Kondisi Ekonomi Keluarga ANALISIS DATA

112

5.3. Kondisi Ekonomi Keluarga

Sebelum kita sampai pada kajian strategi keluarga dalam menghadapi kesulitan ekonomi, tentu kita perlu mengatahui kondisi sosial ekonomi keluarga responden. Hal ini sangat perlu bagi kita karena bagaimana pun juga, strategi yang diterapkan keluarga dalam menghadapi kesulitan ekonomi tentu beranjak dari kondisi ekonomi keluarga. Adapun kondisi sosial ekonomi keluarga di sini meliputi berbagai aspek, seperti pekerjaan, pendapatan, distribusi anggota keluarga yang ikut bekerja, status kepemilikan rumah yang ditempati, kondisi atau kategori rumah yang ditempati, dan kemampuan pemenuhan kebutuhan keluarga berdasarkan pendapatan keluarga menurut persepsi keluarga. Sesuai dengan sistematika unsur sosial ekonomi keluarga yang dimaksud dalam penelitian ini, maka analisis pertama kita tujukan pada aspek pekerjaan ayah dalam keluarga. Pada tabel 5.8 berikut ini akan disajikan distribusi atau gambaran pekerjaan ayah dari keluarga sampel. 113 Tabel 5.8 Distribusi Ayah dalam Keluarga Berdasarkan Pekerjaan No Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase 1 2 3 4 5 Pegawai Swasta Berdagangjualan Buruh bangunan Petani Serabutan 6 14 18 6 9 11,32 26,42 33,96 11,32 16,98 Jumlah 53 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Seperti kita ketahui sebelumnya bahwa dari 68 keluarga sampel, ternyata yang memiliki ayah adalah 53 keluarga. Sebaran data pada tabel 5.8 menunjukkan bahwa pada umumnya ayah bekerja pada sektor informal. Hanya 6 atau 11,32 yang beraktivitas pada sektor formal, dalam hal ini berstatus sebagai pegawai swasta. Adapun jumlah yang paling banyak adalah buruh bangunan, yang mencapai 18 orang atau 33,96. Jumlah ini diikuti oleh mereka yang berdagang atau berjualan kecil- kecilan, yang mencapai 14 orang atau 26,42. Bahkan ada di antaranya yang melakukan aktivitas di sektor pertanian, yang mencapai 6 orang atau 11,32. Rendahnya sosial ekonomi dan keterampilan ayah dalam keluarga sample juga ditunjukkan bahwa terdapat 9 orang atau 16,98 yang bekerja secara serabutan atau tidak memiliki pekerjaan menetap. Ayah merupakan kepala keluarga yang menjadi pihak paling bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan. Pada tabel 5.9 berikut ini disajikan data tentang pendapatan ayah dari keluarga sampel. Tabel 5.9 114 Distribusi Pendapatan Rata-rata Ayah Perbulan No Rata-rata Pendapatan Rp Frekuensi Persentase 1 2 3 500.000 500.000 – 750.000 750.000 – 1.000.000 9 39 5 16,98 73,59 9,43 Jumlah 53 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Jenis pekerjaan tentu sangat berkaitan dengan pendapatan, karena jenis pekerjaan tersebut biasanya mengambarkan keterampilan yang dimiliki. Analisis tentang pekerjaan ayah yang telah dilakukan tentu menjadikan kita memahami sedikit banyak perihal keterampilan ayah yang sekaligus sebagai kepala keluarga. Sebaran data tentang pendapatan rata-rata ayah setiap bulannya yang disajikan pada tabel 5.9 menunjukkan bahwa pada umumnya atau sebanyak 39 ayah atau 73,59 ayah yang sekaligus kepala keluarga memiliki pendapatan rata-rata per bulan hanya berkisar Rp. 500.000 – Rp. 750.000. Bahkan terdapat 9 atau 16,98 ayah