Pembantaian Etnis Tionghoa 1740 Etnis Tionghoa di Indonesia dalam Beberapa Periode

membawanya ke Cylon dan Tanjung Harapan. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap rumah orang-orang Tionghoa dengan dalih mencari senjata seringkali disertai dengan penganiyaan dan perampasan barang berharga. Para pejabat kompeni Belanda juga menggunakan kesempatan itu untuk memeras para orang Tionghoa kaya yang dimintai uangdalam rangka mendapatkan surat izin, untuk kepentingannya sendiri. Hal ini menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Tionghoa. Kabar angin segera berhembus bahwa orang-orang Tionghoa yang ditangkap dan dirantai itu dianiaya dan dibunuh. Mereka yang diangkut dengan kapal-kapal dari Batavia di tengah jalan dilemparkan ke tengah laut. Akibatnya, situasi menjadi sangat tegang. Para orang Tionghoa yang resah, berkumpul dan membentuk beberapa kelompok yang mempersenjatai diri untuk membela diri dan melawan perbuatan Belanda yang sewenang-wenang tersebut. Pada akhir September 1740, keadaan menjadi semakin gawat. Pada 26 september 1740, gubernur Jenderal Valckeneir memanggil Dewan Hindia untuk mengadakan sidang darurat. Di hadapan sidang, ia memberi perintah dan kuasa kepada anggota dewan, Van Imhoff dan Van Aarden untuk bertindak. Pada 7 Oktober 1740, ketika sekelompok orang Tionghoa yang terdiri dari ratusan orang melawan dan merebut posisi kompeni Belanda di Meester Cornelis dan Tanah Abang berhasil membunuh 50 orang serdadu kompeni, Vaan Imhoff melakukan serangan. Dengan kekuatan yang terdiri dari 1800 orang serdadu kompeni yang merupakan seluruh kekuatan Batavia, ditambah dengan schutterij pejaga sipilmilisi dan 11 batalyon pennist merupakan pasukan wajib militer, Van Imhoff mulai melakukan operasi pembersihan. Jam malam diberlakukan secara ketat terhadap semua penduduk Tionghoa dan persiapan untuk suatu perayaan Tionghoa secara besar-besar dibatalkan. Pada 8 Oktober 1740, tentara Belanda memukul mundur suatu serangan balasan orang-orang Tionghoa yang cukup kuat di pinggiran kota. Melihat situasi semakin serius. Pada, minggu pagi, tanggal 9 Oktober Gubernur Jenderal Valcknier mengadakan rapat dengan para anggota Dewan Hindia. Jalan-jalan di dalam kota sangat sepi dari orang-orang Tionghoa, karena sehari sebelumnya telah diumumkan oleh gubernur jendral VOC berlakunya jam malam. Seluruh orang Tionghoa harus tinggal di dalam rumah, menutup pintu dan jendela rapat- rapat sehingga mereka tidak mengetahui apa yang terjadi. Hal tersebut dimaksud agar mereka tidak berkomplot dengan orang-orang Tionghoa yang berada di luar tembok kota yang diisukan akan “menyerang” kota Batavia.di jalan-jalan hanya terdapat kerumunan non Tionghoa yang semakin lama semakin besar, hampir setiap penduduk Batavia, kecuali orang- orang Tionghoa berada di jalan- jalan untuk menunggu suatu “tanda”. Orang-orang non-Tionghoa ini berkumpul di sudut-sudut jalan membicarakan rumor terakhir yang menyatakan bahwa orang-orang Tionghoa merencanakan untuk membunuh mereka semua dan memperkosa perempuan- perempuan serta menjadikan mereka dan anak-anaknya menjadi budak. Kerumunan tersebut semakin membesar, rumor tersebut membuat mereka marah dan menyatukan orang sepoy, para kelasi, kuli, tukang, dan bahkan budak sekalipun. Hal ni belum pernah terjadi sebelumnya, mereka berasal dari berbagai “kebangsaan” merasa memunyai kesamaan, yaitu menghadapi musuh bersama: orang-orang Tionghoa, yang seperti dianggap eksklusif. Satu-satunya ras yang tidak muncul di jalan bersama-sama mereka termasuk para majikan mereka orang Belanda, yang dalam menghadapi musuh bersama bukan saja berada di pihak mereka, tetapi membela dan mengajak mereka untuk bergabung dan mempersenjatai mereka. Setelah itu, terjadi kebakaran beberapa warung Tionghoa di kompleks pemukiman orang-orang Tionghoa di daerah Kali Besar Oost. Hal ini oleh orang-orang Belanda diartikan sebagai tanda dimulainnya pemberontakan orang Tionghoa. Kerusuhan pun terjadi dan penjarahan serta pembakaran rumah- rumah orang Tionghoa berlangsung dengan kejam. Tentara