69
69 dengan mendatangi para petani desa, dan jangan dinikahi seorang
perempuan sekaligus dengan bibi saudara kandung ayah atau ibu yang perempuan; karena apabila kamu lakukan itu, maka kamu telah
memutuskan hubungan tali silaturrahmi sesama kamu”. HR. Bukhari
Larangan-larangan Rasulullah dalam hadist ini, menurut al-Thufi, dimaksudkan untuk kemaslahatan umat. Larangan membeli barang yang sudah
ditawar orang lain adalah untuk memelihara kemaslahatan penawar barang pertama; larangan mendatangi para petani ke desa untuk membeli komoditi mereka adalah
untuk memelihara kemaslahatan petani desa dari kemungkinan terjadinya penipuan harga, dan larangan menikahi wanita sekaligus dengan bibinya, juga untuk
memelihara kemaslahatan isteri, dan keluarga. Oleh sebab itu menurut al-Thufi, pada dasarnya baik firman Allah maupun sabda Rasulullah saw. bertujuan untuk
kemaslahatan manusia. Dengan demikian, keberadaan maslahah sebagai landasan hukum tidak diragukan lagi dan bisa dijadikan dalil mandiri.
144
C. Sisi Persamaan dan Perbedaan Kedua Tokoh
Imam Malik r.a. dan Imam al-Thufi memiliki kesamaan dan perbedaan karakteristik, baik dari segi riwayat kehidupan, perjuangan mencari ilmu, karya-karya
ilmiah, dan lain sebagainya.
1. Sisi Persamaan
a. Intelektualitas Secara intelektual, Imam Malik sejak kecil telah hafal al-Qur’an dan
hadits-hadits Rasulullah saw. sebab beliau memiliki kecerdasan dan ingatann
144
Ibid., h. 128.
70
70 sangat kuat. Ia juga adalah seorang yang aktif dalam mencari ilmu, sehingga
beliau banyak belajar dari ulama-ulama terkemuka ketika itu. Beliau sering mengadakan pertemuan dengan para ahli hadits dan ulama.
145
Akhirnya beliau dinobatkan sebagai ulama terkemuka dalam bidang ilmu Hadis dan fiqh.
Sepanjang hidupnya, Imam Malik tidak pernah keluar dari kawasan Madinah. Imam Al-Thufi pun, adalah seorang yang cinta terhadap ilmu
pengetahuan. Hal ini dapat dipahami dari petualangannya belajar dalam berbagai disiplin ilmu di berbagai tempat dan dari beberapa para alim ulama
yang masyhur di zamannya. Menurut Musthafa Zaid, dalam kitabnya al- Maslahah, al-Thufi dikenal sebagai seorang yang sangat cerdas dan memiliki
ingatan yang sangat kuat dan ketekunannya yang tinggi. b. Pengakuan akan Maslahat Mursalah
Kedua tokoh ini telah menjadikan maslahah mursalah sebagai salah satu metodologi dalam melakukan penetapan suatu hukum, baik muamalah
maupun adat.
2. Sisi Perbedaan Kedua Tokoh
a. Tempat, dan Tahun Kelahiran Imam Malik dilahirkan di suatu tempat bernama Zulmarwah di
sebelah Utara al-Madinah al-Munawwarah yang dikenal dengan markaz ulama ahl al-hadits kaum literalis. Sedangkan Imam al-Thufi dilahirkan di
145
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab terj. Drs. Sabil Huda, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991, h. 74.
71
71 Sarsar, nama sebuah desa di Baghdad, yaitu kawasan ahl al-ra’yi kaum
rasionalis. Tahun kelahiran Imam Malik, bagi ahli sejarah, terdapat perbedaan
pendapat. Ada setengah pendapat yang mengatakan pada tahun 90, 94, 95, 97 Hijriah
146
dan wafat pada tahun 180 H dalam usia 90 tahun. Adapun Imam Al- Thufi dilahirkan pada tahun 657 H 1259 M dan wafat pada tahun 716 1318
M dalam usia 59 tahun. Perbedaan tempat dan tahun kelahiran ini, berpengaruh terhadap
pola pemikiran hukum kedua tokoh tersebut. b. Situasi Sosial Politik dan Ijtihad
Imam Malik dalam riwayat kehidupannya, mengalami dua corak pemerintahan, Umayyah dan Abbasiyyah di mana terjadi perselisihan hebat di
antara dua pemerintahan tersebut. Beliau hidup pada masa tabi’in dan dikenal sebagai Imam Darul Hijrah.
Adapun Imam al-Thufi lahir setahun setelah serbuah pasukan Mongol ke kota Baghdad yang dipimpin oleh Khulagu Khan Pada 1928 M.
Ketika itu situasi integritas politik dunia Islam tercabik-cabik. Sehingga negeri Islam terpecah-pecah menjadi negara kecil.
Selain itu Imam al-Thufi hidup dalam masa kemunduran Islam, terutama kemunduran semangat berijtihad. Pada saat itu ulama kurang berani
146
Ahmad Asy-Syurbasi, Sejarah Dan Biografi Empat Imam Mazhab terj. Drs. Sabil Huda, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 1991, h. 72.
72
72 berinisiatif untuk mencapai tingkatan mujtahid mutlak dan menggali hukum-
hukum Islam langsung dari sumber pokoknya, yaitu al-Qur’an dan Al- Sunnah. Kegiatan para ulama ketika itu hanya bertaklid kepada pendapat-
pendapat Imam terdahulu. Stagnasi hukum Islam inilah tampaknya yang banyak memberikan
pengaruh pemikiran Al-Thufi, yang untuk ukuran masanya bahkan sampai sekarang terlihat sangat liberal.
c. Popularitas Bagi sebagian besar umat Islam, nama Najamuddin al-Thufi masih
terasa asing di telinga. Sedangkan Imam Malik r.a., namanya lebih popular dan familiar di telinga mayoritas muslim. Mungkin hal tersebut dikarenakan
pengaruh yang ditimbulkan dari pemikiran-pemikiran kedua tokoh ini. Namun, di kalangan tokoh muslim dan peminat hukum Islam,
ketokohan ulama asal Baghdad, Irak, ini banyak diperhitungkan. Namanya disejajarkan dengan nama besar Ibnu Taimiyyah, sang guru Al-Thufi.
147
d. Dalil Syara’ Dalam berijtihad Imam Malik, mengambil dari dalil yang
representatif baginya, yaitu Al-Qur’an, Sunnah, Ijma Ulama Madinah, Fatwa Sahabat, Qiyas, Maslahah Mursalah
147
Najamuddin Al-Thufi; Pencetus Dalil-Dalil Umum, Islam Digest: Republika terbit:
18 Januari 2009.
73
73 Sedangkan Imam Al-Thufi mengatakan bahwa dalil-dalil syariat
baginya adalah 1.al-Kitab, 2. as-Sunnah, 3. Ijma al-Ummah, 4. Ijma ahl al-Madinnah, 5. al-Qiyas, 6. Perkataan sahabat Rasul, 7. Masalih
al-Mursalah, 8. al-Istishab, 9. al-Baraah al-Asliyyah, 10. al-Awaid, 11.Istiqra,12. Saddu az-Zarai, 13. Istidlal, 14. al-Istihsan, 15.al
Akhzu bi al-Akhaffi mengambil yang lebih ringan,16. al-Ismah, 17. ijma ahl al-kufah, 18. Ijma ahl al-Itrah keluarga Nabi, 19. Ijma al-Khulafa
al-Rasyidin”.
74
74
BAB IV APLIKASI MASLAHAH MURSALAH
TERHADAP PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI
E. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala Negara
Dalam pandangan politik hukum Islam tidak semua orang yang baik dapat menjadi seorang kepala negara. Karena jabatan ini adalah posisi yang memiliki tugas
dan tanggungjawab yang sangat urgen. Sehingga Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al- Sulthaniyyah, sebagaimana dikutip Cholil Nafis, menegaskan bahwa pemerintahan
yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu negara adalah wajib, baik menurut akal maupun syara’.
148
Menurut akal, tidak mungkin ada suatu negara tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala negara. Sebab kalau tidak ada masyarakat akan hidup tanpa ada
pihak yang mencegah terjadinya kedzaliman tazhalim dan tidak ada pihak yang menyelesaikan perselisihan dan persengketaan tanazu’ dan takhasum. Sedangkan
menurut syara’, kepala negara diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan tapi juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk melestarikan yang
sah dalam suatu negara membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.
149
148
HM. Cholis Nafis, Fiqh Politik, ed., Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas,
Jakarta: FKKU, 2003, h. 138.
149
Ibid., h. 138.