dalam keluarga berpendapatan rata-rata Rp. 500.000. Sementara ayah yang berpendapatan rata-rata Rp.750.000 – Rp. 1.000.000 hanya 5 orang atau 9,43. Keadaan pendapatan ayah sebagai kepala keluarga sampel sangat memprihatinkan, dalam arti tidak mampu memenuhi kebutuhan keluarga secara layak sebagaimana wajarnya taraf kehidupan manusia. Walaupun ayah menjadi pihak paling bertanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan keluarga, namun pihak lain seperti ibu tentu diharapkan juga ikut serta dalam rangka upaya pemenuhan kebutuhan keluarga. Pada tabel 5.10 berikut ini diuraikan data tentang distribusi pekerjaan ibu dalam keluarga sampel. Tabel 5.10 115 Distribusi Pekerjaan Ibu dalam Keluarga No Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase 1 2 3 4 5 6 Pegawai Swasta Berdagangjualan PRTTukang Cuci-setrika Petani Ibu Rumah Tangga Serabutan 2 15 20 5 16 4 3,23 24,19 32,26 8,06 25,81 6,45 Jumlah 62 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Berdasarkan sebaran data yang disajikan pada tabel 5.4 sebelumnya telah diketahui, bahwa terdapat 6 orang responden yang berstatus duda. Hal ini berarti dari 68 keluarga sample, terdapat 6 keluarga yang tidak memiliki ibu. Dengan demikian jumlah keluarga sample yang memiliki ibu adalah 62 keluarga. Sebaran data yang disajikan pada tabel 5.10 menunjukkan bahwa tidak ada satu pekerjaan yang bersifat mayoritas yang dilakokan oleh ibu dalam keluarga sampel. Namun jenis pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh ibu dalam keluarga sample adalah PRTTukang Cuci-setrika yakni mencapai 20 orang atau 32,26. Jumlah ini diikuti oleh ibu yang tidak melakukan pekerjaan, dalam arti hanya berstatus sebagai ibu rumah tangga yang jumlahnya cukup banyak yakni 16 orang atau 25,81. Pekerjaan lain yang dilakukan oleh ibu adalah berdagang atau berjualan kecil-kecilan yang dilakoni oleh 15 orang atau 24,19. Hal yang menarik adalah, bahwa masih ada ibu rumah tangga yang bekerja sebagai petani, yang memanfaatkan lahan kosong, yang dilakoni oleh 5 orang atau 8,06 ibu. Hal yang cukup memprihatinkan adalah bahwa hanya ada 2 orang atau 3,23 ibu dalam keluarga yang bekerja pada sector formal, berupa 116 pegawai swasta. Sedangkan yang bekerja secara serabutan atau tidak menentu adalah sebanyak 4 orang atau 6,45. Berdasarkan sebaran data tentang jenis pekerjaan ibu tersebut dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh pekerjaan yang dilakokan ibu tidak menuntut keterampilan atau keilmuan tertentu. Erat kaitannya dengan keikutsertaan ibu dalam bekerja serta jenis pekerjaan ibu, tentu sangat perlu kita ketahui distribusi pendapatan Ibu sebagai gambaran kontribusinya dalam ekonomi keluarga, yang datanya disajikan pada tabel 5.11 berikut ini. Tabel 5.11 Distribusi Pendapatan Rata-rata Ibu Perbulan No Rata-rata Pendapatan Rp Frekuensi Persentase 1 2 3 500.000 500.000 – 750.000 750.000 – 1.000.000 44 16 2 70,97 25,80 3,23 Jumlah 62 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Selaras dengan jenis pekerjaan yang telah dikaji sebelumnya, maka distribusi pendapatan ibu dalam keluarga pun sangat rendah. Sebaran data yang disajikan pada tabel 5.11 menunjukkan bahwa mayoritas ibu, yakni