Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala Negara

74 74

BAB IV APLIKASI MASLAHAH MURSALAH

TERHADAP PRESIDEN WANITA MENURUT IMAM MALIK DAN IMAM NAJMUDDIN AL-THUFI

E. Prinsip-prinsip Hukum Islam dalam Pemilihan Kepala Negara

Dalam pandangan politik hukum Islam tidak semua orang yang baik dapat menjadi seorang kepala negara. Karena jabatan ini adalah posisi yang memiliki tugas dan tanggungjawab yang sangat urgen. Sehingga Al-Mawardi dalam Al-Ahkam Al- Sulthaniyyah, sebagaimana dikutip Cholil Nafis, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian sosial dalam suatu negara adalah wajib, baik menurut akal maupun syara’. 148 Menurut akal, tidak mungkin ada suatu negara tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala negara. Sebab kalau tidak ada masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedzaliman tazhalim dan tidak ada pihak yang menyelesaikan perselisihan dan persengketaan tanazu’ dan takhasum. Sedangkan menurut syara’, kepala negara diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan tapi juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk melestarikan yang sah dalam suatu negara membutuhkan proses pemilihan dan suksesi. 149 148 HM. Cholis Nafis, Fiqh Politik, ed., Fiqh Progresif: Menjawab Tantangan Modernitas, Jakarta: FKKU, 2003, h. 138. 149 Ibid., h. 138. 75 75 Ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam proses penggantian kepemimpinan. Pada zaman primitif proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan cara perang fisik dan adu kekuatan otot, sehingga untuk merebut kekuasaan harus jago perang dan pandai bertempur. Namun pada era modern memilih metode pemilihan umum sebagai alternatif yang paling rasional dan aman dalam perebutan kekuasaan. Dalam politik Islam, pemilihan kepala negara menggunakan beberapa metode yang harus diterapkan. Paling tidak Ada tiga tahap yang harus dilalui dalam pemilihan kepala negara atau khalifah. 150 Pertama, tahap pencalonan kepala negara. Sehubungan dengan ini, kepala negara atau khalifah terdahulu atau salah satu dari ahlu al-ra’yi mencalonkan seorang Imam yang layak menduduki jabatan ini. Misalnya pencalonan Abu Bakar kepada Umar atau Abu Ubaidah di dalam peristiwa Saqifah. Kedua, tahap pemilihan dan penerimaan calon. Pada tahap ini, jika calon yang diajukan lebih dari satu, anggota majelis syura’ memilih seorang saja dari mereka. Atau menyetujui saja pencalonan tersebut jika calonnya hanya satu. Misalnya, kesepakatan kaum muslimin terhadap pencalonan Abu Bakar setelah keputusan Abu Bakar dibacakan dan pemilihan, Abdurrahman bin ’Auf kepada Usman bin Affan yang disusul dengan persetujuan seluruh kaum muslimin. 150 Sa’id Harra, Al-Islam; Sistem Bermasyarakat dan Bernegara, Jakarta: Al-Islahy Press,tth.,h. 137-145.., h. 170-172. 76 76 Ketiga, tahap pembaiatan. Marhalah ini sebenarnya merupakan realisasi dan pembuktian dari tahap pemilihan. Karena itu tahap ini menyatu dengan tahap pemilihan. Sementara syarat-syarat menjadi imam pemimpin, menurut al-Mawardi, ada tujuh. Pertama, mampu bersikap adil. Kedua, mampu melakukan ijtihad dalam menyikapi peristiwa-peristiwa yang muncul. Ketiga, tidak cacat panca indra. Keempat, tidak cacat fisik yang menyebabkan tidak bisa bergerak dan tidak cepat berdiri. Kelima, mampu mengatur rakyat dan kebaikan-kebaikan. Keenam, memiliki jiwa pemberani. Dan ketujuh, memiliki jalur keturunan dari suku Quraisy.

F. Presiden Wanita Dalam Perspektif Fiqh Siyasah