Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada dasarnya hukum keluarga di Indonesia mengandung asas perkawinan monogami, tetapi peraturan tersebut tidak bersifat mutlak hanya bersifat pengarahan kepada terbentuknya perkawinan monogami dengan jalan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan bukan menghapuskan sama sekali praktik poligami. 1 Hukum Islam tidak menutup rapat-rapat pintu kemungkinan untuk berpoligami atau beristeri lebih dari satu orang, sepanjang persyaratan keadilan di antara isteri dapat terpenuhi dengan baik. Karena hukum Islam tidak mengatur teknis dan bagaimana cara pelaksanaannya agar poligami dapat dilaksanakan, maka kita memang diperlukan dan tidak merugikan dan tidak terjadi kesewenang-wenangan terhadap isteri, maka hukum Islam di Indonesia perlu mengatur dengan rinci. 2 Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang paling sering dibicarakan, sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami ditolak dengan berbagai argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis, dan ketidakadilan jender. Tapi pada sisi lain poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki 1 Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Yogyakarta: Liberty, 1986, hal. 77 2 A. Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo, 2000, cet. Ke- 4, hal. 170 2 sandaran-sandaran normatif yang tegas dan dipandang salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi. 3 Menurut Undang-Undang ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianutnya. Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan terpenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh Undang-Undang perkawinan lebih dari satu orang dapat dilaksanakan apabila izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. 4 Pengadilan harus melakukan pemeriksaan sejak diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. Pengadilan juga harus memanggil dan mendengarkan alasan-alasan isteri mengizinkan suaminya melakukan poligami. Apabila alasan-alasan itu sudah terpenuhi, maka pengadilan harus meneliti apakah apakah ada atau tidaknya syarat-syarat tertentu secara kumulatif. Pada pasal 4 ayat 1 Undang-Undang perkawinan menyebutkan bahwa seseorang yang ingin beristeri lebih dari satu orang maka ia harus mengajukan permohonana poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 menerangkat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan permohonana izin, yaitu: 3 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2006, hal. 156 4 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 161 3 1. Adanya persetujuan dari isteri; 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka; 3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. 5 Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 juga menyebutkan alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal tersebut berbunyi: “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: 1. Isteri tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang isteri; 2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan. 6 Apabila syarat-syarat secara tersebut sudah terpenuhi, maka pengadilan barulah memberi izin kepada pemohon untuk melakukan perkawinan lebih dari satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan sebagaimana ketentuan tersebut, maka perkawinan tersebut berdasarkan hukum dan pada pelakunya dapat dikenakan sanksi sebagaimana terdapat dalam pasal 44 dan 45 Undang-Undang perkawinan. Karena syarat yang tertulis pada pasal 4 ayat 2 adalah bentuk dasar aktualisasi hukum tetap ada juga sebagai asas untuk meminimalisir terjadinya poligami yang tidak dilaksanakan dengan alasan tetap. Maka kemudahan 5 Undang-Undang Pokok Perkawinan, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hal. 2 6 Kompilasi Hukum Islam, DIRBENPERA, DEPAG, 2002, hal. 34 4 memperoleh izin poligami dalam prakteknya di Pengadilan Agama menimbulkan persepsi inkonsistensi Pengadilan Agama dalam memberikan izin poligami karena secara fakta memberikan mengizinkan pemohon berpoligami meskipun tidak sesuai dengan ketentuan alasan dan syarat perundang-undangan. 7 Dalam pandangan fiqih, poligami yang didalam kitab-kitab fiqih disebut dengan ta‟addud al-Zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Hal ini menunjukan bahwa para ulama sepakat tentang kebolehan poligami, namun dengan persyaratan yang bermacam-macam. Dalam kitab al-Mabsut, yang ditulis as-Sarakhsi tidak ditemukan tentang asas perkawinan tetapi hanya keharusan suami yang berpoligami untuk berlaku adil kepada para isterinya. 8 Dalam kitab al-Muwatha, karya Imam Malik hanya ditulis kasus seorang pria bangsa Saqif yang masuk Islam dan memiliki isteri sepuluh dan ternyata nabi hanya menyuruh untuk mempertahankan empat saja. 9 Dengan syarat berlaku adil, walaupun menurut S yafi‟i keadaan tersebut hanya bisa dilakukan menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi isteri di malam atau siang hari, bukan keadilan secara batin seperti kecenderungan hati kepada salah seorang isteri, yang tidak dapat tersanggupi oleh manusia. 10 7 Amiur Nuruddiin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 10 8 Syam ad-Din al-Sarakhsi, al-Mabsut, Beirut: Dar al- Ma‟rifah, 1409-1989, v. 217 9 Imam Malik, Al- Muwatha , Tahqiq Muhammada Fu‟ad al-Baqi tt: ttp, tth, hal. 362 10 Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974 sampai KHI, cet ke-3, Jakarta: Kencana Media Group, 2006, hal. 158 5 Disinilah menurut penulis walaupun boleh poligami dengan segala ketentuan dan persyaratan baik dalam agama maupun perundang-undangan, kecenderungan suami tidak dapat berlaku adil sulit, maka perlu adanya pertimbangan dengan seksama. Beranjak dari latar belakang permasalahan diatas, penulis merasa tertarik untuk mengangkat sebuah judul “Konsep Adil Dalam Izin Poligami Analisis Yurisprudensi Putusan Izin Poligami No. 205Pdt. G2008PA.Bks

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah