Sistematika Penulisan DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah

data-data dengan cara membaca karya ilmiah, buku, media masa, jurnal-jurnal, dan menggunakan metode wawancara kepada kepada sumber yang mengerti pembahasan ini . dan sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan sebagai bahan referensi penulis dalam menelaah pembahasan, penulis juga akan ke DPRD untuk mendapatkan data yang akurat mengenai pembahasan tema ini. Jenis penelitian ini adalah menggunakan metode deskriptif-analitik, yaitu suatu pendekatan dengan mendeskripsikan atau mengurai unsur-unsur yang berkaitan dengan tema yang dimaksud serta menganalisanya. Sehingga ada data yang pasti mengenai peraturan daerah maupun refrensi lain, agar diperoleh suatu jawaban yang pasti, Skripsi ini menggunakan analisis kualitatif, karena akan mengolah data, subjektif, melakukan wawancara dan menggunakan sebuah teori. Karena analisis kuantitatif umumnya digunakan untuk membuat angket, objektif, skala dan meninbulkan teori. Secara umum, teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku-buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Skripsi, Tesis, dan Disertasi, yang diterbitkan oleh CEQDA Center For Quality devolopment and Assurance Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Press 2008.

F. Sistematika Penulisan

Skripsi ini disusun menggunakan pembahasan bab per bab. Kemudian dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: Pada bab pertama berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Pada bab kedua akan dibahas tentang DPRD dan Otonomi Daerah, yang berisi pengertian Otonomi Daerah, DPRD Dalam Undang-undang Pemerintahan Daerah, Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah. Pada bab ketiga membahas tentang Gambaran Umum Tentang Kota Bekasi yang membahas, Sejarah Kota Bekasi, Penjelasan Singkat Pemekaran Kota Bekasi Dari Kabupaten Bekasi dan Penjelasan Umum Kota Bekasi . Pada bab keempat penulis mencoba menganalisis mengenai Faktor Yang Melatar Belakangi Peraturan Daerah Kota Bekasi Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Penyusunan Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Sosialisasi Peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik, Peranan DPRD Dalam Pengawasan peraturan Daerah Tentang Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Pada bab kelima akan ditulis Kesimpulan dan Saran. BAB II DPRD DAN OTONOMI DAERAH

