Komplikasi PJK Kerangka Teori Penelitian Kerangka Konsep

2. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST STEMI STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya Kasma, 2011. Bagan dibawah 2.2. memperlihatkan suatu reorganisasi manifestasi klinis infark miokard akut yang sekarang disebut sindroma koroner akut. Gambar 2.2. Nomenklatur Sindroma Koroner Akut Sumber : Braunwald. Acute myocardial Infarction. Heart Disease. 2001

2.7. Komplikasi PJK

Adapun komplikasi PJK adalah: 1. Disfungsi ventricular 2. Aritmia pasca STEMI 3. Gangguan hemodinamik 4. Ekstrasistol ventrikel Sindroma Koroner Akut Elevasi ST Tanpa Elevasi ST Infark miokard Angina tak stabil Universitas Sumatera Utara 5. Takikardi dan fibrilasi atrium dan ventrikel 6. Syok kardiogenik 7. Gagal jantung kongestif 8. Perikarditis 9. Kematian mendadak Karikaturijo, 2010.

2.8. Epidemiologi PJK

PJK merupakan penyakit tidak menular noncommunacable disease yang tidak hanya menyerang laki-laki saja, namun wanita juga berisiko, meskipun kasusnya tidak sebesar pada laki-laki. Pada orang yang berumur 65 tahun ditemukan 20 PJK pada laki-laki dan 12 pada wanita Supriyono, 2008. Penyakit jantung adalah penyakit negara maju atau negara industri, lebih tepatnya, penyakit ini disebut sebagai penyakit masyarakat modern, dengan pola hidup modern. Karena itu penyakit jantung tidak saja monopoli negara maju, tetapi juga di negara yang sedang berkembang yang menunjukkan kecendrungan peningkatannya sesuai dengan kecundrungan modernisasi masyarakatnya. Hal ini disebabkan karena penyebab penyakit jantung berkaitan dengan keadaan dan perilaku masyarakat maju misalnya tingginya stres, salah makan dan gaya hidup modern seperti rokok dan minum alkohol yang berlebihan Bustam, 2007. Sementara itu PJPD di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia cenderung meningkat sebagai modernisasi yang meniru gaya hidup negara sudah berkembang. PJPD pada dasarnya bukanlah penyakit menular yang disebabkan oleh Universitas Sumatera Utara suatu organisme tertentu, namun penularan penyakit ini melalui peniruan gaya hidup sehingga penyakit ini ada yang menyebut sebagai ‘new communicable disease’. Menurut WHO 1990, kematian karena PJPD adalah sebesar 12 juta jiwa pertahun, sehingga dianggap sebagai pembunuh nomor satu umat manusia jika dibandingkan dengan kematian yang disebabkan oleh penyakit lain seperti diare 5 juta jiwa, kanker 4,8 juta jiwa, dan TBC 3 juta jiwatahun. Padahal dikatakan bahwa PJPD ini adalah suatu prevantable disease penyakit yang dapat dicegah, di mana 50 kematian dini dapat dicegah dengan upaya-upaya memodifikasi gaya hidup Bustam, 2007. Menurut PERKI 2004, PJPD saat ini menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian di Indonesia. Berdasarkan hasil survei kesehatan rumah tangga SKRT yang dilakukan secara berkala oleh departeman kesehatan menunjukkan bahwa PJPD memberikan kontribusi sebesar 19,8 dari seluruh penyebab kematian pada tahun 1993 dan meningkat menjadi 24,4 pada tahun 1998 Muttaqin, 2009. 2.9. Faktor Risiko PJK Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi dua atau lebih faktor risiko yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi nonmodifiable factors dan faktor yang dapat dimodifikasi modifiable factors, Faktor yang dapat dimodifikasi yaitu; merokok, aktivitas fisik, diet, dislipidemia, obesitas, hipertensi dan DM. Sedangkan faktor yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, sukuras, dan riwayat penyakit keluarga Bender et al, 2011. Universitas Sumatera Utara 2.9.1 Faktor Risiko yang tidak dapat Dimodifikasi 2.9.1.1 Keturunan Fakta menyebutkan bahwa faktor keturunan telah lama dikenal memainkan peran terhadap kejadian PJK, Sebuah studi yang dipimpin oleh Profesor Kristina Sundquist dari Pusat Penelitian Perawatan Kesehatan Primer di Malmo Swedia yang diterbitkan dalam American Heart Journal. Penelitian ini dimulai pada tahun 1973 sampai 2008, terdiri dari laki-laki dan perempuan dengan jumlah 80.214 responden yang diadopsi pada tahun ≤ 1932. Penelitian ini mengungkapkan bahwa individu yang memiliki setidaknya satu orang tua biologis yang menderita PJK memiliki risiko 40-60 terkena PJK jika dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak memiliki riawayat PJK, meskipun kedua orang tua angkatnya menderita PJK. Kemudian Profesor Sundquist menyimpulkan bahwa hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko PJK tidak ditransfer melalui gaya hidup yang tidak sehat dalam keluarga, melainkan melalui gen. Akan tetapi bukan berarti gaya hidup seseorang bukanlah faktor risiko terhadap peningkatan kejadian PJK Medical New Today, 2011.

2.9.1.2 Umur

PJK berkembang semakin bertambahnya umur seseorang, Semakin bertambah usia semakin besar kemungkinan untuk menderita PJK dan menderita serangan jantung fatal. Setelah umur 40 tahun risiko terkena PJK adalah 49 untuk laki-laki dan 32 untuk perempuan. Lebih dari 45 atau 81 orang-orang yang meninggal akibat PJK adalah ≥ 65 tahun. Data statistik ini melaporkan bahwa bertambahnya usia Universitas Sumatera Utara merupakan faktor risiko yang membuat orang-orang merasa agak tidak berdaya dalam memerangi PJK Garko, 2012. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Delima dkk 2009, dengan menggunakan studi kasus kontrol dengan tingkat kepercayaan 95 CI 95, jumlah responden 661.165 orang, menyebutkan bahwa risiko menderita penyakit jantung cenderung meningkat dengan bertambahnya umur, risiko cenderung meningkat hingga 2,2 kali pada kelompok umur 55 tahun, 2,49 kali pada kelompok umur 75 tahun jika dibandingkan dengan kelompok umur 15-24 tahun.

2.9.1.3 Jenis Kelamin

American Heart Association AHA 2004, melaporkan bahwa 1 dari 3 wanita dewasa menderita PJPD, sejak tahun 1984 jumlah kematian akibat PJPD pada perempuan lebih tinggi dari pada pada laki-laki. sekitar tiga juta wanita memiliki riwayat serangan jantung akibat PJK. 38 wanita yang menderita serangan jantung akan meninggal lebih awal dalam waktu satu tahun dibandingkan dengan laki-laki hanya 25, meskipun wanita memiliki serangan jantung pada usia yang lebih tua daripada laki-laki, perempuan mungkin meninggal dalam beberapa minggu setelah menderita PJK. Namun 64 dari wanita yang meninggal mendadak akibat PJK tidak mengalami gejala sebelumnya. Peningkatan kejadian PJK pada wanita itu terjadi setelah menopause dan kematian 2-3 kali lebih besar daripada wanita sebelum menopause. Oleh karena itu, wanita pasca-menopause harus ekstra waspada terhadap PJK. Usia rata-rata untuk laki-laki yang memiliki serangan jantung pertama akibat PJK adalah usia 65,8 tahun sedangkan usia rata-rata untuk perempuan adalah 70,4 Universitas Sumatera Utara tahun. Risiko PJK meningkat setelah umur 40 tahun pada laki-laki yaitu 49 dan perempuan 32, meskipun kejadian PJK bagi perempuan lebih lambat 10-20 tahun dari pada laki-laki, namun pada wanita yang lebih serius mengalami serangan jantung dan kematian mendadak Garko dan Michael, 2012. Prevalensi penyakit jantung di Indonesia menunjukkan perempuan lebih tinggi dari pada laki-laki. Hasil SKRT 2001 menunjukkan prevalensi penyakit jantung pada populasi semua umur lebih tinggi pada perempuan dibanding laki-laki 4,9 vs 3,4, hasil SKRT 2004, prevalensi penyakit jantung menurut gejala pada populasi umur ≥ 15 tahun juga lebih tinggi pada perempuan 2,3 vs 1,3, Bahkan hasil penelitian tahun 1985 di masyarakat pedesaan di Kabupaten Semarang berbeda dengan gambaran di rumah sakit saat itu, ternyata prevalensi penyakit jantung iskemik pada wanita lebih tinggi dibanding laki-laki Delima dkk, 2009.

2.9.1.4 RasEtnis

Studi statistik menunjukkan bahwa rasetnis memiliki peran penting terhadap kejadian PJK. Pada orang Afrika, Meksiko, India, Hawaii asli dan beberapa orang Asia memiliki risiko lebih tinggi untuk PJK dari pada pada orang Kaukasia Inggris dan Jepang Asia Timur. Hal ini terjadi karena orang kulit hitam terutama Afrika memiliki faktor risiko kelebihan berat badan dan obesitas lebih tinggi, DM dan hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang paling serius bagi PJK Garko dan Michael, 2012. Universitas Sumatera Utara

2.9.2 Faktor Risiko yang dapat Dimodifikasi

Adapun faktor risiko PJK yang dapat dimodifikasi adalah:

2.9.2.1 Merokok

Merokok dalam jangka waktu yang lama akan meningkatkan risiko PJK dan serangan jantung, merokok memicu pembentukan plak pada arteri, beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat meningkatkan risiko PJK dengan cara menurunkan level kolesterol HDL Hight density lifid. Semakin banyak merokok semakin besar risiko terkena serangan jantung. Studi menunjukkan jika berhenti merokok selama setahun maka akan menurunkan setengah dari risiko serangan jantung Ramandika, 2012. Menurut Depkes 2007, Penggunaan rokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar pada penyakit tidak menular. Menurut data Susenas tahun 2001, jumlah perokok di Indonesia sebesar 31,8. Jumlah ini meningkat menjadi 32 pada tahun 2003, dan meningkat lagi menjadi 35 pada tahun 2004. Pada tahun 2006, The Global Youth Survey GYTS melaporkan 64,2 atau 6 dari 10 anak sekolah yang disurvei terpapar asap rokok selama mereka di rumah. Lebih dari sepertiga 37,3 pelajar biasa merokok dan yang lebih mengejutkan lagi adalah 30,9 atau 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah 10 tahun. Data Riskesdas tahun 2007 juga memperlihatkan tingginya prevalensi penduduk yang merokok. Jumlah perokok aktif umur 15 tahun adalah 35,4 65,3 laki-laki dan 5,6 perempuan, berarti 2 diantara 3 laki-laki adalah perokok aktif. Lebih bahaya lagi 85,4 perokok aktif merokok dalam rumah bersama anggota keluarga sehingga Universitas Sumatera Utara mengancam keselamatan kesehatan lingkungan. Merokok dapat merubah metabolisme khususnya dengan meningkatnya kadar kolersterol darah, di samping itu dapat menurunkan HDL. Tingginya kadar kolesterol darah mempunyai pengaruh yang besar terhadap terjadinya PJK Arief, 2011. Menurut laporan WHO 2002, tingkat merokok di Asia pada laki-laki sekitar 40 jauh lebih tinggi dari pada laki-laki di Barat 30-40. Sebaliknya, tingkat merokok di Asia pada perempuan 20 jauh lebih rendah dibandingkan pada wanita Barat 20-40 . Merokok merupakan faktor risiko untuk stroke dan PJK. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Badan Kesehatan Korea dengan menggunakan metode Prospektive Cohort Study dengan jumlah 648.346 laki-laki Korea usia ≥10 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin banyak jumlah rokok yang dihisap perhari semakin tinggi risiko terjadinya PJK dan penyakit penyakit lain yang ber hubungan dengan PJPD Hata dan Kiyohara, 2013. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.3. Hazart Rasio Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah pada Perokok Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013 Dari gambar diatas maka dapat dijelaskan bahwa ada kecenderungan linier yang kuat dari peningkatan risiko stroke iskemik, perdarahan subarachnoid dan MI akibat dari banyaknya jumlah rokok yang dihisap per hari. Namun merokok tidak berhubungan dengan perdarahan intraserebral. Dalam penelitian APCSC Asia Pacific Cohort Studies Collaboration tahun 2005 dengan desain studi kohort dan CI 95 membandingkan antara perokok dengan bukan perokok, hasil penelitian tersebut Universitas Sumatera Utara menunjukkan hasil resiko relatif RR 1,32 1,24 -1.40 untuk stroke dan 1,60 1,49- 1,72 untuk PJK. Ada hubungan dosis-respons yang jelas antara jumlah rokok dihisap per hari dengan kejadian stroke dan PJK. Untuk mantan perokok, dibandingkan dengan perokok saat ini dengan hasil RR 0,84 0,76-0,92 untuk stroke dan 0,71 0,64-0,78 untuk PJK, jadi dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa berhenti merokok memiliki manfaat yang jelas Hata dan Kiyohara, 2013. Menurut penelitian Supriyono 2008, dengan design kasus kontol, dari hasil analisisi bivariat menunjukkan bahwa kebiasaan merokok memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian PJK p = 0,011, kebiasaan merokok juga berisiko untuk terjadinya PJK pada usia 45 tahun sebesar 2,4 kali dibandingkan dengan yang tidak merokok OR=2,4 ; 95 CI=1,3-4,5. Penelitian Framingham dalam Anwar 2004, memaparkan bahwa kematian mendadak akibat PJK pada laki-laki perokok 10x lebih besar dari pada bukan perokok dan pada perempuan perokok 4,5x lebih tinggi dari pada bukan perokok. Hal ini disebabkan meningkatnya beban miokard yang dipicu oleh katekolamin dan menurunnya komsumsi O2 akibat inhalasi CO sehingga menimbulkan takikardi, vasokonstriksi pembuluh darah, merubah permeabilitas dinding pembuluh darah dan merubah 5-10 Hb menjadi karboksi -Hb. Semakin sering menghisap rokok akan menyebabkan kadar HDL kolesterol makin menurun. Efek merokok ini akan berdampak langsung pada peningkatan tingkat diabetes disertai obesitas dan hipertensi, sehingga orang yang merokok cenderung lebih mudah terjadi proses aterosklerosis dari pada yang bukan perokok Arief, 2011. Universitas Sumatera Utara Ringkasnya, merokok merupakan faktor risiko untuk PJK dan stroke stroke iskemik pada orang Asia. Karena tingkat merokok pada orang Asia jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang Barat, berhenti merokok sangat penting untuk pencegahan PJPD di Asia Hata dan Kiyohara, 2013.

2.9.2.2 Aktivitas Fisik

Aktifitas fisik dianjurkan terhadap setiap orang untuk mempertahankan dan meningkatkan kesegaran tubuh. Aktifitas fisik berguna untuk melancarkan peredaran darah dan membakar kalori dalam tubuh Hermansyah, 2012. Aktivitas fisik secara teratur bermanfaat untuk mengatur berat badan dan menguatkan sistem jantung dan pembuluh darah. Kegiatan aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila kegiatan dilakukan terus-menerus sekurangnya 10 menit dalam satu kegiatan tanpa henti dan secara kumulatif 150 menit selama lima hari dalam satu minggu. Namun hampir separuh penduduk 47,6 kurang melakukan aktivitas fisik Riskesdas Sumsel, 2007. Latihanolahraga merupakan suatu aktivitas aerobik, yang bermanfaat untuk meningkatkan dan mempertahankan kesehatan dan daya tahan jantung, paru, peredaran darah, otot-otot dan sendi-sendi. Suatu latihan olahraga yang dilakukan secara teratur akan memberikan pengaruh yang besar terhadap tubuh kita. Latihan fisik dengan pembebanan tertentu akan mengubah faal tubuh yang selanjutnya akan mengubah tingkat kesegaran jasmani. Aktivitas aerobik teratur menurunkan risiko PJK meskipun hanya 11 laki-laki dan 4 perempuan Salim dan Nurrohmah, 2013. Universitas Sumatera Utara Hasil penelitian Febriani 2011, Hariadi dan Ali 2005, menjelaskan bahwa orang yang tidak mempunyai kebiasaan olahraga beresiko lebih besar terkena PJK daripada orang yang mempunyai kebiasaan olahraga, serta olahraga teratur bisa mengurangi risiko PJK Salim dan Nurrohmah, 2013. Menurut penelitian Salim dan Nurrohmah 2013, di RSUD dr. Moewardi menyebutkan bahwa responden yang tidak rutin melakukan olah raga berisiko mengalami kejadian PJK 2.250 lebih besar dibandingkan dengan responden yang rutin melakukan olah raga. Menurut Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI 2006, Aktivitas fisik secara teratur memiliki efek yang menguntungkan terhadap kesehatan yaitu: 1. Terhindar dari penyakit jantung, stroke, osteoporosis, kanker, tekanan darah tinggi, DM dan lain-lain 2. Berat badan terkendali 3. Otot lebih lentur dan tulang lebih kuat 4. Bentuk tubuh menjadi ideal dan proporsional 5. Lebih percaya diri 6. Lebih bertenaga dan bugar 7. Secara keseluruhan keadaan kesehatan menjadi lebih baik Rizki, 2011. Universitas Sumatera Utara Beberapa kegiatan yang dapat dipilih seperti: a. Berjalan kaki, misalnya turunlah dari bus lebih awal menuju tempat kerja kira-kira menghabiskan 20 menit berjalan kaki dan saat pulang berhenti di halte yang menghabiskan 10 menit berjalan kaki menuju rumah b. Lari ringanjogging c. Push-up d. Naik turun tangga e. Mengikuti kelas senam terstruktur dan terukur fitness f. Berkebun g. Menimba air h. Berkebunbercocok tanam i. Mencangkul j. Bermain tenis k. Bermain bulu tangkis l. Bermain Sepak bolabasket volly m. Senam aerobik n. Berenang o. Bersepeda p. Latihan beban seperti dumble dan modifikasi lain q. Mendaki gunung r. Dan lainnya Rizki, 2011. Universitas Sumatera Utara

