Etnis Tionghoa Era Soeharto Orde Baru
                                                                                sampai saat ini tidak pernah kembali. Krisis  moneter  yang  terjadi  di  Thailand  dan  kemudian  merembet  ke
negara  tetangga  seperti  Malaysia  dan  Korea  Selatan  juga  Indonesia.  Nilai  tukar rupiah terhadap dolar anjlok, dari Rp2.500 per dollar US menjadi Rp16.500 per
dollar US. Terjadi  kepanikan  di  tengah-tengah  masyarakat.  Para  pemegang  dana  di
bank  ramai-ramai  melakukan  penarikan  dananya  serentak  di  seluruh  Indonesia. Masyarakat  tidak  percaya  lagi  pada  rupiah  dan  ramai-ramai  membeli  dollar.
Untuk mengatasi situasi ini pemerintah mengeluarkan kebijakan BLBI Bantuan Likuiditas  Bank  Indonesia  senilai  ratusan  triliun  rupiah.  Namun,  pada
prakteknya  bank  penerima  bantuan  BLBI  ini  menyelewengkan  dana  bantuan. Indonesia  berada  di  puncak  krisisis  yang  memicu  aksi  demonstrasi  mahasiswa
besar-besaran menuntut lengsernya Soeharto. Pada 12 Mei 1998, sejumlah mahasiswa Trisakti yang sedang melakukan
demonstrasi  di  halaman  kampusnya  ditembaki  oleh  oknum  militer  yang mengepung  kampus  tersebut.  Empat  orang  mahasiswa  menjadi  korban  yaitu
Elang Mulya Lesmana, Herry hartanto, Hafidain Royan, dan Hendrawan Sie. Tewasnya  sejumlah  mahasiswa  Trisakti  tersebut  telah  menyulut
kemarahan  seluruh  lapisan  masyarakat  Indonesia.  Pada  13  Mei  terjadi  aksi mahasiswa  di  halaman  kampus  Trisakti  untuk  memprotes  kelaliman  penguasa
yang telah menembaki sejumlah mahasiswa yang tidak bersenjata. Ternyata  aksi  tersebut  ditunggangi  oleh  provokator  yang  kemudian
berubah  menjadi  isu  anti-Tionghoa  dan  meluas  ke  seluruh  Jakarta,  Tangerang, Bekasi.  Ribuan  toko  dan  rumah  etnis  Tionghoa  dijarah  kemudian  dibakar.
Kendaraan  seperti  mobil  dan  motor  pun  tidak  luput  dari  amukan  masa.  Hampir seluruh mal dan department store dijarah oleh massa yang terprovokatori. Rakyat
kecil  digiring  untuk  menjarah  mal  kemudian  mal  tersebut  dibakar  oleh provokator. Ribuan orang terpanggang hidup-hidup di dalam mal. Suasana begitu
mencekam. Asap mengepul dari rumah-rumah, dan toko-toko etnis Tionghoa di daerah Glodok dan di seluruh Jakarta.
Gerakan  anti-Tionghoa  seolah  mengesahkan  para  oknum  tidak
bertanggung  jawab  untuk  melakukan  aksi  semena-mena.  Hal  yang  paling menyedihkan  adalah  perkosaan  massal  terhadap  etnis  Tionghoa  yang  dilakukan
secara  brutal.  Akibat  kerusuhan  tersebut  terjadi  eksodus  besar-besaran  etnis Tionghoa ke luar negeri.
Diperkirakan ribuan orang tewas dalam kerusuhan tersebut. Berbagai aksi penjarahan  dan  pemerkosaan  berlangsung  selama  tiga  hari  berturut-turut,  pada
13,14,15 Mei 1998. Ironisnya sikap pihak keamanan seolah bungkam, diam dan tidak bertindak apa pun atas peristiwa luar biasa ini.
Fakta  terjadinya  perkosaan  massal  terhadap  etnis  Tionghoa  terungkap setelah  adanya  investigasi  yang  dilakukan  tim  relawan  kemanusiaan  di  bawah
pimpinan Romo Sandyiawan dan pernyataan serta gugatan yang dilakukan Ester Indahyani  Jusuf,  S.H.
