yang paling besar sampai  mengerucut  ke ukuran  terkecil. Kue ini wajib ada saat perayaan  Imlek  sebagai  persembahan  ketika  sembahyang.  Penganan  lain  yang
sering  muncul  pada  saat  Imlek  adalah  manisan  buah  atep  atau  kolang  kaling
66
. Makanan lain seperti daging babi, kimlo, asinan, dan bakmi biasanya selalu tersaji
di meja makan ketika Imlek. Sesungguhnya,  keluarga  adalah  magnet  perayaan  Imlek.  Pada  saat  Imlek
tiba, seluruh keluraga berkumpul. Keluarga yang tinggal jauh di negeri orang pun akan pulang untuk merayakan Imlek bersama.
Filsuf  besar  Cina,  Konfusius  Kong  Zi,  menegaskan,  dari  keluarga  yang kuat  akan  lahir  masyarakat  yang  kuat.  Dari  situ  terbentuklah  bangsa  yang  kuat.
Itulah inti kehidupan berbangsa, membangun keluarga guyub dan harmonis.
67
Imlek  sebagai  ajang  reuni  keluarga  juga  terlihat  pada  keluarga  Nung Atasana, anak-anak Nung yang tinggal di berbagai kota sampai mancanegara akan
berkumpul  bersama  pada  saat  Imlek  tiba.  Siska  yang  tinggal  di  Singapura  dan sering berpergian ke luar negeri untuk urusan bisnis, akan pulang saat Imlek. Rosi
meninggalkan bayi-bayi mawarnya di Puncak. Novera mengambil cuti mengajar, dari Jogja ia akan terbang ke Jakarta. Hal ini terlihat pada teks berikut.
Mereka  berkumpul  kembali  tepat  tiga  hari  sebelum  Imlek  pada tahun  berikutnya.  Semua  tampak  berbeda  pada  saat  itu.  Nung  tidak
bersama-sama  mereka  lagi.  Siska  tampak  lebih  kurus.  Novera berkacamata. Kulit Roni semakin gelap.
68
Setiap  keluarga  punya  tradisi  Imleknya  masing-masing,  demikian  juga dengan  keluarga  Nung  Atasana.  Setiap  pagi  Imlek,  sebelum  berangkat
beraktivitas, mereka sekeluarga memasak  dimsum untuk  dimakan bersama-sama. Keluarga  sederhana  ini  akan  bangun  pagi-pagi  dan  menyiapkan  besek,  adonan
untuk  bahan-bahan  membuat  dimsum.  Mereka  bergotong-royong  bersama.
66
Pada saat lebaran, etnis Betawi di lingkungan keluarga peneliti pun selalu ada kue cina dan manisan kolang-kaling.
67
Iwan Santosa, Peranakan Tionghoa di Nusantara Jakarta. PT Kompas Media Nusantara, 2012, h. 141.
68
Clara Ng, Op. cit., h. 355.
Suasana  hangat  dan  ceria  pada  Hari  Raya  Imlek  yang  penuh  suka  cita.  Semua bergembira menyambut Imlek. Hal ini terlihat pada teks berikut.
Indah  melirik  ke  dapur  yang  berantakan  dan  kacau-balau. Tumpukan  besek  dimsum  di  mana-mana  memenuhi  ruang  dapur  yang
hanya  sepetak  kecil.  Mereka  berlima;  Mama,  Siska,  Rosi,  Novera,  dan Indah  sedang  membuat  dimsum  yang  akan  disantap  bersama-sama
sebelum  berangkat  ke  sekolah.  Aroma  masakan  terasa  sangat  sedap, meyergap hidung. Indah sangat menyukai aroma itu.
Jam  dinding  menunjukan  waktu  lima  lewat  sepuluh.  Dua  puluh menit  lagi  mereka  akan  merayakan  tahun  baru  Cina  dengan  makan  pagi
bersama-sama.  Menyantap  dimsum.  Tradisi  yang  sangat  aneh,  tapi  bagi keluarga  Nung  Atasana,  tradisi  itu  Nampak  normal-normal  saja.  Makan
dimsum  pada  pagi  Imlek  dirayakan  selama  satu  jam  kerena  setelahnya mereka harus berangkat ke sekolah pada pukul enam tiga puluh. Tidak ada
libur Imlek pada masa itu, masa pemerintahan Soeharto.
69
Keluarga  Nung  Atasana  harus  merayakan  Imlek  pada  pagi  hari  karena pada masa pemerintahan Soeharto tidak ada libur pada saat Imlek, tidak hanya itu
saja  segala  aktivitas  perayaan  secara  terbuka  tidak  diperbolehkan.  Hal  ini  sesuai dengan  Instruksi  Presiden  No.  141967  tentang  Agama,  Kepercayaan,  dan  Adat
Istiadat Cina. Dalam instruksi tersebut, ditetapkan bahwa seluruh upacara agama, kepercayaan,  dan  adat  istiadat  Tionghoa  hanya  boleh  dirayakan  di  lingkungan
keluarga dan dalam ruangan tertutup. Imlek  menjadi  sumber  konflik  dalam  struktur  novel,  bukan  menjadi  latar
suasana  saja.  Kebudayaan  ini  beberapa  kali  disebutkan  dalam  novel.  Dalam beragam kesempatan, Imlek selalu dirayakan oleh keluarga Nung Atasana. Tradisi
unik  Imlek  yang mereka jalani  adalah memakan  dimsum pada pagi  hari sebelum mereka  melakukan  aktivitas.  Hal  ini  terjadi  karena  tidak  ada  libur  Imlek  untuk
mereka. Wujud kebudayaa Imlek ini adalah sebagai berikut.
1 Tataran  ide,  Imlek  dirayakan  tiap  awal  musim  semi  sebagai  perwujudan
rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
69
Ibid., h. 59 —60.
2 Tataran  aktivitas,  Imlek  adalah  hari  raya  utama  masyarakat  Tionghoa  di
seluruh dunia tanpa memandang agama. Pada hari raya ini, semua anggota keluarga berkumpul dan merayakannya bersama-sama.
b. Cap go
Setiap tanggal lima belas dalam penanggalan lunar disebut cap go. Cap go yang  paling  meriah  dilaksanakan  tiap  tahunnya  adalah  tiap  tanggal  lima  belas
Imlek,  disebut  cap  go  me.  Perayaan  Imlek  dan  cap  go  me  merupakan  suatu kesatuan,  yakni  untuk  merayakan  Tahun  baru  Imlek  selama  lima  belas  hari  dan
ditutup  dengan  pesta  rakyat  cap  go  me,  yang  kebetulan  jatuh  pada  malam  bulan purnama  cap  go  =  lima  belas.  Tradisi  kunjung  berkunjung  pada  saat  Imlek
berlangsung sampai tanggal lima belas. Pada malam harinya, diadakan pesta  cap go me yuan xiao jie.
70
Puncak  perayaan  Tahun  Baru  Imlek  adalah  pesta  rakyat  cap  go  me.  Cap go  me  juga  sebagai  perayaan  penutup  dari  tahun  baru  Imlek.  Tempo  dulu
perayaan cap go me diadakan secara besar-besaran. Pada pesta rakyat ini, semua jenis  pertunjukkan  rakyat  Betawi  ditampilkan.  Seni  pertunjukkan  tersebut  antara
lain berupa Wayang Cokek yang diiringi gambang kromong. Seperti  halnya  perayaan  Imlek,  perayaan  cap  go  me  secara  terbuka  pun
dilarang  oleh  pemerintah  Orde  Baru.  Setelah  ditumbangkannya  Orde  Baru  dan berdirinya  Orde  Reformasi,  Perayaan  Hari  Raya  Imlek  dan  cap  go  me  diizinkan
lagi  diadakan,  seperti  membuka  pasar  malam  dan  kirab  dari  lapangan  depan Museum  Fatahilah.  James  Danandjaja  dipilih  untuk  menyampaikan  pidato
sambutan  dengan  memukul  ceng-ceng  cymbal  sebagai  tanda  dimulainya  kirab cap go me, pada tahun 2000 setelah selama 30 tahun perayaan ini mengalami mati
suri.  Pada  waktu  itu,  lapangan  depan  Museum  Fatahilah  dipenuhi  ratusan  orang, bukan  saja  orang  betawi  dari  keturunan  Tionghoa,  tetapi  juga  orang  Betawi  dari
keturunan suku bangsa lainnya.
71
70
Yusuf, op.cit.h. 6.
71
Ibid., h. 378.
Tradisi  cap  go  ini  masih  dipegang  oleh  anak-anak  Nung  Atasana.  Pada hari  cap  go  atau  tiap  tanggal  15  penanggalan  lunar  Novera  masih  menjalankan
tradisi  cap  go  di  keluarga  Nung  Atasana  dengan  tidak  memasak  daging  dan memakan  daging.  Dewasa  ini,  kebiasaan  tersebut  sudah  mulai  luntur,  tapi  anak-
anak Nung masih mempertahakannya, terlihat pada teks berikut. “Sekarang cap go ya?”
Novera  hanya  menggumam,membenarkan.  Indah  berjalan  menuju dinding  dan  merobek  satu  lembar  kertas  kalender.  Kalender  harian  Cina.
Penanggalan lunar. Di sana tertera tanggal lima belas. “SAYUR LAGI? OH MY GOD TIDAAAK”
Tanpa menoleh pun Novera tahu siapa yang menjerit histeris persis di belakang telinganya.
Indah  menoleh  kepada  pemilik  suara.  Irama  suaranya  tenang. “Sekarang  cap  go,  Ros.  Enggak  boleh  makan  daging  kalo  cap  go,  udah
lupa?
72
Dalam teks tersebut, terjadi pertentangan antara Novera,  Indah, dan Rosi. Novera  masih  kukuh  memegang  tradisi  keluarga  dengan  masih  menjalankan
tradisi  cap  go  di  keluarga  mereka  yang  tidak  makan  daging  sedangkan  Rosi merasa  keberatan  dengan  tradisi  ini.  Rosi  merasa  tradisi  ini  sudah  ketinggalan
zaman  dan  tidak  perlu  dipertahankan  lagi.  Rosi  memang  memiliki  sifat  tomboi dan  cuek  berbeda  dengan  Novera  yang  lembut,  namun  juga  keras  kepala.
Penolakan Rosi dan keteguhan Novera terlihat dalam teks berikut. “Zaman  sekarang  mana  ada  yang  nge-cap  go-ce-it.  Mana  ada
selera,” kata Rosi dengan muka masam.
73
… Bukan  itu  saja,  kata  Rosi,  makan  sayur  seharian  membuatnya
rentan dengan mood jelek, napas bau, dan keringat kecut. Tapi  Novera  dengan  keras  kepalanya  sukses  memutuskan  untuk
melanjutkan tradisi keluarga. Menurutnya tradisi adalah tradisi.
74
Cap go dalam cerita menjadi sumber konflik, seperti terlihat pada kutipan di atas. Kutipan tersebut menunjukkan adanya perdebatan antara Novera dan Rosi.
72
Clara Ng, Op. cit., h. 154 –155.
73
Ibid., h. 156.
74
Ibid., h. 157.
Selain itu, kutipan lain yang menunjukkan cap go sebagai konflik dalam struktur novel dapat dilihat pada teks berikut ini.
Kebiasaan  Anas  setiap  bulan  penanggalan  lunar  pada  tanggal  1 yang disebut ce it dan tanggal 15 yang disebut cap go adalah tanggal-
tanggal  istimewa  ketika  mereka  sekeluarga  tidak  menyantap  daging melainkan  sayur-sayuran  saja.  Kebiasaan  itu  berhasil  dipertahankan  oleh
Novera  tapi  tidak  oleh  ketiga  kembarannya  yang  lain.  Menurut  mereka, tradisi itu tradisi zaman batu.
75
Wujud kebudayaan cap go ini adalah sebagai berikut. 1
Tataran  ide,  puasa  makan  daging  tiap  cap  go  dan  ce  it  mengandung filosofi: setiap mahluk berhak hidup  bahagia.  Begitu juga dengan hewan,
mereka  pun  berhak  hidup  dengan  bahagia  di  dunia  ini.  Memakan  daging sama artinya dengan merampas hak hidup bahagia para hewan. Untuk itu,
terciptalah larangan makan daging tiap cap go dan ce it. Setiap mahluk di bumi ini harus saling menghormati.
2 Tataran  aktivitas.  Para  penganut  Tri  Dharma  dianjurkan  untuk  puasa
daging tiap cap go dan ce it. Sebagian dari mereka masih memegang teguh tradisi  ini.  Bahkan  tidak  hanya  penganut  Tri  Dharma  saja  yang
menjalankan  tradisi  tidak  makan  daging  ini,  etnis  Tionghoa  yang  bukan penganut Tri Dharma pun beberapa ada yang tetap menjalankan tradisi ini.
c. Feng Shui
Feng  shui  adalah  seni  memanfaatkan  air  dan  angin.  Feng  shui  juga mengemukakan tentang menangkap napas kosmis naga yang vital atau
Ch’i, yaitu tenaga  yang  beredar  dan  bergerak  di  dalam  lingkungan.  Di  dalam  rumah  dan  di
luar rumah, di tanah, di air, di pegunungan.
76
Dorothy Perkins dalam Danandjaja berpendapat, arti harfiah dari feng shui adalah  “angin  dan  air”;  suatu  sistem  ramalan  mengenai  letak  tempat  di
75
Ibid., h. 155 –157.
76
Lilian Too, Penerapan Feng Shui, Pa Kua, dan Lo Shu.Jakarta. Elexmedia Computindo.2002.
lingkungannya  geomancy  berasal  dari  Tiongkok  dari  masa  sekitar  abad  ke-10 SM. Feng shui sampai kini masih umum dipraktikkan oleh orang Tionghoa untuk
mendatangkan  keberuntungan  serta  mengusir  pengaruh  buruk,  dengan  cara menempatkan  letak  makam,  bangunan-bangunan,  dan  perabot  rumah  tangga
dalam posisi yang sesuai harmoni dengan dunia alamiah dan dunia spiritual.
77
Para  pakar  feng  shui  mengembangkan  prinsip-prinsip  dengan  mengkaji gerak  planet-planet  dan  bintang-bintang,  serta  hubungannya  dengan  bumi,
magnetik  bumi,  serta  letak  topografi  dan  keseimbangan  dari  elemen-elemen  yin dan  yang.  Gerak  mengalir  dari  alam  semesta  dilambangkan  dengan  delapan
trigram pa kua, dan prinsip yin dan yang membentuk teks dasar klasik dari buku tentang perubahan Yijing atau I Ching.
78
Dalam kehidupan sehari-hari, orang-orang Tionghoa selalu menggunakan feng shui. Membuat rumah pakai feng shui. Melaksanakan kegiatan apa pun harus
disesuaikan  dengan  feng  shui,  dihitung  atau  ditimbang  baik  buruknya.  Jika  ada keluarga  yang  ditimpa  musibah,  selalu  dikaitkan  dengan  feng  shui.  Anak-anak
Nung Atasana masih memegang teguh soal feng shui terlihat dalam teks berikut. “Ini bukan budaya patriarki. Ini budaya Cina. Anak-anak keturunan
Cina diwajibkan menghormati ibu bapaknya. Artinya, aku harus membuat papaku tenang dan senang. Itu kewajibanku yang diajarkan mamaku. Aku
tidak boleh menyia-nyiakan papaku. Feng shui jelek, karma buruk.”
79
Nung Atasana
sebelum memiliki
anak juga
memperaktikkan kepercayaannya terhadap feng shui. Dengan menuruti feng shui, ia yakin akan ada
perubahan dalam hidupnya. Nung sangat menginginkan seorang anak, ia berusaha keras  untuk  itu.  Ia  menuruti  nasihat  feng  shui  yang  mengatakan  bahwa  dengan
menggantung  gambar  anak-anak  ia  akan  mendapat  energi  positif  yang  akan membuatnya  memiliki  keturunan.  Feng  shui  melekat  erat  dalam  nadi  kehidupan
orang-orang Tionghoa. Hal ini terlihat pada teks berikut.
77
Danandjaja, Op. Cit h. 472.
78
Ibid. h. 472.
79
Clara Ng, Op. cit., h. 193.