Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Saat ini para remaja tampaknya menghadapi bahaya dan godaan yang lebih banyak serta kompleks daripada remaja generasi sebelumnya Feldman Elliot, et al, dalam Santrock, 2003. Hal tersebut terjadi karena remaja saat ini sering dikaitkan dengan berbagai perilaku menyimpang. Masyarakat maupun orang dewasa sering menganggap remaja sebagai golongan masyarakat yang “aneh” karena menganut kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang dianggap berbeda serta terkadang bertentangan dengan yang dianut oleh orang dewasa, terutama orang tuanya Soekanto, 1989. Ada begitu banyak stereotip negatif tentang remaja yang sering muncul di masyarakat. Masyarakat maupun orang dewasa sering menggambarkan remaja sebagai individu yang bermasalah, kurang hormat terhadap orang lain, mementingkan diri sendiri, dan suka berpetualang Santrock, 2003. Di sisi lain, berkembangnya stereotip negatif tentang remaja juga disebabkan oleh kehadiran media yang sering menampilkan berita sensasional tentang remaja. Selama ini media sering menggambarkan remaja sebagai pemberontak, penentang, mudah terlibat dalam kenakalan, dan mementingkan dirinya sendiri Condry, et al, dalam Santrock, 2003. Di samping itu, sebagian besar orang tua dari para remaja juga memberikan penilaian negatif pada berbagai perubahan dari anak remajanya. Pada saat anaknya menginjak usia remaja, banyak orang tua melihat anaknya yang sebelumnya bersikap manis dan taat berubah menjadi seorang yang pembangkang, tidak menurut jika dinasihati, sering keluyuran, boros, malas belajar, senang mengunci diri di kamar, pemarah, mudah ngambek, serta sering berkata kasar Bisono, 2009. Berbagai stereotip atau penilaian negatif yang diberikan masyarakat, khususnya para orang tua kepada remaja dapat terjadi karena mereka kurang dapat memahami perubahan remaja sebagai fase mencoba-coba atau bagian dari transisi masa kanak-kanak ke dewasa. Sebagian besar orang tua justru merasa bingung ketika harus menghadapi berbagai perubahan tingkah laku dan suasana hati yang terjadi pada anaknya Santrock, 2003. Kebingungan tersebut membuat orang tua cenderung sering mengeluhkan perubahan sikap anaknya yang berujung pada pemberian label negatif. Pemberian stereotip atau penilaian negatif atas berbagai perubahan tingkah laku maupun sikap dan suasana hati yang dialami remaja disebut labeling. Beberapa contoh label negatif yang sering diberikan pada remaja seperti pemalas, pemarah, nakal, tidak punya moral, tidak patuh, pembangkang, dan sebagainya. Herlina 2007 mendefinisikan labeling sebagai penggambaran sifat seseorang pada hal-hal yang berhubungan dengan perilakunya berupa label atau cap tertentu. Berdasarkan definisi tersebut, orang yang dapat memberikan label adalah orang yang mengenal atau mengetahui dengan baik perilaku orang yang diberi label, yaitu significant others dari individu. Stuart dan Sudeen dalam Istiqomah, 2012 mendefinisikan significant others sebagai orang yang dekat dan secara nyata penting bagi individu, sehingga dapat memberikan pengaruh bagi individu tersebut, seperti orang tua, saudara, pacar, guru, atau teman. Sebagai contoh, ketika seorang anak sering bangun siang maka orang tua akan memberikan label pemalas kepada anak tersebut atau apabila seorang siswa melanggar peraturan sekolah maka para guru akan menyebut siswa tersebut sebagai siswa yang nakal. Menurut Gessang dalam Mulyati, 2010, label yang diberikan pada individu menjadi suatu ciri khas pada individu tersebut, sehingga lambat laun significant others individu yang diberi label memiliki kecenderungan untuk mengulang dan memanggil individu dengan label tersebut. Menurut Rachmawati 2011 pengalaman mendapatkan label tertentu, terutama label negatif memicu pemikiran dari para remaja bahwa dirinya ditolak. Pemikiran tersebut kemudian akan disertai dengan sikap penolakan yang sesungguhnya. Seorang remaja yang diberi label akan cenderung berperilaku seperti apa yang dilabelkan dan “terkurung” dalam label yang diberikan kepadanya. Berbagai label negatif yang diterima oleh seorang remaja menyebabkan remaja tersebut memiliki citra diri yang negatif dan cenderung menjerumuskan diri pada apa yang dilabelkan kepadanya, sehingga citra diri yang sebenarnya menjadi hilang. Dampak lain yang muncul dari labeling pada remaja adalah munculnya rasa rendah diri, merasa tidak berguna, merasa tidak mampu, dan pesimis Rafif, dalam Rachmawati, 2011. Di samping itu, labeling ternyata juga membawa dampak negatif pada aspek psikologis individu, seperti sulit mengendalikan emosi, cepat sedih dan marah, mudah putus asa, serta memiliki kecenderungan untuk melawan dan memberontak pada orang lain Hurlock, dalam Rachmawati, 2011. Hal serupa dengan Rachmawati juga diungkapkan oleh Osterholm dalam Thomson, 2012 yang mengungkapkan bahwa pemberian label negatif pada individu memiliki efek destruktif pada individu yang diberi label. Label negatif yang diberikan pada individu akan mengarahkan individu pada perilaku yang menyimpang karena label negatif yang diterima secara tidak langsung dan tidak disadari memaksanya untuk masuk dalam peran tersebut, sehingga pada akhirnya individu akan menampilkan perilaku menyimpang sesuai dengan yang dilabelkan padanya. Di samping itu, pemberian label negatif juga membuat individu yang dilabel merasa menderita karena interaksi sosial dan perlakuan orang di sekitarnya menjadi berubah. Labeling akan membawa dampak negatif yang lebih besar pada individu ketika orang yang memberikan label negatif adalah orang tuanya sendiri. Hal tersebut terjadi karena orang tua merupakan significant others yang paling berpengaruh bagi kehidupan individu, sehingga individu tersebut akan lebih rentan untuk terlibat dalam suatu pelanggaran Hagan Palloni, dalam Matsueda, 1992. Sebagai contoh apabila orang tua memberi label nakal pada anak, label tersebut lambat laun akan berpengaruh pada citra diri anak, maka pada akhirnya anak tersebut akan beranggapan bahwa ia adalah anak nakal dan ia akan berperilaku selayaknya anak nakal. Hal tersebut dapat terjadi karena seorang anak biasanya akan merespon pemberian label negatif dari orang tuanya dengan menunjukkan perilaku menyimpang seperti yang dilekatkan padanya Tannenbaum, dalam Matsueda, 1992. Selain itu, penilaian negatif yang secara berulang didapatkan anak dari orang tuanya lambat laun akan mengarah pada pelanggaran-pelanggaran lebih lanjut Matsueda, 1992. Matsueda juga menyatakan bahwa label negatif yang dilekatkan pada seorang anak akan mengarahkannya pada ketidakberdayaan, kerugian, dan kemalangan. Labeling merupakan suatu hal yang sering dan mudah dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, bahkan mungkin labeling telah menjadi bagian dari pola komunikasi sehari-hari bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Setiap individu, entah dengan sengaja atau tidak kemungkinan pernah mendapat label negatif dari orang lain, atau justru individu tersebutlah yang pernah memberikan label negatif pada orang lain. Selain membawa banyak dampak negatif, labeling tampaknya juga membuat orang yang diberi label negatif mendapat pengalaman sulit dan tidak menyenangkan dalam menjalani kehidupan atau kesehariannya serta interaksi sosialnya. Akan tetapi, tampaknya sebagian orang melihat fenomena labeling sebagai hal yang biasa. Hal inilah yang kemudian menjadi suatu keprihatinan bagi peneliti. Hasil penelitian Mulyati 2010 mengenai hubungan labeling dengan prestasi belajar siswa di SMA Muhammadiyah Gubug Purwodadi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara labeling dan prestasi belajar siswa. Pemberian label negatif berkorelasi positif dengan penurunan prestasi belajar pada para siswa. Hasil penelitian lain mengenai hubungan antara labeling dengan konsep diri remaja di SMA Negeri 1 Geyer Purwodadi juga menunjukkan adanya korelasi positif antara labeling dan konsep diri. Akan tetapi, meskipun jumlah remaja yang mendapat label negatif cukup banyak, namun hanya beberapa remaja yang memiliki konsep diri negatif, sedangkan remaja lainnya tetap memiliki konsep diri positif Rosiana, 2011. Di sisi lain, meskipun sebelumnya telah dipaparkan mengenai berbagai dampak negatif dari labeling, namun hasil penelitian lainnya menunjukkan bahwa pemberian label tidak membawa dampak negatif bagi remaja Rachmawati, 2011. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa SMP Islam Raudlatul Falah Bermi Pati tidak terlalu mempedulikan label yang diberikan oleh teman-temannya. Sebagian besar siswa justru mengganggap label yang diberikan oleh temannya sebagai suatu candaan ataupun panggilan kesayangan. Adanya hasil yang berbeda atas dampak labeling semakin mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai labeling, khususnya mengenai makna pengalaman remaja usia pertengahan yang diberi label negatif oleh significant others. Di samping itu, penelitian ini dirasa penting karena label yang diberikan oleh significant others pada remaja akan menentukan bagaimana kelak ia memandang dan menilai dirinya serta menentukan baik atau buruknya perilaku remaja pada masa yang akan datang. Informan penelitian merupakan remaja usia 15-18 tahun yang duduk di bangku Sekolah Menengah Atas SMA di wilayah Yogyakarta. Metode utama pengumpulan data yang akan dipakai adalah wawancara semi terstruktur.

B. Rumusan Masalah