Tujuan Manfaat Citra Radar

ALOS PALSAR merupakan satelit penginderaan jauh permukaan bumi milik Jepang yang diluncurkan Japan Aerospace Exploration Agency JAXA pada bulan Januari tahun 2006. ALOS PALSAR mengacu pada sensor gelombang mikro berkualitas tinggi menggunakan teknologi radar. Sensor ALOS PALSAR memiliki resolusi spasial 12,5 m dan 50 m. Pemanfaatan teknologi penginderaan jauh di Indonesia khususnya pada pemanfaatan citra ALOS PALSAR perlu lebih dikembangkan untuk mendukung efesiensi pelaksanaan inventarisasi sumberdaya lahan. Penelitian aplikasi ALOS PALSAR dalam tujuannya untuk memperoleh data penutupan dan penggunaan lahan masih sangat terbatas, oleh karena itu perlu diadakan penelitian lebih jauh mengenai kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m maupun resolusi 12,5 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan khususnya pada wilayah dengan topografi berat.

1.2 Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Evaluasi kemampuan citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan, khususnya di Kabupaten Brebes, Cilacap, Ciamis dan Banyumas, 2. Analisis peningkatan kemampuan penafsiran citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 m terhadap citra ALOS PALSAR resolusi 50 m dalam mengidentifikasi tutupan lahan, khususnya di Kabupaten Brebes, Cilacap, Ciamis dan Banyumas.

1.3 Manfaat

Hasil kajian mengenai data perekaman satelit ALOS PALSAR resolusi 50 m dan 12,5 m diharapkan dapat memberikan acuan bagi pengguna citra penginderaan jauh untuk penyediaan data dan informasi penutupan dan penggunaan lahan dalam bentuk spasial. BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Citra Radar

