2.9.2.7 Diabetes Melitus
DM merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa terganggu TGT
dan glukosa darah puasa terganggu GDPT sehingga dapat ditentukan langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan sementara
menuju DM, Setelah 5-10 tahun kemudian 13 kelompok TGT akan berkembang menjadi DM, 13 tetap dan 13 lainnya kembali normal. Adanya TGT seringkali
berhubungan dengan resistensi insulin, pada kelompok TGT ini resiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi dibandingkan kelompok normal. TGT seringkali berkaitan
dengan penyakit kardiovaskuler, hipertensi dan dislipidemia. Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan gula darah sewaktu GDS atau kadar glukosa
darah puasa GDP dengan puasa paling sedikit 8 jam, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral TTGO stándar setelah pemberian glukosa 75 gr pada
orang dewasa atau 1,75 grkgBB untuk anak-anak, kemudian diperiksa kadar glukosa darahnya setelah 2 jam pemberian glukosa Gustaviani, 2006.
Individu dengan DM mudah terjadi penyakit yang berhubungan dengan aterosklerosis dan diyakini bahwa lebih dari dua pertiga kematian pasien DM akibat
penyakit arterial. Pada satu penelitian Helsinki policeman study, menjelaskan bahwa angka kematian PJK 3x lipat lebih tinggi pada pasien DM daripada individu normal.
Mekanisme yang mungkin adalah berhubungan dengan abnormalitas metabolisme
Universitas Sumatera Utara
lipid yang dapat meningkatkan aterogenesis dan advanced glycation endproducts AGE yang menggambarkan metabolisme abnormal pada DM yang berdampak pada
injuri endotelium Ramandika, 2012. Intoleransi glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit
pembuluh darah Malau,2011. Penelitian Anwar 2004 menunjukkan bahwa laki- laki yang menderita DM berisiko mengalami PJK sebesar 50 lebih tinggi dari pada
orang normal, sedangkan pada perempuan risikonya menjadi 2x lipat. Pada penelitian Waspadji 2003 menunjukkan bahwa adanya hubungan penderita DM dengan
kejadian PJK Arif, 2011. Menurut data APCSC yang representatif 2007, prevalensi DM 2,6 di China,
3,1 di Mongolia, 4,3 di India, 5,1 di Taiwan, 6,4 di Filipina, 6,9 di Malaysia, 5,7 di Indonesia, 8,2 di Singapura, 9,6 di Thailand, 9,7 di Hong
Kong dan 10,5 di Korea Selatan. Dalam penelitian Hisayama Study pada penduduk Jepang dengan total 2.421 responden yang diikuti selama selama 14 tahun untuk
memperkirakan hubungan antara status toleransi glukosa dengan kejadian peningkatan PJPD. Dalam penelitian tersebut, Status toleransi glukosa ditentukan
dengan kriteria WHO tahun 1998, yaitu: 1.
Toleransi glukosa normal puasa glukosa 6.1 mmolL dan 2 jam setelah makan 7,8 mmolL
2. Gangguan glikemia puasa 6,1-6,9 mmolL dan 2 jam setelah makan 7,8
mmolL 3.
Toleransi glukosa puasa terganggu 7,0 mmolL dan 2 hpg 7,8-11,0 mmolL
Universitas Sumatera Utara
4. Diabetes ≥ 7,0 mmolL dan atau 2 HPG ≥ 11,0 mmolL, Seperti ditunjukkan
dalam gambar 2.6
Gambar 2.6. Hazart Rasio PJPD pada Penderita Diabetes Melitus
Sumber : Hata dan Kiyohara, 2013 Menurut penelitian APCSC diikuti selama 5,4 tahun untuk mencari hubungan
antara DM dengan kejadian PJPD, status DM masing-masing peserta ditentukan berdasarkan riwayat medis dengan menggunakan CI 95 maka nilai RR 2.02 1,57-
2,59 untuk stroke fatal, 2.19 1,81-2,66 untuk PJK Fatal, 2,09 1,65-2,64 untuk total fatal dan nonfatal stroke dan 1,73 1,34-2,22 untuk total PJK. Untuk semua
hasil adalah sama pada populasi Asia baik yang pesisir maupun non-pesisir. Singkatnya, diabetes merupakan faktor risiko penting untuk stroke dan PJK pada
Universitas Sumatera Utara
populasi Asia. Penelitian APCSC menunjukkan bahwa hiperglikemia berhubungan dengan peningkatan risiko PJPD Hata dan Kiyohara, 2013.
2.10. Pencegahan PJK
Untuk berhasilnya upaya pencegahan PJK, tidak hanya diperlukan tenaga medis semata, namun perlu adanya kerja-sama dengan penderita, niat yang kuat dari
penderita, kesadaran keluarga, lingkungan dan pekerjaan sangat penting untuk berhasilnya usaha ini. Pencegahan yang berhasil akan dapat menghemat biaya dari
pemondokan di rumah sakit, tindakan intervensi jantung baik untuk diagnosa maupun terapi bahkan tindakan operasi jantung dan belum lagi menurunnya kemampuan fisik
setelah menderita serangan jantung Martohusodo, 2007.
Penanggulanagan PJK baik dengan obat-obatan atau dengan tindakan lain belum memberi hasil yang memuaskan. Oleh sebab itu, usaha pencegahan adalah
yang paling penting untuk menaggulang PJK. Pencegahan PJK dapat dibagi menjadi
Pencegahan primer dan pencegahan sekunder. Pencegahan primer adalah usaha menjaga agar orang tidak menderita PJK, usah pencegahan ini harus sudah di mulai
sejak dini, yaitu pada masa remaja karena seperti yang telah di ketahui bahwa fatty streat atau proses awal aterosklerosis sudah ditemukan pada usia remaja, sedangkan
Pencegahan sekunder adalah usaha yang dilakukan agar tidak terjadi serangan
jantung dengan segala komplikasinya bagi mereka yang sudah terkena PJK.
Berhubung aterosklerosis pada arteri koroner dipicu oleh berbagai faktor risiko seperti stres, tekanan darah tinggi, DM dan lain-lain yang semuanya dapat diperoleh
Universitas Sumatera Utara