100 ekonomi keluarga. Seharusnya mereka di belajar sekolah, belajar di kursus, atau
bermain di sekitar rumah yang sesungguhnya merupakan hak mereka. Namun demi pemenuhan kebutahan keluarga, sering sekali hak-hak tersebut terabaikan.
5.3.3. Strategi Pengeluaran Strategi Pasif
Adapun strategi keluarga dalam menghadapi kesulitan ekonomi yang berkenaan dengan strategi pengeluaran meliputi kebijakan atau keputusan keluarga
memberhentikan sekolah anak, berupaya memanfaatkan sistem jaringan yang ada berupa upaya mendapatkan akses atas program Pemerintah berupa program raskin,
pola pembelian atau pemenuhan pakaian anggota keluarga, pola pemenuhan susu bagi anggota keluarga, dan yang berkenaan dengan pola makan.
Sebelum kita melakukan kajian strategi pasif yang diterapkan kaum urbanis dalam rangka mempertahankan hidup di kota, terlebih dahulu kita bicara persepsi
tentang perbedaan mendasar antara kondisi yang ada di desa dengan kondisi yang ada di kota dalam kaitannya dengan konsumsi keluarga, dimana datanya disajikan
pada tabel 5.17. Melalui pertanyaan dalam angket yang pengisiannya dipandu langsung oleh
penulis, responden disarankan membuat satu kalimat yang menggambarkan perbedaan kondisi di desa dengan kondisi di kota dalam kaitannya dengan konsumsi.
Memang kalimatnya bersifat variatif, tetapi maknanya dapat dikelompokkan ke dalam 2 jenis sebagaimana disajikan pada tabel 5.17. Mayoritas responden, yakni 30
orang atau 60 menyoroti perbedaan tersebut dari sudut bagaimana cara dalam memperoleh barang kebutuhan, seperti kebutuhan pangan. Mereka menyatakan,
bahwa saat mereka di desa tidak semua yang mereka butuhkan harus dibeli. Ada kalanya tersedia di pekarangan atau kebun mereka sendiri, seperti sayuran, cabe, dan
101 Tabel 5.17
Persepsi Responden tentang Perbedaan Mendasar Antara Kondisi di Desa dengan Kota Berkaitan dengan Konsumsi Keluarga
No Sumber Pendapatan Utama
Frekuensi Persentase
1
2 Di desa banyak kebutuhan pangan yang dapat
dipenuhi tanpa membeli, karena tersedia, baik milik sendiri maupun meminta dari tetangga,
sedangkan di kota semua yang dibutuhkan serba dibeli
Di desa tidak ada unsur gengsi dalam mengkonsumsi atau membeli sesuatu,
sedangkan di kota ada unsur gengsi rasa malu 33
22 60,00
40,00
Jumlah 55
100,00 Sumber: Data Primer 2015
lain-lain. Bahkan terdapat beberapa barang kebutuhan yang bisa diminta dari tetangga tanpa harus membeli. Kondisi di kota sangat berbeda, karena semua yang
mereka butuhkan harus diperoleh dengan cara membeli. Sedangkan 22 orang atau 40 responden menyorotinya secara berbeda, yakni terkait dengan unsur gengsi.
Menurut mereka, hidup di kota ada kalanya menuntut gengsi. Mereka, terutama anak-anak hasil wawancara mereka sering membanding-bandingkan hidup mereka
dengan teman atau tetangga yang memiliki sosial ekonomi yang jauh lebih baik. Akibatnya timbul rasa gengsi atau malu untuk mengkonsumsi sesuatu yang jauh
lebih jelek atau lebih murah dari orang lain. Menurut mereka hal tersebut merupakan masalah tersendiri bagi mereka.
