DPRD Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah

1945 tersebut. Kelahiran undang-undang tersebut adalah mengikuti gerak dan tujuan politik dari setiap elit yang menguasai setiap sistem politik. Pada dasarnya Undang-undang otonomi daerah tersebut bermaksud untuk memberikan keleluasan bagi setiap daerah untuk mengatur daerahnya sendiri. Hal ini beranjak dari pemikiran akan luas wilayah dan beragamnya budaya dan adat penduduk di kepulauan ini. 27 UUD Proklamasi 1945 dalam pasal 18 menegaskan sebagai berikut: “Pembagian Daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengamati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”. 28 Dalam penjelasan resmi UUD 1945, ketentuan pasal 18 tersebut diberikan penjelasan sebagai berikut: 29 a. Oleh karena negara Indonesia itu suatu eenheidsstaat Negara Kesatuan, maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah didalam lingkungannya yang bersifaat Staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah provinsi, dan daerah provinsi akan dibagi dalam daerah yang lebih kecil. Daerah-daerah itu bersifat otonom streek dan local rechtsgemeenschappen atau bersifat daerah administrasi belaka, semuanya menurut aturan yang akan ditetapkan undang-undang. 27 Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” dalam Syamsuddin Haris editor, Desentralisasi dan Otonomi Daerah Desentralisasi, Demokratisasi, Akuntabilitas Pemerintahan Daerah, h.243 28 Lihat UUD 1945 Pasal 18 29 C.S.T. Kansil, DKK, Hukum Administrasi Daerah Jakarta: Jala Permata Aksara, 2009,

h.73

Didaerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah oleh karena didaerah pun pemerintahan akan bersendi atas dasar musyawaratan. b. Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 Zelfbesturendelan-dshappen dan Volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut. Meskipun UUD 1945 yang menjadi acuan konstitusi telah menetapkan konsep dasar tentang kebijakan otonomi kepada daerah-daerah. Tetapi dalam perkembangannya sejarah ide otonomi daerah mengalami berbagai bentuk kebijakan yang disebabkan oleh kuatnya tarik-menarik kalangan elit politik pada masanya. Hal ini terlihat dalam aturan-aturan mengenai pemerintahan daerah sebagaimana yang terdapat dalam UU berikut ini: B.1. DPRD Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1945 Undang-Undang No.1 1945 dikeluarkan pada tanggal 23 November 1945 dan merupakan Undang-undang pemerintahan daerah yang pertama setelah kemerdekaan. Undang-undang tersebut didasarkan pada pasal 18 UUD 1945. Pada dasarnya dalam UU No.1 Tahun 1945 tersebut, meneruskan sistem yang diwariskan oleh pemerintah kolonial Belanda. 30 pada pokoknya Undang-Undang ini mengubah Komite Nasional Daerah menjadi Badan Perwakilan Daerah. Wewenang BPRD tersebut adalah: Pertama, kemerdekaan untuk mengadakan peraturan-peraturan untuk kepentingan daerahnya otonomi. Kedua, Pertolongan kepada Pemerintah atasan untuk menjalankan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah itu medebewind dan self goverment = sertat antara dan pemerintahan sendiri. Ketiga, membuat peraturan mengenai suatu hal yang diperintahkan oleh undang-undang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus disahkan terlebih dahulu oleh pemerintahan atasan wewenang antara otonomi dan selfgovernment. 31 Komite Nasional Daerah bertindak sebagai badan legislatif dan anggotanya- anggotanya diangkat oleh pemerintah pusat. Komite tersebut memilih lima orang dari anggotanya untuk bertindak selaku badan eksekutif yang dipimpin oleh kepala daerah untuk menjalankan dua fungsi utama yaitu sebagai kepala daerah otonom dan sebagai wakil pemerintah pusat di daerah yang bersangkutan. 32 B.2.DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1948 Undang-undang No.1 Tahun 1945 yang mengatur tentang pemerintahan daerah di Indonesia, ternyata dipandang kurang memuaskan, karena isinya sangat sederhana. Dan banyak hal yang tidak diatur dalam UU No.1 tahun 1945. Untuk 30 Oentarto, DKK, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan Jakarta: Samitra Media utama, 2004, h. 75 31 CST Kansil, Pokok-pokok pemerintahan Di Daerah Jakarta: Aksara Baru, 1979, h. 37 32 Oentarto, DKK, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, h. 76 melaksanakan ketentuan Pasal 18 UUD 1945, maka dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Pusat, Pada tanggal 10 Juli 1948 ditetapkan Undang- undang No.22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. 33 Undang-undang ini menetapkan Dewan Perwakilan Rakyat daerah DPRD dan Dewan Pemerintah Daerah DPD sebagai instansi pemegang kekuasaan tertinggi, sedangkan kepala daerah diberi kedudukan sebagai ketua dan anggota Dewan Pemerintah Daerah, dan tidak lagi menjadi ketua DPRD. Kekuasaan pemerintah daerah berada ditangan DPRD. DPD bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat dijatuhkan DPRD atas mosi tidak percaya. Kepala daerah dalam UU ini mempunyai posisi lemah karena tergantung pada DPRD. B.3. DPRD Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1957 Yang menjadi dasar dikeluarkannya UU No.1 Tahun 1957 dikarenakan perkembangan ketatanegaraan maka undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan daerah yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri, perlu diperbaharui sesuai dengan bentuk negara kesatuan. Dan perlu dilakukan dalam suatu undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia. DPRD dalam Undang-undang ini memiliki hak dan kewajiban yang semakin luas, DPD dan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD, sehingga kedua badan ini harus bertanggung jawab kepada DPRD. Kepala daerah bertindak selaku ketua DPD, 33 C.S.T. Kansil, DKK, Hukum Administrasi Daerah, h. 75 namun kekuasaan tertinggi di daerah terletak ditangan DPRD. DPRD membuat kebijakan daerah dan DPD bertugas untuk melaksanakannya. 34 B.4. DPRD Dalam Undang-Undang No.18 Tahun 1965 Pada tanggal 1 september 1965 diundangkan UU No.18 Tahun 1965 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah RI. Diberlakukannya UU No.18 Tahun 1969 dipicu oleh lemahnya posisi kepala daerah dalam UU No.1 Tahun 1957. 35 UU No.18 Tahun 1965 ini merupakan gabungan atau pencakupan dari segala pokok unsur-unsur pemerintahan daerah. Dibandingkan dengan Undang-undang sebelumnya posisi DPRD dalam Undang-undang ini sangat minim. 36 Bentuk dan susunan pemerintahan daerah terdiri dari: Kepala Daerah dan DPRD. Kepala Daerah melaksanakan politik pemerintahan dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Mentri Dalam Negeri menurut hierarki yang ada. kepala daerah juga dibantu oleh wakil kepala daerah dan badan pemerintahan harian. Pimpinan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada kepala daerah. DPRD menetapkan peraturan- peraturan daerah untuk kepentingan daerah atau untuk melaksanakan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatannya yang pelaksanaannya ditugaskan kepada daerah. Anggota-anggota Badan Pemerintahan Harian BPH adalah pembantu kepala daerah dalam urusan dibidang tugas pembantuan dalam 34 Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 247 35 M.R.Khairul Muluk, Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah, h. 134 36 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2006, h.76 pemerintahan. Angota BPH memberikan petimbangan kepada kepala daerah, baik diminta maupun tidak. B.5. DPRD Dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1974 Hadirnya UU No.5 Tahun 1974 dilatarbelakangi oleh runtuhnya rezim Orde Lama yang di pimpin oleh Presiden Soekarno dan digantikan oleh Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden soeharto. Pergantian rezim ini terjadi setelah UU No.18 Tahun 1965 relatif baru diberlakukan. Dan pergolakan politik yang meletus melalui peristiwa G 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia PKI telah menunda berlakunya UU No.18 Tahun 1965 tersebut. Menurut pasal 13 UU No.5 Tahun 1974: “Pemerintah Daerah adalah Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian maka dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada pembagian yang jelas dalam kedudukan yang sama tinggi antara Kepala Daerah dan DPRD, yaitu Kepala Daerah memimpin eksekutif dan DPRD bergerak dalam bidang legislatif. Akan tetapi DPRD tidak boleh mencampuri urusan eksekutif. Dan dalam Undang-undang ini tidak mengenal lembaga BPH atau DPD. 37 Sifat UU No.5 Tahun 1974 sangat sentralistik hal ini bisa dilihat dari kedudukan Kepala Daerah yang ditentukan oleh pusat tanpa bergantung dari hasil pemilihan oleh DPRD. Kepala Daerah hanya bertanggung jawab kepada pusat dan tidak kepada DPRD. Ia hanya memberikan laporan kepada DPRD dalam tugas 37 BN Marbun, DPRD Pertumbuhan dan Cara Kerjanya Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2006, h.76 bidang pemerintahan daerah, Sehingga DPRD tidak mempunyai kekuasaan terhadap Kepala Daerah. 38 B.6. DPRD Dalam Undang-Undang No.22 Tahun 1999 Lahirnya gerakan reformasi dengan tuntutan demokratisasi, telah membawa perubahan pada segi kehidupan masyarakat dan termasuk didalamnya perubahan dalam pola hubungan pusat-daerah. Sistem pengelolaan pemerintahan daerah di Indonesia juga memasuki babak baru diera pemerintahan Habibie. Tuntutan dan wacana didaerah bahwa pemerintahan daerah perlu memiliki otonomi yang luas dalam merumuskan, mengelola, dan mengevaluasi kebijakan publik terakomodasi. 39 DPR secara resmi mengesahkan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada 21 April 1999, yang mengubah secara drastis UU No.5 Tahun 1974 ketika penyelenggaraan dilakukan secara sentralistis, tawaran otonomi luas dan desentralisasi atau yang dikenal dengan otonomi daerah menjadi penyejuk hampir semua daerah pemberian otonomi ysng luas diyakini mampu mencegah terjadinya disintegrasi bangsa. 40 Undang-undang ini mencoba untuk menciptakan pola hubungan yang demokratis antara pusat dan daerah, undang-undang otonomi daerah ini bertujuan untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah agar dapat merealisasikan aspirasinya. Penguatan masyarakat dilihat dengan 38 Isbodroini Suyanto, “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme,” h. 252 39 L. Misbah Hidayat, Reformasi Administrasi Kajian Komparatif Pemerintahan Tiga Presiden Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2007, h. 39 40 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, h. 140 diberdayakannya DPRD. Dan Gubernur sebagai eksekutif daerah bertanggung jawab kepada DPRD sedangkan BupatiWalikota kepada DPRD KabupatenDPRD Kota. UU No.22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah sangat strategis. Karena kebijakan desentralisasi dalam undang-undang tersebut merupakan bagian dari kebijakan demokratisasi pemerintahan. Karena itu, penguatan peran DPRD, baik dalam proses legislasi maupun pengawasan atas jalannya pemerintahan daerah, perlu dilakukan. Menurut UU No.22 Tahun 1999, posisi DPRD sejajar dengan pemerintahan daerah, bukan sebagai bagian dari pemerintaha daerah seperti yang berlaku sebelumnya sesuai UU No.5 Tahun 1974 yang menyatakan DPRD bukan berkedudukan sebagai badan legislatif tetapi bersama dengan kepala daerah merupakan pemerintah daerah local goverment. 41 Pasal 16 dari UU ini menyatakan bahwa DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah merupakan wahana untuk melaksanakan demokrasi berdasarkan pancasila, DPRD sebagai badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari pemerintah daerah. Di samping itu kuatnya kedudukan DPRD juga dinyatakan dalam pasal 18 dari UU ini juga dinyatakan beberapa tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah dan wakilnya, memilih utusan Daerah, mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakilnya dimana DPRD. 42 41 Baban Sobandi, DKK, Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah Bandung: Humaniora, 2006, h. 117 42 Lihat Penjelasan Pasal-pasal UU No.22 Tahun 1999 Tentang Otonomi Daerah B.7. DPRD Dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Pada tahun kelima implementasi UU No.22 Tahun 1999 tepatnya tahun 2004 pada masa kepresidenan Megawati, dengan berbagai latar belakang pertimbangan sebagai akibat dari dampak implementasi UU tersebut, muncul kehendak pemerintah untuk mengadakan revisi untuk undang-undang tersebut, yang akhirnya memunculkan undang-undang pemerintahan daerah yang baru, yaitu UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. UU 22 Tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan dalam tataran konsep kurang membagi secara jelas tugas dan kewenangan, hubungan antar strata pemerintah, dan perimbangan keuangan. Pola hubungan DPRD dan Kepala Daerah kurang berlangsung baik karena dalam praktiknya DPRD mendominasi, sehingga memunculkan ketidakstabilan pemerintahaan daerah. 43 Dalam Undang-undang ini juga diatur mengenai pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintah daerah yaitu pemerintah daerah dan DPRD. Kepala daerah dan kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis. Sehingga DPRD sudah tidak memiliki wewenang lagi untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah, dan pemilihan secara demokratis dalam undang-undang ini yaitu pemilihan secara langsung oleh rakyat. Kepala daerah dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil kepala daerah, dan perangkat daerah. Penyelenggaraan pilkada langsung dilaksanakan oleh komisi 43 J.Kaloh, Mencari Bentuk Otonomi Daerah Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, h. 71 pemilihan umum daerah KPUD, KPUD bertanggung jawab kepada DPRD setempat. Setipa usulan KPUD harus berdasarkan pengesahan DPRD. 44 Hubungan antara pemerintah daerah dan DPRD merupakan hubungan kerja yang kedudukannya setara dan bersifat kemitraan, kedudukan setara bermakna sejajar dan tidak saling membawahi. Kemitraan bermakna bahwa antara pemerintah daerah dan DPRD adalah sama-sama mitra sekerja dalam membuat kebijakan daerah untuk melaksanakan fungsi masing-masing sehingga antar kedua lembaga ini membangun hubungan kerja yang sifatnya mendukung. UU No.32 Tahun 2004 dinilai sebagai Undang-undang yang demokratis karena kepala daerah dan DPRD dipilih langsung oleh rakyat. Dan pembagian wewenang serta tugas tidak saling tumpang tindih satu sama lain, keduanya membangun korelasi kerja yang saling menguntungkan dan bertanggung jawab untuk membuat kebijakan publik.

C. Refleksi Peran DPRD Dalam Otonomi Daerah

Peran DPRD dalam otonomi daerah yang dimuat dalam undang-undang pemerintahan daerah selalu berubah arah kebijakannya, ini dikarenakan adaptasi pelaksanaan otonomi daerah terhadap pemerintah pada awal kemerdekaan belum stabil, sehingga dari awal kemerdekaan hingga sekarang kebijakan Peran DPRD dalam otonomi daerah berbeda-beda. UU No.1 tahun 1945 merupakan undang-undang pertama tentang pemerintahan daerah, DPRD pada ketika itu disebut Komite Nasional Daerah yang 44 Muhammad Labolo, Memahami Ilmu Pemerintahan Suatu Kajian, Teori, Konsep dan Pengembangannya Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006, h. 123 pada mulanya adalah badan yang merupakan duplikasi komite nasional pusat untuk daerah-daerah, Komite nasional daerah lalu berubah menjadi badan perwakilan rakyat daerah BPRD yang menjadi badan legislatif. Maka UU No.22 Tahun 1948 sudah ada pembentukan DPRD dan DPD untuk mengatur urusan rumah tangganya sendiri. Kepala daerah diangkat oleh pemerintah pusat dari calon yang diajukan DPRD dan bertindak selaku ketua DPD. Dan DPD yang menjalankan urusan pemerintahan daerah bertanggung jawab kepada DPRD baik secara kolektif maupun sendiri, sehingga posisi kepala daerah sangat bergantung kepada DPRD. Dalam UU No. 1 Tahun 1957 ditentukan bahwa kepala daerah hanya bertanggung jawab kepada DPRD. 45 Perubahan mendasar terjadi lagi dengan di Undangkannya UU No.18 Tahun 1965 dibentuk BPH untuk membantu Kepala daerah dan DPRD dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab kepada Kepala Daerah. Pergantian kepemimpinan nasional dan pemerintahan akibat G-30-S PKI, mengakibatkan terhambatnya pelaksanaan UU No. 18 Tahun 1965 dan di gantikan oleh UU No.5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah di bawah pimpinan Presiden Soeharto yang menggantikan Presiden Soekarno, sistem pemerintahan daerah menggunakan tiga asas pemerintahan yaitu: desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. BPH dihapuskan didalam pemerintahan daerah, tidak dilaksanakannya hak angket DPRD yang dapat mengganggu keutuhan Kepala 45 Oentarto, DKK, Menggagas Format Otonomi Daerah Masa Depan, h.75-81