2.9.2.3 Diet

Diet dapat didefenisikan sebagai usaha seseorang dalam mengatur pola makan dan mengurangi makan untuk mendapatkan berat badan yang ideal. Diet terbagi 2 yaitu : 1. Diet sehat 2. Diet tidak sehat Diet tidak sehat terbagi dua macam a. Makanan Tinggi Lemak Makan tinggi lemak sangat berhubungan dengan tingginya jumlah kolesterol dalam darah. Makanan orang Amerika rata-rata mengandung lemak dan kolesterol yang tinggi sehingga kadar kolesterol cenderung tinggi, sedangkan orang Jepang umumnya berupa nasi, sayur-sayuran dan ikan sehingga orang Jepang rata-rata memiliki kadar kolesterol rendah sehingga prevaleni PJK lebih rendah di Jepang dari pada Amerika Malau, 2011. b. Kurang Konsumsi Sayuran dan Buah-buahan Menurut Reine 2005, Sayuran dan buah-buahan merupakan makanan rendah kalori, kaya serat vitamin dan mineral untuk menjaga kesehatan Dewi, 2013. Perilaku makan sehat merupakan perilaku mengkonsumsi beberapa variasi kelompok makanan yang direkomendasikan yaitu karbohidrat, protein, lemak, Sayuran dan buah-biahan secara universal Ogden, 2010. Data frekuensi dan porsi asupan sayuran dan buah dikumpulkan dengan menghitung jumlah hari konsumsi dalam seminggu dan jumlah porsi rata-rata dalam sehari. Penduduk dikategorikan cukup konsumsi Universitas Sumatera Utara sayuran dan buah-buahan apabila makan sayur dan atau buah minimal 5 porsi per hari 400 g selama 7 hari dalam seminggu. Dikategorikan kurang apabila konsumsi sayuran dan buah-buahan kurang dari ketentuan di atas. Secara keseluruhan, penduduk umur 10 tahun kurang konsumsi sayuran dan buah-buahan sebesar 97,0. Riskesdas Sumatera Selatan, 2007. Riskesdas 2007, menyebutkan bahwa hanya 5,5 warga Sumatera Utara usia 10 tahun yang mengonsumsi Sayuran dan buah yang mengandung serat sesuai anjuran WHO Starberita Medan, 2012. Menurut Almatsier 2004, porsi sayuran dalam bentuk tercampur yang dianjurkan sehari untuk orang dewasa adalah sebanyak 150 – 200 gram dan porsi buah yang dianjurkan sehari untuk dewasa adalah sebanyak 200-300 gram Gustiara, 2012. Dalam jangka panjang sedikit konsumsi sayuran dan buah-buahan dapat menyebabkan penyakit kronis misalnya hipertensi, kanker, PJK, diabetes dan obesitas Ogden, 2010. Dalam penelitan studi meta-analisis, yang diterbitkan pada tahun 1992 dan 2004 menunjukkan bahwa konsumsi 5 porsi buah dan sayuranhari 391 g menyebabkan 17 penurunan risiko PJK p 0,001. kemudian penelitian serupa yang dilakukan He dkk 2007, dengan menggunakan metode studi meta- analisis yang diterbitkan tahun sebelumnya menunjukkan bahwa konsumsi buah dan sayuran 5 porsihari akan menyebabkan penurunan risiko PJK sebesar 4 Produse for Better Health Foudatian, 2011. Universitas Sumatera Utara Sejak studi meta-analisis diatas dipublikasikan maka Nikolic dkk 2008, melakukan sebuah studi di Serbia dengan menggunakan metode kasus-kontrol yang terdiri dari 290 responden 67 laki-laki dan 33 perempuan usia 23-79 tahun, dari hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa, subyek yang mengkonsumsi sedikit sayuran 1 cawan per minggu p 0,01 akan mengalami 3 kali kemungkinan lebih tinggi terkena PJK jika dibandingkan dengan subjek yang mengkonsumsi lebih dari satu cawan perhari dan untuk buahjus buah, studi meta-analisis independen menunjukkan bahwa orang yang mengkonsumsi sedikit buahjus buah akan mengalami 1,78 kali terjadinyan PJK P 0,05 , 0.001 jika dibandingkan dengan orang yang banyak mengkonsumsi buahjus buah 1 porsi perhari Produse for Better Health Foudatian, 2011.

2.9.2.4 Dislipidemia Kolestrol dalam Darah

Pada buku Hurst’s dijelaskan bahwa kolesterol merupakan prasyarat terjadi PJK, kolesterol akan berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri koroner. Jika hal tersebut terus berlangsung maka akan membentuk plak sehingga pembuluh arteri koroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak kemudian mengalami aterosklerosis Fuster dkk, 2010. Hiperlipidemia juga disebabkan karena abnormal lipoprotein dalam darah, hal ini disebabkan karena meningkatnya LDL dan menurunnya HDL Kumar dkk, 2010. Pada awalnya di negara-negara Barat, PJK berhubungan dengan kolesterol yang tinggi, sedangkan di negara-negara Asia, kolesterol total TC umumnya lebih rendah dan kejadian PJK juga rendah. Namun dengan adanya industrialisasi dan Universitas Sumatera Utara urbanisasi tumbuh di Asia, maka kadar kolesterol total pada negara-negara Asia mengalami peningkatan selama 50 tahun terakhir. Misalnya, studi Hisayama di Japan melaporkan bahwa prevalensi hiperkolesterolemia total kolesterol [TC] ≥ 5,7 mmolL meningkat dari 2,8 menjadi 25,8 pada pria dan dari 6,6 menjadi 41,6 pada wanita selama tahun 1961-2002. Peningkatan kolesterol di negara-negara Asia dapat dikaitkan dengan peningkatan dalam asupan makanan yang berlemak. Banyak penelitian epidemiologi di Asia telah memberikan informasi tentang hubungan kolesterol dengan risiko PJPD. Studi kohort yang dilakukan oleh Korean National Health selama 11 tahun yang terdiri dari 787.442 pria dan wanita berusia 30-64 tahun, untuk hubungan antara kolesterol dengan peningkatan kejadian stroke iskemik, MI, stroke hemoragik, seperti pada gambar 2.4. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.4. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Hyperdislipidemia Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013. Gambar diatas menggunakan design meta-analisis study dengan CI 95, menjelaskan bahwa peningkatan 1 mmolL kolesterol maka HR akan menjadi 1,20 1,16-1,24 untuk stroke iskemik, HR 0,91 0,87-0,95 untuk stroke hemoragik dan HR 1,48 1,43-1,53 untuk infark. Penelitian APCSC dengan design studi kohort selama 5,5 tahun dengan CI 95, menjelaskan bahwa adanya hubungan TC kolesterol total dengan kejadian PJPD dan menginformasikan bahwa peningkatan ≥ 1 mmolL akan menyebabkan terjadinya peningkatan risiko PJPD, dengan RR 1,35 1,26-1,44, stroke iskemik fatal dan stroke iskemik non fatal dengan RR 1,25 1,13- Universitas Sumatera Utara 1,40, penurunan risiko stroke hemoragik fatal RR 0,80 0,70-0,92 Hata dan Kiyohara, 2013. Penelitan Hisayama di Jepang 2009, menunjukkan bahwa risiko terkena infark pada otak nonembolic dan PJK megalami peningkatan pada responden dengan LDL yang tinggi, tetapi tidak ada hubungan yang jelas dengan kejadian stroke hemoragik. Penelitan arteriosklerosis yang dilakukan di Jepang pada tahun 2010 dengan mengunakan longitudinal cohort study melaporkan bahwa non–highdensity lipoprotein non- HDL lebih dapat dipercaya sebagai prediktor untuk peningkatan terjadinya MI akut dari pada TC, singkatnya, hiperkolesterolemia umumnya merupakan faktor risiko untuk penyakit aterosklerotik seperti stroke iskemik dan MI pada orang Asia. Karena prevalensi hiperkolesterolemia telah meningkat di Asia selama setengah abad terakhir, oleh karena itu pentingnya manajemen kolesterol untuk mencegah penyakit aterosklerosis di masa depan Imamura dkk, 2009. Menurut Yayasan Jantung Indonesia 2003, kadar kolesterol dikatakan tinggi apabila kadar kolesterol total ≥ 240 mgL. Menurut laboratorium RS Islam Malahayati, kadar kolesterol dikatakan tinggi apabila : 1. Kadar kolesterol total 200 mgdl. 2. Kadar kolesterol LDL ≥ 160 mgdl. 3. Kadar kolesterol HDL ≤ 55 mgdl. 4. Kadar trigliserida 150 mgdl. Universitas Sumatera Utara

2.9.2.5 Obesitas

Obesitas sudah menjadi sebuah epidemi di negara maju, ukuran objektif obesitas biasanya dinilai dari nilai IMT, dimana ukuran international untuk obesitas adalah IMT ≥ 30 kgm 2 , sedangkan untuk ukuran orang Asia obesitas didefinisikan dengan nilai IMT ≥ 25 kgm 2 WHOIOTFIASO, 2011. Obesitas memiliki hubungan yang erat dengan tingginya kejadian PJPD. Obesitas dapat meningkatkan kadar trigliserida yang buruk untuk kesehatan jantung dan menurunkan kadar HDL yang bersifat kardioprotektif Nursalim, 2011. Selain itu, seiring meningkatnya obesitas, maka hipertensi juga meningkat. Obesitas juga dapat menyebabkan disfungsi diastolik dan berhubungan dengan memburuknya fungsi sistolik Artham, 2009. Berdasarkan data WHO 2008, prevalensi obesitas pada usia dewasa di Indonesia sebesar 9,4 dengan pembagian pada laki-laki mencapai 2,5 dan pada perempuan 6,9. Survey sebelumnya pada tahun 2000, persentase penduduk Indonesia yang obesitas hanya 4,7 ±9,8 juta jiwa.Ternyata hanya dalam 8 tahun, prevalensi obesitas di Indonesia telah meningkat dua kali lipat, Sehingga kita perlu mewaspadai peningkatan yang lebih pesat dikarenakan gaya hidup sekarang yang semakin sedentary santai dan bermalas-malasan sebagai akibat dari kemudahan teknologi. Obesitas merupakan faktor risiko terhadap kejadian PJPD. Kelebihan berat badan mempengaruhi faktor resiko penyakit kardiovaskular seperti peningkatan level LDL, trigliserida, tekanan darah, kadar gula darah dan menurunkan kadar HDL serta meningkatkan resiko perkembangan PJK, gagal jantung, stroke dan aritmia. Universitas Sumatera Utara Mencapai dan menjaga berat badan yang sehat selama hidup merupakan salah satu faktor utama untuk menurunkan resiko PJPD. Dinkes Prov Yogyakarta, 2014. Data dari Framingham 2008, menunjukkan bahwa apabila setiap individu mempunyai berat badan optimal, maka akan terjadi penurunan kejadian PJK sebanyak 25 dan strokecerebro vascular accident CVA sebanyak 3,5. Penurunan berat badan diharapkan dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki sensitivitas insulin, pembakaran glukosa dan menurunkan dislipidemia Malau, 2011. Laporan FAOWHOUNU 1985, menyatakan bahwa batasan berat badan normal orang dewasa ditentukan berdasarkan nilai Body Mass Index BMI. Di Indonesia istilah Body Mass Indeks diterjemahkan menjadi Indeks Massa Tubuh IMT. IMT merupakan alat yang sederhana untuk memantau status gizi orang dewasa khususnya yang berkaitan dengan kekurangan dan kelebihan berat badan, maka mempertahankan berat badan normal memungkinkan seseorang dapat mencapai usia harapan hidup lebih panjang penggunaan IMT berlaku untuk orang yang berumur 18 tahun Lutfah, 2013. Adapun rumus perhitungan IMT menurut Lutfah 2013 adalah sebagai berikut: IMT = Berat Badan kg Tinggi Badan mx Tinggi Badan m Menurut Waspadji 2003, obesitas merupakan faktor independen terhadap PJK, berhubungan erat dengan kadar kolesterol serum, tekanan darah, dan toleransi Universitas Sumatera Utara glukosa. Pada penelitiannya menunjukkan bahwa penderita yang memiliki IMT 25 lebih banyak yang menderita PJK dari pada kontrol Arief, 2011.

2.9.2.6 Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu kondisi peningkatan tekanan darah arterial yang menetap Dorlan, 2002. Pada tahun 2003, JNC VII mengklasifikasikan tekanan darah sistolik normal 120 mmHg dan tekanan darah diastolik 80 mmHg Fuster dkk, 2010. menurut Eighth Joint National Committee JNC VIII, tekanan darah dikatakan tinggi apabila tekanan sistolik ≥ 140 dan diastolik ≥ 90 mmHg Culpeper, 2013. Menurut penelitian Hata dan Kiyohara 2013, menyebutkan bahwa hipertensi merupakan faktor risiko yang kuat terhadap kejadian stroke dan PJK. Prevalensi hipertensi pada usia dewasa berjumlah 38,3 di Jepang, 27,7 di Cina, 23,7 di Taiwan, 21,7 di Thailand, 23,8 di India Utara urban dan 30,7 di India Barat daerah perkotaan. Prevalensi hipertensi di Jepang tampaknya lebih tinggi dari pada di negara-negara Asia lainnya, tetapi sulit untuk membuat akurat perbandingan karena metode untuk pengumpulan data dan pengukuran tekanan darah yang tidak standar antara studi memeriksa masalah ini. Dalam hal apapun kita dapat menyimpulkan secara kasar bahwa seperempat atau sepertiga dari populasi orang dewasa di Asia memiliki hipertensi. Prehipertensi terbukti menjadi faktor predisposisi untuk hipertensi di masa depan, dan lebih jauh lagi, sudah ada beberapa studi yang telah menjelaskan hubungan langsung antara prehipertensi dan risiko PJK. Penelitain APCSC lebih dari 7 tahun dengan jumlah responden yang cukup besar, mengunakan Universitas Sumatera Utara studi meta-analisis dari design 44 studi kohort dengan 600.000 responden dari Asia Cina, Hong Kong, Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Thailand dan Oceania Australia dan Selandia Baru untuk mencari pengaruh tekan darah tinggi terhadap kejadian stroke dan PJK. Penelitian ini menggunakan kategori tekan darah normal TDS tekanan darah sistolik 120 mmHg dan TDD tekanan darah diastolik 80 mmHg , prehipertensi TDS 120-139 mmHg dan TDD 80-89 mmHg, hipertensi diastolik terisolasi TDS 140 mmHg dan DBP ≥ 90 mmHg , hipertensi sistolik terisolasi TDS ≥ 140 mmHg dan DBP 90 mmHg dan hipertensi sistolik-diastolik TDS ≥ 140 mmHg dan TTD ≥ 90 mmHg . Gambar 2.5. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Hipertensi Sumber : Arima dkk, 2012 Universitas Sumatera Utara Dari gambar diatas dapat dipahami bahwa hazart rasio HR dari multivariabel dengan CI 95, maka kejadian PJK adalah 1,41 1,31-1,53 untuk prehipertensi, 1,81 1,61-2,04 untuk hipertensi diastolik terisolasi, 2,18 2,00-2,37 untuk hipertensi sistolik terisolasi dan 3,42 3,17-3,70 untuk hipertensi sistolik-diastolik jika dibandingkan dengan tekanan darah yang normal. Dalam analisis yang lain, keadaan prehipertensi dan hipertensi itu sendiri akan mengakibatkan terjadinya peningkatan PJPD seperti stroke iskemik, stroke hemoragik dan PJK. Hisayama Study 2012 melakukan penelitian dengan design cohort study selama 19 tahun yang dimulai pada tahun 1988 dengan total responden 2.634 usia ≥ 40 tahun menggunakan standar JNC7 untuk klasifikasi tekanan darah dengan CI 95, melaporkan bahwa adanya hubungan antara tingkatan tekanan darah dengan kejadian PJPD dengan hasil RR 1,58 1,11– 2,26 untuk penderita prehipertensi, 1,70 1,18–2,44 pada responden yang memiliki tekanan darah prehipertensi, 1,93 kali 1,37–2,72 pada responden yang menderita hipertensi derajat satu, 2,78 1,93–4,01 pada responden yang menderita hipertensi derajat dua jika dibandingkan dengan responden yang tidak menderita hipertensi, setelah dilakukan standarisari dari faktor perancu. Hipertensi lebih sering megakibatkan stroke hemoragik dari pada stroke iskemik dan PJK. Temuan ini menunjukkan bahwa tidak hanya hipertensi tetapi juga prehipertensi merupakan faktor risiko penting untuk PJPD di Asia. Untuk itu modifikasi gaya hidup seperti diet rendah garam, latihan fisik dan berhenti merokok dianjurkan untuk mengurangi prevalensi prehipertensi dan hipertensi dimasa yang akan datang Hata dan Kiyohara, 2013. Universitas Sumatera Utara

2.9.2.7 Diabetes Melitus

DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya. Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu TGT dan glukosa darah puasa terganggu GDPT sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara menuju DM, Setelah 5-10 tahun kemudian 13 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 13 tetap dan 13 lainnya kembali normal. Adanya TGT seringkali berhubungan dengan resistensi insulin, pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT seringkali berkaitan dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan gula darah sewaktu GDS atau kadar glukosa darah puasa GDP dengan puasa paling sedikit 8 jam, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral TTGO stándar setelah pemberian glukosa 75 gr pada orang dewasa atau 1,75 grkgBB untuk anak-anak, kemudian diperiksa kadar glukosa darahnya setelah 2 jam pemberian glukosa Gustaviani, 2006. Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan aterosklerosis dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM akibat penyakit arterial. Pada satu penelitian Helsinki policeman study, menjelaskan bahwa angka kematian PJK 3x lipat lebih tinggi pada pasien DM daripada individu normal. Mekanisme yang mungkin adalah berhubungan dengan abnormalitas metabolisme Universitas Sumatera Utara lipid yang dapat meningkatkan aterogenesis dan advanced glycation endproducts AGE yang menggambarkan metabolisme abnormal pada DM yang berdampak pada injuri endotelium Ramandika, 2012. Intoleransi glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah Malau,2011. Penelitian Anwar 2004 menunjukkan bahwa laki- laki yang menderita DM berisiko mengalami PJK sebesar 50 lebih tinggi dari pada orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian Waspadji 2003 menunjukkan bahwa adanya hubungan penderita DM dengan kejadian PJK Arif, 2011. Menurut data APCSC yang representatif 2007, prevalensi DM 2,6 di China, 3,1 di Mongolia, 4,3 di India, 5,1 di Taiwan, 6,4 di Filipina, 6,9 di Malaysia, 5,7 di Indonesia, 8,2 di Singapura, 9,6 di Thailand, 9,7 di Hong Kong dan 10,5 di Korea Selatan. Dalam penelitian Hisayama Study pada penduduk Jepang dengan total 2.421 responden yang diikuti selama selama 14 tahun untuk memperkirakan hubungan antara status toleransi glukosa dengan kejadian peningkatan PJPD. Dalam penelitian tersebut, Status toleransi glukosa ditentukan dengan kriteria WHO tahun 1998, yaitu: 1. Toleransi glukosa normal puasa glukosa 6.1 mmolL dan 2 jam setelah makan 7,8 mmolL 2. Gangguan glikemia puasa 6,1-6,9 mmolL dan 2 jam setelah makan 7,8 mmolL 3. Toleransi glukosa puasa terganggu 7,0 mmolL dan 2 hpg 7,8-11,0 mmolL Universitas Sumatera Utara 4. Diabetes ≥ 7,0 mmolL dan atau 2 HPG ≥ 11,0 mmolL, Seperti ditunjukkan dalam gambar 2.6 Gambar 2.6. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Diabetes Melitus Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013 Menurut penelitian APCSC diikuti selama 5,4 tahun untuk mencari hubungan antara DM dengan kejadian PJPD, status DM masing-masing peserta ditentukan berdasarkan riwayat medis dengan menggunakan CI 95 maka nilai RR 2.02 1,57- 2,59 untuk stroke fatal, 2.19 1,81-2,66 untuk PJK Fatal, 2,09 1,65-2,64 untuk total fatal dan nonfatal stroke dan 1,73 1,34-2,22 untuk total PJK. Untuk semua hasil adalah sama pada populasi Asia baik yang pesisir maupun non-pesisir. Singkatnya, diabetes merupakan faktor risiko penting untuk stroke dan PJK pada Universitas Sumatera Utara populasi Asia. Penelitian APCSC menunjukkan bahwa hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan risiko PJPD Hata dan Kiyohara, 2013.

2.10. Pencegahan PJK

Untuk berhasilnya upaya pencegahan PJK, tidak hanya diperlukan tenaga medis semata, namun perlu adanya kerja-sama dengan penderita, niat yang kuat dari penderita, kesadaran keluarga, lingkungan dan pekerjaan sangat penting untuk berhasilnya usaha ini. Pencegahan yang berhasil akan dapat menghemat biaya dari pemondokan di rumah sakit, tindakan intervensi jantung baik untuk diagnosa maupun terapi bahkan tindakan operasi jantung dan belum lagi menurunnya kemampuan fisik setelah menderita serangan jantung Martohusodo, 2007. Penanggulanagan PJK baik dengan obat-obatan atau dengan tindakan lain belum memberi hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, usaha pencegahan adalah yang paling penting untuk menaggulang PJK. Pencegahan PJK dapat dibagi menjadi Pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah usaha menjaga agar orang tidak menderita PJK, usah pencegahan ini harus sudah di mulai sejak dini, yaitu pada masa remaja karena seperti yang telah di ketahui bahwa fatty streat atau proses awal aterosklerosis sudah ditemukan pada usia remaja, sedangkan Pencegahan sekunder adalah usaha yang dilakukan agar tidak terjadi serangan jantung dengan segala komplikasinya bagi mereka yang sudah terkena PJK. Berhubung aterosklerosis pada arteri koroner dipicu oleh berbagai faktor risiko seperti stres, tekanan darah tinggi, DM dan lain-lain yang semuanya dapat diperoleh Universitas Sumatera Utara dengan mengubah gaya hidup yang meterialistis, konsumtif dan hedonistis Kabo, 2008. Dalam pencegahan PJK ada 4 tingkatan yaitu:

2.10.1 Pencegahan Primordial Pre Primary Prevention

Pencegahan primordial adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah munculnya faktor predisposisi PJK pada suatu wilayah dimana belum tampak adanya faktor yang menjadi risiko PJK Bustam, 2007. Dalam Noor 1997, Upaya pencegahan primordial dapat berupa kebijaksanaan nutrisi nasional dalam sektor agrokultural, industri makanan, impor dan ekspor makanan, penanganan konprehensif rokok, pencegahan hipertensi dan promosi aktivitas fisikolah raga Nasution, 2012.

2.10.2 Pencegahan Primer Primary Prevention

Pencegahan primer adalah upaya awal pencegahan PJK sebelum seseorang menderita. Dilakukan dengan pendekatan komuniti berupa penyuluh faktor risiko PJK terutama pada kelompok risiko tinggi. Pencegahan primer ditujukan kepada pencegahan terhadap berkembangnya proses atherosklerosis secara dini Bustam, 2007. Untuk mencegah berkembangnya atherosklerosis maka ada hal yang harus dilakukan yaitu: 1. Diet Adapun metode diet yang benar adalah: a. Baca label makanan dan minuman yang dibeli untuk menentukan pilihan yang terbaik Universitas Sumatera Utara b. Minimalisir asupan makanan dan minuman yang menggunakan pemanis tambahan b. Batasi porsi makan c. Pilih produk-produk non-fat d. Kurangi penggunaan garam dalam makanan dan hindari makanan yang asin, konsumsi makanan tinggi serat dan kaya antioksidan e. Tingkatkan konsumsi kacang kedelai, kacang-kacangan, ikan Salmon, alpukat, bawang putih, bayam, margarin dari minyak biji bunga kanola dan teh f. Konsumsi ikan sedikitnya dua kali seminggu. 2. Pola hidup sehat 1. Berolah raga secara teratur 2. Menjaga berat badan yang sehat 3. Mengurang jumlah alkohol 4. Hindari merokok dan asap rokok UPT-Balai Informasi Teknologi lipi pangan dan Kesehatan, 2009.

2.10.3 Pencegahan Sekunder Secondary Prevention

Pencegahan sekunder adalah upaya pencegahan pada penderita yang sudah tekena PJK agar tidak berulang atau menjadi lebih berat. Disini diperlukan perubahan pola hidup terhadap faktor-faktor yang dapat dikendalikan dan kepatuhan berobat bagi mereka yang sudah menderita PJK. Pencegahan tingkat ketiga ini ditujukan untuk mempertahankan nilai prognostik yang lebih baik dan menurunkan mortalitas Universitas Sumatera Utara Bustam, 2007. Untuk menghindari terjadinya penyakit yang lebih parah atau komplikasi yang tidak diinginkan maka perlu dilakukan penegakan diagnosa dengan cepat dan tepat seperti:

2.10.3.1 RiwayatAnamnesis

Diagnosa adanya suatu SKA harus ditegakkan secara cepat, tepat dan didasarkan pada tiga kriteria, yaitu: gejala klinis nyeri dada spesifik, gambaran EKG elektrokardiogram dan evaluasi biokimia dari enzim jantung. Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian besar pasien dengan SKA. Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut: 1. Lokasi: substermal, retrostermal dan prekordial 2. Sifat nyeri: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas dan dipelintir 3. Penjalaran ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggunginterskapula dan dapat juga ke lengan kanan 4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat 5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin dan sesudah makan 6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin dan lemas. Berat ringannya nyeri bervariasi sehingga sulit untuk membedakan antara gejala APTSNSTEMI dan STEMI. Pada beberapa pasien dapat ditemukan tanda-tanda gagal ventrikel kiri akut, gejala yang tidak tipikal seperti: rasa lelah yang tidak jelas, nafas pendek, rasa tidak nyaman di epigastrium atau mual dan muntah dapat terjadi, terutama pada wanita, Universitas Sumatera Utara penderita diabetes dan pasien lanjut usia. Kecurigaan harus lebih besar pada pasien dengan faktor risiko kardiovaskular multipel dengan tujuan agar tidak terjadi kesalahan diagnosis Departemen Kesehatan, 2006 Tabel 2.1. Tiga Penampilan Klinis Umum Penderita PJK No. Patogenesis Penamplian klinis 1 Angina saat istirahat Angina terjadi saat istirahat dan terus menerus, biasanya lebih dari 20 menit 2 Angina pertama kali Angina yang pertama kali terjadi, setidaknya CCS Kelas III 3 Angina yang meningkat Angina semakin lama makin sering, semakin lama dan lebih mudah tercetus Sumber : Departemen Kesehatan, 2006

2.10.3.2 Pemeriksaan Fisik

Tujuan dari pemeriksaan fisik adalah untuk mengidentifikasi faktor pencetus dan kondisi lain sebagai konsekuensi dari NSTEMI seperti: hipertensi tak terkontrol, anemia, tirotoksikosis, stenosis aorta berat, kardiomiopati hipertropik dan kondisi lain, seperti penyakit paru. Keadaan disfungsi ventrikel kiri hipotensi, ronki dan gallop S3 menunjukkan prognosis yang buruk. Adanya bruit di karotis atau penyakit vaskuler perifer menunjukkan bahwa pasien memiliki kemungkinan penderita PJK Depkes, 2006.

2.10.3.3 Pameriksaan PenunjangPemeriksaan Diagnostik PJK

Untuk mendiagnosa PJK secara lebih tepat maka dilakukan pemeriksaan penunjaung diantaranya: Universitas Sumatera Utara a. EKG EKG memberi bantuan untuk diagnosis dan prognosis, rekaman yang dilakukan saat sedang nyeri dada sangat bermanfaat. Gambaran diagnosis dari EKG adalah : 1. Depresi segmen ST 0,05 mV 2. Inversi gelombang T, ditandai dengan 0,2 mV inversi gelombang T yang simetris di sandapan prekordial. Perubahan EKG lainnya termasuk bundle branch block BBB dan aritmia jantung, terutama Sustained VT. Serial EKG harus dibuat jika ditemukan adanya perubahan segmen ST, namun EKG yang normal pun tidak menyingkirkan diagnosis APTSNSTEMI. Pemeriksaaan EKG 12 sadapan pada pasien SKA dapat mengambarkan kelainan yang terjadi dan ini dilakukan secara serial untuk evaluasi lebih lanjut dengan berbagai ciri dan katagori: 1. Angina pektoris tidak stabil; depresi segmen ST dengan atau tanpa inversi gelombang T, kadang-kadang elevasi segmen ST sewaktu nyeri, tidak dijumpai gelombang Q 2. Infark miokard non-Q: depresi segmen ST, inversi gelombang T dalam Kulick, 2014. b. Chest X-Ray foto dada Thorax foto mungkin normal atau adanya kardiomegali, CHF gagal jantung kongestif atau aneurisma ventrikiler Kulick, 2014. c. Latihan tes stres jantung treadmill Universitas Sumatera Utara Treadmill merupakan pemeriksaan penunjang yang standar dan banyak digunakan untuk mendiagnosa PJK, ketika melakukan treadmill detak jantung, irama jantung, dan tekanan darah terus-menerus dipantau, jika arteri koroner mengalami penyumbatan pada saat melakukan latihan maka ditemukan segmen depresi ST pada hasil rekaman Kulick, 2014. d. Ekokardiogram Ekokardiogram menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambar jantung, selama ekokardiogram dapat ditentukan apakah semua bagian dari dinding jantung berkontribusi normal dalam aktivitas memompa. Bagian yang bergerak lemah mungkin telah rusak selama serangan jantung atau menerima terlalu sedikit oksigen, ini mungkin menunjukkan penyakit arteri koroner Mayo Clinik, 2012. e. Kateterisasi jantung atau angiografi Kateterisasi jantung atau angiografi adalah suatu tindakan invasif minimal dengan memasukkan kateter selangpipa plastik melalui pembuluh darah ke pembuluh darah koroner yang memperdarahi jantung, prosedur ini disebut kateterisasi jantung. Penyuntikkan cairan khusus ke dalam arteri atau intravena ini dikenal sebagai angiogram, tujuan dari tindakan kateterisasi ini adalah untuk mendiagnosa dan sekaligus sebagai tindakan terapi bila ditemukan adanya suatu kelainan Mayo Clinik, 2012. f. CT scan Computerized tomography Coronary angiogram Universitas Sumatera Utara Computerized tomography Coronary angiogramCT Angiografi Koroner adalah pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk membantu memvisualisasikan arteri koroner dan suatu zat pewarna kontras disuntikkan melalui intravena selama CT scan, sehingga dapat menghasilkan gambar arteri jantung, ini juga disebut sebagai ultrafast CT scan yang berguna untuk mendeteksi kalsium dalam deposito lemak yang mempersempit arteri koroner. Jika sejumlah besar kalsium ditemukan, maka memungkinkan terjadinya PJK Mayo Clinik, 2012. g. Magnetic resonance angiography MRA Prosedur ini menggunakan teknologi MRI, sering dikombinasikan dengan penyuntikan zat pewarna kontras, yang berguna untuk mendiagnosa adanya penyempitan atau penyumbatan, meskipun pemeriksaan ini tidak sejelas pemeriksaan kateterisasi jantung Mayo Clinik, 2012. h. Pemeriksaan biokimia jantung profil jantung Petanda biokimia seperti troponin I TnI dan troponin T TnT mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari. Kadar serum creatinine kinase CK dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard, risiko yang lebih buruk pada pasien tanpa segment elevasi ST namun mengalami peningkatan nilai CKMB Depkes, 2006. Universitas Sumatera Utara

2.10.4 Pencegahan Tersier Tertiary Prevention

Pencegahan tersier adalah upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi yang lebih berat atau kematian. Pencegahan dalam tingkatan ini berupa rehabilitasi jantung, program rehabilitasi jantung ditujukan kepada penderita PJK, atau pernah mengalami serangan jantung atau pasca operasi jantung Bustam, 2007. Universitas Sumatera Utara

2.11 Kerangka Teori Penelitian

Gambar 2.7. Kerangka Teori Penelitian Sumber : Hikmawati,2011 Riwayat PJK Keluarga Obesitas Hipertensi Diabetes melitus Keadaan sosioekonomi Gaya hidup Kolesterol total 200 mgdl Kolesterol 50 mgdl Inaktivitas fisik Pola diet tak sehat Kolesterol LDL 130 mgdl Rasio kolesterol total HDL 5 Trigliserida ≥150 mgdl Dislipidemia Riwayat pengguna kontrasepsi oral Penyakit Jantung Koroner Universitas Sumatera Utara

2.12 Kerangka Konsep

Kerangka konsep merupakan model konseptual yang berkaitan dengan bagaimana seorang peneliti menyusun teori atau menghubungkan secara logis beberapa faktor yang dianggap penting untuk masalah, kerangka konsep membahas saling ketergantungan antara variabel yang dianggap perlu untuk melengkapi dinamika situasi atau hal sedang atau akan diteliti Hidayat, 2009. Adapun kerangka konsep dalam penelitian ini adalah seperti gambar dibawah ini. Faktor Risiko Gambar 2.8. Kerangka Konsep A. Faktor yang Dapat Dimodifikasi 1. Merokok 2. Aktivitas fisik

3. Diet

4. Dislipidemia

5. Obesitas

6. Hipertensi

7. Diabates Melitus

B. Faktor yang tidak Dapat Dimodifikasi

1. Usia 2. Jenis Kelamin 3. Ras 4. Riwayat keluarga keturunan Penyakit Jantung Koroner Universitas Sumatera Utara BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional dengan design kasus kontrol case control study. Penelitian dimulai dengan identifikasi outcome akibatefek kemudian secara retrospektif ditelusur untuk mancari sebabeksposure Sastroasmoro dan Ismail, 2011. 3.2. Lokasi dan waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian