21
yang mendapat penilaian dari hakim pengadilan, maka suami tidak dapat memerlukan persetujuan dari isterinya.
17
Perlu kita ketahui bahwa pada Pasal 4 adalah persyaratan alternatif, artinya salah satu harus ada untuk dapat melakukan poligami. Sedangkan
Pasal 5 adalah persyaratan kumulatif, dimana seluruh persyaratan harus dipenuhi oleh suami yang akan melakukan poligami.
3. Sejarah Poligami
Poligami sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia, yaitu sebelum agama Islam datang. Sehingga dapat dikatakan bahwa poligami
merupakan hal yang biasa terjadi atau telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat.
Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam. Orang- orang Eropa yang sekarang kita sebut Rusia, Yugoslavia, Jerman,
Cekoslovakia, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris semuanya adalah Negara-negara yang berpoligami. Dengan demikian bangsa-bangsa
timur seperti bangsa Ibrani dan Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan
tentang berpoligami, sebab nyatanya aturan poligami yang berlaku sekarang ini juga juga hidup dan berkembang di negeri-negeri yang tidak menganut
17
Pasal 5 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
22
Islam, seperti Afrika, Cina, India, dan Jepang.
18
Maka tidaklah benar jika poligami hanya terbatas di negeri-negeri Islam.
Sebenarnya Kristen pun tidak melarang adanya poligami, sebab di dalam Injil tidak ada satu pun dengan tegas melarang poligami. Para pemeluk
Kristen bangsa Eropa, dahulu mempunyai adat istiadat hanya boleh kawin dengan seorang wanita saja. hal ini disebabkan karena sebagian besar bangsa
Eropa penyembah berhala, yang kemudia didatangi oleh agama Kristen, adalah orang-orang Yunani dan Romawi yang terlebih dahulu mempunyai kebiasaan
yang melarang poligami. Setelah mereka memeluk agama Kristen, kebiasaan dan adat istiadat nenek moyang mereka tetap dipertahankan dalam agama Naru
itu. jadi sistem monogami yang mereka jalankan bukanlah berasal dari agama Kristen semata, tetapi merupakan warisan agama berhala Paganisme.
Kemudian gereja mengambil alih paham yang berkembang dalam masyarakat dan akhirnya melarang poligami dan dinyatakan sebagai aturan agama.
19
4. Syarat-syarat Poligami
Mengenai syarat-syarat poligami, seperti yang dijelaskan pada Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang perkawinan menyebutkan bahwa seorang yang ingin
beristeri lebih dari satu orang maka ia harus mengajukan permohonana
18
Hasan Aedy, Poligami Syari‟ah dan Perjuangan Kaum Perempuan, Bandung: Alfabeta,
2007, cet. Ke-1, h. 60
19
M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Jakarta: Prenada Media, 2003, cet. Ke-1, h. 270-271
23
poligami kepada pengadilan setempat. Selanjutnya pada pasal 5 ayat 1 menerangkat syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat mengajukan
permohonana izin, yaitu: a.
Adanya persetujuan dari isteri; b.
Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri- isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.
20
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 57 juga menyebutkan alasan diperbolehkannya suami mengajukan permohonan poligami. Pasal
tersebut berbun yi: “Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila: a.
Isteri tidak menjalankan kewajibannya sebagai isteri. b.
Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. c.
Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
21
Dengan adanya pasal-pasal yang membolehkan tentang poligami meskipun dengan alasan yang sangat ketat jelaslah bahwa asas Undang-
Undang perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan asas monogami terbuka.
22
20
Undang-Undang Pokok Perkawinan, hal. 2
21
Kompilasi Hukum Islam, DIRBENPERA, DEPAG, 2002, hal. 34
22
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 156
24
5. Hikmah Poligami