11
11
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tujuan utama disyariatkannya suatu hukum oleh Allah swt. - tidak ada maksud lain - kecuali hanya untuk merealisir dan mewujud nyatakan kemaslahatan
bagi manusia di dunia dan kebahagian di akhirat kelak.
1
Setiap perintah atau larangan yang telah dituangkan oleh perumusnya al-Syari` melalui teks-teks hukum al-
nusus al-tasyri`iyyah dapat diketahui dan dipahami oleh para pelakunya mukallaf tentang dampak positifnya yang mengacu kepada kepentingan dan kebutuhan mereka
itu sendiri.
2
Kepentingan dan kebutuhan tersebut bertitik tolak kepada tiga kategori tujuan syari`at maqasid al-syari`ah berdasarkan urutan prioritasnya, yaitu:
daruriyyat, hajjiyyat, dan tahsiniyyat.
3
Dalam rangka mewujudkan eksistensi maqasid al-syari`ah pada diri setiap individu mukallaf, maka setiap tindakan mereka mesti berdasar kepada sumber-
sumber pokok al-masadir al-asliyyah, yaitu: al-Qur`an dan al-Sunnah.
4
Di samping itu, dinamika perubahan sosial dan strukturnya dari masa ke masa terus berkembang
dengan munculnya berbagai kasus dan perstiwa hukum yang jawabannya tidak terdapat secara tegas dan khusus dalam sumber pokok tersebut. Hal ini memerlukan
1
Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt fī usūl al-Syari`ah, tahqīq: Abdullah Darraz,
Beirut: Dar al-Fikr,t.th., vol. II, h. 6.
2
Ibn Qayyim al-Jauziyyah, I`lām al-Muwaqqi`īn, vol III, Beirut: t.tp.,t.th. h. 14.
3
Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwāfaqāt, h.8.
4
Muhammad Adib Salih, Masādir al-Tasyrī` al-Islāmī wa Manāhij al-Istimbāt,
Damsyiq: Maktabah at-Ta`awuniyah, 1967, h. 437.
12
12 metode lain untuk menjawab kasus hukum tersebut dengan menggunakan masadir al-
far`iyyah antara lain melalui metode istihsan, istihsab, al-`urf, madzhab al-sahabi; dan maslahat al-mursalah.
5
Di dalam kitab suci al-Qur’an dan Hadis Nabi Muhammad saw., baik secara eksplisit maupun implisit, banyak sekali postulat yang menjelaskan bahwa
tujuan Allah swt. menurunkan hukum syari’at ke muka bumi adalah untuk
mewujudkan kemaslahatan hidup bagi umat manusia dan menghindarkan mereka dari kerusakan. Kemaslahatan yang dimaksud bukan saja kemaslahatan duniawi, tetapi
juga kemaslahatan ukhrawi atau dalam istilah Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari’ah: “Li Masālih al-‘Ibād fi al-‘Ajil wa al-Ajīl”,
artinya untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat.
6
Dalam konteks hukum Islam hal itu berarti hukum-hukum yang disyariatkan Allah melalui al-Qur’an dan Hadist bertujuan untuk menciptakan
kemaslahatan bagi manusia. Pemberlakuan hukum-hukum tersebut betujuan untuk menciptakan harmonisasi interaksi sosial manusia dalam kehidupan dunia dan
keselamatan akhirat Meskipun kemaslahatan manusia merupakan tujuan utama diturunkannya
hukum ke muka bumi, namun tidak semua maslahat yang ada di tengah-tengah umat manusia sejalan dengan hukum syari’at dan tidak semua maslahat yang berkembang
5
Muhammad Adib Salih, Masādir al-Tasyrī`, h. 437.
6
Abu Ishak Al-Syatibi, al-Muwafaqat, h. 4.
13
13 di tengah-tengah masyarakat mempunyai dasar hukum yang akurat. Karena itu para
ulama membagi maslahat kepada beberapa bentuk. Hujjatul Islam, Imam Ghazali membaginya kepada empat macam
7
: 1. Maslahat yang diakui nau’-nya oleh Syari’ karena ada kesamaan nau’ tersebut
dengan ashl dan far’. 2. Maslahat yang diakui jins-nya oleh Syari’ karena ada kesamaan jins tersebut
dengan ashl dan far’. 3. Maslahat yang bertentangan dengan syariat yang disebut dengan istilah maslahat
bathilah atau maslahat mulghah. 4. Maslahat
yang tidak disebut-sebut oleh syariat’, tidak ada nas yang
mendukungnya dan tidak ada pula yang menentangnya. Maslahat semacam ini disebut maslahat gharibah.
Dari keempat pembagian di atas, Imam Ghazali memasukkan al-maslahat al-mursalah, ke dalam pembagian yang kedua, yaitu maslahat yang diakui jins-nya
oleh syara’ dan ini dapat diterima sebagai hujjah atau dalil hukum. Sedangkan al- maslahat al-gharibah, dan al-maslahat al-bathilah atau al-maslahat al-mulghah
ditolak secara mutlak.
8
Dari pembagian di atas nampaklah bahwa ada maslahat yang tidak disinggung sama sekali oleh nash, baik al-Qur’an maupun Hadis. Dalam hubungan
ini, kemaslahatan tersebut tidak ditetapkan oleh syari’at
hukum untuk
7
Husein Hamid Hassan, Nazāriyat al-Maslahat fī al-Fiqh al-Islāmī, Cairo: Al-
Mutanabbī, 1981, h. 18-19.
8
Ibid., h. 19.
14
14 mewujudkannya dan tidak terdapat pula dalil yang memerintahkan untuk
memperhatikan dan mengabaikannya. Maslahat tersebut dikenal dalam istilah ilmu ushul al-fiqh dengan sebutan maslahat mursalah. Karena maslahat ini tidak
disinggung sama sekali oleh dalil maka para ahli ushul pun berbeda pendapat mengenai keabsahan penggunaannya sebagai dalil ijtihad.
9
Walaupun demikian di kalangan ahli Ushul terjadi beberapa perbedaan pandangan tentang substansi dari maslahat mursalah, bagaimana keabsahan maslahat
mursalah sebagai salah satu sumber hukum dan bagaimana aplikasinya dalam legislasi hukum Islam. Di antara ahli Ushul tersebut berbeda tersebut adalah Imam
Malik dan Imam Al-Thufi. Imam Malik sebagai founding father teori maslahat mursalah ini
10
, mengatakan bahwa maslahat mursalah adalah kemaslahatan yang tidak ada
pembatalannya dari nash dan juga tidak disebutkan secara jelas oleh nash
11
. Akan tetapi, pengambilan hukum berdasarkan maslahat mursalah, ini tidak boleh
bertentangan dengan nash sebagai sumber pokok. Beda halnya dengan Imam al- Thufi, beliau menyatakan bahwa maslahat mursalah merupakan hujjah terkuat yang
secara mandiri dapat dijadikan landasan hukum sekali pun bertentangan dengan nash.
12
9
Yusuf al-Qaradhawi, Madkhal li Dirāsah al-Syarī’ah al-Islāmiah, Cairo: Maktabah
Wahbah, tth., h. 20.
10
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th., h. 279
11
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 2005, h. 95.
12
Mustafa Zaid, al-Maslahat fi at-Tasyrii al-Islâmi wa Najamuddin at-Tufi, Mesir:
Dar al-Fikr al-Arabi, 1954, h. 34.
15
15 Al-Thufi yang terkenal dengan konsep maslahatnya ini, bagi kalangan
peneliti Hukum Islam saat ini, bergerak sangat
progresif dan inovatif yaitu mempergunakan maslahat mursalah sebagai landasan hukum meskipun harus
mendahulukannya dari nash dan ijma jika terjadi pertentangan dengan nash dan ijma. Jadi maslahat menduduki tempat terkuat dalam berhujjah
13
. Dari pemikiran dan konsep maslahat mursalah versi al-Thufi ini, akhirnya
melahirkan banyak polemik dalam kancah epistimologis, yang pada akhirnya konsep maslahat mursalah al-Thufi ini dikategorikan oleh sebagian besar ulama sebagai
konsep yang terlalu liberalis dan bertentangan dengan ulama pada zamannya. Pandangan al-Thufi mewakili pandangan yang radikal dan liberal tentang
maslahat.
14
Dia berpendapat bahwa prinsip maslahat dapat membatasi takhsis Al- Qur’an, sunnah dan ijma jika penerapan nas Al-Qur’an, Sunnah dan Ijma itu akan
menyusahkan manusia.
15
Akan tetapi, ruang lingkup dan bidang berlakunya pola maslahat tersebut hanyalah pada bidang muamalat dan adat istiadat.
16
Maka dari paparan di atas jelas, bahwa maslahat mursalah adalah salah satu landasan pengambilan istinbat hukum Islam yang hampir tiap-tiap ulama
madzhab memanfaatkannya. Namun ternyata, menurut sebagian ulama ushul, metodologi istinbat hukum ini dieksplorasi secara bebas oleh Imam Najamuddîn al-
13
M. Zainal Abidin, “Konsep Maslahat al-Thufi dan Signifikansinya Bagi Dinamisasi Hukum Islam”, Syariah; Jurnal Ilmu Hukum VII, no. 1 Juni 2007 h: 25.
14Ibid., 26. 15Najmuddin at-Tufi, Syarh, h. 46.
16Ibid, h. 48.
16
16 Thufi yang pada akhirnya melahirkan suatu konsep yang kini banyak diikuti
cendikiawan kontemporer. Betapa urgennya kedudukan maslahat sebagai tujuan, kalau tidak malah
merupakan inti dari seluruh konstruksi legislasi Islam. Hal ini dapat dibuktikan dari buku-buku ushul al-fiqh yang ditulis baik sejak masa-masa awal pertumbuhan dan
perkembangan hukum Islam, masa-masa pertengahan maupun pada masa akhir-akhir ini, dapat dipastikan buku-buku tersebut memuat pembahasan tentang maslahat
sebagai tujuan tasyri sekalipun porsi pembahasannya sangat bervariasi. Tulisan ini secara khusus akan membahas tentang pandangan Imam al-
Thufi dan Imam Malik tentang aplikasi maslahat mursalah yang mereka usung,
dengan inti uraian, sekilas riwayat hidup Imam Najamuddîn al-Thufi dan Imam Malik bin Anas, pengertian dan pandangannya tentang konsep maslahat mursalah, serta
yang paling pokok adalah bentuk dari penerapannya “ijtihad tathbiqi” dan analisi kedua pendapat tersebut. Sebab konsep maslahat mursalah yang dibawa kedua ahli
ushul tersebut terkesan saling bertentangan satu sama lainnya. Salah satu aplikasi maslahat mursalah yang diangkat pada tulisan ini
adalah status presiden wanita dalam Islam. Presiden wanita atau kepala negara dari kalangan wanita merupakan salah satu pembahasan yang masih kontroversial di
tengah-tengah para ulama, baik ulama klasik maupun ulama kontemporer. Kitab-kitab
17
17 fiqih politik fiqh al-siyasah klasik dan kitab-kitab fiqh kontemporer masih banyak
mempersoalkannya.
17
Wahbah al-Zuhaili, seorang ahli fiqih modern dalam bukunya, Nidzam Al- Islam, menyebutkan tujuh syarat untuk menjadi kepala pemerintahan. Ketujuh syarat
adalah: seorang Imam harus memiliki jiwa kepemimpinan sempurna, muslim, merdeka, baligh, berakal, dan terakhir laki-laki.
18
Menurut Al-Zuhaili, adanya syarat laki-laki
ﱡﺬﻟﺍ
ﻛ ﻮ
ﺭ ﹸﺓ
semata-mata karena beban menjadi
Imam membutuhkan
kemampuan yang besar yang tidak mungkin ditanggung seorang perempuan. Selain itu, perempuan tidak mampu menanggung tugas-tugas berat lainnya, seperti ikut serta
dalam perang atau hal-hal lain yang beresiko tinggi. Di samping itu, ia mendasarkan pendapatnya ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah,
ًةَأَ ﺮْ ﻣِا ْ ﻢُھَﺮ
ْﻣَأ اْﻮﱠﻟَو ٌمْﻮ َﻗ َﺢِﻠْﻔُﯾ ْﻦ ﻟ
يرﺎﺨﺒﻟا هاور
Artinya: “Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan semua persoalannya kepada perempuan.” H.R. Bukhari
19
Presiden wanita sering dipahami secara subyektif dan hitam putih. Hal ini misalnya, tampak pada kasus Benazir Bhutto. Ketika Benazir Bhutto naik menjadi
Perdana Menteri Pakistan, banyak ulama di sana yang mengecam kedudukannya. Oleh karena itu, ketika Nawaz Syarif berhasil menggulingkan kedudukan Benazir
Bhutto pada Pemilu 1997 di Pakistan, hal ini dijadikan senjata ampuh bagi kelompok
17
Syafiq Hasyim, Hal-hal Yang Tak Terpikirkan; Tentang Isu-isu Keperempuanan dalam Islam Bandung: Mizan, 2001 h. 201.
18
Wahbah Zuhaili, Nidzām Al-Islām, Beirut: Dar Qutaibah, 1993, cet. III, h. 19. Lihat pula Al-Mawardi, Al-Ahkām al-Sulthāniyyah, ttp. H. 42.
19
HR. Bukhari
18
18 fundamentalis Islam untuk menyerang kemampuan perempuan dalam memegang
tampuk kepemimpinan
20
. Di Indonesia pembahasan ini sempat mencuat kepermukaan menjelang
pemilihan umum pemilu tahun 1999 lalu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan
parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden
21
. Walaupun kalah pada Sidang Umum MPR dengan Abdurrahman Wahid
alias Gusdur, Megawati Soekarno Putri akhirnya terpilih juga menjadi presiden RI periode 2001 – 2004.
22
Kecaman demi kecaman dari para ulama pun datang silih berganti. Namun Lain halnya dengan tokoh-tokoh parpol, yang pada mulanya
menolak mentah-mentah pencalonan Megawati, akhirnya ketika itu mereka mulai merevisi kebijakan-kebijakan politisnya.
23
Pada saat itu banyak pro dan kontra di kalangan ulama dalam negeri. Para ulama yang menolak menyatakan bahwa dalam
ajaran Islam wanita tidak bisa menjadi seorang kepala negara. Sebagian yang mendukungnya mendasarkan bahwa larangan tersebut hanya berlaku pada negara
Islam saja, adapun Indonesia bukanlah negara Islam atau khilafah akan tetapi negara yang berasaskan Pancasila.
24
20
Wahbah Zuhaili, Nidzam Al-Islam, Ibid., h. 20.
21
Makalah disampaikan dalam Diskusi Panel ”Pemimpin Wanita Ditinjau dari Perspektif Islam, Psikolog, dan Aktivis”, diselenggarakan oleh UKM FKSM Forum Kajian dan Studi
Mahasiswa Universitas Janabadra, makalah diakses pada tanggal 10 September 2008 dari http:www.gaulislam.comkepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam
22
http:www.tokohindonesia.comensiklopedissoehartomti24depthnews_13.shtml
23
Ibid., http:www.gaulislam.comkepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam
24
http:www.tokohindonesia.comensiklopedissoehartomti24depthnews_13.shtml
19
19 Imam Malik dalam kasus ini, secara eksplisit tidak memasukkannya ke
dalam ranah maslahat mursalah. Sebab kasus ini sudah bertentangan dengan nash dan ijma sahabat. Apabila suatu kasus yang sudah ditetapkan dalam nash dan ijma ahl
madinah, kemudian terjadi pergesekan antara maslahat dan nash maka yang didahulukan adalah nash. Sehingga dalam kasus ini, Imam Malik bisa dan lebih
cenderung melarang presiden dari kaum wanita, jikalau dilihat metode ijtihad Imam Malik.
Lain halnya Imam al-Thufi, beliau menganggap apabila maslahat atau hajat orang banyak ini bertentangan dengan nash atau ijma sahabat dan hal tersebut bukan
termasuk masalah ibadah, maka maslahat tersebut dapat didahulukan dari pada nash dan ijma sekalipun. Sehingga dengan demikian konsep maslahat mursalahnya Imam
Al-Thufi dapat melegitimasi presiden wanita secara syar’i. Oleh sebab itu, penulis merasa terpanggil untuk mengungkap sekilas
konsep maslahat mursalah menurut Imam Najamuddîn al-Thufi dan Imam Malik
dalam memahami kasus presiden wanita, dengan judul skripsi “KONSEP MASLAHAT MURSALAH PADA KASUS PRESIDEN WANITA MENURUT
IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dari judul skripsi, “Konsep Maslahat Mursalah Pada Kasus Presiden Wanita Menurut Imam Malik Dan Imam Najamuddin Al-Thufi
” dapat dibatasi pada beberapa hal, yaitu:
20
20 1. Konsep maslahat mursalah menurut Imam Malik dan Imam Najamuddîn al-
Thufi. 2. Aplikasi maslahat mursalah Imam Malik dan Imam al-Thufi pada salah satu
ijtihad tathbiqi, yaitu pengangkatan presiden wanita. 3. Analisis pemikiran Imam Malik
dan Imam al-Thufi dalam aplikasi maslahat mursalah dalam pemilihan dan pengangkatan presiden wanita.
Setelah mempertimbangkan kemampuan penulis dan waktu yang terbatas, sangat sulit apabila mengesplorasi semua masalah diatas. Oleh karena itu penulis
merasa perlu untuk memilih permasalahan mana yang menjadi fokus penulisan skripsi ini. Lebih jelasnya dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep maslahat mursalah dalam istinbat hukum Islam menurut Imam Al-Thufi dan Imam Malik ?
2. Bagaimana kedudukan maslahat mursalah menurut Imam Najamuddin al-Thufi dan Imam Malik ?
3. Bagaimana aplikasi maslahat mursalah menurut kedua Imam tersebut dalam pemilihan dan pengangkatan presiden wanita?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian