Pengujian Instrumen Penelitian METODE PENELITIAN

Rumusan formula umum koefisien alpha adalah sebagai berikut: Di mana: k = banyaknya belahan tes s j 2 = Varians belahan j; j= 1,2,..k s x 2 = Varians skor tes

2. Analisis Regresi Berganda

a. Uji Statistik Parametik Menurut Sugiyono 2007: 119 statistik parametrik digunakan untuk menguji parameter populasi melalui statistik. Pengertian statistik di sini adalah data yang diperoleh dari sampel. 1 Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal. Jika variabel residual memiliki distribusi tidak normal, maka hasil uji akan bias. Uji normalitas dapat dilakukan dengan menggunakan uji statistik non-parametrik Kolmogorof Smirnov. Adapun prosedur pengujiannya dapat dijelaskan, sebagai berikut: a data masing-masing variabel diuji dengan uji Kolmogorof Smirnov. b nilai signifikansi korelasi yang dihasilkan dibandingkan dengan standar 0,05. c diambil kesimpulan dengan kriteria bahwa suatu kelompok data dikatakan memiliki distribusi normal jika memiliki nilai signifikansi 0,05. 2 Uji Heteroskedastisitas Uji heteroskedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Jika variabel dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homokedastisitas, jika berbeda disebut heterokedastisitas. Yang baik adalah jika yang terjadi homokedastisitas. Cara untuk mendeteksi ada atau tidaknya heterokedastisitas adalah dengan melihat grafik plot antar prediksi variabel dependen ZPRED dengan residualnya SRESID. Deteksi ada tidaknya heterokedastisitas dapat dilakukan dengan melihat ada tidaknya pola tertentu pada grafik scaterplot antara SRESID dan ZPRED, dimana sumbu Y yang telah diprediksi dan sumbu X adalah residualnya Y prediksi – Y sesungguhnya yang telah distandardisasi. Analisisnya adalah: a Jika ada pola tertentu, seperti titik-titik yang ada membentuk suatu pola yang teratur bergelombang melebar kemudian menyempit maka terjadi heterokedastisitas. b Jika tidak ada pola yang jelas seperti titik-titik menyebar diatas dan di bawah angka 0 pada sumbu Y, maka hal ini mengindikasikan tidak terjadi heterokedastisitas. 3 Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas bertujuan menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas independen. Model regresi dapat dikatakan baik jika variabel- variabel independenya tidak saling berkorelasi. Pengujian multikolinearitas terhadap data yang akan diuji dilakukan dengan menggunakan alat analisa korelasi. Cara mendeteksi keberadaan gejala multikolinearitas dengan cara ini dilakukan dengan melihat hasil uji korelasi yang dilakukan terhadap masing-masing data variabel independen. Adapun prosedur pengujiannya dapat dijelaskan, sebagai berikut: a data masing-masing variabel independen diuji korelasi. b nilai korelasi yang dihasilkan dibandingkan dengan standar 0,9. c diambil kesimpulan dengan kriteria jika nilai korelasi antar variabel independen 0,9, maka data pada variabel tersebut dapat bebas dari gejala multikolinearitas. Sedangkan jika nilai korelasinya 0,9, maka data pada variabel tersebut dapat dikatakan mengandung gejala multikolinearitas. b. Koefisien determinasi Koefisien ini menjelaskan seberapa besar variasi dari variabel dependen dapat dijelaskan oleh variasi dari variabel independen. R 2 yang digunakan adalah R 2 yang telah memperhitungkan jumlah variabel bebas dalam suatu model regresi atau disebut adjusted R 2 yang diperoleh dengan rumus Gujarati dan Zein, 1995: 102: adjusted R 2 = k N 1 N R 1 1 2 Keterangan : N = Jumlah sampel. k = Banyaknya parameter atau koefisien plus konstanta. Batas nilai adjusted R 2 adalah antara 0 sampai dengan 1, semakin tinggi nilai adjusted R 2 maka akan semakin baik hasil regresi. Nilai adjusted R 2 sebagai ukuran ketepatan suatu garis regresi yang diterapkan terhadap suatu kelompok data hasil observasi. Semakin besar adjusted R 2 , semakin baik atau semakin cocok pula suatu garis regresi. c. Uji t Secara parsial Uji t digunakan untuk mengetahui apakah masing-masing variabel independen secara parsial mampu mempengaruhi variabel dependen Sunyoto 2009: 152. Langkah-langkah yang dilakukan dalam uji t yaitu: 1 Menentukan Ho dan Ha Ho : β 1, β 2, β 3 ≤ 0, artinya variabel peran auditor sebagai pengawas X 1 , konsultan X 2 , dan katalisator X 3 secara parsial tidak berpengaruh positif terhadap efektivitas pengendalian internal Y. Ha : β 1, β 2, β 3 0, artinya variabel peran auditor sebagai pengawas X 1 , konsultan X 2 , dan katalisator X 3 secara parsial berpengaruh positif terhadap efektivitas pengendalian internal Y. 2 Menentukan level of significance α: Dalam penelititan ini level of significance atau tingkat signifikannya sebesar 0,05 5 dengan derajat bebas df = n-1-k dan n merupakan jumlah sampel penelitian dan k merupakan jumlah variabel. 3 Menentukan nilai t hitung 4 Kriteria Penerimaan dan Penolakan Hipotesis t hitung t tabel atau – t hitung -t tabel jadi diterima. t hitung t tabel atau – t hitung -t tabel jadi ditolak. Dalam pelaksanaan proses regresi, peneliti menggunakan alat bantu SPSS. 37

BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN

A. Sejarah Berdirinya Rumah Sakit Panti Rapih

Sejarah berdirinya Rumah Sakit Panti Rapih, di Jalan Cik Di Tiro 30 Yogyakarta, tidak terlepas dari sejarah perkembangan Gereja Katolik di Yogyakarta. Pada tahun 1914 warta gembira Kerajaan Allah mulai dikenal oleh warga Yogyakarta dengan dimulainya pelajaran agama Katolik di rumah R.P. Himawidjaja ayah Mgr. A. Djajasepoetro, SJ. Para misionaris bersama murid-murid dari kolose Xaverius Muntilan dengan semangat merasul yang tinggi mampu membuat Yogyakarta menjadi daerah baru untuk pewartaan Injil. Tahun 1917 berdirilah Standaart-School sebagai lembaga pendidikan Katolik pertama di Yogyakarta. Seiring perjalanan waktu, lembaga pendidikan Katolik di Yogyakarta semakin berkembang. Dari perkembangan yang menggembirakan tersebut, para misionaris berkeinginan mengembangkan karyanya bagi masyarakat pribumi dengan membangun rumah sakit. Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka pengurus Gereja Yogyakarta menjalin hubungan dengan para Suster Fransiskanes agar bersedia mengelola rumah sakit. Namun karena pilihan para Suster Fransiskanes untuk berkonsentrasi di bidang pendidikan maka tawaran tersebut terpaksa ditolak. Tahun 1921 pengurus Gereja Yogyakarta memutuskan untuk meminta bantuan kepada Suster-suster Carolus Borromeus CB yang berpusat di Maastricht, Belanda untuk mengelola rumah sakit. Keputusan para suster CB menerima tawaran ini kemungkinan besar karena keberadaan Ir. Julius Robert Anton Marie Schmutzer -seorang tokoh awam dan administratur onderneming Gondang Lipoero di Ganjuran Bantul- yang memiliki hubungan erat dengan Kongregasi Suster CB. Istri beliau, Ny. C.T.M. Schmutzer adalah murid sekolah perawat yang dikelola Suster CB di Belanda. Titik awal berdirinya Rumah Sakit Panti Rapih adalah dibentuknya yayasan Onder de Bogen atau dalam bahasa Belanda Onder de Bogen Stichting oleh pengurus Gereja Yogyakarta pada tanggal 22 Februari 1927. Tanda pembangunan fisik rumah sakit dimulai dengan peletakan batu pertama oleh Ny. C.T.M. Schmutzer van Rijckevorsel pada tanggal 14 September 1928. Pada bulan Januari 1929, tibalah lima orang Suster Cinta Kasih St. Carolus Borromeus dari Belanda. Mereka adalah Moeder Gaudentia Brand, Sr. Yudith de Laat, Sr. Ignatia Lemmens, Sr. Simonia, dan Sr. Ludolpha de Groot. Karena bangunan belum selesai, maka kelima suster tersebut dititipkan di biara Suster OSF Yogyakarta. Pembangunan rumah sakit akhirnya dapat diselesaikan pada pertengahan Agustus 1929. Selanjutnya, pada tanggal 24 Agustus 1929 Mgr. A.P.F van Velse, SJ berkenan memberkati bangunan tersebut. Tanggal 14 September 1929 secara resmi rumah sakit dibuka oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII dengan nama Rumah Sakit Onder de Bogen. Beberapa tahun kemudian Sri Sultan Hamengku Buwono VIII berkenan menghadiahkan sebuah mobil ambulance sebagai penghargaan atas pelayanan rumah sakit bagi masyarakat pribumi. Bangunan yang dihiasi dengan lengkungan-lengkungan dan nama Onder de Bogen mengingatkan para Suster CB yang berdinas di rumah sakit ini akan induk biara Suster-Suster CB di Maastricht, Belanda. Para suster melayani dan merawat orang sakit, meringankan penderitaan sesama sesuai dengan ajaran Injil tanpa memandang agama dan bangsa. Sedikit demi sedikit penderita datang dan semakin lama semakin bertambah dan meningkat jumlahnya. Sebagian besar pasien berasal dari lingkungan pejabat Belanda dan kerabat Kraton. Sementara itu rakyat yang miskin dan lemah belum bisa menikmati pelayanan rumah sakit. Para suster menjadi prihatin dan merasa tidak puas akan pelayanan rumah sakit ini. Oleh karena itu Pimpinan Umum Suster-suster CB di Maastricht mendesak Pengurus Yayasan Onder de Bogen untuk menyediakan fasilitas guna melayani rakyat kecil yang miskin dan lemah. Namun apa daya, Yayasan Onder de Bogen belum mempunyai dana yang cukup untuk itu. Melalui uluran tangan Kongregasi Bruder FIC, cita-cita mulia para suster tersebut dapat terwujud. Sebuah bangsal khusus bagi orang yang tidak mampu akhirnya berasil dibangun dan diberi nama Bangsal Theresia.