berjumlah 44 orang atau 70,97 ternyata hanya berpendapatan rata-rata Rp. 500.000 per bulan. Jumlah ini diikuti oleh kelompok ibu yang berpendapatan rata-rata perbulan Rp. 500.000 – 750.000, yakni sebanyak 16 orang atau 25,80. Sedangkan yang berpendapatan Rp. 117 750.000 – Rp. 1.000.000 hanya 2 orang atau 3,23. Dengan hanya 2 orang ibu yang berpendapaan rata-rata Rp. 750.000 – Rp. 1.000.000, sedangkan berdasarkan tabel 5.4 diketahui bahwa terdapat 12 orang ibu yan berstatus janda, maka pendapatan keluarga sample dapat dikategorikan sangat minim dan tidak dapat memenuhi kebutuhan secara wajar sebagaimana layaknya manusia. Kondisi sosial ekonomi seperti ini tentu sangat mengkhawatirkan terutama dalam masa dimana terjadinya inflasi yang cukup signifikan pada barang-barang yang tergolong menjadi kebutuhan pokok. Keikutsertaan ayah dan ibu dalam bekerja belum tentu menjadikan keluarga itu mampu memenuhi kebutuhannya. Terlebih jika dalam keluarga itu dalam kondisi orangtua tunggal, baik ayah maupun ibu. Oleh karena itu diperlukan partisipasi angota keluarga lainnya yaitu anak dalam sosial ekonomi keluarga. Pada tabel 5.12 berikut diuraikan data tentang adatidaknya anggota keluarga lain di luar ayah dan ibu yang ikut bekerja. Tabel 5.12 Adatidaknya Anggota Keluarga Lain yang Bekerja Di Luar Ayah dan Ibu No Kategori Jawaban Frekuensi Persentase 1 2 Ada Tidak ada 31 37 45,59 54,41 Jumlah 68 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Berdasarkan sebaran data pada tabel 5.12 dapat diketahui bahwa sebanyak 37 atau 54,41 keluarga sampel menyertakan anggota keluarga lain di luar ayah dan ibu, yakni anak dalam bekerja. Sedangkan keluarga sampel dimana yang bekerja 118 hanya ayah danatau ibu sebanyak 31 atau 45,59. Kedua kondisi keluarga ini tidak berbeda jauh. Dalam kondisi dimana pendapatan ayah danatau ibu dalam keluarga tergolong kecil, tentu keterlibatan anggota keluarga lain yang biasanya adalah anak dalam ekonomi keluarga tentu sangat dibutuhkan. Pemahaman lebih dalam tentang keterlibatan anak dalam ekonomi keluarga antara lain memerlukan informasi tentang jumlah anggota keluarga di luar ayah dan ibu yang terlibat bekerja. Data tentang jumlah anggota keluarga di luar ayah dan ibu yang bekerja disajikan pada tabel 5.13 berikut ini. Tabel 5.13 Jumlah Anggota Keluarga Lain yang Bekerja Di Luar Ayah dan Ibu Yang Ikut Bekerja No Jumlah yang Terlibat Frekuensi Persentase 1 2 3 1 orang 2 orang 3 orang 21 9 1 67,74 29,03 3,23 Jumlah 31 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Berdasarkan sebaran data yang terdapat pada tabel 5.13 dapat diketahui bahwa mayoritas keluarga responden, yakni sebanyak 21 atau 67,74 keluarga sampel yang menyertakan anggota keluarga lain di luar ayah dan ibu hanya mempekerjakan anak 1 orang. Diikuti oleh keluarga yang melibatkan 2 orang anak bekerja yakni 9 keluarga atau 29,03. Sedangkan keluarga yang mempekerjakan anak sebanyak 3 119 orang hanya 1 keluarga atau 3,23. Dengan demikian secara umum dapat dikemukakan bahwa penglibatan anak dalam bekerja tidak terlalu dominant, baik dari segi jumlah keluarga yang melibatkan maupun dari segi jumlah anak yang dilibatkan. Setidaknya ada tiga aspek penting