Kritik Terhadap Sinetron SINETRON 1. Definisi
konflik kehidupan masyarakat perkotaan kelas atas. Keadaan itu membuat kebanyakan sinetron selalu menampilkan kemewahan dan gaya hidup kelas atas
yang cenderung konsumtif dan tidak masuk akal. Fenomena sinetron yang demikian dapat menjadi contoh yang kurang
baik bagi remaja yang menontonnya. Apalagi sifat sinetron yang ditayangkan setiap hari bahkan ada yang diulang dua kali dalam sehari, tentu saja membuat
remaja cenderung ingin menonton sinetron setiap hari untuk mengetahui kelanjutan ceritanya. Padahal menurut Rakhmat 2001 perulangan pesan yang
berkali-kali ini dapat memperkokoh dampak media massa. Ia juga menulis dampak ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan consonance of
journalist, yang menyebabkan siaran berita cenderung sama, sehingga dunia yang disajikan pada khalayak juga dunia yang sama. Rakhmat 2001 melanjutkan
bahwa pada akhirnya khalayak tidak mempunyai alternatif yang lain, sehingga mereka membentuk persepsinya berdasarkan informasi yang diterimanya dari
media massa. Hal yang sama juga berlaku pada sinetron. Keseragaman tema sinetron
membuat penonton tidak memiliki alternatif tontonan lain. Sinetron juga disiarkan hampir setiap hari, maka tidak mengherankan apabila kemudian remaja menjadi
terbiasa melihat kemewahan dan barang-barang mahal yang digunakan tokoh dalam sinetron, seperti tas dan sepatu bermerek yang tentu saja tidak murah,
handphone keluaran terbaru dengan berbagai teknologinya, mobil-mobil mewah, dan aksesoris mahal yang dikenakan oleh pemain dalam sinetron.
Fenomena ini menjadi makin memprihatinkan karena sinetron-sinetron saat ini lebih banyak menggunakan aktris-aktris muda yang tentu saja juga berusia
remaja. Aktris-aktris muda tersebut dengan kemewahan dan gaya hidup kelas atas yang ditampilkan, dapat membuat remaja kemudian berpikir bahwa barang-
barang mewah dan gaya hidup kelas ataslah yang saat ini sedang tren. Hal ini menjadi masalah ketika kemudian remaja menjadi ingin meniru
gaya hidup mewah yang ditampilkan aktris-aktris tersebut dalam sinetron, sebab remaja pada dasarnya selalu ingin mengikuti perkembangan tren dan mudah
meniru adegan dalam sinetron yang menampilkan gaya hidup mewah tadi. Tidak menutup kemungkinan apabila kemudian remaja menganggap tren dan gaya hidup
mewah yang ditampilkan dalam sinetron sebagai suatu hal yang penting, sebab menurut Rakhmat 2001 media massa dapat mempengaruhi persepsi khalayak
tentang apa yang dianggap penting. Remaja juga dapat menjadikan aktris-aktris sinetron tadi menjadi kelompok referensinya yang tentu saja akan mempengaruhi
perilaku remaja terutama perilaku membelinya, sebab kelompok referensi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku membeli seseorang.
Remaja yang ingin mengikuti perkembangan tren dan meniru perilaku aktris-aktris dalam sinetron tadi, tentu saja menjadi ingin memiliki apa yang
dimiliki oleh para aktris tersebut. Misalnya, ketika ia melihat tokoh remaja dalam sinetron pergi ke sekolah dengan membawa motor atau mobil mewah keluaran
terbaru, maka mereka akan meminta kepada orang tua mereka untuk dibelikan motor atau mobil seperti yang digunakan tokoh dalam sinetron. Contoh lain ketika
tokoh tersebut menggunakan handphone keluaran terbaru sehingga membuat teman-temannya kagum, maka remaja juga akan minta dibelikan handphone yang
sama padahal handphonenya sendiri juga masih bagus.
Keadaan tersebut dapat dijelaskan menggunakan teori peniruan. Teori ini memandang seseorang sebagai individu yang secara otomatis cenderung
berempati dengan perasaan orang-orang yang diamatinya dan meniru perilakunya Rakhmat, 2001. Pertama kita membandingkan perilaku kita dengan orang yang
kita amati yang berfungi sebagai model Rakhmat, 2001, kemudian kita mulai meniru perilakunya. Rakhmat 2001 bahkan menulis bahwa melalui televisi,
orang meniru perilaku idola mereka, apalagi menurutnya televisi, film, dan komik secara dramatis mempertontonkan perilaku fisik yang mudah dicontoh. Hal
tersebut didukung oleh Sinta Indra Astuti, MSi, dosen Unisba Bandung, dalam www.entertainment.kompas.com, yang mengatakan bahwa remaja gampang
meniru setiap adegan yang ada didalam sinetron. Remaja kemudian dapat menjadi boros demi memiliki barang-barang
yang mereka inginkan agar terlihat mirip tokoh sinetron idolanya. Remaja juga dapat menjadi terbiasa hidup bemewah-mewah serta cenderung mudah membeli
barang karena keinginan dan mengesampingkan membeli barang yang sebenarnya ia butuhkan. Saat inilah remaja menjadi terjebak dalan perilaku konsumtif. Tidak
menutup kemungkinan apabila kemudian orang tua sebagai sumber dana tidak memiliki cukup dana untuk mewujudkan keinginan remaja. Hal inilah yang
menjadi masalah sehingga dapat menimbulkan konflik dalam keluarga.