pada pagi hari, siang, bahkan ada yang menayangkan sinetron saat hampir tengah malam. Selain itu pernah juga berkembang trend sinetron yang ditayangkan ulang
sebanyak dua kali dalam sehari, yaitu pada pagi dan sore atau malam hari, sepertinya hal ini termasuk strategi stasiun televisi untuk menghemat anggaran.
Strategi lainnya adalah memproduksi sendiri sinetron yang akan ditayangkan. Strategi ini contohnya dilakukan oleh Indosiar, sehingga tidak perku membayar
mahal untuk membeli sinetron dari production house.
3. Tema Sinetron
Latar belakang sejarah sinetron yang mengungkap banyaknya peraturan yang diberlakukan pada skenario sinetron, menurut Wirodono 2006
menjadi penyebab dan pembenar alasan masing-masing PH untuk menggarap tema-tema klasik, seperti cinta dengan pernik-perniknya, sehingga tema cinta
sejati, perselingkuhan, kesetiaan, dan penghianatan menjadi tema yang dominan. Dilihat dari ceritanya sendiri, kebanyakan sinetron menggunakan resep yang
hampir sama yaitu persoalan cinta yang ruwet dengan intrik keluarga dan perselingkuhan Sinetron: Rating, 2001. Keadaan ini agak memprihatinkan sebab
menurut Budi Adji, yang juga Ketua Kompetisi Komunitas Peduli Tayangan Televisi, tayangan yang tergolong buruk diantaranya adalah sinetron bertema
selingkuhan dan khayalan belaka Ikawati 2008. Sinetron juga kerap kali menyoroti kehidupan masyarakat kota. Hal
tersebut dibenarkan oleh Wirodono 2006 yang menulis bahwa problem-problem sosial ataupun kejiwaan yang dimunculkan lewat film-film seri, drama seri, atau
sinetron-sinetron meski yang unggulan sekalipun lebih sering merupakan
problem sosial-psikologis masyarakat kota. Problema masyarakat kota yang sering diangkat oleh sinetron Indonesia selanjutnya memang lebih banyak
menyoroti kehidupan masyarakat kelas sosial atas yang seringkali menampilkan kemewahan dan gaya hidup konsumtif.
Sinetron sebenarnya mengajarkan kita dengan hedonisme dan mengajak kita untuk bermimpi tentang gaya hidup yang serba wah “Sinetron
Indonesia”, 2006. Di tengah krisis ekonomi dan politik yang melanda, kemewahan dalam sinetron menjadi hal yang biasa “Sinetron: rating”, 2001.
Selanjutnya kehidupan keluarga dalam sinetron digambarkan sebagai keluarga yang kaya raya, figur cantik dan tampan, perusahaan milik keluarga, rumah
mewah, mobil mewah, baju mahal, belanja berlebihan, restoran mewah, handphone, merupakan atribut visual yang seolah menjadi keharusan
tanpa perduli dengan karakter tokoh yang dimainkan. “Sinetron: rating”, 2001.
4. Kritik Terhadap Sinetron
Banyak sekali kritik yang ditujukan bagi sinetrron Indonesia. Salah satunya mengenai orisinalitas ide cerita dan skenario sinetron. Entah disadari atau
tidak, sinetron yang mendominasi layar kaca di Indonesia sebenarnya merupakan adaptasi baca: jiplakan dari berbagai tayangan drama yang populer di negeri
asalnya seperti Korea, Jepang, Taiwan, dan sebagainya “Sinetron Indonesia”, 2006. Adaptasi tersebut ada yang memang mendapat lisensi sah dari pemilik
cerita aslinya, tetapi kebanyakan sama sekali tidak mengantongi ijin. Adaptasi ini sepertinya dilakukan untuk menghemat dana dan tenaga, sebab menjiplak tidak
melibatkan unsur kreativitas, idealisme, risiko pasar, dan pengorbanan waktu dan tenaga yang begitu besar “Sinetron Indonesia”, 2006.
Sinetron juga seringkali dinilai tidak realistik dan berlebihan. Maksudnya sinetron seringkali dianggap menampilkan kemewahan dan gaya
hidup konsumtif yang tidak masuk akal sehingga seringkali tampak berlebihan. Selanjutnya sinetron juga mendapat kritik sebab dinilai menampilkan stereotip
bias gender dalam ceritanya. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah, cengeng, tertindas, tidak mandiri dan tergantung laki-laki, sementara laki-laki
digambarkan sebagai sosok yang kuat, tegar, mempunyai kekuasaan, mandiri dan melindungi “Sinetron: Rating, 2001. Lukmantoro 2007 bahkan menyebut
bahwa sinetron cenderung merendahkan martabat perempuan. Terakhir sinetron Indonesia juga menuai kritik mengenai bahasa
Indonesia yang digunakan. Sinetron seringkali dinilai tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Tokohnya kadang dianggap terlalu sering menggunakan kata
umpatan atau makian. Sinetron juga dinilai masih banyak menampilkan adegan kekerasan, baik itu kekerasan fisik maupun kekerasan psikologis, sehingga
dikhawatirkan memberi dampak negatif bagi penontonnya terutama remaja dan anak-anak. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Meutia Farida Hatta
Swasono dalam Lukmantoro, 2007 bahkan menyesalkan sinetron dan film yang dia anggap tidak membuat perempuan menjadi lebih pintar. Selanjutnya Ia juga
menilai sinetron dan film yang kebanyakan ditonton oleh perempuan, ibu, dan anak, seringkali menampilkan kriminalitas dan tingkah laku yang kurang sopan
serta licik.