Lillesand dan Kiefer 1990 menjelaskan bahwa radar Radio Detection And Ranging merupakan sistem penginderaan jauh dengan menggunakan gelombang mikro aktif. Radar dikembangkan sebagai suatu cara yang menggunakan gelombang radio untuk mendeteksi adanya obyek dan menentukan jarak posisi- nya. Resolusi spasial sistem radar ditentukan antara lain oleh ukuran antena. Untuk suatu panjang gelombang tertentu, maka semakin panjang antena, akan semakin baik resolusi spasialnya. Pemasangan antena pada sebagian besar radar penginderaan jauh yang berwahana di udara yaitu dengan dipasang pada bagian bawah pesawat dan diarahkan ke samping. Sistem semacam ini dinamakan radar side looking radarSLR atau radar wahana udara pandang samping side looking airbone radarSLAR. Sistem SLAR menghasilkan jalur citra yang bersinambungan yang menggambarkan daerah medan luas serta berdekatan dengan jalur terbang. SLAR merupakan sistem pencitraan yang aktif, karena dapat melakukan pengamatan siang-malam dan hampir dalam segala cuaca Lillesand dan Kiefer 1990. Dua faktor utama yang mempengaruhi sifat khas transmisi sinyal dari suatu sistem radar ialah panjang gelombang dan polarisasi pulsa tenaga yang digunakan. Satu sinyal SLAR dapat ditransmisikan pada bidang mendatar H maupun tegak V. Sinyal tersebut dapat pula diterima pada bidang mendatar dan tegak. Dengan demikian terdapat kemungkinan empat kombinasi sinyal trasmisi dan penerimaan yang berbeda, yaitu dikirim H, diterima H; dikirim H, diterima V; dikirim V, diterima H; dan dikirim V, diterima V. Citra dengan polarisasi searah dihasilkan dari paduan HH dan VV. Citra polarisasi silang dihasilkan dari paduan HV atau VH. Karena berbagai obyek mengubah polarisasi tenaga yang mereka pantulkan dalam berbagai tingkatan maka bentuk polarisasi sinyal mempengaruhi kenampakan obyek pada citra yang dihasilkan Lillesand dan Kiefer 1990. Lillesand dan Kiefer 1990 menjelaskan bahwa efek geometrik sensorobyek relatif atas intensitas sinyal hasil balik radar terpadu dengan efek kekasaran permukaan. Kekasaran permukaan obyek merupakan fungsi variasi relief sehubungan dengan panjang gelombang pantulan tenaga. Permukaan dengan kekasaran pada dasarnya sama atau lebih besar daripada panjang gelombang yang ditransmisikan tampak “kasar”. Permukaan yang kasar bertindak sebagai pemantul baur dan memencar tenaga datang ke semua arah, hanya mengembalikan sebagian kecil ke antena Gambar 1a. Sasaran dengan kekasaran permukaan sangat kurang dari pada panjang gelombang tenaga radar termasuk “halus” dan merupakan pemantul sempurna terhadap tenaga. Suatu permukaan halus pada umumnya memantulkan sebagian besar tenaga menjauhi sensor, dan mengakibatkan sinyal hasil balik yang rendah Gambar 1b. Meskipun demikian, orientasi obyek terhadap sensor harus dipikirkan juga karena permukaan halus yang mengarah ke sensor akan menghasilkan sinyal balik yang sangat kuat. Suatu tanggapan yang sangat cerah dihasilkan dari pemantul sudut Gambar 1c. Pada pemantul sudut, permukaan halus yang berdekatan mengakibatkan pantulan ganda yang membuahkan hasil balik sangat tinggi. Karena pada umumnya pemantul sudut hanya meliput daerah sempit pada gambar maka sering tampak sebagai “kilauan” cerah pada citra. Sumber: Lillesand dan Kiefer 1990 Gambar 1 Bentuk-bentuk refleksi atau backscatter a baur, b sempurna dan c sudut. a b c Faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok besar, yaitu sistem sensor dan target- obyeknya. Dalam sistem sensor terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR, yaitu: 1. Panjang gelombang microwave yang digunakan band X, C, S, L dan P, 2. Polarisasi HH, HV, VV, VH, 3. Sudut pandang dan orientasi, 4. Resolusinya, sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi besaran backscatter SAR yang berasal dari sistem target, yaitu: 1. Kekasaran, ukuran dan orientasi obyek termasuk di dalamnya biomassa, 2. Konstanta dielektrik antara lain dapat berupa kelembaban atau kandungan air, 3. Sudut kemiringan atau slope dan orientasinya sudut pandang lokallocal incident angle. Permukaan bumi yang dikenai pancaran radar akan memberikan pancaran balik backscatter yang antara lain tergantung dengan sudut dari obyek tersebut dengan arah pancarnya yang sering disebut sebagai sudut pandang lokal local incident angle. Biasanya sudut ini tergantung dari slope bentang alam yang ada dalam wilayah yang sedang diindera, sehingga besaran sudut ini antara lain akan menentukan besaran kecerahan tone dari pikselnya JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Radar mengindera ke samping sehingga citra radar mempunyai distorsi geometrik dan radiometrik yang besar, seperti adanya variasi skala karena sudut dekat near range dan sudut jauh far range, pemendekan foreshortening, ketertampalan layover, bayangan dan noise speckle JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Radar mengukur jarak obyek pada jarak slant range sudut yang terbentuk antara arah pancaran radar dengan garis normal permukaan bumi dan bukan jarak horizontal pada permukaan bumi oleh karena itu, citra akan memiliki skala yang berlainan dari arah sudut dekat near range sampai sudut jauh far range. Hal ini berarti obyek pada daerah near range akan mengerut, sedangkan pada far range akan mengembang. Hal ini mengakibatkan perlunya citra radar dikoreksi dan ditranformasikan pada ground range geometry di permukaan bumi JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Radar melihat permukaan bumi secara oblik side looking sehingga sangat dipengaruhi oleh relief displacement seperti pada foto udara. Distorsi dalam radar biasanya tegak lurus arah jalur terbang yang menghasilkan obyek yang tinggi akan diletakkan mendekati sensor. Pengaruh lain adalah terbentuknya bayangan, biasanya dalam citra radar terlihat gelap sekali yang menunjukkan bahwa tidak ada sinyal balik yang tertangkap oleh antena radar, biasanya terjadi untuk obyek yang berada di belakang obyek yang tinggi. Karena sudut pandang meningkat dari sudut dekat ke jauh, maka penyiaman topografi menjadi bertambah oblik, sehingga di daerah sudut jauh akan terjadi kemungkinan bayangan yang lebih banyak. Di sisi lain dengan bayangan dapat diperoleh tinggi obyek dan juga penting untuk menafsir relief wilayah JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Pemendekan foreshortening dalam citra radar juga kerap dijumpai yang diartikan sebagai penampakan yang lebih pendek dari obyek permukaan, biasanya ke arah sensor radar biasanya pemendekan cenderung lebih cerah. Pemendekan maksimum ketika slope terjal tegak lurus terhadap arah pancaran radar, apabila sudut pandang lokal sama dengan nol, maka dasar, lereng dan puncak bukit akan disiami serentak, sehingga ketiganya akan mempunyai posisi yang sama. Untuk kelerengan yang sama, efek pemendekan akan berkurang sesuai dengan makin meningkatnya sudut pandang sensor. Seandainya digunakan sudut pandang 90º, maka pemendekan dapat dihilangkan akan tetapi bayangan akan banyak terjadi, sehingga dalam pemilihan besaran sudut pandang selalu terjadi trade off antara pemendekan dengan bayangan JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Ketertampalan layover terjadi ketika energi yang direfleksikan oleh bagian atas obyek diterima sebelum energi yang direfleksikan oleh bagian bawah obyek, dalam hal ini obyek bagian atas bertampalan dengan obyek bagian bawah ketika proses menjadi citra. Secara umum ketertampalan lebih sering terjadi pada sudut pandang yang lebih kecil seperti biasanya dari satelit. Jenis dan besaran akibat relief displacement dalam citra radar merupakan fungsi dari besaran sudut arah pancaran energi dengan obyek atau dengan perkataan lain tergantung sudut kemiringan permukaan bumi JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Adanya distorsi geometric akan mempengaruhi energi yang diterima. Energi pada daerah yang miring slope akan dipadatkan hanya beberapa piksel sehingga nilai digital yang terekam akan tinggi karena sebenarnya berasal dari sekian banyak obyek. Efek ini sangat sulit dikoreksi, bahkan beberapa menyatakan tidak dapat dikoreksi. Namun dengan penampakan terrain atau topografi pada citra radar sangat jelas dan sangat membantu dalam melakukan penafsiran JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Pelemahan fading dan speckle merupakan proses dan sifat seperti noise gangguan yang mempengaruhi kualitas citra dari sebuah sistem pencitraan yang koheren. Fading disebabkan oleh adanya kelambatan fase yang beragam akibat beragamnya target yang besarannya kurang dari panjang gelombang JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Proses gangguan noise dapat terjadi secara konstruktif maupun destruktif yang terlihat dalam citra sebagai cerah dan gelap sekaligus. Proses dan sifat ini dapat dikurangi dengan beberapa cara, yaitu: 1. Filtering dari multiple look, yaitu dengan membagi sintetik aperture menjadi sub-aperture berdasarkan posisi angular target sehingga suatu target seakan dilihat beberapa kali sesuai dengan efek Doppler, 2. Rata-rata dari piksel sekitarnya. Hal ini dapat meningkatkan resolusi radiometrik, namun dapat menyebabkan resolusi spasial berkurang JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Speckle adalah ketidakpastian atau fluktuasi secara statistik dari kecerahan yang terjadi pada setiap piksel dalam citra radar akibat penyiaman yang koherenkuat dan proses pengolahan. Citra dengan resolusi tinggi mengandung banyak speckle, sedangkan citra yang mempunyai resolusi rendah speckle-nya lebih sedikit. Spekle dapat dikurangi dengan menggunakan dua cara yaitu dengan mengolah citra multi-look dan analisis filtering. Teknik filtering terdiri dari dua kelompok besar yaitu: 1. Non adaptive filtering: biasanya bersifat global dan mempertimbangkan seluruh keragaman dalam citra dan tidak memperhatikan keadaan lokal target yang direkam, tidak cocok untuk obyek yang heterogen, contohnya adalah FFT. 2. Adaptive filtering: biasanya bersifat lokal dan mempertimbangkan keadaan lokal dari setiap pikselnya, biasanya menggunakan kernel berukuran tertentu misal 3x3 atau 11x11, contohnya adalah Frost, Lee, Map Gamma, Mean, Median dan Modus. Frost, Lee dan Gamma sesuai untuk citra SAR karena nilai tengah tidak berubah, hanya saja sesuai dengan ukuran filternya, makin besar ukuran filter maka nilai standar deviasinya akan makin berkurang JICA dan Fakultas Kehutanan IPB 2011. Ketika citra SAR dihilangkan spekle-nya, biasanya batas antar obyek menjadi agak kabur oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan tepi edge enhancemen dengan teknik filtering. Dalam citra SAR, teknik ini juga digunakan untuk segmentasi dan klasifikasi.

2.2 ALOS PALSAR

Dokumen yang terkait

Pendugaan biomassa atas permukaan pada tegakan pinus (Pinus merkusii Jungh et de Vriese) menggunakan citra alos palsar resolusi spasial 50 M dan 12,5 M (studi kasus di KPH Banyumas Barat)

0 3 69

Evaluasi penafsiran citra alos palsar resolusi 12,5 m slope corrected dan 50 meter dengan menggunakan metode manual dan digital dalam identifikasi penutupan lahan (studi kasus di Kabupaten Bogor, Cianjur, dan Sukabumi)

3 16 93

Perbandingan penafsiran visual antara Citra Alos Palsar Resolusi 50 m dengan Citra Landsat Resolusi 30 m dalam mengidentifikasi penutupan lahan (Studi Kasus di Kabupaten Bogor, Kabupaten Sukabumi, dan Kabupaten Cianjur)

0 5 180

Penyusunan model pendugaan dan pemetaan biomassa permukaan pada tegakan jati (Tectona grandis Linn F) menggunakan citra alos palsar resolusi 50 M dan 12,5 M (Studi kasus: KPH Kebonharjo perhutani unit 1 Jawa Tengah)

1 8 165

Evaluasi manual penafsiran visual citra alos palsar dalam mengidentifikasi penutupan lahan menggunakan citra alos palsar resolusi 50 M

3 12 72

Aplikasi dan Evaluasi Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 m, Resolusi 12,5 m, dan Resolusi 6 m untuk Identifikasi Tutupan Lahan (studi kasus di Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, dan Kabupaten Samosir)

0 3 145

Aplikasi Citra ALOS PALSAR Multiwaktu Resolusi 50 m dalam Identifikasi Tutupan Lahan di Provinsi Lampung

0 2 136

Pendugaan biomassa tegakan jati menggunakan citra ALOS PALSAR resolusi 12,5 M dan 50 M dengan peubah backscatter, umur, dan tinggi pohon (Kasus KPH Kebonharjo PERUM PERHUTANI UNIT I Jawa Tengah

0 2 128

Model Spasial Pendugaan dan Pemetaan Biomassa di Atas Permukaan Tanah Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 12.5 M.

4 19 51

Klasifikasi dan Detektsi Perubahan Tutupan Hutan dan Lahan Menggunakan Citra ALOS PALSAR Resolusi 50 Meter di Wilayah Barat Provinsi Jambi.

0 9 70