dalam keikusertaan anggota keluarga lain di luar ayah dan ibu dalam bekerja, yaitu pendidikan, jenis pekerjaan dan pendapatan. Informasi tentang ketiga unsur tersebut dari anak 1 yang terlibat bekerja diuraikan pada tabel 5.14 berikut: Tabel 5.14 Gambaran Pendidikan, Jenis Pekerjaan, dan Rata-rata Pendapatan Anak 1 yang Bekerja No Jumlah dan Persentase Pendidikan Jenis Pekerjaan Rata-rata PendapatanBulan Rp 1 2 3 Tamat SD 8 25,81 Tamat SLTP 18 58,06 Tamat SLTA 5 16,13 Pegawai Swasta 7 22,58 Jualan Asongan 7 22,58 BuruhSerabutan 17 54,84 500.000 25 80,64 500.000 – 750.000 5 16,13 750.000 – 1.000.000 1 3,23 Jumlah 31 100,00 31 100,00 31 100,00 Sumber: Data Primer 2010 120 Berdasarkan sebaran data yang terdapat pada tabel 5.14 dapat diketahui bahwa dari segi pendidikan anak ke-1 yang terlibat dalam bekerja, ternyata mayoritas dari mereka, yakni berjumlah 18 orang atau 58,06 adalah Tamat SLTP. Jumlah yang cukup signifikan adalah anak yang bekerja dengan tingkat pendidikan berupa Tamat SD yang mencapai 8 orang atau 25,81. Sementara anak yang terlibat dalam bekerja yang berpendidikan Tamat SLTA hanya 5 orang atau 16,13. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan anak yang terlibat dalam bekerja secara umum sangat rendah. Selanjutnya sebaran data yang berkenaan dengan jenis pekerjaan yang dilakoni anak ke-1 sebagamana disajikan pada tabel 5.14 menunjukkan bahwa mayoritas dari mereka yakni berjumlah 17 orang atau 54,84 adalah bekerja sebagai buruh dan sifatnya tidak menetap, dalam arti mereka bekerja secara serabutan. Sedangkan mereka yang bekerja sebagai pegawai swasta dan berjualan asongan memiliki jumlah dan persentase yang sama yakni 7 orang atau 22,58. Dengan jenis pekerjaan yang demikian tentu sangat kecil peluangnya untuk memperoleh pendapatan yang banyak. Selaras dengan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan anak ke-1 yang terlibat dalam bekerja, maka sebaran data tentang pendapatan rata-rata anak setiap bulannya sebagaimana disajikan pada tabel 5.14 menunjukkan bahwa mayoritas anak yang bekerja atau sebanyak 25 orang atau 80,64 hanya berpendapatan rata-rata Rp. 500.000 perbulan. Sedangkan anak yang berpendapatan rata-rata perbulan sebesar Rp.500.000 – Rp. 750.000 adalah sebanyak 5 orang atau 16,13. Selanjutnya diketahui bahwa hanya 1 orang 3,23 yang berpendapatan rata-rata Rp. 750.000 – Rp. 1.000.000. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa kontribusi anak ke-1 yang ikut bekerja dalam ekonomi keluarga cukup kecil. 121 Seperti kita ketahui, ada keluarga memiliki yang anaknya bekerja lebih dari satu orang. Pada tabel 5.15 b erikut diuraikan data pendidikan, jenis pekerjaan, dan pendapatan dari anak ke-2 yang bekerja. Tabel 5.15 Gambaran Pendidikan, Pekerjaan, dan Rata-rata Pendapatan Anak 2 yang Bekerja No Jumlah dan Persentase Pendidikan Pekerjaan Rata-rata PendapatanBulan Rp 1 2 3 Tamat SD 6 60,00 Tamat SLTP 2 20,00 Tamat SLTA 2 20,00 Pegawai Swasta 1 10,00 Jualan Asongan 4 40,00 BuruhSerabutan 5 50,00 500.000 7 70,00 500.000 – 750.000 3 30,00 Jumlah 10 100,00 10 100,00 10 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Berdasarkan sebaran data yang terdapat pada tabel 5.15 dapat diketahui bahwa dari segi pendidikan anak ke-2 yang terlibat dalam bekerja, ternyata mayoritas dari mereka, yakni berjumlah 6 orang atau 60,00 adalah Tamat SD. Sedangkan anak yang bekerja dengan tingkat pendidikan berupa Tamat SLTP dan SLTP masing- 122 masing 2 orang atau 20,00. Dengan demikian tingkat pendidikan dari anak yang terlibat dalam bekerja tergolong sangat rendah, bahkan lebih rendah dari anak ke-1 yang terlibat dalam bekerja. Selanjutnya sebaran data yang berkenaan dengan jenis pekerjaan yang dilakoni anak sebagamana disajikan pada tabel 5.15 menunjukkan sebanyak 5 orang atau 50,00 anak ke-2 yang ikut bekerja ternyata melakoni pekerjaa sebagai ebagai buruh dan sifatnya tidak menetap, dalam arti mereka bekerja secara serabutan. Jumlah yang hampir sama adalah anak ke-2 yang bekerja dengan berjualan asongan memiliki dengan jumlah 4 orang atau 40.00. Hanya satu orang atau 10,00 dari mereka yang bekerja sebagai pegawai swasta. Selaras dengan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan anak ke-2 yang terlibat dalam bekerja, maka sebaran data tentang pendapatan rata-rata anak setiap bulannya sebagaimana disajikan pada tabel 5.15 menunjukkan bahwa tidak seorang pun dari mereka berpendapatan rata-rata Rp. 750.000 – Rp. 1.000.000 perbulan. Lebih memprihatinkan lagi adalah bahwa mayoritas dari mereka 7 orang atau 70,00 berpendapatan rata-rata perbulan hanya Rp. 500.000. Sedangkan anak ke- 2 yang ikut bekerja yang berpendapatan rata-rata Rp 500.000 – Rp. 750.000 per bulan hanya 3 orang atau 30,00. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa kontribusi anak 2 yang ikut bekerja dalam ekonomi keluarga sangat kecil. Seperti diketaui bahwa hanya ada satu keluarga yang mempekerjakan anak sampai 3 orang. Dengan demikian, anak ke-2 yang turut bekerja hanyalah satu orang. Adapun pendidikannya adalah Tamat SD, pekerjaan jualan asongan dengan pendapatan rata-rata Rp. 500.000 per bulan. Rumah atau sering disebut papan merupakan unsure kebutuhan pokok dan penting bagi manusia. Kesempatan memiliki rumah sendiri sangat diidamkan setiap 123 keluarga. Pada tabel 5.16 berikut ini akan disajikan data tentang status kepemilkan rumah yang ditempati keluarga responden. Tabel 5.16 Status Kepemilikan Rumah yang Ditempati No Status Kepemilikan Rumah Frekuensi Persentase 1 2 3 Milik sendiri Kontrak pertahun Kontrak perbulan 12 42 14 17,65 61,76 20,59 Jumlah 68 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Rumah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, terlebih dalam satu keluarga. Sebaran data pada tabel 5.16 menunjukkan bahwa mayoritas yakni 42 atau 61,76 keluarga tidak memiliki rumah sendiri, dalam arti masih mengontrak dengan jangka waktu kontrak satu tahun. Bahkan terdapat 14 atau 20,59 keluarga yang mengonrak rumah dengan jangka waktu bulanan. Sedangkan yang menempati rumah sendiri hanya 12 atau 17,65 keluarga. Kondisi kepemlikan rumah ini tentu sangat memprihatinkan, terlebih meraka sudah banyak yang tergolong berusia yang cukup tua, dalam arti di masa depan sangat kecil peluang untuk memiliki rumah. Dengan demikian terdapat kemungkinan seumur hidup berkeluarga mereka tidak pernah memiliki rumah sendiri. Berdasarkan data yang ada juga dapat ditambahkan bahwa pada umumnya besar biaya kontrak rumah pertahun adalah berkisar antara Rp. 2.000.000 – Rp. 3.500.000. Sedangkan mereka yang mengontrak rumah dengan sistem bulanan tingkat harganya pada umumnya berkisar antara Rp. 200.000 – Rp. 300.000 per bulan. 124 Erat kaitannya dengan status kepemilikan rumah adalah kondisikategori rumah yang ditempati. Data mengenai hal ini diuraikan pada tabel 5.17 berikut: Tabel 5.17 KondisiKategori Rumah yang Ditempati No Kategori Rumah Frekuensi Persentase 1 2 3 Permanen Semi Permanen Sederhanadarurat 14 47 7 20,59 69,12 10,29 Jumlah 68 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Sebaran data yang disajikan Rumah memegang peranan penting dalam kehidupan manusia, terlebih dalam satu keluarga. Sebaran data pada tabel 5.17 menunjukkan bahwa mayoritas yakni 47 atau 69,12 keluarga sampel menempati rumah dengan kondisi semi permanen. Lebih rinci lagi, hanya 14 atau 20,59 keluarga sampel yang menempati rumah dengan kondisi permanen. Bahkan sebanyak 7 atau 10,29 keluarga sampel menempati rumah yang sederhana yang menurut observasi penulis tergolong darurat. Disebut darurat adalah kondisi rumah yang sangat memprihatinkan, seperti ventilasi yang terbuka sehingga nyamuk dengan leluasa keluar masuk rumah, bahkan pintu dan jendelanya dalam kondisi rusak dan sepertinya mau runtuh, kemudian batas antar bagian dalam rumah tidak tersekat dengan baik. Disamping itu, banyak di antaranya berada pada lingkungan kumuh. Dalam kajian tentang kemiskinan ditemukan suatu fakta bahwa ada kalanya kemiskinan itu bersifat subyektif. Artinya, tingkat pemenuhan kebutuhan itu tidak dinilai berdasarkan fakta obyektif, melainkan menurut persepsi orang yang dikaji. 125 Berikut ini diuraikan data tentang persepsi keluarga sampel tentang terpenuhitidaknya kebutuhan keluarga mereka dengan tingkat pendapatan yang ada. Data berkenaan dengan persepsi tentang pemenuhan kebutuhan keluarga dengan pendapatan yang ada disajikan pada tabel 5.18 berikut: Tabel 5.18 Persepsi Keluarga tentang Pemenuhan Kebutuhan Keluarga No Kemampuan Pendapatan Memenuhi Kebutuhan Frekuensi Persentase 1 2 3 Cukup Kurang Sangat kurang 2 42 24 2,94 61,77 35,29 Jumlah 68 100,00 Sumber: Data Primer 2010 Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.18 menunjukkan bahwa mayoritas responden yakni 42 atau 61,77 menyatakan bahwa pendapatan adalah kurang dalam rangka memenuhi kebutuhan keluarga. Bahkan 24 orang atau 35,29 responden menyatakan bahwa pendapatan mereka tergolong sangat kurang dalam rangka pemenuhan kebutuhan keluarga. Hanya 2 orang atau 2,94 responden yang berpendapat bahwa pendapatan keluarga cukup dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Persepsi ini tentu bersifat obyektif. Dalam arti kata, mereka yang merasa bahwa pendapatan yang diperoleh cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga belum tentu jika dianalisis secara obyektif. Di samping itu, mungkin jawaban itu muncul setelah keluarga tersebut melakukan adaptasi dalam konsumsi sebagai salah satu strategi yang diterapkan dalam menghadapi kesulitan ekonomi. 5.3. Strategi Dalam Menghadapi Kesulitan Ekonomi 5.3.1. Strategi Umum