Latar Belakang Masalah DPRD dalam otonomi daerah studi analisis terhadap peranan DPRD kota Bekasi dalam penyusunan dan pengawasan peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan Publik

BAB I PANDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997-1998 telah mengubah sistem kehidupan berbangsa, bernegara serta berpemerintahan. Perubahan sistem in tercermin pada pergantian UU No 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan daerah menjadi UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah membawa perubahan besar dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia. Perubahan ini tampak lebih berorientasi pada penyelenggaraan pemerintahan yang partisipatif dan demokrasi dari pada efisiensi administrasi. Meski UU tersebut telah disempurnakan menjadi UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah, semangat partisipasi masyarakat tetap dipertahankan dengan menekankan perlunya efisiensi dalam penyelenggaraannya. Kini daerah memiliki jumlah dan bobot yang lebih besar dari pada sebelumnya secara politis, dan daerah memiliki kemandirian yang lebih besar dari pada sebelumnya. 1 Lengsernya Soeharto dengan pemerintahan yang sentralis membawa angin segar bagi perbaikan hubungan daerah dan pusat, karena tuntutan akan adanya otonomi daerah dan perbaikan terhadap sistem pemerintahan daerah di hadirkan dalam UU No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Istilah otonomi daerah dan desentralisasi dalam konteks bahasan sistem penyelenggaraan pemerintahan sering digunakan secara campur aduk. Kedua istilah 1 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah Malang,Jawa Timur: BayuMedia,2006, Cet. 1, h. 95 tersebut secara akademik bisa dibedakan, namun secara praktis dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Bahkan menurut banyak kalangan, otonomi daerah adalah desentralisasi itu sendiri. Desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. 2 Otonomi daerah diartikan sebagai manifestasi desentralisasi. Otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai “mandiri” sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai ‘berdaya”. Otonomi daerah dengan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri. Jika daerah sudah mencapai kondisi tersebut, maka daerah dapat dikatakan sudah berdaya untuk melakukan apa saja secara mandiri tanpa tekanan dari luar. 3 Otonomi daerah diberikan melalui desentralisasi politik dan desentralisasi administratif 4 , desentralisasi politik dimuat dalam UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang memperkuat posisi DPRD, yang kemudian di revisi dengan adanya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang salah satunya di sebutkan mengenai pemilihan kepala daerah dan DPRD secara demokratis melalui pemilu langsung. Sementara itu desentralisasi administratif yaitu pemberian wewenang kepada pemerintah lokal dalam mengurus anggaran daerah dan sumber-sumber daerah. Hal ini semakin mendekatkan pelayanan 2 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2003, Edisi Revisi, 2003, h. 149 3 Ibid, h. 150 4 Willy R. Tjandra, Praksis Good Governance Sewon Bantul: Pondok Edukasi, 2006, h. 7 pemerintahan kepada rakyat didaerah dalam proses administrasi, otonomi daerah dalam pihak ini harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijkaan ekonomi nasional di daerah. Kalangan teoritisi pemerintahan dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar dalam memilih desentralisasi-otonomi, yaitu: pertama, untuk terciptanya efesiensi-efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah berfungsi mengelola berbagai dimensi kehidupan seperti bidang sosial, kesejahteraan masyarakat, ekonomi, keuangan, politik, integrasi sosial, pertahanan, keamanan dalam negeri dan lain-lain. Oleh karena itu, tidaklah mungkin semua dilakukan dengan cara yang sentralistik, sehingga ada pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang diatur dalam otonomi daerah. Kedua, sebagai sarana pendidikan politik. banyak kalangan ilmuan politik berargumentasi bahwa pemerintahan daerah merupakan kancah pelatihan dan pengembangan demokrasi dalam sebuah negara, pemerintah daerah akan menyediakan kesempatan bagi warga masyarakat untuk berpartisipasi politik, baik dalam rangka memilih atau kemungkinan untuk dipilih dalam suatu jabatan politik, dan mereka yang tidak memiliki peluang untuk terlibat dalam politik nasional, mempunyai peluang untuk ikut dalam politik lokal. Ketiga, pemerintahan daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan. karena pemerintahan daerah eksekutif dan legislatif lokal, merupakan lahan yang banyak dimanfaatkan guna menapak karir politik yang lebih tinggi dari dominasi lokal menjadi dominasi nasional. Keempat, stabilitas politik. stabilitas nasional mestinya berawal dari stabilitas politik pada tingkat lokal. Kelima, kesetaraan politik. Dengan dibentuknya pemerintahan daerah maka kesetaraan politik diantara berbagai kompenan masyarakat akan terwujud. Karena masyarakat di berbagai lapisan daerah mempunyai kesempatan untuk terlibat salam politik, melalui pemilihan kepala desa, bupati,walikota, dan bahkan gubernur. Dan masyarakat terlibat dalam mempengaruhi pemerintahannya untuk membuat kebijakan terutama yang menyangkut kepentingan mereka. 5 Sejalan dengan perubahan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diganti oleh UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, ada sejumlah perubahan yang menyangkut konsep kelembagaan di pemerintahan daerah. Menurut UU No.32 Tahun 2004, pemerintah daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DPRD 6 menurut asas otonomi , dan tugas perbantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh UUD 1945. Pemerintah daerah adalah Gubernur, BupatiWalikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan, sedangkan DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 7 Dengan adanya otonomi daerah yang luas diera reformasi ini memberi ruang DPRD sejajar dengan Kepala Daerah, dahulu lembaga perwakilan rakyat legislatif berada dibawah dominasi eksekutif dipusat maupun daerah, hal ini karena Presiden Soeharto membangun hegemoni yang luar biasa terhadap lembaga legislatif. Hal ini 5 Dede Rosyada, dkk., Pendidikan Kewarganegaraan Civic Education Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani , h. 153 6 Selanjutnya akan menggunakan kata DPRD 7 Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah Bandung: Humaniora, 2005, h. 115 dapat dilihat dalam strategi memperkokoh dominasinya, mengontrol dan mengendalikan secara total daerah-daerah. Salah satu contoh dari desain hegemoni rezim soeharto terhadap lembaga perwakilan rakyat daerah, misalnya, ketentuan pasal 15 dan 16 UU No.5 tahun 1974 mengenai pengangkatan kepala daerah. Keputusan akhir pemilihan Gubernur dari DPRD diserahkan kepada Presiden, melalui Mentri Dalam Negeri. Ini pun berlaku dalam pengangkatan BupatiWalikota. Hegemoni ini membuat DPRD yang begitu kuat dalam proses pemilihan kepala daerah menyebabkan DPRD mandul dalam melaksanakan perannya sebagai wakil rakyat untuk menentukan pemimpin daerah yang dikehendaki rakyat. 8 Pasca lengsernya Soeharto, terjadi perubahan besar menyangkut hubungan pusat dengan daerah. Semangat tersebut diakomodasi UU NO. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah yang mulai mengembangkan istilah demokrasi, partisipasi masyarakat, serta pengelolaan kekuasaan transparan. Pasal 18 Ayat 1, UU No.22 Tahun 1999 memberi kewenangan yang sangat penting bagi DPRD antara lain, memilih kepala Pemerintahan Daerah GubernurWakil, BupatiWakil, dan WalikotaWakil, serta mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah. Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, Bupatiwakil Bupati dan walikotawakil walikota bertanggung jawab kepada DPRD. Seiring berkembangnya demokratisasi di indonesia UU No.22 tahun 1999 di ubah menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, salah satu 8 Sadu Wasistiono, dan Ondo Riyani, ed., Etika Hubungan Legislatif Eksekutif Bandung: Fokus Media, 2003, h. 234 alasan di rubahnya karena UU sebelumnya DPRD mempunyai otoritas terlalu besar terhadap Kepala Pemerintahan. Dan UU No.32 tahun 2004 dengan tegas memisahkan antara badan legislatif dan eksekutif daerah. UU ini juga menegaskan bahwa kedudukan setiap unsur pemerintah daerah berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki. Karena baik anggota DPRD maupun Kepala Daerah dipilih langsung oleh Rakyat, lewat pemilihan umum. Namun DPRD dan kepala daerah juga memiliki kewajiban antara lain, menjalin hubungan kerjasama dengan seluruh intansi vertikal di daerah. Serta memberi laporan pertanggungjawaban kepada DPRD. Walaupun ada pemisihan antara Kepala Daerah dan DPRD namun kedua lembaga ini bersifat sejajar dan bersifat kemitraan, keduanya mempunyai kedudukan yang sama penting karena dipilih langsung oleh rakyat sehingga mempunyai legitimasi yang sah. Namun Kepala Daerah dan DPRD mempunyai korelasi kerja satu sama lain, salah satu contohnya dalam UU No.32 Tahun 2004, pasal 24 menyatakan bahwa memimpin penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan kebijakan yang ditetapkan bersama DPRD, mengajukan rancangan perda ke DPRD, dan menetapkan perda yang telah mendapat persetujuan DPRD. Dengan ini dilihat bahwa kerja Kepala daerah tidak bisa terlepas dari peranan DPRDnya 9 . Pada akhirnya segala urusan mengenai daerah menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah, tidak terkecuali bagi daerah manapun, dan DPRD sebagai Lembaga yang anggotanya dipilih oleh rakyat harus bisa membuat kebijakan yang 9 Baban Sobandi, dkk., Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah, h. 116 sesuai dengan kepentingan publik. Kota Bekasi yang merupakan salah satu kota di Indonesia juga harus melaksanakan otonomi daerah sesuai dengan UU yang sudah disepakati. Bekasi yang kini menjadi Kota dan terlepas dari kabupaten Bekasi mempunyai sejarah tersendiri dalam pembentukannya. Bekasi juga merupakan daerah yang diduduki oleh penjajahan Belanda dan Jepang, pasca kemerdekaan Bekasi ditata menjadi Kabupaten. Terbentuknya kabupaten Bekasi juga tidak lepas dari aspirasi masyarakat Bekasi untuk dibentuknya Kabupaten Bekasi yang awalnya Kabupaten Jatinegara. Kabupaten Bekasi dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 14 Tahun 1950 tertanggal 15 Agustus 1950. Pada saat itu, Kabupaten bekasi terdiri dari 4 kewedanaan, 13 kecamatan dan 95 desa. Dan perkembangan pemerintahan Republik Indonesia pada waktu itu menuntut adanya pelayanan yang maksimal terhadap masyarakat, berdasarkan peraturan pemerintah PP Nomor 48 tahun 1981 kecamatan bekasi ditingkatkan statusnya menjadi Kota Administratif Bekasi yang meliputi 4 kecamatan, Bekasi Barat, Bekasi Selatan, Bekasi Timur, Bekasi Utara. Dari keempat kecamatan itu terdiri 18 kelurahan dan 8 desa. Pemekaraan itu dilakukan atas tuntutan masyarakat perkotaan yang memerlukan adanya pelayanan khusus. Pembentukan kota Administrasi Bekasi digelar pada tanggal 20 April 1981 yang dihadiri mentri Dalam Negeri Mendagri. Dan perkembangan yang ditunjukan Kota Administrasi Bekasi mampu memberikan dukungan penggalian potensi di wilayahnya untuk menyelenggarakan Otonomi daerah. Dan untuk mendukung jalannya roda pemerintahan, maka keluarlah UU No. 9 Tahun 1996 yang mendukung berubahnya Kota Administrasi Bekasi menjadi Kotamadya Daerah Tingkat II Bekasi dan yang menjabat sebagai walikotamadya adalah Drs.H.Khailani AR, selama satu tahun 1997-1998. 10 Selanjutnya berdasarkan hasil pemilihan terhitung mulai tanggal 23 Pebruari 1998 Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Bekasi dijabat oleh Drs. H. Nonon Sonthanie 1998-2003. Setelah pemilihan umum berlangsung terpilihlah Walikota dan Wakil Walikota Bekasi yaitu: Akhmad Zurfaih dan Moechtar Muhammad periode 2003-2008, dan pada tahun 2008 terpilih walikota Moechtar Muhammad sebagai Walikota dan Rahmat Effendi S.Sos sebagai Wakil Walikota periode 2008- 2013, yang terpilih lewat pemilihan kepala daerah langsung oleh warga Kota Bekasi. Kota Bekasi setelah berbentuk Kotamadya mulai membuktikan kemandiriannya dalam mengembangkan Kota Bekasi, dengan didukungnya otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada daerah untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Kota Bekasi menunjukan geliatnya dengan membangun sektor perekonomian yang lebih nyata. Ini bisa dilihat pada awalnya perekonomian Bekasi baru berkembang disepanjang Jl.Ir H. Juanda yang membujur sepanjang 3 km dari Alun-alun Kota hingga terminal Bekasi. Di jalan ini terdapat pusat pertokoan Bekasi yang dibangun pada tahun 1978, serta beberapa departemen store dan bioskop. Sejak tahun 1993, perekonomian mulai berkembang disepanjang Jl. Ahmad Yani dengan dibangunnya beberapa mal serta sentra niaga. Kini pusat perekonomian telah berkembang hingga Jl. KH. H. Noer Ali Kalimalang, Kranji, 10 http www.Kota Bekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009 dan Harapan Indah. Di daerah ini bisa dilihat dengan adanya hotel, banyaknya mal, pertokoan,bank serta restoran dan perumahan-perumahan mewah yang ada di daerah ini. Dan kini pusat perekonomian telah berkembang sampai di beberapa kecamatan bekasi salah satunya kecamatan Jati Asih, di kecamatan ini sudah dibuka akses jalan tol yang menghubungkan ke Jabodetabek sampai ke bandung, juga ada supermarket, restoran, bank, perumahan-perumahan dan sarana transportasi angkutan umum yang sudah menjangkau kebeberapa kota. Berkembangnya sektor perekonomian di kota Bekasi, diiringi dengan pemerintahan daerah yang stabil dan kuat, pemerintah daerah Kota Bekasi sudah melaksanakan pemilihan kepala daerah pertama pada tanggal 27 januari 2008 untuk memilih wali kota secara langsung. Berbeda dengan pemilihan kepala daerah sebelumnya yang memakai cara walikota dipilih oleh anggota DPRD Dewan Perwakilan Rakyat daerah. Pemilihan kepala daerah tersebut diikuti oleh tiga pasang calon, dan akhirnya dimenangkan oleh Mochtar Mohammad dan Rahmad Effendi dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Golkar. Sedangkan dalam pemilihan anggota DPRD secara demokratis sudah dilakukan terlebih dahulu pada tahun 2004 bersamaan dengan pemilu nasional, dan mengantarkan 54 orang wakil rakyat Kota Bekasi dari delapan partai politik: PKS11, Golkar9, P.Demokrat7, PAN6, PPP4, PDS1, PBB1, periode 2004-2009, yang terpilih sebagai pimpinan DPRD ketua H.Rahmat Effendi,S.Sos,M.Si,F-Golkar, didampingi oleh H.Dadang Asgar Noor F-P.Demokrat dan H. Ahmad Saiykhu F- PKS. 11 11 http www.Kota Bekasi.go.id, diakses pada tanggal 17 November 2009 Pemilihan Kota Bekasi sebagai tempat penelitian karena secara geografis Bekasi merupakan salah satu kota penyangga di wilayah megapolitan jabotabek selain Tangerang, Tangerang Selatan, Bogor, Depok dan Cikarang, serta menjadi tempat tinggal masyarakat yang bekerja dijakarta. Oleh karena itu ekonomi Kota Bekasi sangat berhubungan erat dengan kota-kota wilayah jabodetabek, Kota Bekasi yang berbatasan langsung dengan Kota Metropolitan DKI Jakarta, pada saat ini maupun kedepan akan semakin mempunyai posisi yang sangat strategis dalam mendukung berbagai pelayanan dan pengembangan DKI. Kota Bekasi akan semakin strategis sebagai Kota Pengimbang Trickling Down Effect untuk mengurangi tekanan penduduk beserta aktifitasnya dari DKI Jakarta. Dengan kondisi ini di asumsikan penduduk kota bekasi pada tahun 2015 diproyeksikan mencapai 2.250.000 jiwa, laju pertumbuhan Kota Bekasi dari tahun ketahun terus meningkat, pada tahun 2001 jumlah penduduk Kota Bekasi mencapai 1.708.337 jiwa dan bertambah pada tahun 2005 2.001.899 jiwa, dan pada tahun 2007 sampai saat ini mencapai 2.143.804 jiwa. Kota Bekasi diarahkan untuk pengembangan jasa, perdagangan, industri dan pemukiman, sebagai bagian dari pengembangan kawasan terbangun atau perkotaan dengan koridor timur barat poros Bekasi-Jakarta-Tangerang. Kelengkapan infrastruktur menjadi nilai tersendiri ketika memilih hunian di Bekasi. Maraknya pusat properti komersial di Bekasi, juga bisa menjadi sinyal bahwa kebangkitan pembangunan properti di Bekasi akan semakin jelas. Dari data survei yang dilakukan PT Procon Indah yang dilangsir pada jakarta property market review 2007 tingkat hunian di Kota Bekasi mencapai persentase 90,6, Jakarta 85,9, Tangerang 73,2, dan Bogor57,0. 12 Meningkatnya sektor perekonomian di Kota Bekasi tentu harus diikuti dengan kinerja DPRD sebagai lembaga politik yang membuat kebijakan publik bagi warganya. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditekankan dan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, karena dalam Undang-undang ini mulai diterapkannya standar pelayanan minimum SPM dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Pasal 11 ayat 4 menyebutkan bahwa “penyelenggaraan urusan pemerintahan wajib harus berpedoman pada SPM yang dilaksanakan secara bertahap dan ditetapkan oleh pemerintah”. Salah satu prestasi dibidang pemerintahan yang dicapai Kota Bekasi pada tahun 2005-2006 adalah juara lomba pelayanan publik tingkat nasional pada tahun 2005 dan lomba evaluasi kinerja kelurahan tingkat Provinsi selama dua tahun berturut-turut, pada tahun 2005 kelurahan Jaka Sampurna dan pada tahun 2006 kelurahan Bintara yang menang dalam pelayanan masyarakat, padahal pada saat itu Kota Bekasi belum mempunyai peraturan daerah mengenai penyelenggaraan pelayanan publik. 13 Ini menjadi pekerjaan rumah bagi DPRD, untuk meningkatkan pelayanan dibidang pemerintahan maka DPRD harus membuat peraturan daerah tentang penyelenggaraan pelayanan publik yang sesuai dengan standar pelayanan minimum. Hal ini menarik untuk dikaji karena dengan adanya arahan terhadap 12 http:www.Jatisari, hunian kota bekasi. Html, diakses pada tanggal 27 Januari 2010. 13 Data Diambil Dalam Risalah Rapat paripurna Penetapan dan Penandatangan Hasil Pembahasan Panitia Khusus 28 dan Persetujuan DPRD Kota Bekasi Tentang Laporan Perhitungan Anggaran LPA Tahun Anggaran 2006, Bekasi,22 Agustus 2007, Dewan Perwakilan Rakyat Kota Bekasi 2007. pelayanan publik seperti yang tertuang dalam UU 32 Tahun 2004, apakah DPRD berperan dalam pembuatan peraturan daerah ini dan melihat seperti apa DPRD Kota Bekasi memberi ruang terhadap penyelenggaraan pelayanan publik di Kota Bekasi. Selain alasan objektif diatas alasan subjektifnya adalah penulis lahir dan dibesarkan di Kota Bekasi. Dan dengan adanya penelitian ini penulis berharap dapat berguna bagi masyarakat Kota Bekasi, khususnya bagi aparatur pemerintahan Kota Bekasi dalam menjalankan roda pemerintahan.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah