Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Konsumtif

e. Keluarga Setiap anggota keluarga memiliki selera dan keinginan yang berbeda, meskipun begitu keluarga memainkan peranan terbesar dan terlama dalam pembentukan sikap dan perilaku manusia Dharmmesta dan Handoko, 2000. II. Faktor-faktor internal. a. Motivasi Dharmmesta dan Handoko 2000 mengemukakan bahwa motif adalah keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motif-motif manusia dalam melakukan pembelian terdiri dari: 1 Motif pembelian primer dan selektif Motif pembelian primer primary buying motive adalah motif yang menimbulkan perilaku pembelian terhadap kategori- kategori umum biasa pada suatu produk, seperti membeli televisi atau pakaian Dharmmesta dan Handoko, 2000. Sedangkan motif pembelian selektif selective buying motive adalah motif yang mempengaruhi keputusan tentang model dan merek dari kelas-kelas produk, atau macam penjual yang dipilih untuk suatu pembelian Dharmmesta dan Handoko, 2000. 2 Motif rasional dan emosional Motif rasional menurut Dharmmesta dan Handoko 2000 adalah motif yang didasarkan pada kenyataan-kenyataan seperti yang ditunjukkan oleh suatu produk kepada konsumen. Berbeda dengan motif rasional, motif emosional adalah motif pembelian yang berkaitan dengan perasaan atau emosi individu, seperti pengungkapan rasa cinta, kebanggaan, kenyamanan, kesehatan, keamanan, dan kepraktisan Dharmmesta dan Handoko, 2000. b. Proses belajar Belajar menurut Dharmmesta dan Handoko 2000 dapat didefinisikan sebagai perubahan-perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil akibat adanya pengalaman. Proses belajar pada suatu pembelian terjadi apabila konsumen ingin menanggapi dan memperoleh suatu kepuasan, atau sebaliknya, tidak terjadi apabila konsumen merasa dikecewakan oleh produk yang kurang baik Dharmmesta dan Handoko, 2000. c. Kepribadian dan konsep diri Dharmmesta dan Handoko 2000 mendefinisikan kepribadian sebagai organisasi dari faktor-faktor biologis, psikologis dan sosiologis yang mendasari perilaku individu. Menurut Hawkin, Coney, dan Bert 1980 kepribadian sangat berpengaruh pada perilaku pengambilan keputusan untuk membeli produk: minuman, mobil, warna pakaian, dan kegiatan yang bersifat rekreasional. Sedangkan konsep diri menurut Theodore M. New Combe dalam Dharmmesta dan Handoko, 2000 didefinisikan sebagai individu yang diterima oleh individu itu sendiri dalam kerangka kehidupannya dalam suatu masyarakat yang menentukan. Dharmmesta dan Handoko 2000 berpendapat konsep diri mempunyai implikasi dan aplikasi penerapan yang luas pada perilaku konsumen. d. Sikap William G. Nickels dalam Dharmmesta dan Handoko, 2000 memberikan definisi dari sikap yang diterapkan pada pemasaran sebagai suatu kecenderungan yang dipelajari untuk bereaksi terhadap penawaran produk dalam masalah-masalah yang baik ataupun kurang baik secara konsekuen. Lebih jauh Engel, Kollet, dan Blackwell 1994 menyatakan bahwa sikap merupakan keseluruhan evaluasi atau reaksi perasaan positif dan negatif terhadap suatu produk yang didasarkan pada pengalaman masa lalu, keadaan sekarang, dan harapan di masa datang. Faktor lain yang mempengaruhi perilaku konsumtif disampaikan oleh Tuti Indra Fauziansyah dalam Herawati, 2008 seorang Psikolog dari Iradat Konsultan, yang mengungkapkan bahwa beberapa tahun belakangan ini, yang dibangun oleh pemerintah adalah karakter masyarakat yang materialistis. Menurutnya menjamurnya pusat perbelanjaan, kafe, dan tempat hiburan, membuat orang jadi konsumtif, begitu pula perlakuan orang-orang yang terlibat didalamnya. Perlakuan terhadap orang yang dipandang kaya akan berbeda dengan perlakuan yang didapat oleh orang-orang kalangan menengah ataupun bawah. Fauziansyah dalam Herawati, 2008 menambahkan bahwa orang kaya atau kalangan elite, sepertinya memang dianggap layak mendapatkan perlakuan istimewa, maka tak heran jika orang berlomba-lomba agar bisa masuk kalangan tersebut, atau paling tidak terlihat demikian.

3. Aspek-Aspek Sikap Konsumtif

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa sikap konsumtif adalah keadaan internal yang dapat mempengaruhi pilihan seseorang untuk berperilaku yang boros dalam arti mengkonsumsi barang atau jasa yang sebenarnya kurang diperlukan secara berlebihan cenderung tanpa batas dan didasarkan pada pertimbangan yang tidak rasional, yaitu untuk memenuhi keinginan dan prestise yang tergambar dari sebuah barang daripada pertimbangan kebutuhan dan kegunaannya, serta tidak ada skala prioritas, juga dapat diartikan sebagai gaya hidup yang bermewah-mewah. Berdasarkan definisi tersebut maka dapat terungkap mengenai aspek-aspek sikap konsumtif yang terdiri dari: a. Boros Perilaku konsumtif selalu ditandai dengan perilaku boros. Boros dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2008 didefinisikan sebagai berlebihan memakai, mengeluarkan uang atau barang, tidak hemat. Intinya boros adalah berlebih-lebihan dalam mengkonsumsi barang atau jasa yang sebenarnya kurang dibutuhkan atau bahkan tidak dibutuhkan. b. Tidak ada skala prioritas Skala prioritas berarti kita mendahulukan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih mendesak terlebih dahulu. Gilarso 2004 menyatakan bahwa kebutuhan pokok mesti dinomorsatukan karena perlu untuk mempertahankan hidup. Ia juga menambahkan bahwa untuk kesejahteraan hidup, pemenuhan kebutuhan sekunder kerap kali tidak kalah pentingnya dengan kebutuhan hidup dasar. Mendahulukan kebutuhan sekunder hingga menyebabkan kebutuhan pokok menjadi terabaikan atau tidak dapat terpenuhi berarti tidak adanya skala prioritas. c. Gaya hidup bermewah-mewah Gaya hidup bermewah-mewah dapat diartikan sebagai gaya hidup yang mementingkan kemewahan diatas segalanya. Misalnya saja lebih mementingkan merek-merek mahal dan ternama dalam membeli barang. Gaya hidup bermewah-mewah biasanya hanya bertujuan agar dipandang oleh orang lain. Samuel Mulia dalam Herawati, 2008 seorang pengamat gaya hidup bahkan mengatakan bahwa orang kaya zaman sekarang tidak ragu menyebut dirinya kaya raya. Menurutnya hal ini berbeda dengan zaman dulu, orang enggan disebut kaya, karena saat itu belum umum jika sebuah media mengekspos harta seseorang.

4. Perilaku Konsumtif Pada Remaja

Pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja Tambunan, 2007, padahal pada usia tersebut seorang remaja cenderung berperilaku konsumtif. Hal ini disebabkan karena remaja menurut Lina dan Rosyid 1997 memiliki kecenderungan untuk meniru gaya hidup mewah dan perilaku yang sedang mewabah di negara-negara maju. Selanjutnya menurut Tambunan 2007 remaja juga memiliki sifat suka ikut-ikutan teman, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Pendapat tersebut sejalan dengan yang diungkapkan oleh Munandar 2001. Menurutnya sifat remaja antara lain tidak berpikir hemat, kurang realistis, dan juga impulsif. Remaja juga sangat memperhatikan trend mode dan perkembangan teknologi sebab mereka tidak ingin dikatakan ketinggalan jaman oleh teman-teman sebayanya. Munandar 2001 menulis remaja lebih banyak tertarik pada ‘gejala mode’, terutama pada remaja putri dan bahkan belakangan ini remaja putra pun mulai tertarik. Sifat-sifat remaja tersebut membuat mereka memiliki kecenderungan untuk berperilaku konsumtif. Tidaklah mengherankan apabila kemudian remaja banyak membeli barang hanya demi gengsi agar tidak dikatakan kuno ataupun agar dipandang eksklusif oleh teman-temannya. Wanita biasanya cenderung lebih konsumtif daripada pria. Lina dan Rosyid 1997 menulis hal ini disebabkan konsumen wanita cenderung lebih emosional, sedang konsumen pria lebih nalar. Remaja putri sendiri menurut Munandar 2001 tidak mudah terbujuk penjual, lebih tertarik pada warna dan bentuk bukan pada kegunaannya, mementingkan status sosial, senang hal-hal romantis, mudah minta pendapat orang lain, kurang tertarik pada hal teknis sebuah barang, senang belanja hingga sulit menentukan pilihan, dan cepat merasakan suasana toko. Sifat-sifat remaja putri tersebut membuat banyak orang yang menilai bahwa mereka lebih cenderung konsumtif daripada remaja putra.

B. SINETRON 1. Definisi

Sinetron adalah kependekan dari sinema elektronik Wirodono, 2006. Sinetron kerap kali disamakan dengan soap opera atau di Indonesia lebih dikenal dengan opera sabun ataupun drama seri. Nama sinema elektronik sendiri diberikan sebab sinetron memang ditayangkan di televisi yang merupakan salah satu perangkat elektronik rumah tangga. Wirodono 2006 berpendapat bahwa secara prinsip, sinetron tidak berbeda dengan sinema celleluoid, layar lebar, atau bioskop, namun karena dari segi teknis dan karakter media peralatannya berbeda, keduanya mesti dibedakan. Masih menurut Wirodono 2006 keterbatasan lebar monitor televisi beserta penempatannya di dalam rumah, membuat efek gambar yang dinikmati harus pula mendapatkan penyiasatan tertentu, dari segi penikmatannya pun, baik di rumah sendiri, di ruang tamu, maupun di ruang keluarga menonton sinetron bisa jadi hanyalah salah satu dari sekian banyak perhatian dan peristiwa yang berlangsung di sekitarnya. Sinetron juga diselingi oleh iklan, sedangkan film layar lebar tentu saja ditayangkan tanpa iklan. Menurut Wirodono 2006 iklan bisa menjadi faktor pengganggu dalam proses penikmatan program dalam hal ini sinetron. Kecuali, jika iklan memang hanya berfungsi untuk memberi kesempatan pada penonton untuk mengalihkan saluran sembari menunggu tayangan iklan lewat Wirodono, 2006. Iklan pada sinetron biasanya akan dimanfaatkan oleh penonton untuk melakukan kegiatan lain.

2. Sejarah Perkembangan Sinetron

Sinetron lahir tahun 1980-an di TVRI Televisi Republik Indonesia. Stasiun televisi milik pemerintah yang tidak menerima iklan ini adalah satu- satunya stasiun televisi yang ada saat itu “Sinetron: Rating”, 2001. TVRI pada awalnya selain memutar paksa film-film layar lebar nasional, juga meproduksi drama televisi Wirodono, 2006. Menurut pendapat Wirodono 2006 migrasi orang-orang film layar lebar ke dunia sinetron disebabkan oleh ketidaksiapan dalam awal pertumbuhan dunia televisi kita. Inilah yang menyebabkan besarnya pengaruh layar lebar terhadap sinetron, bukan hanya pada style atau gaya ungkap dan pola penulisan skenario, melainkan juga pada penyutradaraan serta akting pemerannya Wirodono, 2006. Sinetron semakin berkembang bersamaan dengan hadirnya lima stasiun televisi swasta di Indonesia : RCTI, SCTV, TPI, ANTV dan Indosiar awal tahun 1990-an, dimana saat itu terdapat regulasi yang mengharuskan setiap stasiun televisi memproduksi program lokal lebih banyak dibandingkan program non lokal Sinetron: Rating, 2001. Sinetron menjadi unggulan program lokal dan merajai prime time hampir semua stasiun televisi “Sinetron: Rating”, 2001. Selain regulasi tersebut pernah juga pada jaman Menteri Penerangan Harmoko, ada banyak syarat untuk meluluskan sinetron yang berhak tayang karena harus melalui izin prinsip yang dikeluarkan Deppen untuk skenario sinetron, seperti tidak menunjukkan kekumuhan, perkelahian remaja, narkoba, dan larangan prinsip seperti SARA dan politik Wirodono, 2006. Sinetron dalam perkembangan selanjutnya bukan hanya ditayangkan saat prime time, tetapi banyak juga ditayangkan pada jam-jam diluar itu, misalnya