pada mulanya adalah badan yang merupakan duplikasi komite nasional pusat untuk daerah-daerah, Komite nasional daerah lalu berubah menjadi badan perwakilan
rakyat daerah BPRD yang menjadi badan legislatif. Maka UU No.22 Tahun 1948 sudah ada pembentukan DPRD dan DPD
untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat dari calon yang diajukan DPRD dan bertindak selaku ketua DPD.
Dan DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri, sehingga posisi kepala daerah
sangat bergantung kepada DPRD. Dalam UU No. 1 Tahun 1957 ditentukan bahwa kepala daerah hanya
bertanggung jawab kepada DPRD.
30
Perubahan mendasar terjadi lagi dengan di Undangkannya UU No.18 Tahun 1965 dibentuk BPH untuk membantu Kepala
daerah dan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Pergantian kepemimpinan nasional dan pemerintahan akibat G-30-S PKI,
mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan UU No. 18 Tahun 1965 dan di gantikan oleh UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah di bawah
pimpinan Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno, BPH dihapuskan didalam pemerintahan daerah, tidak dilaksanakannya hak angket DPRD
yang dapat mengganggu keutuhan Kepala Negara, Kepala Daerah tidak bertanggung jawab kepada DPRD, tetapi secara hierarki kepada Presiden
31
.
30
Oentarto Sindung Mawardi, dkk., Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan,
h.75-81
31
S.H. Sarundajang , Babak Baru Sistem Pemerintahan Daerah Jakarta: Kata Hasta,
2005, h. 118-119
Adanya reformasi 1998 menjadi arus balik kewenangan pusat kepada daerah, tuntutan untuk diterapkannya otonomi daerah yang tidak sentralistis di
tuangkan dalam UU No.22 Tahun 1999 yang menggantikan UU No.5 tahun 1974, undang-undang ini juga menjadi babak baru bagi perjalanan otonomi daerah dan
kepemimpinan Presiden Soeharto yang digantikan Oleh Habibie. UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah telah memberikan peran sentral kepada DPRD
dalam menentukan jalannya pemerintahan daerah ditandai dengan besarnya kewenangan DPRD dalam memilih dan menetapkan Kepala daerah dan
memposisikan Kepala daerah untuk bertanggung jawab kepada DPRD, apa bila tidak bertanggung jawab maka DPRD dapat mengusulkan pemberhentian kepala
daerah yang bersangkutan. UU No.5 Tahun 1974 dinilai gagal dalam mewujudkan hak-hak daerah
dalam mengembangkan daerahnya sendiri, karena masih terkontrol oleh pusat. Salah satu perubahan yang sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan
didaerah berdasarkan UU No.22 Tahun 1999 adalah dipisahkannya secara tegas antara institusi Kepala Daerah dengan DPRD. UU No. 22 tahun 1999 secara tegas
menetapkan bahwa didaerah dibentuk DPRD sebagai lembaga legislatif daerah dan pemerintah daerah sebagai badan eksekutif daerah yang terdiri dari Kepala Daerah
beserta perangkat daerah
32
. Seiring perjalanan otonomi daerah maka UU No. 22 Tahun 1999 di revisi
pada masa pemerintahan Megawati dengan penerapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang ini DPRD tidak mempunyai
32
S.H. Sarundajang, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke Daerah Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2002, Cet.4, h. 7
kekuasaan penuh terhadap Kepala Daerah, karena Kepala Daerah dipilih oleh rakyat lewat pemilu sehingga pertanggungjawabannya langsung kepada rakyat. Pola
hubungan DPRD dan kepala daerah sebagai mitra dan bekerja sama untuk mengembangkan daerah otonomnya sendiri.
Negara Indonesia di bawah pemerintahan orde baru kurang lebih 30 tahun menerapkan pelaksanaan sistem yang sentralistik ini kemudian melakukan
gelombang protes dari tahun 1997 sampai 1998. Banyaknya tuntutan agar ada perbaikan pola hubungan kerja antara pemerintah pusat dan daerah dan memberikan
peran DPRD sebagimana mestinya, akhirnya dikeluarkanlah UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang membuat posisi DPRD kuat sebagai lembaga
legislatif. Penerapan otonomi daerah, sesuai dengan ketetapan MPR No.IVMPR2000
tentang pemerintahan daerah telah dilaksanakan sejak tanggal 1 januari 2001.
33
Pelaksanaan otonomi daerah secara demokratis bisa dilihat dalam pelaksanaan pemilihan umum secara langsung untuk memilih anggota DPRD sebagai lembaga
legislatif, dan pemilihan kepala daerah yang sejak juni 2005 di sebagian negara Indonesia. Pemilihan kepala daerah disinyalir untuk memperkokoh demokrasi dan
sebagai bagian program desentralisasi yang berkesinambungan, yang menjadikan kepala daerah bertanggung jawab kepada pemilihnya langsung bukan kepada
DPRD, seperti yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 yang berpotensi besar untuk memperkuat tata pemerintahan.
33
Mardiyanto, “Penerapan Otonomi Daerah Di Jawa Tengah: Masalah Desentralisasi, Demokratisasi Dan Akuntabilitas” dalam Syamsuddin Haris ed., Desentralisasi dan Otonomi
Daerah, Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h. 317
BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KOTA BEKASI
A. Sejarah Kota Bekasi
Dayeuh Sundasembawa atau Jayagiri. Itulah sebutan Bekasi tempo dulu sebagai ibukota Kerajaan Tarumanagara 358-669 M. Luas kerajaan ini mencakup
wilayah Bekasi, Sunda Kelapa, Depok, Cibinong, Bogor, hingga kewilayah sungai Cimanuk di Indramayu. Menurut para ahli sejarah dan filologi, letak Dayeuh
Sundasembawa atau jayagiri sebagai ibukota Tarumanagara adalah diwilayah Bekasi sekarang.
1
Dayeuh Sundasembawa merupakan daerah asal maharaja Tarusbawa 669- 723 M pendiri Kerajaan Sunda disebut pula Kerajaan Pajajaran yang seterusnya
menurunkan raja-raja sunda sampai generasi ke-40 yaitu Ratu Ragamulya, raja Sunda yang terakhir.
2
Kata Bekasi diduga berasal dari suku kata Chandrabhaga, salah satu suku kata dalam Prasasti Tugu. Dalam bahasa sansakerta Chandra berarti Bulan, dan
Bhaga berarti Bahagia. Menurut Prof. Dr. R. Ng. Poerbatjaraka, seorang pakar bahasa, kata Chandra dalam bahasa Jawa Kuno sama dengan kata Sasi. Sehingga
1
Pemerintah Kota Bekasi, Selayang Pandang Kota Bekasi 2007 Bekasi: Badan Infokom
Kota Bekasi, 2007, h. 8
2
Ibid
Chandrabhaga juga identik dengan Sasibhaga, jika dilafalkan terbalik menjadi bhagasasi, yang lambat laun menjadi Bekasi.
3
Wilayah bekasi tercatat sebagai daerah yang banyak memberi informasi tentang keberadaan Tatar Sunda pada masa lampau. Diantaranya dengan
ditemukannya empat prasasti yang dikenal dengan Prasasti kabantenan. Keempat prasasti ini merupakan keputusan piteket dari Sri Baginda Maharaja Prabu
Siliwangi, Jayadewa 1482-1521 M yang ditulis pada lima lempeng tembaga. Sejak abad kelima masehi pada masa Kerajaan Tarumanagara, abad kedelapan Kerajaan
Galuh, dan Kerajaan Pajajaran pada abad ke-14, Bekasi menjadi wilayah kekuasaan karena merupakan salah satu daerah strategis, yakni penghubung antar daerah ke
Pelabuhan Sunda Kelapa Jakarta. Ketika Belanda datang merebut Jayakarta pada 31 mei 1619 dan nama
jayakarta diubah menjadi Batavia. Bekasi pada zaman Hindia belanda hanya merupakan kewedanaan district yang termasuk dalam regenshaf kabupaten
Meester Cornelis. Saat itu kehidupan sistem kemasyarakatan, khususnya sektor ekonomi dan pertanian didominasi dan dikuasai oleh para tuan tanah keturunan
cina, sehingga dengan kondisi tersebut seolah-olah bekasi mempunyai bentuk pemerintahan ganda yaitu pemerintahan tuan tanah didalam pemerintahan colonial.
Kondisi ini berlangsung hingga kependudukan Jepang.
4
3
Denny Bratha Affandi, Menyusuri Bekasi Raya Jejak Reportase Bekasi: Rinjani Kita,
2009, h. 3
4
Dewan Perwakilan rakyat Daerah Kota Bekasi, Risalah Kota Bekasi , Bekasi: Pemkot
Bekasi, 2009, h. 2