Agama Kebudayaan Tionghoa dalam Novel Dimsum Terakhir
                                                                                1 Khonghuchu.
Agama  Khonghuchu  sudah  dikenal  di  Indonesia  sebelum  abad  ke-19, tetapi belum berupa sebuah agama yang terorganisasi. Pada tahun 1900 organisasi
orang Tionghoa yang pertama, yaitu Tiong Hoa Hwee Koan, didirikan di Batavia Jakarta,  memakai  agama  ajaran  Khonghuchu  sebagai  landasan  organisasi.
Akan  tetapi  Tiong  Hoa  Hwee  Koan  kemudian  berkembang  menjadi  lembaga pendidikan  dan  bergeser  dari  tujuan  semula  untuk  menyebarluaskan  agama
Khonghuchu. Lalu didirikanlah Khong Kow Hwee pada 1918 di Solo. Pada 1923 berbagai  organisasi  dengan  ciri  Konfusian
110
berkumpul  di  Yogyakarta  untuk mengadakan kongres. Hasilnya adalah berdirinya Organisasi Umum Khong Kauw
Hwee  Siam  Kau  Tjong  Hwee,  dengan  markas  besar  di  Bandung.  Peristiwa  ini dapat dipandang sebagai asal muasal dari agama  Khonghuchu di Indonesia. Pada
masa  inilah  konsep “Tian”  Langit  sebagai  allah  dari  agama  Tionghoa  dan
Khonghuchu Konfusius sebagai nabi ditetapkan untuk pertama kali.
111
Sebenarnya agama Khonghuchu pada awalnya keberadaannya diakui oleh pemerintahan Soeharto. Pada bulan Agustus 1967 Khong Kau Hwee mengadakan
kongres  keenam  di  Solo,  yang  dihadiri  oleh  pejabat-pejabat  pemerintah,  bahkan Presiden  Soharto  dan  Jendral  A.  H.  Nasution  mengirimkan  pesan  tertulisnya
mengucapkan  selamat  dan  sukses.  Banyak  pejabat  Negara,  termasuk  militer, menghadiri kongres-kongres berikutnya, mendukung agama Khonghuchu. Namun
setelah  11  tahun  Rezim  Soharto  mendukung  agama  Khonghuchu  kemudian dukungan  itu  dicabut.  Rezim  Soeharto  Merasa  cukup  kokoh  sehingga  tidak
memerlukan  lagi  dukungan  kelompok  penganut  agama  Khonghuchu.  Lagi  pula para jendral merasa bahwa agama Khonghuchu adalah penghambat bagi asimilasi
warga  Negara  Indonesia  keturunan  Tionghoa.  Pada  akhir  1978,  Menteri  Dalam Negeri menerbitkan sebuah surat edaran yang hanya mengakui lima agama, tidak
termasuk  Khonghuchu.  Pada  awal  1979  Kabinet  Soeharto  juga  menerbitkan
110
Sebutan untuk pemeluk Konghuchu.
111
Dikutip dari tulisan Leo Suryadinata dalam buku berjudul Setelah Air Mata Kering yang dieditori oleh I. Wibowo dan Thung Ju Lan halaman 80.
sebuah  surat  keputusan  yang  mengatakan  bahwa  agama  Khonghuchu  bukan agama.
Sejak  1979  agama  Khonghuchu  tidak  lagi  ditemukan  dalam  kartu  tanda penduduk orang Indonesia. Para penganut Khonghuchu harus didaftarkan sebagai
pemeluk  Buddha.  Selain  memaksa  pemeluk  Konghuchu  untuk  berganti  agama menjadi  Buddha,  rezim  Soeharto  juga  berusaha  mengubah  kelenteng  menjadi
wihara. W. D. Sukisman, seorang sinolog
112
yang bekerja bagi BIN, berpendapat wihara  adalah  tempat  ibadat  bagi  pemeluk  agama  Buddha,  kelenteng  untuk
penganut  agama  Khonghuchu  dan  Tao.  Kegiatan  di  kelenteng  meliputi  upacara pengambilan  sumpah,  menyelenggarakan  upacara  perkawinan,  mengadakan
upacara  pengangkatan  anak,  dan  tempat  pertemuan  organisasi  untuk  menjaga kebudayaan Tiongkok.