A. Pengertian Otonomi Daerah

Perjalanan otonomi daerah di Indonesia merupakan isu menarik untuk diamati dan dikaji, karena semenjak para pendiri negara menyusun format negara, isu menyangkut pemerintahan lokal telah diakomodasika dalam Pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya. Pemerintahan daerah dalam pengaturan Pasal 18 UUD 1945 yang telah diamandemen mengakui adanya keragaman dan hak asal- usul yang merupakan bagian dari sejarah panjang bangsa Indonesia. Meskipun negara Republik Indonesia menganut prinsip negara kesatuan dengan pusat kekuasaan berada pada Pemerintah Pusat namun karena heterogenitas yang dimiliki bangsa indonesia baik kondisi sosial, ekonomi, budaya, maupun keragaman tingkat pendidikan masyarakat, maka otonomi daerah atau desentralisasi yang merupakan distribusi kekuasaankewenangan dari Pemerintah pusat perlu dialirkan kepada daerah yang berotonom. 1 Sejak kemerdekaan hubungan kekuasaan Pemerintah pusat dan daerah selalu berubah, hal ini bisa dilihat dalam bentuk kebijakannya. Pada masa Soekarno pemerintah pusat mulai berusaha untuk mengembangkan otonomi daerah pada tahun 1957 dengan lahirnya UU No. 1 tahun 1957, namun hal ini gagal diterapkan dan menimbulkan kekecewaan pada pemerintah daerah yang menilai sistem pemerintahan yang sentralistis dan tidak memberikan ruang yang memadai terhadap 1 J .Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007, h. 1 otonomi daerah, sampai akhirnya pada masa pemerintahan Soeharto pengaturan politik lokal dibenahi dengan hegemoni yang kuat dari pusat kedaerah. Soeharto mengatur pemerintahan lokal secara detail dan diseragamkan secara nasional. 2 DPRD pada masa Orde Baru seringkali dianggap hanya sebagai “simbol demokrasi”. 3 Penilaian tersebut datang dari kalangan masyarakat yang melihat bahwa fungsi DPRD sebagai lembaga perwakilan tidak teraktualisasikan di dalam praktik politik. Padahal, kulaitas demokrasi sangat ditentukan oleh aktualisasi fungsi-fungsi lembaga perwakilan untuk menjamin hubungan konsultatif antara masyarakat dengan eksekutif dalam merumuskan kebijakan menyangkut kepentingan masyarakat umum. 4 Hubungan konsultatif yang dimaksudkan disini adalah hubungan saling berbagi pendapat dengan cara rasional di dalam proses pembuatan keputusan politik yang menyangkut kepentingan umum. 5 Selama hampir seperempat abad kebijakan otonomi daerah di Indonesia mengacu kepada UU No.5 tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah yang di buat pada masa Soeharto. Akhirnya setelah Soeharto lengser, bergulir era reformasi ada suatu desakan dari kalangan politik lokal agar ada perbaikan hubungan antara Pusat dan daerah. Dan timbul keinginan daerah agar kewenangan pemerintahan dapat didesentralisasikan dari pusat kedaerah. Akhirnya tanggal 7 mei 2 Pratikno, “Pengelolaan Hubungan Pusat dan Daerah” dalam Syamsuddin Haris editor, Desentralisasi dan Otonomi Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah Jakarta:Lipi Press, 2007, h. 31-33 3 Mochammad Nurhasim, ed., Kualitas Keterwakilan Legislatif: Kasus Sumbar, Jateng, Jatim, Jatim dan Sulsel Jakarta: P2P LIPI, 2001, h. 1 4 Priyatmoko, Akuntalisasi Fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah: Kerangka Analisis dan Beberapa Kasus, dalam Miriam Budiarjo dan Ibrahim Ambong, ed., Fungsi Legislatif Dalam Sistem Politik Indonesia Jakarta: Rajawali, 1993, h. 143 5 Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik FISIP Universitas Indonesia Dengan badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era Reformasi Jakarta: Depok, 2003, h. 18 2001 lahirlah UU N0.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan kembali pelaksanaan Otonomi daerah, 6 Jika dimasa lalu kebijakan di tingkat pemerintahan daerah lebih tergantung pada kebijakan pemerintah pusat, atau dominasi pusat heavy excecutive yang menekan dominasi daerah heavy legislatif. Maka dengan adanya UU No.22 Tahun 1999 kewenangan pemerintah daerah menjadi lebih luas dan otonom, dan tidak bergantung pada kebijakan pusat. 7 Menurut E. Erikson dalam Save M. Dagun otonomi secara etimologi diambil dari kata autonomy : yun : autos=sendiri – nomos=hukum terdapat tiga pengertian yaitu: pertama, kemampuan hak manusia untuk mengatur, memerintah dan mengarahkan diri sendiri sesuai kehendaknya tanpa campur tangan orang lain. Kedua, kekuasaan dan wewenang suatu lembaga atau wilayah untuk menjalankan pemerintahan sendiri. Ketiga, keadaan munculnya perasaan bebas-lepas dan kepercayaan diri yang kuat setelah seseorang berhasil melewati rintangan-rintangan masa mudanya. 8 Dalam kamus politik otonomi adalah hak untuk mengatur kepentingan dan urusan internal daerah atau organisasinya menurut hukum sendiri. Otonomi dalam batas tertentu dapat dimiliki oleh wilayah-wilayah dari suatu negara untuk mengatur pemerintahannya sendiri. 9 6 Syaukani, dkk., Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan yogyakarta: pustaka Pelajar,

2003, h. 14

7 Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik Fisip Universitas Indonesia Dengan badan Perencanaan Daerah Provinsi Jakarta, dalam Penelitian Peran Dan Fungsi DPRD Di Era Reformasi Jakarta: Depok, 2003, h. 8 Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara LPKN, 1997, h. 759 9 BN. Marbun, Kamus Politik Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2007, h. 350 Otonomi daerah sendiri adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai perundang-undangan yang berlaku. 10 Otonomi daerah sebagai bentuk desentralisasi pemerintahan ditujukan untuk memenuhi kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka mewujudkan cita- cita masyarakat yang lebih baik, masyarakat yang lebih adil dan makmur, pemberian, pelimpahan dan penyerahan tugas-tugas kepada daerah. M. Turner dan D. Hulme dalam Dede Rosyada berpandangan bahwa yang dimaksud dengan otonomi daerah adalah transfer kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada publik dari seseorang atau agen pemerintah pusat kepada beberapa individu atau agen lain yang lebih dekat kepada publik yang dilayani. Landasan yang menjadi transfer ini adalah teritorial dan fungsional. 11 Pendapat lain di kemukakan oleh Rondinelli yang mendefinisikan otonomi daerah sebagai transfer tanggung jawab dalam perencanaan. Manajemen dan alokasi sumber-sumber dari pemerintah pusat dan agen-agenya kepada unit kementrian pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintah, otoritas pemerintah pusat, unit yang ada dibawah level pemerintahan, otoritas atau korporasi publik semi otonomi, otoritas regional atau fungsional dalam wilayah yang luas, atau lembaga privat non pemeintah dan organisasi nirlaba. 12 10 Save, M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, h. 759 11 Rosyada, dkk., Pendidikan Kewargaan Civic Education Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani, h. 151 12 Ibid., h. 151 Negara Indonesia, sebagai negara kesatuan republik, dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan asas desentralisasi, telah menjadi bahan pembicaraan jauh sebelum proklamasi 17 Agustus 1945, Murtir Jeddawi dalam bukunya mengutip tulisan Mohammad Hatta dalam tulisan ke arah Indonesia merdeka 1933 menyebutkan: “ Oleh karena Indonesia terbagi atas beberapa pulau dan golongan bangsa, mendapat hak menentukan nasib sendiri, asal saja peraturan masing-masing tidak berlawanan dengan dasar-dasar pemerintahan umum” dan ia menegaskan pembentukan pemerintahan daerah pemerintahan yang berotonomi, merupakan salah satu aspek pelaksanaan paham kedaulatan rakyat. 13 Visi otonomi daerah itu sendiri dapat dirumuskan dalam tiga ruang lingkup interaksinya yang utama yaitu: Politik, ekonomi, serta sosial dan budaya. Dalam bidang politik, karena otonomi daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokrasi, maka ia harus dipahami sebagai sebuah proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. Demokratisasi pemerintah juga berarti transparasi kebijakan. Membangun sistem dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif. Juga penguatan DPRD dalam keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah. DPRD juga memiliki hak pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan daerah. Di bidang ekonomi, otonomi daerah harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional didaerah, serta terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi didaerahnya. Dan dalam bidang sosial dan budaya, 13 Murtir Jeddawi, Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Analisis Kewenangan, Kelembagaan, Manajemen Kepegawaian, dan Peraturan Daerah Yogyakarta: Kreasi total Media,

2008, h. 133

otonomi daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial dan pada saat yang sama memelihara nilai-nilai lokal. 14 Dalam Otonomi daerah ada pembagian kekuasaan yang menyangkut urusan pemerintahan pusat dan pemerintah daerah. Dan urusan pusat meliputi: politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter atau fiskal nasional dan agama. Urusan pemerintah Provinsi Dekonsentrasi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas regional lintas kabupatenkota, sedangkan urusan kabupatenkota Desentralisasi berwenang mengatur dan mengurus urusan-urusan pemerintahan dengan eksternalitas lokal dalam suatu kabupatenkota. 15 Pada dasarnya urusan daerah provinsi bersifat atau memiliki dampak dan manfaat lintas kabupaten dan kota dan urusan yang belum mampu dijalankan oleh kabupatenkota. Urusan wajib yang menjadi kewenangan provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi, sementara urusan wajib bagi kabupatenkota merupakan urusan wajib bagi kabupatenkota merupakan skala kabupatenkota. Urusan tersebut berupa perencanaan dan pengendalian pembangunan, perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang, penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat, penyediaan sarana dan prasarana umum, penanganan bidang kesehatan, penyelenggaraan bidang pendidikan khusus provinsi ditambahkan pila urusan alokasi sumber daya manusia potensial, penanggulangan 14 M. Ryaas Rasyid, “Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya” dalam Syamsuddin Haris editor, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah , h.10-11 15 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global , h. 172 masalah sosial, pelayanan bidang ketenaga kerjaan, pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah, pengendalian lingkungan hidup, pelayanan pertahanan, kependudukan, dan catatan sipil, dan urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. 16 Memberi otonomi kepada daerah sama seperti dengan mengizinkan “negara mini”. Rakyat akan membentuk organisasi pemerintahan daerahnya sendiri selaras dengan kondisi daerah setempat. Pemerintahan daerah itu masing-masing akan membuat dan menjalankan kebijakan berdasarkan kehendak masyarakat. Meskipun demikian, kebijakan daerah tersebut tidak boleh bertentangan dengan perundang- undangan negara, dan harus sesuai dengan kewenangan yang diserahkan oleh pemerintah pusat. 17 Otonomi daerah menjadi suatu hal yang sangat penting, bukan semata-mata karena otonomi memberikan kewenangan yang besar kepada daerah, tetapi dengan otonomi, sebuah pembangunan yang lebih terarah dan tepat sasaran akan lebih dimungkinkan. Dan dengan otonomi, pemerintah suatu daerah lebih dapat melaksanakan program ekonomi dan politik yang mandiri sesuai kondisi daerah yang ada didepan mata pemerintah daerah.

B. DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah

Persoalan otonomi daerah telah muncul sejalan dengan lahirnya UUD 1945 yang terwadahi dalam pasal 18 UUD 1945. Beranjak dari pasal tersebut lahir pula 16 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, Cet. 1, h.141-142 17 Djohermansyah Djohan, “Fenomena Etnosentrisme Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah” dalam Syamsuddin Haris, ed., Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 209 berbagai Undang-undang tentang otonomi daerah untuk menjabarkan pasal 18 UUD 1945 tersebut. Kelahiran undang-undang tersebut adalah mengikuti gerak dan tujuan politik dari setiap elit yang menguasai setiap sistem politik. Pada dasarnya Undang-undang otonomi daerah tersebut bermaksud untuk memberikan keleluasan bagi setiap daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari pemikiran akan luas wilayah dan beragamnya budaya dan adat penduduk di kepulauan ini. 18 Dari aspek dasar hukum tata negara, karena UUD RI Tahun 1945 telah mengalami amandemen, khususnya pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan sistem pemerintahan daerah. Maka Undang-undang pemerintahan daerah perlu disesuaikan. Di samping itu perubahan UU No.22 Tahun 1999, didasarkan pada pemikiran bahwa sesuai dengan amanat UUD 1945 hasil amandemen, pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. 19 Dalam penjelasan resmi UUD 1945 yang telah mengalamai perubahan yang cukup mendasar lewat amandemen UUD 1945 1999,2000,2001,2002, 20 akhirnya dalam amandemen terbaru UUD 1945 merumuskan pasal 18A dan Pasal 18B yang berbunyi: a. 1. Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau antara provinsi dan kabupaten dan kota, 18 Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” dalam Syamsuddin Haris editor, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h.243 19 J .Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global Jakarta: PT Rineka Cipta, 2007, h. 22 20 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, h.4 diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah. 2. Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumbee daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang. b. 1. Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang- undang. 2. Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang. Adapun hasil rumusan Amandemen pasal 18 UUD 1945 sudah lebih rinci dan tegas dibanding dengan isi pasal 18 UUD 1945 sebelum diamandemenkan tahun 2000 oleh MPR. Dari isi UUD 1945 tersebut menjadi jelas bahwa pasal 18 UUD 1945 menjadi landasan pembentukan pemerintahan daerah yang akan diatur dengan undang-undang, bahwa daerah-daerah dimaksud akan bersetatus otonom dan akan memiliki DPRD, serta pemerintah daerah. 21 Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Tetapi dalam perkembangannya sejarah ide otonomi daerah mengalami berbagai bentuk 21 Ibid, h. 26-27 kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Hal ini terlihat dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini: B.1. DPRD Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1974 Hadirnya UU No.5 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde Lama yang di pimpin oleh Presiden Soekarno dan digantikan oleh Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden soeharto. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No.18 Tahun 1965 relatif baru diberlakukan. Dan pergolakan politik yang meletus melalui peristiwa G 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia PKI telah menunda berlakunya UU No.18 Tahun 1965 tersebut. Menurut pasal 13 UU No.5 Tahun 1974: “Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian maka dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pembagian yang jelas dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. Akan tetapi DPRD tidak boleh mencampuri urusan eksekutif. Dan dalam Undang-undang ini tidak mengenal lembaga BPH atau DPD. 22 Sifat UU No.5 Tahun 1974 sangat sentralistik hal ini bisa dilihat dari kedudukan Kepala Daerah yang ditentukan oleh pusat tanpa bergantung dari hasil pemilihan oleh DPRD. Kepala Daerah hanya bertanggung jawab kepada pusat dan tidak kepada DPRD. Ia hanya memberikan laporan kepada DPRD dalam tugas 22 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2006, h.76 bidang pemerintahan daerah, Sehingga DPRD tidak mempunyai kekuasaan terhadap Kepala Daerah. 23 B.2. DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Lahirnya gerakan reformasi dengan tuntutan demokratisasi, telah membawa perubahan pada segi kehidupan masyarakat dan termasuk didalamnya perubahan dalam pola hubungan pusat-daerah. Sistem pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia juga memasuki babak baru diera pemerintahan Habibie. Tuntutan dan wacana didaerah bahwa pemerintahan daerah perlu memiliki otonomi yang luas dalam merumuskan, mengelola, dan mengevaluasi kebijakan publik terakomodasi. 24 DPR secara resmi mengesahkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada 21 April 1999, yang mengubah secara drastis UU No.5 Tahun 1974 ketika penyelenggaraan dilakukan secara sentralistis, tawaran otonomi luas dan desentralisasi atau yang dikenal dengan otonomi daerah menjadi penyejuk hampir semua daerah pemberian otonomi ysng luas diyakini mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. 25 Undang-undang ini mencoba untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah, undang-undang otonomi daerah ini bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah agar dapat merealisasikan aspirasinya. Penguatan masyarakat dilihat dengan 23 Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 252 24 L. Misbah Hidayat, Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, h. 39 25 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, h. 140 diberdayakannya DPRD. Dan Gubernur sebagai eksekutif daerah bertanggung jawab kepada DPRD sedangkan BupatiWalikota kepada DPRD KabupatenDPRD Kota. UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sangat strategis. Karena kebijakan desentralisasi dalam undang-undang tersebut merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD, baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, perlu dilakukan. Menurut UU No.22 Tahun 1999, posisi DPRD sejajar dengan pemerintahan daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintaha daerah seperti yang berlaku sebelumnya sesuai UU No.5 Tahun 1974 yang menyatakan DPRD bukan berkedudukan sebagai badan legislatif tetapi bersama dengan kepala daerah merupakan pemerintah daerah local government. 26 Pasal 16 dari UU ini menyatakan bahwa DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan pancasila, DPRD sebagai badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah. Di samping itu kuatnya kedudukan DPRD juga dinyatakan dalam pasal 18 dari UU ini juga dinyatakan beberapa tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya, memilih utusan Daerah, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakilnya oleh DPRD. 27 B.3. DPRD Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 26 Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah Bandung: Humaniora, 2006, h. 117 27 Lihat Penjelasan Pasal-pasal UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah Pada tahun kelima implementasi UU No.22 Tahun 1999 tepatnya tahun 2004 pada masa kepresidenan Megawati, dengan berbagai latar belakang pertimbangan sebagai akibat dari dampak implementasi UU tersebut, muncul kehendak pemerintah untuk mengadakan revisi untuk undang-undang tersebut, yang akhirnya memunculkan undang-undang pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan dalam tataran konsep kurang membagi secara jelas tugas dan kewenangan, hubungan antar strata pemerintah, dan perimbangan keuangan. Pola hubungan DPRD dan Kepala Daerah kurang berlangsung baik karena dalam praktiknya DPRD mendominasi, sehingga memunculkan ketidakstabilan pemerintahaan daerah. 28 Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Kepala daerah dan kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis. Sehingga DPRD sudah tidak memiliki wewenang lagi untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan pemilihan secara demokratis dalam undang-undang ini yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah, dan perangkat daerah. Penyelenggaraan pilkada langsung dilaksanakan oleh komisi 28 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, h. 71 pemilihan umum daerah KPUD, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD setempat. Setipa usulan KPUD harus berdasarkan pengesahan DPRD. 29 Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan, kedudukan setara bermakna sejajar dan tidak saling membawahi. Kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga ini membangun hubungan kerja yang sifatnya mendukung. UU No.32 Tahun 2004 dinilai sebagai Undang-undang yang demokratis karena kepala daerah dan DPRD dipilih langsung oleh rakyat. Dan pembagian wewenang serta tugas tidak saling tumpang tindih satu sama lain, keduanya membangun korelasi kerja yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab untuk membuat kebijakan publik.

C. Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah