41
Artinya: Dari Abu Musa RA, beliau berk ata: “Rasulullah SAW berdiri di
tengah-tengah kita dengan memberikan lima kalimat, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak tidur, dan tidak patut
baginya tidur, Dia menurunkan dan menaikkan timbangan, diangkat kepadanya amal yang dilakukan di malam hari sebelum
datanya amal di siang hari, dan juga sebaliknya”. HR. Muslim Ibnu Qutaibah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-Qist
pada redaksi hdis adalah al-Mizan, karena al-Qist itu berarti al- „adl, dan
dengan al-Mizan neraca atau timbangan itulah terwujudnya keadilan.
49
Dalam sebuah hadis dikatakan:
50
Artinya: Dari Abu Dar da RA, dari Nabi SAW bersabda: “Tidak ada
sesuatu pun yang lebih berat timbangannya dari pada ahklak yang baik”. HR. Abu Daud.
3. Adil Berpoligami Menurut Al-Qur’an dan Al-Sunnah
a. Adil Berpoligami Menurut Al-Qur’an
Berbicara poligami tidak akan lepas dari pembahasan mengenai surat an-Nisa ayat 3. Ayat tersebut disamping dalil naqli dari al-Sunnah
oleh mayoritas umat dijadikan sebagai landasan teologis bagi dibolehkannya praktek poligami, sehingga perilaku tersebut diyakini illegal
dan diakui oleh agama. Ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
49
Al-Nawawi, Syarh Sahih Muslim, vol. 3, h. 13
50
Abu Daud Sulaiman bin Asy‟ats, Sunan Abu Daud, Beirut: Dar al-Fikr, 1994, vol. 3, h. 443
42
4 3
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap
hak-hak perempuan
yang yatim
bilamana kamu
mengawininya, Maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil, Maka kawinilah seorang saj, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
de
kat kepada tidak berbuat aniaya”. QS. An-Nisa: 3 Ayat di
atas tidak saja berbicara mengenai kebolehan menikahi wanita lebih dari satu, tetapi juga berbicara mengenai kewajiban wali agar
tidak berbuat aniaya terhadap anak yatim yang berada dalam asuhannya.
51
Karena berdasarkan kronologisnya, ayat ini masih terkait dengan ayat sebelumnya, yakni an-Nisa ayat 2, dimana ayat tersebut memerintahkan
kepada wali untuk tidak memakan harta anak yatim dan memberikan harta tersebut kepadanya jika anak tersebut sudah baligh.
Disamping itu juga para wali gemar menukar barang-barang anak yatim yang baik dengan yang buruk atau mereka memakan harta anak
yatim yang tercampur di dalam harta mereka. Bahkan lebih dari itu, mereka bahkan menikahi anak yatim yang berada dalam perlindungannya dengan
tujuan ingin menguasai harta dan memenuhi hawa nafsu seksualnya, karena
51
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Beirut: Dar al-Fikr, 1974, vol. 2, h. 179
43
itulah kemudian turun surat an-Nisa ayat 3. Ayat tersebut mencegah para wali berbuat zalim terhadap anak yatim. diungkapkan dalam satu riwayat
dari Imam Bukhari, Muslim, Nasa‟i, al-Baihaqi dan lainnya, bahwasanya
ketika Urwah Bin Zubair pernah bertanya kepada bibinya, Aisyah Ra. Tentang sebab turu
nnya ayat “wa inkhiftum alla tuqsitu……..an-Nisa: 4”. Lalu Aisyah menjelaskan, ayat ini turun berkenaan dengan anak yatim
yang berada dalam pemeliharaan walinya. Kemudian walinya itu ingin mengawininya, tetapi tanpa mahar yang pantas baginya, ahirnya mereka
dilarang untuk menikahi yatim tersebut, tetapi dipersilahkan menikahi wanita lain yang mereka sukai dua, tiga atau empat.
52
Dalam riwayat lain, juga dari Aisyah Ra, beliau menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan seorang laki-laki yang mempunyai
banyak isteri, lalu ketika hartanya habis dan dia tidak sanggup lagi menafkahi isteri-isterinya, ia berkeinginan mengawini anak yatim yang
berada dalan perwalian dengan harapan dapat mengambil hartanya untuk membiayai kebutuhan isteri-isterinya.
Ada beberapa persoalan yang terangkum dalam ayat ke tiga surat an-Nisa tersebut. Diantaranya adalah persoalan terhadap penafsiran
terhadap pengertian atau konsep adil berpoligami yang terkandung di dalamnya. Ayat tersebut berbunyi:
“fain khiftum alla ta‟dilu fawahidah aw
52
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi, Al-Jam i‟ Li ahkam al-Qur‟an, Beirut: Dar al-Fikr,
1987, vol. 5, h. 11
44
ma malakat aymanukum” yang artinya “bahwa jika sang suami tersebut takut tidak mampu berlaku adil kepada isteri-isterinya, maka wajib baginya
menikahi seorang isteri saja, atau menikahi budak-budak yang ada dalam kekuasannya. Menurut al-Maraghi, pengertian khauf takut pada ayat
tersebut adalah adanya dugaan kuat zan atau keraguan syak dalam diri suami bahwa dia tidak mampu berlaku adil. Karena itu yang diperbolehkan
menikahi wanita lebih dari satu ialah suami yang yakin mampu berlaku adil, yang tidak ada keraguan sama sekali.
53
Sedangkan hal-hal dimana suami wajib berlaku adil, sebagaimana dikatakan Imam al-Qurtubi seraya mengutip pendapat ad-Dahhak adalah
dalam hal al-Mail kecondongan perlakuan, mahabbah cinta, al- Jima‟
persetubuhan, al- „isyrah pergaulan dan al-Qasmu giliran bermalam.
54
Menurut penafsiran tersebut bahwa suami yang tidak dapat memenuhi keadilan, terutama dalam membangun
husnul mu‟asyarah hubungan pergaulan yang harmonis dalam hal-hal tersebut, terlarang untuk
berpoligami. Akan tetapi jika dilihat secara sekilas, masih belum ada kejelasan
tentang adil yang dimaksud dalam penggalan ayat tersebut. Apakah keadilan tersebut hanya menyangkut aspek materi atau lahir semata? Tidak
mencakup immateri atau batin? Ataukah kedua-daunya?. Jika ditinjau
53
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 180
54
Muhammad bin Ahmad Al-Qurtubi, Al- Jami‟ Li ahkam al-Qur‟an, h. 20
45
sambungan ayat tersebut, yakni “dzalika adna alla ta‟ulu” maka akan Nampak jelas pengertian adil yang dimaksud. Setidknya penggalan ayat
itu menyebutkan sesuatu yang menjadi penyebab dilarangnya berpoligami karena dianggap tidak berlaku adil, baik lahir maupun batin.
Ada dua pendapat dalam penafsiran pada penggalan ayat tersebut di atas. Menurut pendapat pertama, yakni dari Zaid bin Aslam, Sufyan bin
Uyaynah dan Imam Syafi‟i, bahwa yang dimaksud dengan “dzalika adna
alla ta‟ulu” yang demikian itu lebih mendekati kepada tidak membuat aniaya adalah “dzalika adna alla taksuru iyalukum”, artinya, pilihan
monogami, hanya menikahi isteri satu saja. Dalam hal ini pendapat pertama lebih menekankan kepada keadilan
terhadap materi. Tampaknya ada beberapa ilmuan yang lebih condong terhadap pendapat pertama ini, diantaranya adalah Arij Abdurrahman al-
Sannan. Ia mengatakan bahwa adil berpoligami adalah menyamakan isteri dalam hal bermalam menggilir dan semua jenis nafkah lahir baik makan,
minum, pakaian maupun tempat tinggal.
55
Sedangakan pendapat kedua lebih menitikberatkan pada tidak berbuat zalim, dan tidak ada cara yang layak bagi sikap “tidak berlaku
zalim” kepada isteri-isteri kecuali dengan berbuat adil terhadap mereka bukan hanya berbuat persoalan nafkah lahir semata, melainkan juga nafkah
55
Arij Abdurrahman al-Sannan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, Jakarta: Global Media Cipta, 2002, h. 43
46
batin. Karenanya meraka menafsirkan penggalan ayat diatas dengan
اْورْوجتا dan اْولْيمتا yang berarti jangan berat sebelah atau condong sebelah,
yang membuat kalian berbuat zalim. Sehingga kalua dari sini, akan sulit sekali bagi seorang suami untuk dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya.
Penafsiran ini juga diperkuat denagn firman Allah:
......
4 129
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian....
. QS. An- Nisa: 129.
Ayat di atas menurut penafsiran Sayyid Qutb adalah bahwa keadilan yang dituntut dalam ayat ini menyatakan terlarangnya poligami ini
dikhawatirkan keadilan itu tidak dapat terealisasi, yaitu keadilan dalam bidang muamalah, pemberian nafkah, pergaulan dan seluruh bentuk urusan
lahiriah, yang tidak dapat seoarang isteri pun dikurangi haknya dalam urusan ini dan tidak seorang pun dari merekan yang lebih diutamakan dari
pada yang lain.
