18
Islam memandang
poligami lebih
banyak membawa
madharatresiko  dari  pada  manfaatnya,  karena  manusia  itu  menurut fitrahnya mempunyai watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh. Watak-
watak tersebut  akan mudah timbul dengan kadar tinggi,  jika hidup  dalam kehidupan  keluarga  yang  poligamis.  Dengan  demikian,  poligami  itu  bisa
menjadi  sumber  konflik  dalam  kehidupan  keluarga,  baik  konflik  antara suami dengan isteri-isteri  dan  anak-anaknya, maupun konflik antara isteri
beserta anaknya masing-masing.
12
Oleh  karena  itu  asas  perkawinan  dalam  Islam  adalah  menganut asas monogami.
b. Poligami Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia
Penetapan  dasar  hukum  mengenai  poligami  selain  yang  tertera dalam  surat  an-Nisaa  ayat  3  mengenai  kebolehan  poligami,  juga  didasari
oleh  aspek-aspek  perundang-undangan  yang  ada.  Dalam  Pasal  3,  4  dan  5 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 sangat mengakomodir semua hal  yang
bersangkutan mengenai poligami berikut juga persyaratannya. Pada  dasarnya  Undang-Undang  perkawinan  di  Indonesia  menganut
prinsip  monogami,  prinsip  tersebut  tercantum  dalam  pasal  3  ayat  1 Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan yang berbunyi:
12
Subekti  dan  Tjitrosudibio,  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata,  Jakarta:  Pradnya Paramita, 2006, cet. Ke- 37, h. 538
19
“Pada  asasnya  suatu  perkawinan  seorang  pria  hanya  boleh mempunyai  seorang  isteri.  Seorang  wanita  hanya  boleh  mempunyai
seorang suami”.
13
Walaupun dalam Undang-Undang perkawinan telah menganut prinsip monogani  tetapi  dalam  pelaksanaannya  prinsip  ini  tidak  berlaku  mutlak,
dalam  Undang-Undang  perkawinan  di  Indonesia  tetap  diperbolehkan poligami  dengan    persyaratan  yang  sangat  ketat,  dan  hanya  orang-orang
yang tertentu saja yang dapat melakukannya.
14
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dalam  Undang-Undang  No.  1  Tahun  1974  tentang  perkawinan aturan  tentang  kebolehan  beristeri  lebih  dari  seorang  terdapat  dalam  pasal
3,4  dan  5  yang  berisikan  alasan  serta  syarat-syarat  yang  harus  dipenuhi untuk  beristeri  lebih  dari  seorang.  Pasal  3  ayat  2  menerangkan  bahwa:
“Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih  dari  seorang  apabila  dikehendaki  oleh  pihak-pihak  yang
bersangkutan”.  Ayat  ini  jelas  sekali  bahwa  Undang-Undang  perkawinan telah  melibatkan  Peradilan  Agama  sebagai  instansi  yang  cukup  penting
untuk mengabsahkan kebolehan poligami bagi seseorang.
15
13
Subekti,  Kitab  Undang-Undang  Hukum  Perdata,  Jakarta:  Pradnya  Paramita,  2006,  cet,. Ke- 37, hal. 538
14
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 156
15
Amiur Nuruddiin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, hal. 156
20
Kemudian  dalam  Pasal  4  ayat  1  menerangkan  bahwa:  “Apabila seorang suami yang akan melakukan poligami, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”. Selanjutnya dalam  ayat  2  disebutkan:  “Alasan-alasan  pengadilan  mengizinkan
seorang  suami  berpoligami  apabila:  1.  Isteri  tidak  dapat  menjalankan kewajibannya  sebagai  seorang  isteri;  2.  Isteri  mendapat  cacat
badanpenyakit  yang  tidak  dapat  disembuhkan;  dan  3.  Isteri  tidak  dapat melahirkan keturunan.
Alasan  di  atas  bernuansa  fisik  kecuali  alasan  yang  ketiga.  Alasan yang  ketiga  terkesan  suami  tidak  memperoleh  kepuasan  yang  maksimal,
maka alternatifnya adalah poligami. Dalam pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun  1974  memberikan  sejumlah  persyaratan  bagi  seoarang  suami  yang
akan beristeri lebih dari satu.
16
Diantaranya adalah: a. Adanya persetujuan dari  isteri  pertama;  b.  Adanya  kepastian  bahwa  suami  mampu  menjamin
keperluan  hidup  isteri-isteri  dan  anak-anaknya;  dan  c.  adanya  jaminan bahwa  suami  akan  berlaku  adil  terhadap  isteri-isteri  dan  anak-anaknya.
Namun apabila
isteri-isterinya tidak
mungkin dimintai
dalam perjanjiannya, tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, tidak ada kabar
dari isterinya selama sekurang-kurangnya dua tahun, dan sebab-sebab lain
16
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Sinar Grafika, 2006, cet. Ke- 1, h. 47
21
yang  mendapat  penilaian  dari  hakim  pengadilan,  maka  suami  tidak  dapat memerlukan persetujuan dari isterinya.
17
Perlu kita ketahui bahwa pada Pasal 4 adalah persyaratan alternatif, artinya  salah  satu  harus  ada  untuk  dapat  melakukan  poligami.  Sedangkan
Pasal  5  adalah  persyaratan  kumulatif,  dimana  seluruh  persyaratan  harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami.
3. Sejarah Poligami