40
40 tersebar luar, dan dianut di banyak bagian penjuru dunia, seperti di Maroko, al-Jazair,
Mesir, Tunisia, Sudan, Kuwait, Qatar dan Bahrain.
73
3. Sumber-Sumber Dalil Ijtihad Imam Malik
Dasar-dasar yang menjadi sumber hukum Islam madzhab Maliki adalah: a. Al-Qur’an;
b. Sunnah; c. Ijma Ulama Madinah
d. Fatwa Sahabat; e. Qiyas;
f. Maslahah Mursalah
74
4. Hujjah Imam Malik Dalam Penggunaan Maslahah Mursalah
Dalam menyikapi maslahah mursalah sebagai metode pengambilan hukum istinbath al-ahkam para ulama berbeda-beda pandangan, sehingga terpecah menjadi
tiga kelompok, yaitu: Kelompok pertama, berpegang teguh kepada ketentuan nash. Golongan ini
memahami  nash  hanya dari  segi  lahiriahnya  semata  tekstual  dan  tidak  berani memperkirakan  adanya  maslahat  di balik  suatu  nash.  Mereka  yang  dikenal  dengan
julukan madzhab dzahiriyah ini juga tidak mau menerima dalil qiyas. Oleh karena itu,
73
Abdurrahman al-Syarqawi, A’immah al-Fiqh al-Tis’ah, h. 154.
74
Suparman Usman, Hukum Islam, h. 98
41
41 mereka menyatakan dengan tegas bahwa tidak ada maslahat kecuali yang telah jelas
disebut oleh nash, dan tidak perlu mencari-cari sesuatu kemaslahatan di luar nash.
75
Kelompok  kedua,  mencari  kemaslahatan  dari  nash  yang  diketahui  tujuan dan illatnya. Karenanya, mereka mengqiyaskan setiap kasus  yang jelas mengandung
suatu maslahat, dengan kasus lain  yang jelas ada ketetapan nashnya dalam maslahat tersebut.  Meskipun  demikian,  mereka  tidak  sekali-kali  mengklaim  sesuatu  maslahat
kecuali  apabila  didukung  oleh  bukti  dari  dalil khas. Dengan  demikian  tidak  terjadi campur  aduk  antara  sesuatu  yang  dianggap  maslahat,  karena  dorongan  hawa  nafsu,
dengan  maslahat  yang  hakiki  yang  sebenarnya.  Dengan  demikian,  tidak  ada maslahat  yang  dipandang mu’tabarah dapat  diterima,  kecuali  apabila  dikuatkan
oleh nash khas atau sumber hukum pokok yang khas. Pada umumnya yang dijadikan ukuran untuk menyatakan suatu maslahat ialah ‘illat qiyas.
76
Kelompok  ketiga,  menetapkan  setiap  maslahah  harus  ditempatkan  pada kerangka  kemaslahatan  yang  ditetapkan  oleh  syariat  Islam,  yaitu  dalam  rangka
terjaminnya  keselamatan  jiwa,  keyakinan  agama,  keturunan,  akal,  dan  harta  benda. Dalam  hal  ini  tidak  didukung  oleh  sumber  dalil  yang  khusus  sehingga  bisa  disebut
qiyas,  tetapi  dia  dapat  menjadi  dalil  yang  mandiri,  yang  dinamakan  maslahah mursalah.
77
Sementara  itu, Imam  Malik  menjadikan maslahat  mursalah sebagai salah sumber dalil dengan alasan yang cukup rasional, yaitu:
75
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Beirut: Dar al-Fikr al-‘Arabi, t.th., h. 279.
76
Ibid., h. 279.
77
Ibid., h. 279.
42
42
Pertama, Realitas obyektif membuktikan penggunaan paradigma pemikiran
maslahah  mursalah  terhadap  persoalan  yang  terjadi,  jauh  sebelumnya,  para sahabat Nabi telah banyak menggunakan maslahat mursalah di dalam mengambil kebijakan
dan istinbath hukum, di antaranya sebagai berikut: a. Pembukuan  al-Qur’an  menjadi  mushaf. Ketika itu sahabat  Umar  r.a.  menggagas
pembukuan  al-Qur’an  menjadi  mushaf  dan kemudian  mendapat  persetujuan  dari Khalifah  Abu  Bakar  r.a..  Persetujuan  Abu  Bakar  r.a.  tersebut  merupakan  ijtihad
yang  berdasarkan  pendekatan  maslahah  mursalah,  dengan  pertimbangan  akan hilangnya  ayat  al-Qur’an.
78
Ijtihad  ini  sebelumnya  tidak  pernah  dilakukan Rasulullah saw. namun ijtihad ini merupakan realisasi dari firman Allah:
َﺮ ْﻛ ﱢ ﺬﻟ
ا  ﺎَﻨْﻟﱠﺰَﻧ ُﻦْﺤ َ ﻧ ﺎﱠﻧِإ
َن ﻮُ ﻈ
ِ ﻓﺎَﺤَﻟ ُﮫَﻟ ﺎﱠ ﻧِإَو ﺮﺠﺤﻟا
15 :
٩
Artinya:  “Sesungguhnya  Kami-lah  yang  menurunkan  Al  Quran,  dan Sesungguhnya  Kami  benar-benar  memeliharanya”. Q.S.  al-Hijr15:
9.
b. Umar  Ibn  Khattab pernah  membagi  atau  memisahkan  harta para  pejabat atau penguasa dengan wilayah kekuasaannya. Karena ada dugaan tercampurnya harta
pribadi dengan harta umum, dan juga dengan hartanya  yang dipergunakan untuk kepentingan  rakyat.  Menurutnya  hal  ini  dilakukan  untuk  kebaikan  bagi  para
penguasa dan mencegah penumpukan harta oleh penguasa. Tapi sebenarnya yang terbaik adalah  harus  ada  pemaparan  harta  pribadi  agar  tidak  terjadi  kezaliman
antara penguasa dan rakyat
79
.
78
Al-Syatibi, al-I’tisham, Riyadh: Maktabah al-Riyadh al-Haditsah, t.th, h. 115. Lihat pula Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281
79
Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, h. 281.
43
43 c. Khulafa  al-Rasyidin
memutuskan  adanya  bolehnya tadhmin  al-shanai’
menanggung  ganti  rugi  tentang  dalil  yang  mendasarkan  amanah,  tetapi seandainya  tidak  ada  jaminan  mereka  pasti  meremehkan  dan  tidak  memberikan
hak  sebagaimana  mestinya,  dimana  harta  orang  banyak  berada  dalam  kekuasaan mereka.  Ali  ibn  Abi  Thalib  menerangkan  bahwa  asas tadmin adalah  maslahah.
Karena hanya itu yang terbaik, jadi setelah tadhmin al-shana’i ditetapkan Ali ibn Abi Thalib, maka bagi para pembuat barang memiliki kewajiban untuk mengganti
jika terjadi kerusakan atau kekeliruan pada barang yang dipesan.
80
d. Umar  Ibn  Khattab  yang  sengaja  menumpahkan  susu  yang  dicampur  dengan  air guna memberi pelajaran dan pendidikan kepada para penipu berselubung penjual
susu  yang  mencampur  susu  dengan  air.  Langkah  ini  merupakan  pendekatan maslahah mursalah sebagai upaya preventif dari terjadinya penipuan.
81
e. Para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota kelompok atau  jama’ah  yang  melakukan  pembunuhan  terhadap  satu  orang  jika  mereka
melakukan  pembunuhan  itu  secara  bersama-sama. Karena  menurut  tinjauan maslahah  saat  itu  menuntuk  demikian.  Alasannya,  orang  yang  dibunuh  itu
ma’sum  al-dam darah  yang  terjaga.
82
Selain  itu,  menurut  penulis  apabila sekelompok
orang  yang  membunuh  itu  tidak  dikenakan  qishas  maka dikhawatirkan bagi mereka yang ingin membunuh orang lain, agar terhindar dari
qishas, maka mereka melakukannya secara berjama’ah.
80
Al-Syatibi, al-I’tisham., h. 119.
81
Ibid., h. 120.
82
Ibid., h. 125. Lihat pula: Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 181.
44
44
Kedua, paradigma  maslahah  seharusnya  memiliki  relevansi  dengan  tujuan
syara’, dengan asumsi, menggunakan maslahah sama dengan mengaplikasikan tujuan syari’i maqashid syari’ah, sebaliknya membiarkannya berarti membuang maqashid
syari’ah. Oleh karena itu, menurut Imam Malik mengambil maslahah sebagai sumber hukum hukumnya wajib. Oleh karena itu, adalah wajib menggunakan dalil maslahah
atas dasar bahwa ia adalah sumber hukum pokok ashl yang berdiri sendiri. Sumber hukum  ini  tidak  keluar dari  ushul  atau  sumber-sumber  pokok,  bahkan  terjadi
sinkronisasi antara maslahah dan maqashid syari’ah.
83
Ketiga, Kontroversi  maslahah  sebagai  sumber  hukum  kondisional,  akan
berimplikasi pada kemandulan ushul al-syari’ah dan prinsip dasar hukum Islam yang sudah  disepakati  bersama  ijma’,  sehingga mukallaf  akan  mengalami  kesulitan  dan
kesempitan
84
,  padahal  Allah  swt.  tidak  menghendaki  adanya  kesulitan  itu sebagaimana dikemukakan Allah dalam surat Al-Baqarah 185:
... َﺮ
ْﺴُﻌْﻟا ُﻢُ ﻜِ ﺑ ُﺪﯾِﺮُﯾ َﻻ
َ و َﺮْﺴُﯿْﻟا ُﻢُﻜِﺑ ُﷲ
ُﺪﯾِ ﺮ ُﯾ
... ةﺮﻘﺒﻟا
2 :
185
Artinya: ”...Allah  menghendaki  kemudahan  bagimu,  dan  tidak  menghendaki kesukaran bagimu...” Q.S. al-Baqarah2: 185.
dan dalam surat al-Hajj: 76.
َ◌ ﯾ
َأ َﻦْﯿَﺑﺎ َﻣ ُﻢَﻠْﻌ ُر
ﻮُﻣُﻷ ْا  ُ ﻊَ
ﺟْ ﺮُ ﺗ ِﷲ
ﻰ َ ﻟِإَ و ْ
ﻢ ُ ﮭَﻔْﻠَﺧﺎَ ﻣَو  ْ ﻢِﮭﯾِﺪْﯾ ﺞﺤﻟا
22 :
76
Artinya: “Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka.  dan  hanya  kepada  Allah  dikembalikan  semua  urusan”. Q.S.  al-
Hajj22: 76.
83
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 182.
84
Ibid., 182.
45
45 Menurut penulis, dengan adanya justifikasi dari ayat-ayat diatas setidaknya
semakin mengukuhkan posisi maslahah sebagai salah satu sumber penggalian hukum, yang  menuntut  pengkajian  lebih  kritis  atas  penerapannya  di  bidang  hukum.  Hal  itu
disebabkan perkembangan persoalan kekinian di sektor sosial kemasyarakatan selalu variatif  dan  dinamis,  sehingga  dibutuhkan  jawaban  hukum  yang  sesuai  pula  dengan
kasus hukumnya.
5. Kriteria Maslahah Mursalah Imam Malik