56
Dari uraian di atas seolah ada dua kontradiksi. Di satu sisi al- Qur‟an
membolehkan poligami, yakni sesuai dengan surat an-Nisa ayat tiga dengan catatan dapat berlaku adil, akan tetapi di sisi lain al-
Qur‟an juga manafikan suami dapat berlaku adil sesuai dengan ayat 129 surat an-Nisa.
56
Arij Abdul Rahman as-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, Jakarta: PT Global Media Cipta Publishing, 2003, h. 114
47
Untuk mengurai kontradiksi antar kedua ayat tersebut, menurut Arij Abdurrahman al-Sinnan surat an-Nisa ayat 129 itu berbicara dalam konteks
keadilan yang berada di luar kemampuan atau kesanggupan suami, yaitu soal kecenderungan hati. Sedangkan surat an-Nisa ayat 3 berbicara dalam
konteks keadilan yang wajib diwujudkan oleh suami, karena berada dalam kesanggupan suami, yakni salah satunya adalah al-Qasmu menggilir dan
nafkah lahir.
57
Menurut penulis, pandangan Arij tersebut terlalu menafikan keadilan dalam konteks nafkah batin. Padahal nafkah batin tidak kalah
pentinnya dengan nafkah lahir. Oleh karena itu agama juga memerintahkan kepada suami untuk
menggauli isterinya dengan baik al- mu‟asyarah bil al-ma‟ruf. Isteri yang
tidak diperlakukan dengan baik nafkah batinnya akan merasa tertekan dan tidak merasakan kebahagiaan, yang justru menjadi tujuan utama dalam
sebuah pernikahan.
58
Sebagaimana disebutkan dalam ayat berikut:
30 21
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
57
Arij Abdurrahman al-Sannan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, h. 51
58
Siti Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, Diterbitkan atas Kerjasama LKAJ Solidaritas Perempuan dan The Asia Foundation, 1999, h. 14-15
48
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat
tanda- tanda bagi kaum yang berfikir”. QS. Ar-Ruum: 21.
Dengan demikian, keadilan batin juga harus dipenuhi semaksimal mungkin oleh sang suami meskipun dia tidak dapat berlaku adil seratus
persen. Hal itu sejalan dengan prinsip dasar bahwa suami tidak boleh berbuat zalim kepada isteri-isterinya sebagaimana yang terkandung dalam
keumuman pengertian dalam surat an-Nisa ayat 3 tersebut. Adapun penafian berlaku adil oleh surat an-Nisa ayat 129 bukan berarti mentolerir
suami yang tidak berlaku adil dalam hal batin. Seperti yang dikemukakan oleh Imam al-Maraghi,
“Berlaku adil terhadap suami isteri hampir tidak mungkin dapat dilakukan, karena itu seorang suami dapat dilakukan, karena itu
seorang suami harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mewujudkan keadilan tersebut, agar tidak ada seorang isteripun yang
merasa terzalimi. Dan akhhirnya Allah memberikan keringanan untuk berlaku adil terhadap hal-hal yang dia senggupi dengan catatan
mengerahkan segenap kemampuannya, karena terkadang perihal kecondongan hati tumbuh begitu saja, dan hal ini di luar kemampuan
manusia, karena itu Allah memaafkan hal itu, dan menjelaskan bahwa adil yang sempurna 100 tidak akan mampu dilakukan, karena itu
sang suami tidak terbebani untuk melakukannya”.
59
Dari uraian di atas, jelaslah bahwa tidak berbuat zalim adalah
sebagai perwujudan keadilan terhadap isteri-isteri yang dipoligami menjadi kewajiban bagi suami sesuai dengan kemampuannya. Adil dalam materi
haruslah sesuai dengan hak-hak seorang isteri, sedangkan kecondongan masalah hati yang terkandung di luar batas kesangggupan seorang suami
59
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, h. 173
49
dalm batas-batas tertentu dapat ditolerir. Sebagaimana yang dikatakan dalam surat an-
Nisa ayat 129, “fala tamilu kull al-mail” yang artinya “maka janganlah kalian terlalu condong kepada isteri yang lebih kalian
cintai dan mengabaikan isteri- isteri yang lain”. “fatadzarahu ka al-
mullaqah ”, yang artinya “sehingga kalian menjadikan merekan tergantung,
seolah- olah mereka bukan wanita yang dinikahi dan juga tidak ditalak”.
b. Adil Berpoligami Menurut Al-Sunnah