29
29 Haramain dan Ibn Samani, al-istidlal al-mursal sebagian ulama ushul; sedang Imâm
Al-Tûfi menyebutnya dengan nama “Maslahah Al-Tûfi”.
38
Berdasarkan definisi secara etimologis dan terminologis di atas, maka telah diketahui bahwa maslahat mursalah atau istislah merupakan metode penetapan
hukum yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit dalam Al-Qur’an dan Hadis. Sehubungan dengan metode ini dalam ilmu ushul fiqh dikenal ada tiga macam
maslahah, yaitu maslahah mu’tabarah, maslahah mulgah, dan maslahat mursalah.
39
Maslahah pertama adalah maslahah yang diungkapkan secara langsung baik dalam Al-Qur’an maupun Hadis. Sedangkan maslahah kedua adalah maslahah
yang bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber tersebut Di antara kedua maslahah tersebut, ada yang disebut maslahah mursalah, yakni
maslahah yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut, dan tidak pula bertentangan dengan keduanya.
40
H. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Menurut Yusuf Qaradhawi, jumhur ulama fiqih menganggap maslahat adalah dalil syari’i yang menjadi pondasi utama dalam legislasi hukum Islam,
38
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait: Dar al-Qalam, tth., h. 85. Lihat
pula: Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz; Antara Konsep dan Implementasi Surabaya: Khalista, 2007, h. 288.
39
Amir Mu’allim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam Yogyakarta: UII
Press Indonesia, 1999, h. 72.
40
Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, h. 84.
30
30 pemberian fatwa, dan juga dalam ruang lingkup peradilan
41
. Menurutnya para sahabat Rasulullah saw.-lah yang banyak memahami dan menggunakan maslahat sebagai
patokan dan sandaran utama legislasi hukum Islam
42
. Selain itu, para ulama pun sepakat bahwa tidak ada peluang bagi qiyas,
istihsan, istishlah dalam masalah ibadah, karena ibadat adalah dikategorikan hukum ta’abbudi
43
, sehingga akal tidak memiliki peluang untuk menentukan maslahat yang rinci terhadap setiap hukumnya. Sama halnya dengan hukum ibadat, ialah semua
hukum had, hukum kafarat, batas prosentase warisan, iddah bulanan setelah meninggal suami atau karena thalaq dan semua hukum yang ditetapkan batas tertentu,
karena Syari’ sendiri mengetahui maslahat apa yang terdapat pembatasan itu.
44
Adapun kehujjahan maslahat mursalah terdapat tiga pendapat para ulama yang berbeda.
1. Mayoritas ulama berpendapat maslahah mursalah tidak bisa diambil sebagai hujjah secara mutlak. Ibnu Hajib mengatakan ini adalah pendapat terpilih. Imam
Amudi berkata, pendapat ini benar, sesuai dengan kesepakatan para ulama fiqh.
45
41
Yusuf Qaradhawi, Madkhal li Dirasah al-Syari’ah al-Islamiah Kairo: Maktabah
Wahbah, tth. h. 158.
42
Ibid., h. 158.
43
Ta’abbudi diartikan sebagai hukum-hukum dalam ibadah kepada Allah; seperti shalat, puasa,dsb. yang mana rasio kita tidak mampu untuk memahami makna dibalik amaliah ritual tersebut,
karean hanya Allah yang berhak mengetahuinya. Dengan demikian, qiyas serta maslahah mursalah dalam penentuan ibadah mahdah tersebut tidak dapat dijadikan sandaran hukum. Beda halnya dengan
maslahah mu’amalah; dimana masih bisa ada kemungkinan untuk diperdebatkan. Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh ..., h. 39.
44
Ibid., h. 158.
45
Jamal Ma’mur Asmani, Fiqh Sosial Kiai Sahal Mahfudz. h. 288.
31
31 2. Imam Malik
berpendapat, maslahat mursalah bisa dijadikan hujjah secara mutlak. Pendapat ini didukung oleh Imam Haramain. Yang dimaksud Imam
Malik adalah maslahah yang manfaatnya lebih banyak dari pada bahayanya.