Pangan merupakan kebutuhan pokok masyarakat. Pada tabel 5.17 berikut
102 Tabel 5.18
Adatidaknya Anak dalam Usia Sekolah 6 sd 24 tahun tetapi Tidak Bersekolah No
Kategori Jawaban Frekuensi
Persentase 1
2 Ada
Tidak ada 39
16 72,06
27,94 Jumlah
55 100,00
Sumber: Data Primer 2015
Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.31 menunjukkan bahwa mayoritas keluarga sampel, tegasnya 49 atau 72,06 menyatakan bahwa mereka memiliki anak
usia sekolah tetapi tidak bersekolah. Sedangkan 19 atau 27,94 keluarga responden menyatakan tidak memiliki anak yang tergolong usia sekolah yang tidak bersekolah.
Data ini menggambarkan kepada kita bahwa dari sudut keluarga maka mayoritas keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan pendidikan bagi anak. Sedangkan dari
sudut anak, berarti anak tidak mendapatkan haknya untuk memperoleh pendidikan. Dengan demikian keluarga sebagai unit masyarakat primer ternyata tidak mampu
menjalankan tugas pendidikan bagi anak dalam keluarga tersebut. Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.19 menunjukkan bahwa jumlah anak
yang berada pada usia sekolah tetapi tidak sedang di bangku sekolah angka drop out adalah sebanyak 98 orang Data ini dijumlahkan dari 49 keluarga responden
yang memiliki anak yang dalam usia sekolah tetapi tidak bersekolah sebagaimana disajikan pada tabel 5.32. Data tersebut terdistribusi mulai anak tidak tamat SD
hingga anak hanya tamat SLTA. Data yang paling dominan adalah bahwa anak hanya tamat SLTP dan hanya tamat SLTA dimana kedua kelompok sampel tersebut
memiliki jumlah yang sama yaitu 32 atau 32,65. Selain itu terdapat 14 atau 14,30 anak yang sudah masuk SLTA tetapi tidak sampai tamat. Tipe anak keluarga dari
103 Tabel 5.19
Tingkat Pendidikan Anak Berhenti Sekolah No
Tingkat Pendidikan Frekuensi
Persentase 1
2 3
4 5
6 SD Tidak tamat
SD Tamat SLTP Tidak tamat
SLTP Tamat SLTA Tidak tamat
SLTA Tamat 4
8 8
32 14
32 4,08
8,16 8,16
32,65 14,30
32,65 Jumlah
55 100,00
Sumber: Data Primer 2015 sekolah lainnya adalah tamat SD dan tidak sampai tamat SLTP, dimana keduanya
terjadi pada 8 atau 8,16 anak. Bahkan ada 4 atau 4,08 yang tidak sampai tamat SD. Sebaran data tersebut tentu memiliki implikasi yang cukup signifikan bagi masa
depan anak, karena pendidikan sesungguhnya merupakan infrastruktur bagi masa depan.
Faktor penyebab anak tidak melanjutkan pendidikan mungkin bersifat kompleks. Informasi ini sangat perlu diketahui untuk memastikan sejauh mana
keterkaitan kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh keluarga dengan pendidikan anak. Pada tabel 5.20 berikut akan disajikan data tentang faktor penyebab utama anak
berhenti sekolah.
104 Tabel 5.20
Faktor Penyebab Anak Berhenti Sekolah No
Faktor Penyebab Frekuensi
Persentase 1
2 3
Ketidakmampuan ekonomi Anak tidak mau sekolah
Jawaban 1 dan 2 32
4 12
83,68 4,08
12,24 Jumlah
55 100,00
Sumber: Data Primer 2015 Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.33 menunjukkan bahwa mayoritas,
yaitu 82 orang atau 83,68 anak usia sekolah tetapi tidak bersekolah karena faktor ketidakmampuan ekonomi. Hanya 4 orang atau 4,08 dari mereka yang tidak
sekolah karena memang anak tersebut tidak mau sekolah. Sedangkan 12 orang atau 12,24 anak tidak bersekolah karena disebabkan kedua faktor tersebut, yakni
ketidakmampuan ekonomi dan anak tersebut tidak mau bersekolah. Dengan demikian jika dianalisis secara mendalam dapat diketahui bahwa terdapat 94 orang
atau 95,92 anak pada keluarga responden terpaksa putus sekolah disebabkan oleh ketidakmampuan ekonomi keluarga. Kondisi buruk seperti ini membuktikan bahwa
di negara kita ini belum terdapat sistem jaringan yang terbuka dan dapat diakses yang dikembangkan oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga non pemerintah yang mampu
mencegah anak berhenti sekolah karena ketidakmampuan ekonomi keluarga. Sistem jaringan yang dikembangkan Pemerintah dalam rangka memenuhi
kebutuhan pokok berupa pangan dari masyarakat miskin adalah dengan memberikan beras subsidi kepada Pemerintah. Program tersebut dikenal dengan program raskin
beras untuk keluarga miskin. Pada tabel 5.21 berikut disajikan data tentang
105 berupayatidaknya keluarga sampel mendapat bantuan Pemerintah melalui program
raskin.
Tabel 5.21 Berupaya atau tidak Mendapatkan Bantuan Melalui Program Raskin
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 2
Berupaya Tidak berupaya
49 6
77,06 22,94
Jumlah 55
100,00 Sumber: Data Primer 2015
Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.34 menunjukkan bahwa pada hampir seluruh, tegasnya 66 atau 97,06 keluarga sampel yang berupaya untuk
mendapatkan bantuan Pemerintah dalam bentuk raskin. Hanya 2 atau 2,94 keluarga sampel keluarga yang tidak melakukan upaya yang sama. Beberapa responden
melengkapi alasan mengapa mereka melakukan upaya tersebut. Alasan mayoritas adalah tingkat harga yang jauh lebih rendah. Alasan lain adalah bahwa mereka tidak
terlalu memikirkan kualitas beras yang dikonsumsi, pokoknya ada yang mau dimasak untuk menyambung hidup.
Tabel 5.22 Pernahtidaknya Mendapat Bantuan Pemerintah Melalui Program Raskin
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 2
Pernah Tidak pernah
47 8
85,45 2,94
Jumlah 68
100,00 Sumber: Data Primer 2015
106 Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.22 menunjukkan bahwa jumlah dan
persentase keluarga yang pernah mendapat bantuan Pemerintah melalui raskin sama dengan jumlah dan persentase keluarga yang melakukan upaya untuk
mendapatkannya dan kondisi yang sama terdapat pada jumlah dan persentase keluarga yang tidak melakukan upaya dengan yang tidak pernah memperoleh
bantuan, dimana data tersebut telah disajikan pada tabel 5.22 sebelumnya. Hal ini berarti bahwa semua yang melakukan upaya tersebut berhasil mendapat bantuan
Pemerintah melalui program raskin. Selanjutnya dikaji tentang frekuensi keluarga sampel mendapat bantuan
Pemerintah melalui program raskin, dimana datanya disajikan pada tabel 5.23 berikut:
Tabel 5.23 Frekuensi Mendapat Bantuan Pemerintah Melalui Program Raskin
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 2
3 4
5 1 – 5 kali
6 – 10 kali 11 – 15 kali
16 - 20 kali 20 kali
7 7
17 21
2 17,46
22,22 25,40
31,75 3,17
Jumlah 55
100,00 Sumber: Data Primer 2015
Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.25 menunjukkan tidak adanya kelompok responden yang mayoritas. Kelompok responden yang paling banyak
adalah keluarga yang telah menerima sebanyak 16 – 20 kali beras, yakni oleh 21 atau 31,75 keluarga. Jumlah ini diikuti oleh kelompok responden yang menerima
107 bantuan raskin 11 – 15 kali, yaitu oleh 17 atau 25,40 keluarga. Sedangkan yang
telah menerima bantuan sebanyak 6 – 10 kali terdiri dari 15 atau 22,22 keluarga. Selanjutnya keluarga yang telah menerima bantuan raskin sebanyak 1 – 5 kali adalah
11 atau 17,46 keluarga. Selanjutnya hanya ada 2 atau 3,17 keluarga yang telah menerima bantuan raskin lebih dari 20 kali. Sebaran data tersebut menunjukkan
bahwa mengkonsumsi beras subsidi dari Pemerintah melalui program raskin bagi keluarga sampel sudah tergolong sering.
Erat kaitannya dengan frekuensi mendapat bantuan Pemerintah melalui program raskin adalah kontribusi program raskin dalam keluarga penerima itu
sendiri. Data mengenai kontribusi tersebut disajian pada tabel 5.37 berikut.
Tabel 5.37 Kontribusi Program Raskin dalam Keluarga
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 2
Merasa terbantu, dan cukup berarti Merasa terbantu, tetapi kurang berarti
52 14
78,79 21,21
Jumlah 66
100,00 Sumber: Data Primer 2010
Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.37 menunjukkan bahwa mayoritas, tegasnya 52 atau 78,79 keluarga sampel merasa terbantu dan menurut mereka
bantuan raskin tersebut cukup berarti bagi mereka. Alasan utama mereka adalah bahwa mereka bisa mendapat beras puluhan kg dengan harga jauh di bawah harga
pasar. Biasanya mereka membeli beras hanya berkisar 1 – 3 kg, sehingga mereka senantiasa dihantui masalah tidak adanya pangan di rumah. Selanjutnya 14 atau
108 21,21 keluarga sampel mengaku memang merasa terbantu atas program raskin
tersebut, tetapi bantuan itu menurut mereka kurang berarti. Mereka menginginkan Pemerintah dapat menyediakan raskin sesuai dengan kebutuhan mereka, tidak perlu
dibatasi. Terlebih mereka yang merupakan keluarga besar, pasti jumlah beras yang mereka peroleh melalui program raskin tersebut jauh dari cukup.
Dalam kaitannya dengan pembelian atau pemenuhan kebutuhan akan sandang atau pakaian ternyata seluruh keluarga sampel menyatakan bahwa kesulitan ekonomi
yang mereka hadapi berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan akan sandang atau pakaian. Lalu bagaimana mereka menyiasati masalah tersebut? Pada tabel 5.38
berikut disajikan data tentang strategi keluarga sampel dalam memenuhi kebutuhan akan sandang pakaian.
Tabel 5.38 Strategi Keluarga dalam Memenuhi Kebutuhan akan Sandang Pakaian
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 2
3 4
Jarang beli pakaian baru Jika beli pakaian cenderung pakaian bekas
Jawaban 1 dan 2 Jawaban 1, 2 dan berupaya mendapat pakaian
bekas dari keluarga 20
24 16
8 29,41
35,30 23,53
11,76
Jumlah 68
100,00 Sumber: Data Primer 2010
Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.38 menunjukkan tidak adanya jawaban yang dominan. Sebanyak 24 atau 35,30 keluarga sampel menerapkan
strategi dengan cenderung membeli pakaian bekas. Menurut mereka pakaian bekas
109 cukup berkualitas, walau tidak baru, sedangkan harganya lebih rendah dari pakaian
yang baru. Selanjutnya 20 atau 29,41 keluarga sampel menyatakan bahwa mereka jarang membeli pakaian baru. Artinya, mereka bukan tidak pernah membeli pakaian
baru dan tidak serta merta pakaian bekas menggantikan pakaian baru bagi mereka. Sedangkan 16 atau 23,53 keluarga sampel justru memadukan strategi pertama dan
kedua jarang membeli pakaian baru dan jika membeli pakaian cenderung pakaian bekas. Disamping itu terdapat 8 atau11,76 keluarga sampel yang selain
menerapkan strategi pertama dan kedua juga berupaya mendapat pakaian bekas dari keluarga. Hal ini berarti bahwa keluarga miskin telah menerapkan strategi yang
menurut mereka unggul jika dipandang dari banyak segi. Susu merupakan minuman penting dan sehat bagi keluarga, terutama manusia
yang masih dalam pertumbuhan. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa keseluruhan keluarga sampel menyatakan menyatakan bahwa kesulitan ekonomi
yang mereka hadapi berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan akan susu dalam keluarga mereka. Lalu bagaimana mereka menyiasati masalah tersebut? Pada tabel
5.39 berikut disajikan data tentang strategi keluarga sampel sehubungan dengan pemenuhan kebutuhan untuk mengkonsumsi susu.
