57
57 dengan  Ibnu  Taimiyah  dan  Ibnu  al-Qayyim  al-Jauziyah.  Menurut  suatu  keterangan
memang bahwa at-Tufi adalah salah seorang murid Ibnu Taimiyah.
113
Al-Thufi  merupakan  sosok  yang  terkenal  sebagai  seorang  pecinta  ilmu. Selain  terkenal  cerdas  ia  juga  dikenal  dengan  kekuatan  hafalannya.  Kecintaan
terhadap  ilmu  bisa  dilihat  dari  ketekunannya  untuk  belajar  pelbagai  disiplin  ilmu pengetahuan di pelbagai tempat dan dari para alim ulama yang masyhur di zamannya.
Bidang-bidang  kajian  yang  ia  tekuni di  antaranya  ilmu  tafsir,  hadis,  fiqih,  mantiq, sastra,  teologi  dan  lain  sebagainnya. Sedangkan  tempat-tempat  yang  pernah
disinggahi dalam  pembelajarannya  Sarsari, Baghdad,  Damaskus, Kairo, dan  tempat- tempat  lainnya  yang  pada  waktu  itu  dikenal  sebagai  bertempatnya  ulama-ulama
masyhur.
114
Karya-karya  tulis  al-Tufi  dimaksud  dapat  diklasifikasikan  kepada  lima bidang, yaitu  kelompok  ilmu  Al-Qur’an  dan  Hadis,  Kelompok  ilmu  usuluddin
teologi,  kelompok  fiqh,  kelompok  usul  al-fiqh  dan  kelompok  bahasa,  sastra  dan lain-lain.
3. Dalil Syara’ menurut Imam Al-Thufi
Menurut  at-Tufi  bahwa,  Sesungguhnya  dalil-dalil  syariat  itu  terdiri  dari sembilan  belas  macam.    Setelah  diadakan  penelitian,  semua  pendapat  ulama  telah
tercakup  di  dalam  macam-macam  tersebut. Sembilan  belas  dalil  tersebut  adalah  :
113Mustafa Zaid, Al-Maslahah, h. 72-74.
114
M. Zainal Abidin, Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi Hukum Islam, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum, no. 1., v. 7, 7 Juni 2007, h. 94.
58
58 1.al-Kitab,  2.  as-Sunnah,  3.  Ijma  al-Ummah,  4.  Ijma  ahl  al-Madinnah,  5.
al-Qiyas,  6. Perkataan  sahabat  Rasul,  7.  Masalih  al-Mursalah,  8.  al-Istishab, 9. al-Baraah al-Asliyyah, 10. al-Awaid, 11.Istiqra,12. Saddu az-Zarai, 13.
Istidlal,  14.  al-Istihsan,  15.al  Akhzu  bi  al-Akhaffi  mengambil  yang  lebih ringan,16.  al-Ismah,  17.  ijma  ahl  al-kufah,  18. Ijma  ahl  al-Itrah  keluarga
Nabi, 19. Ijma al-Khulafa al-Rasyidin”.
115
Dari  sembilan  belas  dalil  tersebut,  dalil  terkuat  adalah  nash dan  ijma. Keduanya  ini  terkadang  selaras  dan  terkadang  bertentangan  dengan  maslahat.  Jika
selaras dengan maslahat, tidak perlu dipertentangkan lagi. Hal ini karena telah adanya kesepakatan  tiga  dalil  sekaligus  bagi  suatu  hukum,  yakni  nash,  ijma  dan  maslahat,
yang diambil dari pengertian sabda Rasulullah saw. la dara wa la dirara. Jika antara keduanya  bertentangan,  yang  harus  didahulukan  adalah  penggunaan  maslahat
daripada nas dan ijma. Caranya mengadakan takhsis atau tabyin terhadap pengertian nas  dan  ijma,    bukan    membekukan  berlakunya    salah  satu  dari  keduanya.  Sama
halnya  dengan  penjelasan  Sunnah  terhadap  ayat  Alquran,  kemudian  mengamalkan pengertian Sunnah.
116
Pengertian sabda Rasul tersebut ialah menetapkan maslahat dan menafikan meniadakan mudarat. Sebab, mudarat adalah kerusakan. Jika dilarang oleh syariat,
115
Ahmad  Abd  al-Rahim  al-Sayih, Risalah  fi  Riayat  al-Maslahah  li  al-Imam  at-Tufi
Mesir: Dar al-Misriyah li al-Bananiyah, 1993, h.13-18.
116
Ibid, h. 23-24.
59
59 maslahat  haruslah  dipertahankan  karena  keduanya  merupakan  dua  hal  yang
bertentangan bagai air dan minyak.
117
Ringkasnya, nas dan ijma itu  terkadang  tidak  mengandung  segi mudarat dan mafsadat, atau memang mengandung mudarat. Jika tidak mengandung mudarat
sama  sekali,  berarti  keduanya  sama  dengan maslahat.  Akan  tetapi  jika  mengandung mudarat,  terkadang mudarat itu  bersifat  menyeluruh  atau sebagian.  Jika  mudarat
yang  ada  itu  bersifat  keseluruhan,    hal  itu  termasuk  pengecualian  dari  hadis Rasulullah saw. la darara wa la dirara, seperti yang terdapat di dalam masalah hadd,
uqubat dan jinayat. Jika pengertian dararah mudarat hanya sebagian,  jika terdapat dalil  yang  menguatkan,  hendaknya  melakukan  perbuatan  sesuai  dengan  dalil  yang
menguatkan  tersebut.  Apabila  terdapat  dalil  khusus  yang  men-takhsis,  wajib di-takhsis dengan pengertian hadis Rasul la darara wa la dirarah, dengan pengertian
mengadakan kompromi antara dalil-dalil tersebut.
118
4. Konsep Maslahah Mursalah Imam al-Thufi