46
Sumbernya dari nash al-Qur’an dan al-Sunnah atau dari petunjuk umum nash yang biasa dikatakan maqasid syari’ah tujuan hukum Islam, seperti firman
Allah:
... َﻣَو
َﻋ َ ﻞَ ﻌَﺟﺎ ٍج
َ ﺮ َﺣ ْ ﻦ
ِﻣ ِﻦﯾﱢﺪﻟ ا ﻲِﻓ ْﻢُﻜ ْﯿَﻠ ...
ّﺞ ﺤﻟا
22 :
78
Artinya: “Allah tidak menjadikan padamu dalam masalah agama suatu kesulitan” Q.S. Al-Hajj22: 78
Nabi bersabda:
ﮫﻨﻋ ﷲ ﻲﺿر يرﺪﺤﻟا نﺎﻨﺳ ﻦﺑ ﺪﻌﺳ ﺪﯿﻌﺳ ﻲﺑأ ﻦﻋ :
ﻰﻠﺻ ﷲ لﻮﺳر نأ لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ
: َﻻ
َﺮَﺿ َر
اَ ﺮِﺿ َﻻَو َ ر
ﻦﺴﺣ ﺚﯾﺪﺣ ,
ﮫﺟﺎﻣ ﻦﺑا هاور اﺪﻨﺴﻣ ﺎﻤھﺮﯿﻏو ﻲﻨﻄﻗراﺪﻟاو
. ﻼﺳﺮﻣ ﺄطﻮﻤﻟا ﻲﻓ ﻚﻟﺎﻣ هاورو
: ﻦ ﺑ ﺮ ﻤ ﻋ ﻦ ﻋ
ﮫﯿﺑأ ﻦﻋ ﻰﯿﺤﯾ ,
ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲ ﻰﻠﺻ ﻲﺒﻨﻟا ﻦﻋ ,
ﺪﯿﻌﺳ ﺎﺑأ ﻂﻘﺳﺄﻓ ,
قﺮط ﮫﻟو ﺎﻀﻌﺑﺎﮭﻀﻌﺑ ىﻮﻘﯾ
47
Artinya: “Tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan”. Imam Malik menjadikan maslahah mursalah sebagai dalil karena beberapa
argumen sebagai berikut: Pertama, bahwa para sahabat banyak menggunakan maslahah mursalah di
dalam mengambil kebijakan dan istinbath hukum
48
, misalnya: a. Pembukuan al-Qur’an menjadi mushaf oleh para sahabat, padahal Nabi tidak
memerintahkan kepada mereka untuk membukukannya. Inilah tindakan para
46
Ibid., 288.
47
HR. Ibnu Majah
48
Abu Zahrah, Ushul Fiqh, h. 280.-281
32
32 sahabat yang dikategorikan maslahah yang bertujuan untuk menjaga dan
melestarikan al-Qur’an dari kepunahan. Disisi lain banyaknya para huffadz penghafal al-Qur’an yang gugur dalam berbagai peperangan;
b. Khulafa al-Rasyidin yang menerapkan keharusan menanggung ganti rugi kepada para tukang;
c. Umar Ibn Khattab r.a. yang memerintahkan para pejabat agar memisakan harta kekayaan pribadinya dari kekayaan yang diperoleh karena jabatannya;
d. Umar Ibn Khattab yang sengaja menumpahkan susu yang dicampur dengan air guna memberi pelajaran kepada orang-orang yang mencampur susu dengan air;
e. Dan para sahabat yang menetapkan hukuman mati terhadap semua anggota kelompok atau jama’ah yang melakukan pembunuhan terhadap satu orang jika
mereka melakukan pembunuhan itu secara bersama-sama.
49
Kedua, Perwujudan kemaslahatan itu sesuai dengan tujuan syari’at. Mengambil maslahat berarti merealisasikan tujuan syari’at. Mengesampingkan
maslahat berarti mengesampingkan tujuan syariat.
50
Ketiga, Seandainya maslahat tidak diambil pada setiap kasus yang jelas mengandung maslahat selama berada di dalam konteks maslahat syar’iyyah maka
orang-orang mukallaf akan mengalami kesulitan dan kesempitan, padahal Allah swt.
49
Ibid., h. 281.
50
Ibid., h. 282.
33
33 tidak menghendaki adanya kesulitan itu.
51
Sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Al-Baqarah 185:
... َﺮ
ْﺴُﻌْﻟا ُﻢُ ﻜِ ﺑ ُﺪﯾِﺮُﯾ َﻻ
َ و َﺮْﺴُﯿْﻟا ُﻢُﻜِﺑ ُﷲ
ُﺪﯾِ ﺮ ُﯾ
... ةﺮﻘﺒﻟا
2 :
185
Artinya: ”... Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu...” Q.S. Al-Baqarah2: 185
dan dalam surat al-Hajj22: 76.
ُر ﻮُﻣُﻷ
ْا ُ ﻊَ ﺟْ ﺮُ
ﺗ ِﷲ ﻰ
َ ﻟِإَ و ْ ﻢ ُ ﮭَﻔْﻠَﺧﺎَ ﻣَو ْ ﻢِﮭﯾِﺪْﯾَأ َﻦْﯿَﺑﺎَﻣ ُﻢَﻠْﻌَ
ﯾ ﺞﺤﻟا
22 :
76
Artinya: “Allah mengetahui apa yang di hadapan mereka dan apa yang di belakang mereka. dan hanya kepada Allah dikembalikan semua urusan.”Q.S.Al-
Hajj22: 76.
Meskipun Imam Malik merupakan tokoh dan pelopor maslahah mursalah namun di dalam penerapannya, pendiri madzhab Maliki ini menerapkan syarat-syarat
adanya persesuaian antara maslahah yang dipandang sebagai sumber dalil yang berdiri sendiri dengan tujuan-tujuan syari’at. Maslahah ini harus masuk akal dan
memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan pemikiran yang rasional. Penggunaan dalil maslahat ini adalah dalam rangka menghilangkan kesulitan yang biasa terjadi. Dalam
arti, jika maslahat itu tidak diambil manusia akan mengalami kesulitan.
52
Para ulama yang tidak menerima maslahat mursalah sebagian dari syara’ juga mengemukakan alasan maslahat yang tidak didukung oleh dalil khusus akan
mengarah kepada salah satu bentuk pelampiasan dari keinginan hawa nafsu yang cenderung mencari yang enak-enak saja, padahal prinsip Islam tidak demikian. Jika
maslahat dapat diterima mu’tabarah ia termasuk ke dalam kategori qias dalam arti
51
Ibid., h. 282.
52
Ibid., h. 427.
34
34 luas. Tetapi Jika tidak mu’tabarah, ia tidak termasuk qias dan tidak bisa dibenarkan
suatu anggapan yang menyatakan bahwa pada suatu masalah terhadap maslahah mu’tabarah, sementara maslahat itu tidak termasuk di dalam nash atau qias.
Mengambil dalil maslahat tanpa berpegang pada nash terkadang akan berakibat kepada suatu penyimpangan dari suatu hukum syari’at dan tindakan kelaliman
terhadap rakyat dengan dalil maslahat, sebagaimana dilakukan oleh raja-raja yang lalim. Jika maslahat dijadikan sebagai sumber unsur pokok yang berdiri sendiri,
niscaya hal itu akan menimbulkan terjadinya perbedaan hukum akibat perbedaan negara, bahkan perbedaan pendapat perorangan di dalam suatu perkara.
53
Beda halnya dengan Husein Hamid Hasan, ia menyamakan maslahah mursalah ini dengan qiyas Imam Syafi’i, ia menyatakan bahwa sesungguhnya
maslahat mursalah masuk ke dalam pengertian qias menurut pandangan Imam al- Syafi’i r.a.
54
Alasan yang dikemukakan Husein Hamid Hasan adalah ia memasukkan maslahah mursalah atau maslahah mula’imah ke dalam qias. Sebab keduanya
memiliki persamaan unsur-unsur. Menurutnya, syarat qias ada 3, 1 adanya peristiwa yang tidak ada nash hukumnya yang jelas; 2 adanya hukum yang dinashkan oleh
syar’i yang mungkin dihubungkan dengan peristiwa itu melalui pengertian ma’nawi; 3 peristiwa yang tidak ada nash hukumnya itu terkandung dalam kejadian yang
mansus secara implisit. Ketiga syarat qias ini, menurutnya, sejalan dengan maslahah
53
Ibid., h. 431-433.
54
Hassan, Husein Hamid, Dr., Nazâriyat al-Maslahah fi al-Fiqh al-Islami, Cairo: Al-
Mutanabbi, 1981.
35
35 mursalah atau maslahah mula’imah yaitu: 1 peristiwa yang ingin diketahui
hukumnya melalui maslahah adalah peristiwa yang tidak ada nashnya yang jelas, seperti jaminan atau ganti rugi para pekerja apabila merusak barang yang
dikerjakannya; 2 ada hukum-hukum syari’at yang dinashkan oleh syari’ atas suatu peristiwa yang maknanya dapat ditemukan oleh para mujtahid; 3 peristiwa yang
tidak ada nash tersebut memiliki makna yang sama dengan makna yang terkandung di dalam peristiwa yang ada nashnya.
55
I. Syarat-Syarat Keabsahan Maslahat Mursalah
Dalam menggunakan maslahat mursalah sebagai hujjah syar’iyyah, para ulama bersikap sangat berhati-hati, sebab ditakutkan akan tergelincir kepada
pembentukan syari’at baru, berdasarkan nafsu dan kepentingan terselubung. Berdasarkan hal itu, seperti yang ditulis oleh Abd Wahab Khallaf, dalam bukunya
ushul al-fiqh, ulama menyusun syarat-syarat kebolehan memakai maslahat
mursalah.
56
Syarat-syaratnya ada tiga macam, yaitu:
57
1. Maslahah harus benar-benar nyata dan bukan maslahah yang mengada-ngada. Selain itu maslahah yang dihasilkan, harus sesuai dengan rasio sehingga
memudahkan seseorang menerimanya
58
. Dengan kata lain pengambilan maslahah tersebut bertujuan untuk mengambil manfaat jalbu manfa’ah dan mencegah
55
Ibid., h. 324-325.
56
Abd al-Wahab Khallaf, Ilm Ushul Al-Fiqh, Quwait: Dar al-Qalam, tth., h. 86.
57
Ibid., h. 86.
58
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Fikr, 2005, v. 2., h.
77.
36
36 madharat
daf’u madharrah. Jangan sampai maslahat tersebut
hanya memperhatikan jalbu manfa’ah saja tanpa diimbangi dengan aspek madharatnya.
Misalnya menyerahkan hak thalaq kepada hakim yang seharusnya hak suami.
59
2. Maslahat itu diciptakan untuk kepentingan umum, bukan untuk kepentingan perseorangan. Dalam arti kata, maslahat yang dijadikan penyebab ketetapan
hukum haruslah mengedepankan aspek sosial dan kepentingan orang banyak bukanlah kepentingan segelintir orang. Sebab hukum syari’ah itu diletakkan
untuk kepentingan orang banyak, bukan untuk kepentingan pribadi
60
. Misalnya untuk kepentingan keluarga, pemimpin, saudara, dan lain-lain.
3. Pembentukan hukum dengan mengambil kemaslahatan ini tidak berlawanan dengan tata hukum atau dasar yang telah ditetapkan nash dan ijma’. Wahbah
Zuhaili menambahkan juga, agar maslahah tersebut sesuai dengan maqashid syari’ah, dan tidak berlawanan dengan nash atau dalil yang
qat’i.
61
Maka menyamakan ratakan bagian anak laki-laki dan perempuan dalam warisan, adalah
bentuk maslahah yang bertentangan dengan syari’ah, dan tidaklah sah pengamalannya.
59
Ibid., h. 77. Lihat pula Abdul Wahab Khallaf, Ushul al-Fiqh, h. 86.
60
Ibid., h. 78.
61
Ibid., h. 78.
37
37
BAB III
RIWAYAT HIDUP IMAM MALIK DAN IMAM NAJAMUDDIN AL-THUFI SERTA KONSEP MASLAHAT MURSALAHNYA
A. Biografi Imam Malik, r.a. 1. Kelahiran Imam Malik