113
Pada  1990  Menteri  Agama  menerbitkan  sebuah  surat  edaran,  meminta agar para penganut agama Buddha tidak merayakan hari-hari raya orang Tionghoa
maupun tahun baru Imlek di Wihara karena tidak ada hubungannya dengan agama Buddha.  Hal  ini  merupakan  satu  langkah  lebih  jauh  dari  munculnya  sebuah
kebijakan  untuk  mengikis  unsur  Tionghoa  dari  agama  Buddha  Indonesia.  Dua tahun  sebelumnya  1988,  Menteri  Dalam  Negeri  menerbitkan  instruksi  kepada
pemerintah  daerah  untuk  tidak  memberikan  izin mengenai  tiga  hal  di  bawah  ini. memperoleh  hak  atas  tanah  untuk  membangun  kelenteng,  memperluas  kelenteng
lama, atau membangun kelenteng baru.
114
Ketika  Gus  Dur  menjadi  presiden  barulah  agama  Khonghuchu  diakui kembali.  Gus  Dur  menyatakan  bahwa  agama  Khonghuchu  adalah  agama  dan
bahwa  pemerintahannya  mengakui  keberadaan  mereka.  Dia  dan  anggota kabinetnya menghadiri perayaan tahun baru Imlek bulan februari 2000 di Jakarta.
Perayaan  yang  diorganisasi  oleh  Matakin
115
.  Gus  Dur  juga  membatalkan Keputusan  Presiden  Nomor  14  tahun  1967  yang  melarang  orang  Tionghoa
112
Sinolog adalah orang yang ahli di bidang sinology yaitu ilmu pengetahuan tentang kebudayaan dan bahasa Cina.
113
I Wibowo, Ju Lan., Op. cit., h. 85 —86.
114
Ibid,. h. 88.
115
Majelis Tinggi Agama Khonghuchu Indonesia.
merayakan  hari  raya  mereka  di  tempat  umum.  Pada  31  Maret  2000,  Menteri agama  Surjadi  menerbitkan  sebuah  instruksi  Nomor  477805Sj  yang
membatalkan  surat  edaran  tahun  1978  yang  hanya  mengakui  lima  agama,  tidak mengakui agama Khonghuchu. Dengan demikian Negara memberikan pengakuan
kembali kepada agama Khonghuchu setelah rezim Orde Baru runtuh. Seperti sudah diterangkan di  atas bahwa agama  orang Tionghoa beragam
karena  adanya  akulturasi  orang-orang  Tionghoa  perantauan,  namun  juga  sebab Negara  Tiongkok  terbuka  pada  dunia  luar  sehingga  terpengaruh  oleh  agama-
agama dari barat seperti Khatolik, Protestan dan Islam. Di  atas  sudah  disinggung  mengenai  tradisi  memuja  leluhur  yang
dijalankan  oleh  keluarga  Nung  Atasana,  lebih  lanjutnya  peneliti  akan  coba jelaskan  tentang  pemujaan  leluhur  yang  kebanyakan  dianut  oleh  orang-orang
Tionghoa. 2
Pemujaan Leluhur Dorothy  Perkins  dalam  Danandjaja  mengatakan  bahwa  pemujaan  leluhur
adalah  suatu  praktek  di  mana  sebuah  keluarga  Tionghoa  atau  klan  memberi sesajian dan memberi hormat kepada leluhurnya, yang arwahnya diyakini berdiam
di  lembar  papn  kayu  bertuliskan  nama  almarhum  lingwei  yang  hendak  dipuja. Lembaran papan kayu ini diletakkan di atas altar kuil keluarga. Pemujaan leluhur
merupakan pondasi dari agama rakyat di Tiongkok dan di antara orang Tionghoa Perantauan  di  seluruh  dunia,  termasuk  juga  di  Indonesia  tidak  peduli  apa  pun
agama  resmi  yang  mereka  anut.
116
Sesajian  tersebut  terdiri  dari  makanan,  arak, dupa batang hio, lilin, dan bunga.
Salah  satu  peranti  pemujaan  leluhur  adalah  lembaran-lembaran  papan bertuliskan  nama  almarhum  yang  hendak  dipuja  yang  dalam  bahasa  Tionghoa
disebut  lingwei  atau  papan  arwah  leluhur.  Papan  arwah  leluhur  ini  dibuat  dari kayu  cendana  yang  harum  baunya  berukuran  panjang  10-20  inci.  Di  atas  papan
arwah  tersebut  diukir  nama,  hari,  bulan,  dan  tahun  lahir  dari  leluhur  yang
116
Danandjaja, Op. cit., h. 259.
meninggal. Anggota keluarga memanjang papan ini di atas klenteng klannya dan juga di ruang rumah tinggal mereka sendiri.
117
Papan-papan arwah tersebut ditempatkan dalam suatu jajaran, berdasarkan jauh-dekat  hubungan  dan  generasi  dengan  keluarga  yang  memeliharanya.
Anggota  keluarga  dari  suatu  rumah  akan  memberi  sesajian  harian,  berupa  tiga cucin,
118
, lilin, teh, dan hio yang dibakar. Asap dari bakaran hio melambangkan komunikasi yang masih hidup dengan yang telah meninggal.
119
Tradisi  pemujaan  terhadap  roh  leluhur  ini  juga  dijalankan  oleh  keluarga Nung  Atasana,  di  dalam  rumah  ini  terdapat  altar  tempat  pemujaan  roh  leluhur.
Seperti terdapat dalam kutipan berikut.
Meja  sembahyang  terlihat  jelas  di  ruang  keluarga.  Abu  jatuh  dari hio  yang  sedikit  lagi  habis  terbakar,  membuat  sebagian  meja  Nampak
kotor. Patung Dewi Kwan Im berdiri anggun di sana, diapit dua api  yang menyala  oleh  minyak.  Seikat  bunga  krisan  berwarna  kuning  yang
diletakkan di dalam vas tampak sedikit mengering. Di sampingnya, di sana lah abuku berada.
120
Kutipan  di  atas  menunjukkan  bahwa  di  dalam  rumah  keluarga  Nung  ada tempat  pemujaan untuk  memuja leluhur  yang telah meninggal.  Hampir di  semua
keluarga  etnis  Tionghoa  terdapat  altar  semacam  ini  di  rumah  mereka
121
,  sebagai bentuk  penghormatan  kepada  yang  telah  meninggal  dan  sebagai  suatu  tanda
bahwa mereka tidak melupakan orang yang sudah meninggal. Hal  senada  juga  terlihat  pada  salah  satu  kutipan  perjalanan  yang  ditulis
oleh Iwan Santosa.
122
PERSEMBAHAN lengkap  daging,  buah,  dan  berbagai  penganan
serta  arak  di  meja  abu  menjelang  perayaan  Imlek  merupakan  kewajiban
117
Ibid, h. 260.
118
Cangkir kecil
119
Ibid.
120
Clara Ng, Op. cit., h. 15.
121
Seperti yang dilihat sendiri oleh peneliti ketika berkunjung ke rumah salah satu etnis Tionghoa yang tinggal di daerah elit Serpong.
122
Iwan Santosa adalah wartawan Kompas yang menulis buku Peranakan Etnis Tionghoa di Nusantara berdasarkan jurnal perjalanan.
bagi  keluarga  Tionghoa  sebagai  bakti  kepada  leluhur  dan  pengucapan syukur.  Namun,  hanya sepiring nasi,  lima tusuk sate pemberian tetangga,
dan segelas air yang biasa dipersembahkan Encek Ouw Ceng Lim 74 di meja  abu  yang  terapung  di  rumah  papan  sewaan  di  atas  genangan  banjir
Kali Angke.
123
Sebuah kutipan perjalanan di atas menunjukkan pemujaan terhadap leluhur ini  masih  dipertahankan  oleh  masryarakat  keturunan  Tionghoa  di  Indonesia
meskipun  dalam  keterbatasan  ekonomi.  Pada  dasarnya  stereotip  masyarakat Tionghoa  adalah  golongan  orang-orang  berada.  Bahkan,  seringkali  kelompok
etnis  Tionghoa  diasosiasikan  dengan  perilaku  konglomerat  hitam  yang  bersama pejabat militer sipil menggasak uang Negara.
124
Akan tetapi, sesungguhnya tidak semua  orang  Tionghoa  di  Indonesia  orang  kaya.  Orang-orang  Tionghoa  miskin
masih bisa kita temukan di daerah Tangerang, mereka biasa disebut Cina Benteng dan berprofesi sebagai petani atau pengayuh becak.
Agama  dalam  struktur  novel  sebagai  sumber  konflik.  Keputusan  Novera pindah  agama  pada  awalnya  menjadi  semacam  perdebatan  keluarga.  Hingga
akhirnya  ayahnya  memberikan  kebebasan  pada  Novera  untuk  memeluk  agama yang diyakininya.
Kegiatan memuja leluhur adalah wujud kebudayaan pada tataran aktivitas diidentifikasikan dengan bersembahyang di depan altar. Kegiatan sembahyang ini
biasanya dilakukan dengan membakar hio dan memberikan sesaji. Dalam tataran ide  kegiatan  ini  bertujuan  untuk  menghormati  leluhur.  Menurut  kepercayaan
Tionghoa, orang yang masih hidup tetap bisa menjalin komunikasi dengan orang- orang yang telah mati.
                