Belanda dengan dibantu orang-orang Eropa lainnya, para klasi kapal, para gelandangan, orang-orang Sepoy, para tukang dan budak menyerbu rumah-rumah orang Tionghoa, setelah merampok harta bendanya. Mereka lalu membunuh setiap orang Tionghoa, tidak pedui laki-laki atau perempuan, tua maupun muda. Bahkan anak-anak dan bayi yang sedang menyusu dibantai dengan sadis dan di luar batas perikemanusiaan. Setelah itu, dilakukan pembakaran terhadap semua rumah orang Tionghoa. Banjir darah terjadi di mana-mana yang kemudian menimbulkan nama-nama seperti Angke di Batavia yang berarti kali merah, karena banyaak darah yang mengalir ke kali tersebut. Rawa Bangke di Meester Cornelis atau Jati Negara karena banyaknya bangkai orang Tionghoa yang mengambang di rawa-rawa sekitar jatinegara dan Tanah Abang yang berarti tanah merah karena dibanjiri darah orang-orang Tionghoa yang menjadi korban pembantaian. Berikut kutipan laporan seorang penulis Belanda, W.R. von Hoevell dalam bukunya yang berjudul Batavia in 1740 yang oleh orang-orang Belanda sendiri dianggap kredibel. “Tiba-tiba tanpa diduga sebelumnya terdengar jerit ketakutan di seluruh kota dan terjadilah sebuah pemandangan yang sangat memilukan. Perampokan terhadap orang Tionghoa terjadi di seluruh pelosok kota. Semua orang Tionghoa tidak peduli laki-laki, perempuan, anak- anak habis dan dibantai. Bahkan perempuan dan menyusui anaknya juga tidak luput menjadi korban pembantaian yang tidak mengenal prikemanusiaan. Ratusan tahanan yang diikat tangannya, disembelih seperti menyembelihdomba. Beberapa orang Tionghoa kaya, lari mencari perlindungan ke rumah-rumah orang Belanda dan Eropa lain yang dikenalnya, tetapi tanpa mengenal belas kasihan dan tanpa menujunjung moral serta prikemanusiaan, mereka menyerahkan orang Tionghoa tersebut kepada para pemburunya yang haus darah. Barang-barang berharga yang dititpkan kepadanya langsung diambil menjadi miliknya sendiri. Pokoknya semua orang Tionghoa, baik yang bersalah maupun tidak harus dibasmi.‘ Kemudian, pembakaran dan pembunuhan menyebar ke seluruh penjuru kota. Kanal- kanal menjadi merah dengan darah orang-orang Tionghoa, jalan-jalan penuh dengan mayat- mayat. Di mana-mana terjadi pembunuhan yang dilakukan dengan cara-cara yang sangat menyeramkan, segala sesuatu yang belum habis terbakar, dijarah dan dirampok. Kegelapan malam yang kemudian tiba, tidak mengakhiri kekejaman yang tengah berlangsung, dan sepanjang terdengar rintihan mereka yang sedang sekarat, jeritan ketakutan dari orang-orang yang tengah menghadapi maut dan teriakan- teriakan histeris dari para pembunuh”. Demikianlah pembunuhan orang-orang Tionghoa di Kota Batavia terus berlangsung. Sebagian orang-orang Tionghoa yang karena satu keajaiban berhasil lolos dari kematian dengan bersembunyi di sudut-sudut yang terlindung dan di celah-celah tembok sisa rumahnya, membuat para bandit sibuk. Selama lebih dari seminggu, bandit-bandit tersebut yang katanya bertujuan “mempertahankan Batavia” terus menerus melakukan operasi. Mereka menagkapi orang-orang Tionghoa yang berhasil selamat, yang berada dalam keadaan sekarat karena kelaparan dan kehabisan oksigen disebabkan terlampau banyak menghirup asap. Mereka ini apabila ditemukan lansung dibantai dengan kejam. A.R.T Kemasang dalam Benny G. Setiono memberikan sebuah laporan jumlah korban orang Tionghoa yang meninggal dunia mencapai 10.000 orang, termasuk 500 orang tahanan dan pasien rumah sakit. Sebanyak 500 orang luka parah, dan 700 rumah dirusak, dibakar, serta barang-barangnya dijarah. Laporan tersebut juga menyatakan orang-orang Belanda maupun Eropa lainnya baik militer maupun sipil bersama-sama melakukan perampokan dan pembunuhan dengan dibantu oleh pasukan-pasukan prbumi yang lebih rakus. 40 Pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1740 seperti menjadi sebuah pijakan awal dari pengesahan terhadap perilaku rasisme kepada orang-orang Tionghoa. Sebuah sejarah kekerasan yang terjadi pada satu masa yang kemudian berulang-ulang pada masa-masa berikutnya bahkan sampai pada era modern.

2. Etnis Tionghoa Pada Era Soekarno

Pada masa pemerintahan Soekarno, etnis Tionghoa dihadapkan pada suatu pilihan dilematis yaitu asimilasi. Etnis Tionghoa diberi pilihan untuk menjadi warga Negara Indonesia WNI dengan mengganti nama Tionghoa mereka dan juga meninggalkan segala ketionghoaan yang melekat pada tubuh mereka dan menyatu dengan suku masyarakat di mana ia tinggal atau kembali ke Tiongkok. Jalan asimilasi “dipilih” oleh Soekarno untuk meredam konflik kelompok minoritas pada masa itu. Apa itu minoritas yang menjadi permasalahan timbulnya suatu tindakan rasialis terhadap etnis Tionghoa akan coba peneliti 40 Benny G. Setiono, Etnis Tionghoa Dalam Pusaran Politik, Jakarta: Transmedia, 2008, h. 109 —121. jelaskan dengan mengutip beberapa pengertian. a. Minoritas Louis Wirth dalam Leo Suryadinata memberi definisi sebagai berikut. 1. Minoritas adalah segolongan orang yang 2. Karena cirri-ciri badani atau kulturnya 3. Dipisahkan dari orang-orang lain dalam masyarakat tempat mereka hidup. 4. Diberikan perlakuan yang berbeda 5.Sehingga mereka menganggap diri mereka sebagai bulan-bulanan dari diskriminasi kolektif 6. Dalam masyarakat di mana terdapat minoritas di sana ada pula dominant group yang berkaitan yang memunyai kedudukan sosial yang lebih tinggi serta hak-hak istimewa. 7. Tergolongkan dalam minoritas dengan sendirinya berarti tidak diikutsertakan sepenuhnya pada kehidupan masyarakat. 41 Ditambah dengan rumusan Sub Commision dari Commision on Human Rigths dari PBB yang menegaskan bahwa istilah minoritas itu biasanya digunakan terhadap warga dari suatu negara. Dapatlah diringkaskan bahwa minoritas adalah segolongan warga dari suatu negara yang dipisahkan, dieksklusifkan dan didiskriminasikan oleh sesama 42 warga negaranya yang memunyai hak-hak istimewa dan kedudukan sosial, politik, ekonomis lebih tiinggi, sehingga dalam diri golongan itu dibangkitkan perasaan-perasaan tertentu, mereka diperlakukan demikian karena mereka berbeda dalam fisik atau kebudayaan dengan warganegara yang lain. Berbagai perasaan itu adalah perasaan-perasaan diperlakukan tidak adil, tidak dihargai, tidak dipercayai, diisolasi dan dianiaya, pendek kata, perasaan-perasaan dikandung oleh anak tiri. Wirth berkata. “one cannot long discriminate against a people without generating in them a sense of isolation or persecution and without giving them a conception of themselves as being more different from others then in fact there are. ” 43 Pada November 1959 Presiden Soekarno menandatangani Peraturan Pemerintah No. 10 atau yang lebih dikenal dengan PP-10. Peraturan ini berisi larangan bagi orang-orang asing terutama ditujukan kepada orang Tionghoa 41 Suryadinata, Op. Cit., h. 162 —163. 42 Ibid., 163. 43 Ibid., untuk berdagang eceran di daerah-daerah pedalaman, yaitu di luar ibu kota daerah swatantra tingkat I dan tingkat II yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1960. 44 Dengan keluarnya PP-10 ini, sudah tentu menjadi semacam pukulan berat terhadap etnis Tionghoa. Pada praktiknya, peraturan ini tidak hanya menertibkan orang-orang Tionghoa agar tidak berdagang eceran lagi melainkan mereka juga diusir dari tempat tinggal mereka. Peraturan rasialis ini ditetapkan ditengarai karena Soekarno ditekan oleh militer dan partai Islam. Masyarakat pribumi yang pada saat itu mulai berdagang merasa tersaingi oleh dominasi pedagang Tionghoa yang telah berpengalaman dan memiliki jaringan beberapa generasi. Dengan dilaksanakannya PP-10, puluhan ribu orang Tionghoa terpaksa harus meninggalkan tempat usaha dan tempat tinggalnya di pedalaman. Peraturan ini sebenarnya hanya untuk menertibkan para pedagang eceran Tionghoa, namun pada kenyataannya mereka tidak hanya dilarang berdagang melainkan juga diusir dari rumah mereka sendiri. Puncak tragedi etnis Tiobghoa pada Era Soekrno adalah Gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini membawa dampak buruk bagi warga Tionghoa secara keseluruhan. Hal ini karena pada umumnya warga Tionghoa dianggap sebagai simpatisan organisasi Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia Baperki. Dugaan bahwa Baperki sangat dekat dengan Partai Komunis Indonesia yang dituduh melakukan kudeta dengan G-30-S tersebut, akibatnya praktis sejak itu tidak ada yang berani membicarakan masalah status kewarganegaraan mereka. 45

3. Etnis Tionghoa Era Soeharto Orde Baru

Tidak dapat diragukan bahwa Soeharto telah memperkenalkan kebijakan asimilasi terhadap etnis Tionghoa sebagai sebuah praktik politik yang tidak 44 Prasetyadji, Semangat Perjuangan Peranakan Idealis, Jakarta. Forun Komunikasi Kesatuan Bangsa. 2011, h. 29. 45 Ibid., h. 36. pernah dilakukan pada masa sebelumnya. 46 Pada 6 Desember 1967, Presiden Soeharto mengeluarkan Intruksi Presiden No. 141967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Dalam intruksi tersebut ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh dirayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Intruksi Presiden ini bertujuan melikuidasi pengaruh seluruh kebudayaan Tionghoa termasuk kepercayaan, tradisi, adat istiadat, dan agamanya dan mendorong terjadinya asimilasi secara total. 47 Dengan adanya intruksi ini, kebebasan etnis Tionghoa semakin dikebiri. Hak-hak mereka sebagai warga negara dibatasi oleh undang-undang. Sejak intruksi ini dikeluarkan, seluruh perayaan tradisi dan keagamaan etnis Tionghoa termasuk Imlek, cap go meh, dan sebagainya dilarang dirayakan secara terbuka. Sama halnya juga tari-tarian barongsai dilarang dipertunjukkan. Pemasungan terhadap etnis Tionghoa kemudian dilanjutkan dengan Intruksi Menteri Dalam Negeri No. 4555.2-360 tahun 1968 tentang Penataan Kelenteng dan Surat Edaran Menteri Penerangan No. 02SEDitjenPPGK1968 tentang Larangan dan Pencetakan TulisanIklan beraksara dan berbahasa Cina, ditambah dengan Peraturan Daerah Daerah Tingkat I DKI Jakarta No. K-IOS-12 tentang keharusan warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa di daerah DKI Jakarta melapor dan mengisi formulir K-I. demikian juga setiap warga Negara Indonesia keturunan Tionghoa dan anak-anaknya melalui surat keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia SKB 01-UM.09.30-80, No. 42 wajib memiliki Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia atau SBKRI. 48 Tindakan pemerintah yang mendiskriminasi warga Tionghoa ini bisa dilihat dari beberapa peraturan pemerintah yang diskriminatif berikut ini. a. Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127Kep121966 tentang Peraturan ganti nama bagi warga Negara Indonesia yang memakai nama Cina 46 Leo Surydinata, Etnis Tionghoa dan Nasionalisme Indonesia. Jakarta. Penerbit Buku Kompas, 2010, h. 217. 47 Setiono., Op. cit., h. 1008 48 Ibid., h. 1009.