51
Seno  Gumira  dalam  cerpennya  yang  berjudul  Clara Atawa  Perempuan  yang  Diperkosa  juga  mengisahkan  korban  perkosaan  tragedi
98. Namun, sampai saat ini kasus pelanggaran HAM berat tersebut tidak pernah sampai  dalam  ranah  hukum.  Tidak  ada  hukuman  kepada  para  pemerkosa  dan
pembunuh  etnis  Tionghoa  pada  kerusuhan  Mei  98.  Peristiwa  ini  menunjukkan betapa perlakuan rasialis dan diskriminatif masih subur terhadap etnis Tionghoa
bahkan di era modern sekalipun. Thung  Ju  Lan  dalam  bukunya  yang  dieditori  bersama  I.  Wibowo  coba
menjelaskan posisi etnis Tionghoa pascaperistiwa Mei 1998, dari objek menjadi subjek. Masalah etnis Tionghoa bukan lagi sekadar sentimen anti-Tionghoa yang
muncul  dalam  bentuk  kekerasan  pada  waktu-waktu  tertentu,  sebagaimana  yang terjadi  dalam  peristiwa  Malari  1974,  kerusuhan  1980,  dan  seterusnya.  Ada  hal
yang lebih mendasar  yang harus diselesaikan,  atau pilihan lainnya  adalah orang Tionghoa meninggalkan Indonesia dan mencari tempat yang aman.
Pada  waktu  itu  banyak  orang  Tionghoa  yang  kaya  memilih  untuk meninggalkan  Indonesia.  Kenyataannya  tidak  semua  orang  Tionghoa
meninggalkan  Indonesia,  pun  mereka  yang  sudah  pergi  ke  luar  negeri  merasa melarikan  diri  bukan  lah  jalan  keluar  dari  persoalan.  Dengan  kata  lain,  warga
Tionghoa  sekarang  mencoba  menjadi “subjek”  yang  memilih  dan  memutuskan
51
Setiono, op. cit. h. 1084.
sendiri  apa  yang  akan  mereka  lakukan  untuk  mengubah  kedudukan  atau  posisi mereka sebagai kelompok minoritas yang selama ini marjinal atau dimarjinalkan.
Upaya  yang  mereka  kemudian  lakukan  adalah  mencoba  mengubah kebijakan pemerintah yang diskriminatif melalui pendekatan-pendekatan politik,
baik  oleh  individu-individu  tertentu  maupun  oleh  perkumpulan-perkumpulan etnis  Tionghoa  yang  bertumbuh  setelah  peristiwa  Mei  98,  seperti  Perhimpunan
Indonesia  Tionghoa  INTI  dan  Paguyuban  Sosial  Marga  Tionghoa  Indonesia PSMTI.  Dicabutnya  Intruksi  Presiden  Nomor  14  Tahin  1967  tentang
Pelarangan  Ekspresi  Kebudayaan  China  di  Ruang  Publik  oleh  Keputusan Presiden  nomer  6  tahun  2000  oleh  Presiden  Abdurrahman  Wahid,  serta
dikeluarkannya  UU  Kewarganegaraan  Indonesia  Nomor  12  Tahun  2006,  yang menurut  Presiden  Susilo  Bambang  Yudhoyono  menempatkan  warga  Tionghoa
dalam  persamaan  dan  kesetaraan  dengan  warga  negara  yang  lain  dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kebebasan yang mereka rasakan, antara lain
perayaan Tahun Baru Imlek yang sudah diresmikan pemerintah sebagai hari libur nasional.
Hubungan warga Tionghoa dengan warga Indonesia dianggap sudah lebih terbuka  sehingga  banyak  warga  Tionghoa  yang  optimis  bahwa  situasi  yang  ada
sudah  berubah  dan  bahwa  kesempatan  warga  Tionghoa  untuk  terlibat  secara politis  juga  sudah  terbuka.  Akan  tetapi,  peraturan  diskriminatif  masih  kerap
terjadi.  Contohnya  peristiwa  Pontianak  pada  acara  Imlek  Tahun  2008.  Saat  itu walikota  Pontianak  mengeluarkan  surat  keputusnan  Nomor  127  Tahun  2008
tentang  pelaksanaan  prosesi  naga  yang  dibatasi  hanya  di  Stadion  Syarif Abdurrahman.
Pada era reformasi dan demokrasi ini, geliat etnis Tionghoa mulai terasa. Buku-buku Tionghoa yang pada mulanya dilarang terbit atau dibatasi kini sudah
dengan  bebas  ditulis  dan  diperjualbelikan  secara  terbuka.  Penerbit  papan  atas seperti  Gramedia  kerap  menerbitkan  buku-buku  tentang  etnis  Tionghoa.
Contohnya adalah buku berjudul Tepi Air Shuihu Zhuan yang berisi kisah 108 pendekar, diterbitkan pada 2009 oleh Kepustakaan Populer Gramedia. Buku lain
yang  diterbitkan  adalah  1421  Saat  Cina  Menemukan  Dunia  diterbitkan  oleh
                                            
                