Sudut Pandang Unsur Intrinsik
                                                                                bombastis.  Ia  juga  kerap  menggunakan  metafor-metafor  perbandingan  untuk melukiskan suasana novel. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Sekarang  Rosi  menyesal.  Sangat.  Menyesal  tujuh  turunan. Otaknya  mau  meledak.  Pikirannya  mampet.  Hatinya  ruwet.  Feeling-nya
seret. Dengan perasaan yang telah terkontaminasi lima jenis virus stress,
Rosi  menyalakan  ponselnya.  Jemarinya  bergerak  lincah  mengirimkan pesan singkat.
50
Kutipan di atas menunjukkan pola Clara Ng dalam menulis novelnya. Ia sering  menggunakan  gaya  hiperbol  atau  berlebihan  dalam  mengungkapkan
suasana  dalam  novel.  Masih  banyak  kutipan  serupa  yang  menunjukkan kecenderungan  Clara  Ng  menggunakan  gaya  bahasa  hiperbola.  Selain  itu  gaya
bahasa  kiasan  yang  digunakan  juga  berkesan  berlebihan  seperti  terlihat  pada kutipan berikut.
Tiga  minggu  berlari  mengamuk.  Kesetanan.  Novera  seperti dihantam  angin  puyuh  berkecepatan  supertinggi.  Berputar-putar  seperti
gasing. Terbanting-banting seperti baju di mesin cuci.
51
Kutipan  di  atas  menunjukkan  gaya  bahasa  simile  atau  persamaan  yang berlebihan.  Jika  manusia  dihantam  angin  puyuh  berkekuatan  super  tinggi  sudah
pasti  manusia  itu  tidak  akan  selamat.  Pengarang  menggunakan  gaya  bahasanya yang cenderung hiperbol. Gaya semacam ini konsisten digunakan pengarang dari
awal sampai berakhirnya novel.
B.
Hasil Penelitian Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir
1.
Etnis Tionghoa Di Indonesia dalam Novel Dimsum Terakhir Nung  Atasana  adalah  generasi  pertama  yang  lahir  di  Nusantara,
50
Clara Ng. op. cit. h. 267.
51
Ibid., h. 296.
Kakeknya tinggal di Cina. Penulis tidak menjelaskan secara detail asal-usul Nung Atasana.  Pengarang  menjelaskan  secara  singkat  bahwa  ayah  Nung  Atasana
berasal  dari Provinsi  Fujian dan tujuan semula adalah Singapura, namun  karena suatu hal kapal yang ditumpanginya berlabuh di Tanjung Priok.
Etnis  Tionghoa  yang  merantau  ke  Indonesia  kebanyakan  berusaha  di bidang  keuangan  dan  perdagangan.  Profesi  ini  juga  yang  dijalankan  oleh  Nung
Atasana, terlihat dalam teks berikut.
Dia  hanya  tahu  berdagang.  Berjualan  elektronik  di  Glodok. Tokonya  lumayan  laris.  Banyak  pelanggan  yang  kembali  datang
kepadanya,  sekadar  menanyakan  harga  atau  membeli  untuk  kebutuhan rumah tangga. “Toko Sinar  Berjaya” tumbuh menjadi lahan  yang dapat
menghidupi.
52
Sejak semula kedatangan bangsa Tionghoa di Indonesia untuk berdagang seperti sebuah kutipan dalam buku karangan Hari Purwanto berikut ini.
Wang Gungwu
dalam Purwanto
menilai, munculnya
perkampungan  orang  Cina  di  Jawa  pada  masa  itu  cukup  beralasan. Aktivitas  perdagangan  orang  Cina  pada  Dinasti  Song  dengan  armada
lautnya  telah  berkembang  pesat.  Di  kala  itu  orang-orang  Cina  telah menjadi bagian aktif dari jaringan perdagangan lokal di Nanyang.
53
Pada  era  Soekarno,  aktivitas  perdagangan  di  kalangan  etnis  Tionghoa semakin  terorganisasi  dengan  rapih  dan  hampir  menguasai  perdagangan  di
Indonesia.  Kepiawaian  etnis  Tionghoa  dalam  berdagang  ini  memunculkan kecemburuan  orang-orang  pribumi  sehingga  memunculkan  konflik  di  kalangan
pribumi  dan  nonpribumi,  ketegangan  yang  muncul  memaksa  pemerintah menerbitkan peraturan kontroversial.
Pada  November  1959,  Presiden  Soekarno  menandatangani  Peraturan Pemerintah  No.  10  atau  yang  lebih  dikenal  dengan  PP-10.  Peraturan  ini  berisi
larangan  bagi  orang-orang  asing  terutama  ditujukan  kepada  orang  Tionghoa
52
Clara Ng, Op. Cit. h. 201.
53
Hari Purwanto, Orang Cina Khek dari Singkawang. Depok. Komunitas Bambu, 2005, h. 41.
untuk  berdagang  eceran  di  daerah-daerah  pedalaman  ,  yaitu  di  luar  ibu  kota daerah  swatantra  tingkat  I  dan  tingkat  II  yang  mulai  berlaku  sejak  1  Januari
1960.
54
Pada masa pemerintahan Orde Baru, posisi etnis Tionghoa makin terjepit. Ada begitu banyak peraturan pemerintah yang menyudutkan etnis ini. Contohnya
adalah  ditutupnya  sekolah  Tionghoa  dan  yang  berbahasa  Tionghoa.  Anak-anak etnis  Tionghoa  diharuskan  sekolah  di  sekolah  umum.  Kebanyakan  dari  mereka
memilih  sekolah  Kristen  untuk  menuntut  ilmu.  Anak-anak  Nung  Atasana  pun sekolah  di  yayasan  Kristen  yang  dikepalai  oleh  seorang  suster.  Hal  ini  terlihat
dalam kutipan berikut.
Esoknya,  Nung  dan  Anas  dipanggil  untuk  menghadap  Suster Meredith, kepala sekolah. Siska dan Rosi diskors dua hari.
55
Larangan  berdirinya  sekolah  Tionghoa  ini  tertuang  dalam  Instruksi Presidium  Kabinet  Nomor  37UNIN61967  tentang  Kebijakan  Pokok
Penyelesaian  Masalah  Cina.  Kebijakan  ini  mengatur  pembatasan  mengenai masalah pendidikan, kegiatan usaha, dan tenaga kerja.
56
Selain  larangan  berdirinya  sekolah  Tionghoa,  peraturan  diskriminatif lainnya  yang  aplikasinya  muncul  dalam  novel  adalah  pelarangan  untuk
merayakan Imlek. Hal ini terlihat dalam teks berikut.
Tapi  dalam  hati,  terus  terang,  Nung  Khawatir.  Hari  ini  Imlek, Tahun  Baru  Cina.  Hari  raya  besar  dalam  kebudayaan  Cina.  tidak  ada
bedanya dengan muslim yang merayakan lebaran. Pemerintah zaman itu telah  mengancam  setiap  sekolah  di  seluruh  Jakarta  agar  memberikan
peringatan keras kepada para murid keturunan Cina yang mencoba-coba tidak masuk sekolah dengan alasan Imlek.
57
Pada  masa  pemerintahan  Soeharto,  etnis  Tionghoa  dilarang  melakukan
54
Prasetyadji, Op. cit., h. 29
55
Clara Ng, Op. cit., h. 237.
56
Prasetyadji, Op. cit., h. 39.
57
Clara Ng, Op. cit., h. 218.
                                            
                