya. Negosiasi yang dilakukan individu dengan sosialnya akan membawanya pada stability narrative yaitu cerita diri yang stabil; atau progressive narrative yaitu cerita diri yang semakin baik; atau regressive narrative yaitu cerita diri yang lebih buruk.

D. Labeling pada Remaja Pertengahan

1) Deskripsi Labeling pada Remaja Pertengahan

Pada saat memasuki usia remaja, sebagian besar remaja memiliki kebutuhan untuk melepaskan diri dan ketergantungannya pada orang tua (Papalia, 2012). Hal tersebut diperkuat dengan pendapat dari Batubara (2010) yang menyatakan bahwa remaja pertengahan sering mengeluhkan bahwa orang tua terlalu ikut campur dalapsychom kehidupannya, sehingga


(48)

mereka mulai mempunyai keinginan untuk lepas dari orang tua dan menjadi kurang maupun tidak menghargai pendapat orang tua.

Di sisi lain, Santrock (1995) mengungkapkan bahwa dorongan maupun tuntutan remaja akan otonomi, pemberian kepercayaan, dan tanggung jawab dari orang tua seringkali membingungkan serta membuat orang tua marah. Pada saat anaknya menuntut untuk diberikan otonomi, kepercayaan, dan tanggung jawab, orang tua memiliki kecenderungan

untuk melihat anaknya mencoba melepaskan diri dari “genggaman”

mereka. Pada akhirnya hal tersebut akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan keadaan emosional yang memanas di kedua belah pihak. Kemudian biasanya orang tua dan remaja memiliki kecenderungan untuk saling mencaci maki, mengancam, dan melakukan apa saja untuk memperoleh kendali.

Selanjutnya, Erikson (dalam Santrock, 2012) mengungkapkan bahwa remaja harus menghadapi tahap perkembangan maupun tugas utamanya, yaitu tahap identitas versus kebingungan identitas (identity vs identity confusion). Menurut Erikson (dalam Papalia, 2008), di masa ini

remaja akan dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan terkait siapakah dirinya, bagaimanakah dirinya, apa keunikannya, apa tujuan yang akan diraihnya, dan bagaimana peran-peran sosialnya di dalam keluarga, masyarakat, serta kehidupan beragama. Erikson (1989) juga menyatakan bahwa sebagian besar remaja akan mengalami suatu krisis identitas ketika menjalani proses pencarian identitasnya. Pada saat mengalami krisis


(49)

identitas, remaja akan mencoba-coba segala peran, berbagai identitas, gaya hidup, dan ideologi baru baik itu positif serta negatif untuk selanjutnya memilih dan menentukan yang paling sesuai untuk dirinya.

Bisono (2009) menyatakan bahwa dalam melewati proses pencarian identitasnya, seorang remaja sangat membutuhkan peran dan

pendampingan orang tua serta para dewasa lain yang sifatnya “parental” secara terus menerus sampai tuntas. Kendati demikian, tampaknya masyarakat dan orang dewasa, khususnya para orang tua dari para remaja kurang dapat memahami perubahan remaja sebagai fase mencoba-coba atau bagian dari transisi masa kanak-kanak ke dewasa. Sebagian besar orang tua justru merasa bingung ketika harus menghadapi berbagai perubahan yang terjadi pada anaknya (Santrock, 2003). Kebingungan tersebut membuat orang tua cenderung sering mengeluhkan perubahan sikap anaknya yang berujung pada labeling atau pemberian penilaian berupa kata-kata atau label negatif. Pada saat anaknya menginjak usia remaja, banyak orang tua melihat anaknya yang sebelumnya bersikap manis dan taat berubah menjadi seorang yang pembangkang, tidak menurut jika dinasihati, sering keluyuran, senang mengunci diri di kamar, pemarah, mudah ngambek, dan sering berkata kasar (Bisono, 2009).

Labeling akan membawa dampak negatif yang lebih besar pada individu ketika orang yang memberikan label negatif adalah orang tuanya sendiri, sehingga individu akan lebih rentan untuk terlibat dalam suatu pelanggaran (Hagan & Palloni, dalam Matsueda, 1992). Sebagai contoh


(50)

apabila orang tua memberi label nakal pada anak, label tersebut lambat laun akan berpengaruh pada citra diri anak, maka pada akhirnya anak tersebut akan beranggapan bahwa ia adalah anak nakal dan ia akan berperilaku selayaknya anak nakal. Hal tersebut dapat terjadi karena seorang anak biasanya akan merespon pemberian label negatif dari orang tuanya dengan menunjukkan perilaku menyimpang seperti yang dilekatkan padanya (Tannenbaum, dalam Matsueda, 1992). Selain itu, penilaian negatif yang secara berulang didapatkan anak dari orang tuanya lambat laun akan mengarah pada pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut (Matsueda, 1992). Matsueda juga menyatakan bahwa label negatif yang dilekatkan pada seorang anak akan mengarahkannya pada ketidakberdayaan, kerugian, dan kemalangan.

2) Skema 1. Labeling pada Remaja Pertengahan Remaja

Pertengahan

Mencoba identitas atau peran baru yang sifatnya negatif (Fase Pencarian Identitas).

Konflik dengan orang tua terkait otonomi, kebebasan, dan kepercayaan . Meningkatnya frekuensi perilaku kenakalan remaja dan antisosial.

Perubahan terkait perkembangan fisik, kognitif, emosi, sosial, dan moral.


(51)

E. Pertanyaan Penelitian

Menurut Smith dan Osborn (2007), pertanyaan penelitian dalam penelitian kualitatif biasanya dibuat secara luas, mendalam, dan terbuka agar dapat mengeksplorasi topik yang akan diteliti. Creswell (2003) menjelaskan bahwa pertanyaan penelitian dalam suatu penelitian kualitatif terdiri dari dua bentuk, yaitu :

1) Central Question

Central question adalah pertanyaan utama dari suatu penelitian yang bersifat sangat umum. Central question dalam penelitian ini adalah apa makna pengalaman remaja pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others.

2) Subquestion

Subquestion adalah pertanyaan-pertanyaan di luar pertanyaan utama yang berfungsi untuk memperjelas dan mengarahkan pada pertanyaan utama dalam penelitian. Subquestion dalam penelitian ini adalah :

2.1. Apa yang dirasakan dan dipikirkan remaja pertengahan pada saat diberi label negatif oleh significant others. 2.2. Apa yang menyebabkan atau mengapa remaja pertengahan

mendapat label negatif dari significant others.

2.3. Bagaimana remaja pertengahan melihat pengalamannya terkait pemberian label negatif dari significant others.


(52)

33 BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami berbagai fenomena yang dialami oleh informan penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan sebagainya, secara holistik dan mendalam, dengan cara mendeskripsikannya dalam bentuk kata-kata serta bahasa, pada konteks khusus yang alamiah dan menggunakan berbagai metode yang alamiah pula (Moleong, 2006).

B. Fokus Penelitian

Fokus dari penelitian ini adalah makna pengalaman remaja pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others. Makna tersebut dapat diketahui dengan cara meminta informan untuk menceritakan ulang pengalamannya terkait labeling dan melihat persepsi informan terkait pengalamannya tersebut.

C. Informan Penelitian

1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Informan Penelitian

Pada penelitian ini, informan penelitian ditentukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Teknik purposive sampling merupakan salah satu teknik dalam non-random sampling atau


(53)

non-probability sampling yang memungkinkan peneliti untuk dapat memilih

informan penelitian berdasarkan pada ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh informan penelitian yang disesuaikan dengan tujuan penelitian (Moleong, 2006). Peneliti memiliki beberapa kriteria dalam memilih dan menentukan informan penelitian, seperti:

a) Informan penelitian berjenis kelamin laki-laki dan/atau perempuan.

b) Informan penelitian adalah remaja pertengahan yang berusia antara 15 hingga 18 tahun.

c) Informan penelitian adalah siswa/i yang berasal dari sekolah menengah atas (SMA) yang berada di Yogyakarta.

d) Informan penelitian adalah individu yang diberi label negatif secara berulang oleh significant others.

