49
dalm batas-batas tertentu dapat ditolerir. Sebagaimana yang dikatakan dalam surat an-
Nisa ayat 129, “fala tamilu kull al-mail” yang artinya “maka janganlah kalian terlalu condong kepada isteri yang lebih kalian
cintai dan mengabaikan isteri- isteri yang lain”. “fatadzarahu ka al-
mullaqah ”, yang artinya “sehingga kalian menjadikan merekan tergantung,
seolah- olah mereka bukan wanita yang dinikahi dan juga tidak ditalak”.
b. Adil Berpoligami Menurut Al-Sunnah
Di dalam al-Sunnah banyak dijelaskan mengenai tata cara pergaulan Rasulullah SAW dengan isteri-isterinya, baik dalam hal yang
bersifat umum, yakni perlakuan dalam konteks tata cara perkawinan dan pergaulannya, maupun secara khusus yang menyangkut masalah
mekanisme atau cara perlakuan dalam konteks berpoligami. Oleh karena itu dalm kehidupan rumah tangga Rasulullah SAW mempraktekkan dua
bentuk tersebut, perkawinan pada umumnya dan juga poligami. Di satu sisi praktek perkawinan Rasulullah SAW yang bersifat
umum, dan bentuk ini banyak menyangkut hal-hal yang selain praktik beliau dalam berpoligami, contohnya dalam masalah mahar, rukun nikah,
fasakh, khitbah, cara memilih jodoh, perwalian, radha‟ah, adab jima‟, hadhanah, dan lain sebagainya. Namun disisi lain terdapat praktik
perkawinan Rasulullah SAW yang khusus berkaitan dengan tata cara pergaulan dalam berpoligami. Riwayat yang berkaitan dengan hal tersebut
50
jumlahnya lebih sedikit dibanding dengan praktik perkawinan yang bersifat umum yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Imam an-Nasai dalam Sunannya sedikit membahas mengenai persoalan tata cara Rasulullah SAW bergaul dengan isteri-isterinya dalam
konteks berpoligami. Pernah ketika isteri Rasul menuntut keadilan terhadap Aisyah. Para isteri Rasul tersebut menganggapnya lebih condong kepada
Aisyah, lalu beliau bersabda:
Artinya: Dari Aisyah Ra, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Wahai Ummu Salamah jangan engaku sakiti aku karena Aisyah,
karena sesunggunya demi Allah tidak pernah ada wahyu yang turun kepada aku ketika aku besama wanita kecuali ketika aku
bersama dia”. HR an-Nasai. Dari keterangan hadis di atas, nampaknya Ummul Mukminin
Aisyah Ra mendapat perlakuan yang lebih istimewa dari Rasulullah SAW disbanding dengan Ummul Mukminin yang lain. Menurut al-Suyuthi,
perlakuan Rasulullah SAW yang demikian itu lebih dilatarbelakangi adanya kedudukan Aisyah Ra yang sangat mulia di sisi Allah, oleh karena
itu wahyu turun ketika beliau sedang bersamanya, dan hal yang seperti itu tidak pernah terjadi kepada Ummul Mukminin lainnya.
60
60
Al-Suyuthi, Sunan al-Nasai bi Syarh al-Suyuthi wa Hasyiyah al- Sanay, Beirut: Dar al-Fikr, 1995, vol. 4, h. 71
51
Sungguhpun demikian
Rasulullah SAW
tetap berusaha
semampunya untuk tidak berbuat zalim terhadap isteri-isterinya, agar tidak ada diantara mereka yang merasa begitu tersakiti. Pada waktu kesempatan
beliau pernah berdoa ketika usai menggilir isteri-isterinya:
Artinya: “Ya Allah ini adalah usaha yang sanggup saya lakukan, maka
janganlah engkau hinakan aku atas apa yang Engkau perintahkan sedangkan aku tidak
sanggup melakukannya”. HR. An-Nasai. Karena itu menjadi keharusan bagi suami untuk berlaku adil dalam
hak-hak isteri yang bersifat lahiriyyah dan juga perlakuan hati sebatas kemampuannya. Kecondongan hati yang tidak nerlebih-lebihan masih
ditolerir, tetapi tidak ditolerir jika kecondongan hati tiu berlebih-lebihan sehingga keadaan isteri-isteri yang lain terabaikan. Karena itu Rasulullah
memperingatkan perlakuan tersebut dengan sabdanya:
Artinya: Dari Abu Hurairah Ra. Dari Rasulullah SA
W bersabda: “siapa saja yang mempunyai dua orang isteri kemudian ia lebih condong
dari pada salah satu dari yang lainnya, maka ia akan datang pada hari kiamat kelak dengan salah satu pundaknya yang
miring”. HR. An-Nasai. Wahbah Zuhaili menjelaskan, bahwa perlakuan adil terhadap isteri-
isteri itu ada dua bentuk, perlakuan yang bersifat fisik, dan non fisik. Allah
52
hanya mewajibkan belaku adil dalam hal perlakuan fisik, tidak pada yang non fisik, seperti cinta, kecondongan gairah, dan lain sebagainya. Tetapi
tetap saja suami tidak boleh condong kepada salah satu isteri sehingga isteri-isteri yang lain merasa terzalimi.
D. Konsep Adil Berpoligami Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan
KHI 1.
Poligami Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan KHI
Salah satu payung hukum bagi praktik perkawinan di Indonesia adala Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-Undang ini
adalah suatu hasil usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu hukum yang memiliki kekuatan absolut yang berlaku bagi setiap warga Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Yang merupakan hasil dari sebuah unifikasi yang unik yang mengakomodir berbagai varian keagamaan yang berkeTuhan
Yang Maha Esa.
61
Berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam, KHI lebih merupakan upaya kodifikasi dan unifikasi hukum fiqih dari berbagai mazhab yang menjadi
acuan semua hakim Peradilan Agama dalam memutuskan perkara. Hal itu dilakukan karena adanya problem teknis yustisial Peradilan Agama, yakni
kelangkaan hukum materiil Islam secara positif yang dapat dijadikan rujukan
61
Hazairin, Tinjauan Mengenai Indang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Jakarta: Tintamas, 1975, h. 5