HUBUNGAN ANTARA FREKUENSI MENONTON SINETRON DENGAN SIKAP KONSUMTIF PADA REMAJA

D. HIPOTESIS

Berdasarkan uraian sebelumnya maka peneliti mengajukan hipotesis sebagai berikut: Ada hubungan yang positif antara frekuensi menonton sinetron dengan sikap konsumtif pada remaja putri. Semakin tinggi frekuensi menonton sinetron pada remaja putri, maka sikap konsumtifnya juga akan semakin tinggi. Sebaliknya, semakin rendah frekuensi menonton sinetron, maka sikap konsumtifnya juga akan semakin rendah.

BAB III METODE PENELITIAN

A. JENIS PENELITIAN

Penelitian ini adalah penelitian korelasional yang bertujuan untuk menemukan bagaimana hubungan antara dua variabel.

B. VARIABEL PENELITIAN

1. Variabel bebas : frekuensi menonton sinetron 2. Variabel tergantung : sikap konsumtif

C. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL

1. Frekuensi Menonton Sinetron Frekuensi menonton sinetron adalah tingkatan seberapa tinggi atau seberapa sering seseorang itu menonton acara sinetron yang ditayangkan di televisi. Frekuensi menonton sinetron ini akan diukur dengan menggunakan angket. Agket akan berisi pertanyaan mengenai berapa jam subjek menonton sinetron dalam seminggu. Subjek diminta untuk memilih salah satu dari alternatif jawaban yang telah disediakan. Setiap alternatif jawaban berisi kisaran atau rentang jumlah jam. Semakin tinggi jumlah jam menonton sinetron yang dipilih subjek berarti frekuensi menonton sinetronnya semakin tinggi, dan sebaliknya semakin rendah jumlah jam yang dipilih subjek berarti frekuensi menonton sinetronnya juga semakin rendah. 2. Sikap Konsumtif Sikap konsumtif remaja adalah sikap remaja yang cenderung boros dalam mengkonsumsi, tidak mempertimbangkan skala prioritas, dan lebih mengutamakan kemewahan. Sikap konsumtif ini akan diukur dengan menggunakan skala yang dibuat berdasarkan aspek-aspek sikap konsumtif, yaitu: a. Boros Boros adalah perilaku remaja yang berlebih-lebihan dalam hal jumlah, baik itu dalam membeli maupun dalam menggunakan suatu barang, misalnya tercermin dari keinginan remaja untuk membeli banyak barang hanya sekedar untuk menambah koleksi, atau membeli banyak barang hanya karena ada potongan harga, ataupun mengkonsumsi barang dalam jumlah banyak melebihi jumlah yang ia butuhkan. b. Tidak ada skala prioritas Skala prioritas berarti selalu mendahulukan memenuhi kebutuhan yang sifatnya merupakan kebutuhan pokok dan lebih mendesak untuk segera dipenuhi, daripada memenuhi kebutuhan lain yang sifatnya kurang dibutuhkan atau yang pemenuhannya bisa ditunda. Tidak adanya skala prioritas berarti remaja tidak mempertimbangkan bahwa ia memang sangat membutuhkan barang tersebut, tetapi lebih berdasarkan pertimbangan karena ia menyukainya atau menginginkannya meskipun ia tidak atau kurang membutuhkannya. Tidak adanya skala prioritas juga dapat membuat remaja memutuskan untuk menunda untuk membeli barang yang memang ia butuhkan atau menunda memenuhi kebutuhan yang lebih penting. Perilaku ini tercermin ketika remaja misalnya menomorduakan untuk membeli barang-barang yang dapat menunjang kuliahnya dan mendahulukan membeli barang yang kurang ia butuhkan. Contoh lainnya adalah ketika remaja menunda membeli sepatu yang dibutuhkannya dan lebih memilih membeli asesoris yang kurang ia perlukan tetapi sangat disukainya. c. Gaya hidup bermewah-mewah Gaya hidup bermewah-mewah maksudnya remaja dalam kehidupannya sehari-hari selalu ingin kelihatan mewah didepan orang lain. Hal tersebut diwujudkan remaja dengan menjaga penampilannya seperti menggunakan barang-barang yang kelihatan mewah, bermerek, ataupun kelihatan mahal, dan juga dengan membeli barang hanya karena barang tersebut terlihat mewah bukan karena mutu atau kegunaannya. Skor yang akan didapat dari skala sikap konsumtif akan menunjukkan tinggi rendahnya sikap konsumtif remaja. Semakin tinggi skor yang didapat dari skala, berarti remaja tersebut sikap konsumtifnya semakin tinggi, dan sebaliknya semakin rendah skor yang didapat, berarti remaja tersebut semakin rendah sikap konsumtifnya.

D. SUBJEK PENELITIAN

Peneliti memilih subjek remaja putri yang bertempat tinggal dan bersekolah di propinsi DI Yogyakarta dan berada pada usia remaja akhir. Batasan usia remaja akhir yang digunakan dalam penelitian ini adalah batasan usia remaja akhir menurut Santrock 2003, yaitu diatas 15 tahun sampai dengan akhir usia belasan atau awal usia 20 tahun. Remaja yang berada pada usia tersebut biasanya telah dipercayai oleh orang tua mereka untuk mengelola sendiri keuangan mereka, meskipun sumber dananya masih berasal dari orang tua. Keadaan tersebut membuat remaja memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengatur sendiri keuangannya tanpa banyak campur tangan dari orang tua. Karakteristik lain adalah perilaku menonton iklan yang ditayangkan selama acara sinetron berlangsung. Subjek yang digunakan adalah subjek yang tidak memberi perhatian pada iklan atau tidak menonton iklan. Informasi mengenai hal ini akan digali dari subjek dengan angket yang menanyakan apa yang dilakukan subjek saat iklan muncul disela-sela sinetron. Subjek yang datanya akan digunakan dalam penelitian ini adalah subjek yang memilih jawaban memindahkan saluran televisi sampai iklan selesai atau memilih melakukan kegiatan lain sambil menunggu iklan selesai. Subjek yang menjawab bahwa ia menonton iklan sampai selesai, datanya tidak akan disertakan dalam proses analisis. Hal ini dilakukan untuk meminimalkan pengaruh iklan terhadap sikap konsumtif subjek, sehingga sikap konsumtif yang akan diukur benar-benar hanya dihubungkan dengan frekuensi menonton sinetron saja.