2. Prosedur Mendapatkan Informan Penelitian

Prosedur yang dilakukan peneliti untuk mendapatkan informan penelitian meliputi beberapa langkah berikut ini:

a) Menyusun kuesioner penelitian

b) Membagikan kuesioner penelitian ke beberapa sekolah menengah atas (SMA) yang ada di Yogyakarta.

c) Melakukan kategorisasi pada jawaban-jawaban calon informan penelitian.

d) Melakukan seleksi terhadap calon informan penelitian berdasarkan kategorisasi yang sudah dibuat dan didapat.


(54)

e) Menentukan informan penelitian

f) Melakukan perkenalan, rapport, penjelasan tujuan wawancara, memastikan kesediaan informan untuk terlibat dalam penelitian, dan wawancara awal kepada informan penelitian.

g) Meminta informan penelitian untuk menandatangani informed concent dan membuat jadwal wawancara.

h) Melakukan wawancara bertahap pada informan penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti akan menggunakan dua metode pengumpulan data, yaitu:

1) Kuesioner penelitian

Kuesioner penelitian berfungsi sebagai alat untuk mencari dan melakukan seleksi terhadap informan penelitian. Selain itu, peneliti juga menggunakan hasil pemetaan data dari kuesioner penelitian sebagai data dan assessment awal terhadap para informan.

2) Wawancara semi terstruktur

Wawancara semi terstruktur digunakan sebagai cara untuk mengumpulkan data yang lebih kaya dan mendalam dari informan penelitian (Smith dan Osborn, 2007). Dalam wawancara semi terstruktur, peneliti juga akan memiliki daftar pertanyaan yang akan dijadikan panduan wawancara. Smith (2009) menyatakan bahwa metode wawancara semi terstruktur merupakan instrumen pengumpulan data yang fleksibel, sehingga memungkinkan peneliti dan informan


(55)

untuk berdialog. Selain itu, daftar pertanyaan yang sudah dibuat dalam panduan wawancara juga dapat dimodifikasi sesuai dengan respon dari informan. Dengan demikian, peneliti dapat menggali lebih dalam mengenai hal-hal yang dirasa menarik dan penting yang muncul dari jawaban informan.

1. Apakah Anda mendapat suatu label negatif dari orang lain? Jika iya, apa contohnya?

2. Bagaimana cerita awal mulanya sampai akhirnya saat ini Anda bisa diberi label negatif oleh orang lain?

3. Menurut Anda, apa yang menyebabkan orang lain memberikan suatu label negatif pada Anda?

4. Siapa yang biasanya memberikan Anda label negatif tersebut? 5. Di mana saja Anda biasanya mendapat label negatif tersebut? 6. Seberapa sering orang lain memanggil Anda dengan label negatif? 7. Bagaimana reaksi yang biasanya Anda berikan pada orang yang

memberi label negatif pada Anda?

8. Bagaimana perasaan dan/atau apa yang Anda pikirkan ketika mendapat label negatif dari orang lain?

9. Bagaimana cara Anda menjalani hari-hari atau keseharian Anda sementara Anda sendiri mendapat label negatif dari orang lain? 10.Setelah mendapat label negatif dari orang lain, saat ini

bagaimanakah Anda melihat diri Anda sendiri?

11.Bagaimana relasi Anda dengan orang yang memberi label negatif? 12.Bagaimana atau seperti apa Anda melihat label negatif dari orang

lain?

13.Apakah dampak dan/atau perubahan yang Anda rasakan dari pemberian label negatif dari orang lain?


(56)

14.Anda diberi label negatif dari orang yang berbeda-beda. Apakah Anda merasakan adanya perbedaan dampak yang berbeda pula? 15.Apakah ada perubahan perlakuan dari orang lain setelah Anda

mendapat suatu label negatif? Jika iya, perubahan seperti apa? 16.Bagaimana atau seperti apa Anda melihat pengalaman Anda terkait

pemberian label negatif dari orang lain?

E. Metode Analisis Data

Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan analisis fenomenologi interpretatif (AFI) sebagai metode analisis data penelitian. Smith dan Osborn (2009) menyatakan bahwa tujuan dari penelitian dengan AFI adalah mengeksplorasi secara detail mengenai bagaimana informan memaknai dunia personal dan sosialnya. Pendekatan ini berusaha mengeksplorasi pengalaman personal informan dan memberi perhatian atau berfokus pada persepsi maupun pendapat personal dari informan mengenai objek atau peristiwa. Kemudian, pendekatan ini juga melibatkan dua tahap interpretatif. Dimana pada tahap pertama informan akan berusaha memahami dunianya, lalu peneliti akan berusaha memahami usaha-usaha informan dalam memahami dunianya tersebut.

Menurut Smith (2009), metode analisis data dari analisis fenomenologi interpretatif (AFI) terdiri atas tiga tahap, yang meliputi :

1) Mencari tema-tema dalam setiap kasus setelah membaca transkrip verbatim.

Pada tahap ini, peneliti diminta untuk membuat tiga tabel, dimana tabel pertama digunakan untuk menuliskan transkrip


(57)

hasil wawancara. Tabel kedua digunakan untuk memberikan komentar, merangkum maupun menyimpulkan, atau melampirkan keterangan terhadap apa yang dirasa menarik maupun bermakna dari apa yang dikatakan informan. Sementara itu, tabel ketiga digunakan untuk mendokumentasikan judul-judul tema yang muncul atau mentransformasikan catatan-catatan awal ke dalam frase-frase singkat untuk menangkap kualitas esensial dalam transkrip hasil wawancara.

2) Mengkaitkan tema-tema yang ada dan mencari hubungan tiap tema dengan cara :

a. Mengurutkan tema secara kronologis berdasarkan kemunculan dalam transkrip verbatim.

b. Mengurutkan tema yang ada secara analitis maupun teoritis untuk menemukan hubungan antar tema yang ada dan mengelompokkan tema-tema yang serupa.

c. Melakukan pemeriksaan pada transkrip hasil wawancara dan teman-tema yang sudah dibuat.

d. Membuat tabel tema yang disusun secara koheren dan mengidentifikasi beberapa kelompok tema-tema yang sudah dibuat, kemudian memberi nama pada kategori tema supaya jelas mana tema yang kuat dan yang tidak. 3) Melanjutkan membuat analisis pada kasus-kasus lain.


(58)

F. Verifikasi Penelitian

Menurut Creswell (2012) ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan validasi atau keakuratan hasil penelitian kualitatif, seperti :

a) Member checking; yang merupakan konfirmasi mengenai keakuratan dan analisis data kepada informan penelitian. Pada saat melakukan proses ini, peneliti akan membawa dan membacakan ulang laporan akhir atau deskripsi-deskripsi atau tema-tema yang sudah dibuat dengan tujuan untuk memeriksa apakah laporan atau deskripsi atau tema yang dibuat sudah akurat atau belum.

b) Triangulasi data; yang merupakan proses penguatan bukti dari individu-individu yang berbeda. Data dikumpulkan melalui berbagai sumber agar seluruh data yang didapat dari hasil wawancara dapat dianalisis seutuhnya.

c) Menyediakan deskripsi-deskripsi yang kaya, padat, dan rinci tentang hasil penelitian; ketika peneliti menyajikan deskripsi yang rinci mengenai setting penelitian atau menyajikan banyak perspektif mengenai tema, hasil penelitian dapat menjadi lebih realistis dan kaya.


(59)

40 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penelitian Secara Keseluruhan 1) Pencarian dan Seleksi Informan Penelitian

Penelitian diawali dengan membagikan kuesioner penelitian sejak tanggal 26 Mei 2014 hingga 31 Mei 2014 dengan tujuan mencari dan melakukan seleksi terhadap informan penelitian. Kuesioner penelitian sebanyak 50 buah yang terdiri atas 10 item pertanyaan dibagikan kepada beberapa siswa dan siswi dari empat SMA yang meliputi: SMA Negeri 1 Prambanan, SMA Negeri 1 Kalasan, SMA Negeri 9 Yogyakarta, serta SMA Bopkri 2 Yogyakarta.

Setelah seluruh kuesioner penelitian diisi oleh para siswa dari empat SMA, peneliti kemudian berusaha untuk membuat pemetaan data hasil kuesioner yang sudah diisi oleh para siswa. Dari 50 siswa dan siswi yang mengisi kuesioner penelitian, terdapat 14 siswa serta siswi yang memenuhi kriteria penelitian dan sesuai untuk dijadikan informan penelitian. Dari jumlah tersebut, peneliti berusaha menghubungi beberapa siswa dan siswi yang memenuhi kriteria penelitian untuk meminta mereka menjadi informan penelitian. Akan tetapi, dari 7 siswa dan siswi yang sudah dihubungi peneliti, hanya 2 siswa dan 2 siswi yang bersedia menjadi informan penelitian.


(1)

222

HASIL TRIANGULASI DATA 2 INFORMAN 3

1. Kamu kenal gak sih sama E?

“Iya, kenal”.

2. Seberapa dekat sih kamu sama E?

“Dekat sih, ya dia salah satu sahabat saya lah. Dia kan dulu teman sekelas saya waktu kelas dua, sejak saat itu kami sering main, ngumpul bareng, terus beberapa kali saya sama anak-anak IPA pernah tidur di rumah dia. Jadi ya dekat, meskipun sekarang pas kelas tiga sudah engga sekelas lagi tapi kami masih suka main dan ngobrol, ngumpul bareng”.

3. Kamu sendiri melihat sosok E itu seperti apa sih?

“Menurut pandangan saya, E itu gampang terpengaruh”. (Gampang terpengaruh dalam hal apa?) “Pertemanan”. (Pertemanan yang seperti apa?) “Yang..ya main sama anak-anak nakal, ehm dia kan dulu temannya kan, dia kan ikut main ya mungkin kayak terpengaruh gitu kan..keluar malam gitu gitu lah, ikut tawuran juga”. (Maksudmu gampang terpengaruh dengan pergaulan yang salah?) “Iya..terus dia itu orangnya rada emosian juga sih. Kalau di sekolah itu engga pernah, tapi kalau di rumah itu dia suka berantem sama ibunya, marah-marah gitu lah. Soalnya kan saya sama anak-anak suka main di rumahnya, nongkrong-nongkrong di sana lama gitu. Kalau diingetin gitu dia malah bilang ‘ahh gakpapa sudah biasa’ ”.

4. Okey, lalu benar gak sih kalau E tuh dikasih label negatif gitu dari teman-teman atau guru?

“Dapet, kalau sama anak IPA itu dapet..sama guru. Nah kalau anak IPA di sekolah ini kan gak pernah dicap jelek sama guru, tapi E itu inilah gak pernah masuk, bolos, sering absen lah. Terus dibilang ‘makanya kamu tuh jangan main sama anak-anak IPS’ soalnya di sini kan anak-anak IPS nya nakal gitu, makanya guru kan jadi ngecap jelek sama E”. (Ngecap jelek apa?) “Bandel,

nakal itu..sama teman sama guru”.

5. Lalu kalau kamu sendiri ikutan ngatain atau kasih label negatif ke A juga gak?

“Ehm pernah gak ya? Sebenarnya pernah juga sih, ya kan kayak yang tadi aku bilang kalau E itu ikut genk terus suka tawuran, bolos, gitu-gitu kan. Terus aku pernah bilangin dia untuk gak kayak gitu, aku bilang ‘kamu nih jangan kayak preman gitu, ikut tawuran sama anak-anak IPS. Gak usah ikutan jadi nakal gitu’ ”. (Oh gitu, jadi tadi label negatif apa yang kamu kasih ke

E ya?) “Ya apa ya, preman sama nakal itu sih”.

6. Okey, lalu seberapa sering sih kamu kasih E label negatif preman, nakal tadi?

“Jarang sih, kalau pas dianya ada masalah atau kena masalah apa gitu, misalnya ikut tawuran sama anak-anak IPS gitu biasanya aku pasti bilangin dan ngingetin dia supaya gak kaya preman, gak nakal”.


(2)

Kalau dia sih lebih kalem nanggapinnya, biasanya bilang ‘iya,iya..oke’ sambil ketawa-ketawa”.

8. Terus sekarang gimana sih relasimu sama E?

“Ohh ya baik sih mbak, dia juga sejauh ini mau dengerin dan terima masukan saya..terus teman-teman lain juga malah banyak yang itu..banyak yang ngasih solusi, banyak yang ngasih masukan gini loh, gini loh. Jadi malah banyak yang ngingetin dia biar dianya juga jadi lebih baik”.

9. Terus nih kalau boleh tahu, ada gak sih perubahan dalam diri E setelah kamu ngatain dia preman atau nakal tadi? Gimana ya, misalnya dia jadi menghindari kamu gitu atau gimana lah..ada gak?

“Kalau menurut saya sih selama ini perubahannya E lebih ke arah positif sih mbak. Dia sekarang udah engga ikut genk itu, jadi udah engga pernah ikut tawuran, pokoknya udah engga kayak E yang dulu sih..lebih banyak perubahan yang positif. Ya mungkin kan udah kelas tiga juga, udah makin gedhe, terus dia juga punya pacar kan..mungkin dia jadi makin sadar terus berubah gitu mbak”.


(3)

224

HASIL TRIANGULASI DATA 1 INFORMAN 4

1. Pak Patah, apakah bapak mengenal AM?

“Iya saya kenal, sama seperti E tadi, saya juga wali kelasnya sewaktu kelas 2. Nah AM itu anaknya “landai-landai” saja kok”. (Maksudnya landai-landai saja itu bagaimana pak?) “Ya

landai-landai saja itu artinya dia tidak terlalu menonjol tapi juga tidak terlalu di bawah, tidak terlalu rajin tapi juga tidak terlalu nakal..ya landai-landai saja anaknya itu, jadi ya tidak pernah ada masalah dengan saya, baik secara nilai, perilaku, dan sebagainya. Ya cuma anak itu punya kelemahan karena ndak bisa bicara kok anak itu, kayak grogian kalau ngomong di depan umum. Hanya itu dulu waktu dia kelas 1 saja, kelas 2 sudah tidak..ya kalau dulunya kalau suruh baca apa pasti ndredeg, tapi di kelas 2 sudah ndak begitu. Jadi ya ndak ada masalah kalau si A”. 2. Bagaimana sosok AM ini di mata bapak?

Waduh, lah nek kui kiaku ora patio ngerti je mbak..soalnya sejauh ini anak itu pada posisi normal, nakal ora, sregep banget yo ora. Ya anak ini tidak pernah menimbulkan masalah, ya itu untuk guru, untuk kelas, atau untuk pribadi. Tapi sejauh ini menurut saya masalahnya justru terkait pribadinya dia, misalnya dia tidak belajar, dadi nek misal e tak kon maju nggarap opo yo ora iso, dan sebagainya..ya itu kan biasa kan untuk anak-anak kalau hal-hal seperti itu..ya standart aja. Anak itu kan kalau di atas standart, misalnya kalau ada materi pelajaran yang tidak dipahami dia akan tanya guru, nyamperin gurunya di Lab Fisika misalnya..jadi aktivitasnya lebih banyak sama guru, dekat dengan guru. Lalu kalau yang standart ini nek ono tugas yo digarap, perkoro bener opo salah kui urusan mengko..nah kan ngono. Nah kalau anak di bawah standart yang pasrah-pasrah saja, pasif saja biasanya itu aktivitas dan kedekatannya lebih banyak dengan teman. Nah si AM ini masuk kategori kedua tadi, yang standart. Patuh kok anak itu sebenarnya, baik hati juga wong nek dia bawa makanan atau minuman apa gitu sok-sok

teman-temannya njuk dikasih kok”.

3. Lalu bagaimana relasi AM dengan bapak, para guru, dan teman-temannya pak?

“Ya kalau saya mengatakan ya cukup baik, dibilang baik ya tidak, tapi buruk juga tidak..ya karena anak itu posisinya standart tadi”.

4. Kalau keseharian atau perilakunya AM di kelas atau di sekolah itu bagaimana pak?

“Ya baik, dia itu sebetulnya anaknya rajin, jarang sekali tidak masuk sekolah. Tapi yo kadang-kadang malas untuk mengerjakan tugas atau malas kalau disuruh belajar..tapi itu kan yo normal

to kalau untuk anak-anak seumuran dia, jadi nakalnya itu ya dalam batas normal, standart-standart saja”.

5. Kemudian, apakah benar pak kalau AM ini terkadang diberi penilaian negatif dari guru atau teman berupa kata-kata atau label negatif seperti pemalas dan pemarah?

“Iya, betul juga itu..iya ho oh saya tahu kalau itu. Anak itu memang mudah tersinggung karena ketertutupannya itu, jadi dia kalau diejek atau diusilin gitu suka gampang marah. Tapi itu hanya


(4)

istilahnya..tapi kalau dengan guru sih tidak pernah”. (Jadi kalau dengan guru-guru, terutama dengan bapak AM tidak pernah marah dan bapak juga tidak pernah mengatakan AM itu pemarah?) “Nah dengan saya apalagi, sama sekali dia tidak pernah marah. Saya tahu kalau dia

itu orangnya mudah tersinggung dan mudah marah..memang benar kalau dia itu anaknya pemarah, tapi kalau sama saya ya dia tidak pernah marah kok, jadi saya juga tidak pernah mengatakan dia itu pemarah. Bahkan dia itu sering saya ajak bercanda, kadang saya bilang ‘kamu itu mbok ikut kejuaraan tenis meja di PON, soalnya biasanya kan kalau tenis meja pemainnya itu suka mengecilkan matanya..nah kamu ndak perlu mengecilkan mata, wong kamu sudah sipit..kalau kamu ikut siapa tau malah menang’. Nah kalau saya katakan seperti itu dia tertawa, malah ndak pernah marah. Bahkan saya itu sering mengatakan bodoh ke murid saya, tapi selama ini ndak pernah itu ada yang tersinggung kemudian marah. Jadi menurut saya itu tergantung bagaimana caranya, penyampaiannya saja”.


(5)

226

HASIL TRIANGULASI DATA 2 INFORMAN 4

1. Kamu kenal gak sama A?

“Kenal mbak”. (Kenalnya seberapa dekat nih kalau boleh tahu?) “Jadi A itu teman..teman sekelas pas kelas XI, pas kelas XII sudah engga, tapi masih teman main..teman dekat, selayaknya sahabat”. (Okey..hal-hal apa sih yang sering kalian lakukan sebagai sahabat?)

“Futsal bareng..ehm banyak sih, main, hang out bareng di luar gitu”. (Terus cerita atau curhat-curhat gitu juga gak?) “Ya cerita..dia banyak cerita”.

2. Kamu sendiri melihat sosok A seperti apa sih?

“Baik sih, sama teman itu dia care, terus kadang suka ngasih masukan-masukan juga. Semangatnya tinggi..kan dia juga sering buat roti, puding gitu terus dijualin di sekolah ke teman-teman sama guru-guru gitu buat bantu-bantu ibunya. Ya dia kan pernah cerita tentang keluarganya, ya banyak..ya itulah, semangatnya tinggi sih dia”. (Terus ada hal lain lagi mungkin, tentang sifat atau karakternya?) “Karakternya keras, ehm karakternya keras, tegas sih”. (Tegasnya itu dalam hal apa?) “Serius..kalau lagi serius ya tegas, kalau lagi bercanda ya

bercanda”. (Menurutmu bisa menempatkan diri gitu?) “Ehm iya, bisa..bisa”. (Okey, itu

positifnya kan banyak..terus kalau negatifnya ada gak?) “Kalau A itu orangnya sih emosian

mbak, suka gampang marah, emosinya gampang kepancing gitu. Kalau orang yang bikin dia sebel itu cowo biasanya dia lebih berani ngungkapin kemarahannya gitu sih mbak, kalau marah ya dua marah bener sama orangnya itu..tapi kalau orang yang bikin dia marah itu cewe biasanya dia cenderung diam terus milih buat pergi gitu sih”.

3. Okey, lalu benar gak sih kalau selama ini tuh A dikasih label negatif gitu dari teman-teman atau guru gitu?

“Iya..ehm kayaknya ada sih, soalnya ada orang yang bilang ‘oh A itu gampang marah’..nah yang kayak gitu sih ada mbak”. (Okey, yang seperti itu ada? Berarti ada temanmu yang

ngatain dia itu pemarah?) “Iya ada, ada kalau itu. Ya ada, karena kan hampir semua dekat

kan, jadi ada yang pernah cerita ke aku terus bilang ‘oh itu A itu loh lagi marah, dia tuh kok orangnya gampang marah gitu’..yang kayak gitu ada sih mbak”.

4. Lalu kalau kamu sendiri ikutan ngatain atau kasih label negatif ke A juga gak?

“Ehm iya sih kayaknya, aku bilang gampang marah biasanya, tapi sebenarnya maksudnya itu bercanda..kalau bercanda mah sering, kayak bilang ‘ahh kowe ki gampang nesu, sitik-sitik nesu wae’. Ya biasanya kalau pas dia marah gitu aku suka bilang ‘ngopo to kowe, mbok jangan marah’..pas dia marah aku biasanya ngomong gitu”. (Okey, jadi kamu semacam bilangin dia pemarah dan ngingetin dia buat gak gampang marah gitu?) “Ehm he em, yayaya kayak

gitu”. (Jadi kamu sebenarnya juga memberi label pemarah ke A gak?) “Ehm, iya juga sih kadang-kadang kalau pas emosinya, marahnya agak kelewatan”.


(6)

Biasanya saya terus lerai, terus saya bilang sama A ‘udahlah engga usah marah-marah gitu, jangan jadi orang yang pemarah’ ”.

6. Lalu reaksi A sendiri pada saat kamu bilang dia pemarah atau gampang marah itu gimana?

“Biasanya sih dia diem aja, dengerin gitu mbak terus pergi buat nenangin diri gitu. Nanti kalau udah balik dia biasanya engga pernah bahas kejadian sebelumnya, tapi terus bisa biasa gitu kalau ke saya..tapi kalau sama temen yang bikin dia marah biasanya dia bakal diemin seharian, kalau nanti dia minta maaf ke A biasanya terus A juga bisa biasa lagi”.

7. Okey, selanjutnya terkait dengan relasimu dengan A, gimana sih relasi kalian dengan adanya label negatif yang kamu kasih ke dia?

“Kalau kami sih hubungannya baik kok mbak. A itu sebenarnya tipe orang yang mau dengerin masukan dari orang lain, mau denger nasihat saya. Bahkan kalau saya kadang bercandain dia atau ngece-ngece dia gitu ya dia gak bakal marah, malah dia ketawa-tawa terus bales ngece

saya. Dia gitu sih orangnya, kalau sama orang yang udah kenal dekat meski diejekin apa gitu gak bakal marah, tapi kalau orang yang gak kenal deket sama dia ngatain dia apa pasti dia marah, terus emosi”.

8. Selanjutnya, dengan adanya label negatif dari kamu ada perubahan gitu gak sih dalam dirinya A?

“Perubahannya itu..apa ya mbak..kalau dibandingkan sama kelas dua dulu sih sekarang emosinya udah agak lebih stabil, dalam artian udah bisa kontrol emosinya dan gak gampang marah. Sekarang pun kalau marah juga engga yang parah marah banget gitu, marahnya engga meledak atau gimana lah..pokoknya udah mendingan sih kalau sekarang”.