Tabel 5.39 Pengaruh Kesulitan Ekonomi dan Strategi Keluarga dalam Memenuhi
Kebutuhan Susu No
Kategori Jawaban Frekuensi
Persentase 1
2 3
Makin jarang minum susu Membeli susu yang lebih murah
Tidak minum susu lagi 14
18 31
20,59 24,47
45,59
110 4
Jawaban 1 dan 2 5
7,35 Jumlah
68 100,00
Sumber: Data Primer 2010
Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.39 menunjukkan bahwa hampir setengah yakni 30 atau 45,59 menyatakan bahwa anggota keluarga mereka tidak
minum susu lagi, dalam arti mereka tidak lagi mengkonsumsi susu. Kondisi seperti ini tentu sangat membahayakan bagi keluarga tersebut. Sedangkan 18 atau 24,47
keluarga sampel masih tetap mengkonsumsi susu dengan cara membeli susu yang lebih murah harganya. Selanjutnya 14 atau 20,59 keluara sampel mengaku makin
jarang minum susu. Sedangkan 5 atau 7,35 keluarga sampel menerapkan strategi pertama dan kedua, yakni makin jarang minum susu dan membeli susu yang lebih
murah. Hal paling utama dari strategi ini adalah bahwa sudah semakin banyak keluarga yang tidak mengkonsumsi susu, sehingga dikhawatirkan akan
mempengaruhi kondisi kesehatan mereka. Kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga miskin ternyata juga berpengaruh
terhadap pola makan keluarga. Kondisi ini terjadi pada seluruh keluarga sampel. Lalu bagaimana keluarga miskin dalam menghadapinya? Data mengenai strategi keluarga
dalam memenuhi kebutuhan makan sehari-hari disajikan pada tabel 5.40 berikut:
Tabel 5.40 Strategi yang Diterapkan dalam Memenuhi Kebutuhan Makan Sehari-hari
No Kategori Jawaban
Frekuensi Persentase
1 2
Membeli beras dan lauk yang paling murah Membeli beras dan lauk yang paling murah dan
55 13
80,88 19,12
111 makan hanya 2 kali dalam sehari
Jumlah 68
100,00 Sumber: Data Primer 2010
Sebaran data yang terdapat pada tabel 5.40 menunjukkan bahwa mayoritas tegasnya 55 atau 80,88 keluarga sampel berupaya memenuhi kebutuhan makan
kelarga tetap normal 3 kali dalam sehari tetapi dengan cara membeli beras dan lauk yang paling murah. Dalam strategi ini juga sudah termasuk dengan cara memperleh
bantuan raskin dari Pemerintah. Sedangkan 13 atau 19,12 keluarga sampel lainnya menerapkan dua strategi sekaligus, yakni membeli beras dan lauk yang paling murah
dan akan hanya 2 kali dalam sehari. Jika kita dalami strategi keluarga dalam memenuhi kebutuhan makan anggota keluarga dapatlah disimpulkan bahwa keluarga
miskin yang menjadi sampel penelitian ini sesungguhnya telah melakukan upaya maksimal yang mungkin mereka dapat lakukan.
112
5.3. Kondisi Ekonomi Keluarga